“Belajarlah dari para perajurit semut hitam yang gagah berani itu.”
Aku ingin coba pahami, dengan bertubi pertanyaan yang akan ada di benakku. Bahwa kita semua tahu segala hal ada sebab dan akibat. Percayakah kita bahwa, terkadang hal yang salah tidak sertamerta berdampak buruk?. Artinya; salah bukan berarti buruk, buruk pun bukan selalu berarti salah. Karena banyak mulut bijak berkata, belajarlah dari kesalahan. Maka kita akan diilhami sedikit kemampuan memprediksi langkah selanjutnya, paling tidak kita takkan mau masuk ke lobang yang sama. Bersyukurlah kita dikaruniai kemampuan semacam itu.
Hubungan kausalitas yang dicampuri bumbu-bumbu segala perspektif ilmu, akan menghasilkan banyak kesimpulan dan latarbelakang yang mengakibatkannya. Mengenai mana yang disebut benar dan salah, serta mana yang akan mengakibatkan baik dan buruk. Baiknya kita mencari objek yang tak terlalu kompleks, agar tulisan ini menghasilkan hiburan juga di dalamnya. Di sini aku ingin belajar dari hewan terkuat di dunia. Dari satu anggota serangga. Dari satu spesies di antara kurang-lebih 12.000 jenisnya. Semut hitam.
Dari ketidaksengajaanku lah, sekawanan semut hitam berikanku satu pelajaran serupa dari peristiwa yang berjalan dari arah berbeda. Benarkah hal yang benar itu akan memberikan dampak yang baik? Salahkah hal yang salah itu akan memberikan dampak yang buruk?. Aku bukan bermaksud untuk mengotak-atik rumusan yang mungkin sudah ada. Seperti : buruk = salah, salah ≠ buruk atau baik = benar, benar ≠ baik atau selanjutnya dan terus selanjutnya. Karena pada dasarnya Matematika ≠ ilmu sosial. Aku yakin segala pada alam berdialektika dengan caranya sendiri. Alam yang aku maksud adalah keseluruhan, baik di dalam dan di luar kita. Walaupun pernah aku dengar pakar bilang “etika dan filosofi matematika terkait dengan kehidupan sosial”. Aku takkan mampu membantah hal tersebut.
Entah dari buku mana aku membacanya, aku meyakini bahwa segala jenis semut, bagaimana kemampuan instingnya, cara bertahan, adat-budaya, bahkan warna kulitnya. Mereka adalah mahluk yang paling mengerti sosiologi. Bagaimana kita menjelaskan manusia sebagai mahluk sosial? Bukankah dasarnya sekedar manusia membutuhkan sesamanya?. Hal serupa dari mahluk mungil itu pun demikian.
Jauh sebelum mereka menjalankan misinya, misal memperoleh gula yang adalah kegemarannya. Mereka mengurai menejemennya sendiri yang sangat matang dan terkonstruksi, jelas untuk mengimplementasi visinya yang mereka dapat dengan lama beradaptasi. Pemimpin dan para anggota yang terpercayalah yang mengurai itu semua, hingga kita dapat mengamatinya seperti demikian sekarang. Mungkin mereka butuh ribuan atau jutaan tahun untuk itu.
Bagi mahluk yang baru beranjak dewasa seperti manusia, waktu yang dibutuhkan oleh mereka adalah waktu yang amat lama. Aku minta maaf sebelumnya, jika ada kesalahan hingga menyinggu hati manusia, karena kesalahan tidak pasti berakibat buruk atau sebaliknya, bukan?. Aku menyebut pemimpin pasukan semut itu Toni, yang ditunjuk tugaskan oleh Ratu Ann.
Setelah beberapa keturunan untuk merangkai fondasi dan bangunan ide. Akhirnya, Toni dipilih untuk menjalankan satu cita-cita yang sudah lama dinanti umat semut, dan mereka yakin bagaimana hasilnya di depan, baik-buruk, benar-salah, akan tertulis dalam sejarah. Dengan penuh ketidaksabaran di suatu tempat yang tak diketahui, badan ratusan pasukan berdetak cepat, hingga kaki-kaki mereka bergetar karena perasaan berani dan takut bercampur aduk di dalamnya. Karena beban berat yang akan mengubah segala dalam peristiwa ini berada pada pundak masing-masing. Peristiwa yang mereka yakin takkan dilupakan. Mata mereka menatap tajam ke depan. Keringat yang mengucur adalah keringat jujur keberanian akan satu misi dan arti.
Toni berkata ke pada salah satu orang terpercayanya di singgasana, “Bagaimana cangkir raksasa yang dipenuhi manis itu?”
“Satu anggota saya telah mengirim asam sekaligus pesan, bahwa cangkir itu adalah harta karun tak terhingga”, dengan tidak berlutut dan memberi hormat sebelumnya, Andrew melanjutkan keterangannya, “Lantas dia tertikam jari telunjuk besar, dan mati. Saya rasa pengorbanan dirinya sangat berarti untuk kelangsungan rakyat kita”
“Baiklah, Ratu Ann akan berikan penghargaan padanya kelak. Bagaimana dengan pasukan?”, kata Toni kepada adiknya, Roni, yang adalah wakil komandan lapangan.
“Mereka sudah siap sepenuhnya, hancur, menderita, lumpuh dan mati adalah resiko”, dengan semangat dan gagah berani Roni berbicara.
“Nenek moyang kita sekarang sedang melihat kita. Mereka telah susah payah menyiapkan ini semua. Hingga mengorbankan nyawa, mengorbankan jiwa. Hanya untuk kesejahteraan bangsa kita. Bagaimana kita akan sampai ke sana? Dengan keberanian. Kita harus mampu mengontrol ketakutan, sebab dengan itu sudah setengah mimpi tercapai, lainnya dengan perjuangan yang berpangkal pada niat kejujuran. Kita semua harus yakin, kita semua akan sampai ke sana. Dan, berhati-hatilah dengan manusia, sebab mereka baik disengaja atau tidak, akan membunuh kita. Terlalu banyak alasan mahluk raksasa itu untuk menyiksa, untuk membunuh, bahkan agama pun dijadikannnya pelatuk. Untuk kita sendiri, mereka tak butuh alasan untuk sekedar mencabut nyawa kita semua,” mulailah Toni berorasi. Untuk semangatkan pasukannya, dengan suara lantang kembali Toni berucap, “Hari ini adalah hari yang kita nantikan. Sekarang kita berkumpul di sini untuk satu misi besar, yang mungkin akan mengubah hidup kita. Hidup atau mati, kita akan tercatat dalam sejarah. Angkatlah dadamu, kesatria! Tunjukkan kesetiaan, pengorbanan dan seluruh tenaga. Pasanglah tatapmu terus ke depan! Dan… maju!”
Kepada Roni, Toni berkata, hampir seperti bisikan, “Lindungilah dirimu setiap saat, adikku”. Roni menengok ke belakang, tidak mengatakan sepatah pun. Hanya menunjukkan wajahnya yang gagah berani dan memberikan sedikit anggukan kepala. Berangkatlah mereka semuanya.
Di lain sisi, mahluk raksasa itu sedang mengetik dengan laptopnya di atas meja. Ia bosan menulis cerita cinta, apalagi kalau cerita itu fiksi, berbohong untuk membuat pembacanya menangis. Bukan kemampuan dan kemauan dirinya. Ia ingin menulis cerita tentang ilmu alam yang dipadu dengan ilmu kejiwaan, tapi ia kekurangan bahan akan itu, jadilah yang satu ini rencana menulis cerita dari kisah nyata, sedikit tentang alam dan segala aturannya yang pengaruhi cara mahluk hidup untuk bertahan. Memang ia sudah rencanakan untuk selesaikan karyanya malam ini juga. Satu karya sastra tentang perjuangan semut. Berupa CERPEN dengan judul “Perjuangan Semut Hitam”. Saat sedang asik mengetik, tinggal beberapa baris saja sebagai akhiran. Perutnya terasa sakit, terkocong-kocong, amat perih, dan tak tertahankan lagi. Karena 3 cangkir kopi manis telah ia minum, dan yang 1 ini adalah yang ke 4. Maka, pergilah ia ke kamar mandi. Dalam perjalanannya, di waktu yang sama, pasukan semut juga dalam perjalanan menuju meja yang terdapat cangkir raksasa itu.
Dengan sama-sama berjuang penuh kemauan, satu agar sejarah mencatat, lainnya untuk buang hajat. Kedua mahluk yang amat berbeda tersebut tidak saling peduli. Walau pasukan semut telah diingatkan oleh pemimpinnya, dan sang raksasa telah mengetahui bahwa kafeinlah penyebab asam tambahan dari lambung dan pengganggu pencernaan. Mereka tak peduli sama sekali. Mereka bergerak dengan cepat. Keduanya berlari dengan arah berlawanan. Matilah 20 nyawa semut terinjak kaki mahluk raksasa itu. Sang raksasa tak sadar telah mencabut beberapa nyawa, dan ia pun takkan pernah menyesalinya.
Dengan kepala yang dipenuhi cita-cita yang menurut mereka baik untuk kelanjutan hidupnya. Pantang menyerah adalah satu-satunya kunci membuka pintu kehidupan yang lebih baik dan benar untuk mereka semua. Mereka tak gentar, terus melangkah dengan tidak bermaksud tak peduli akan mayat-mayat kawannya. Toni terus-menerus memberikan semangat untuk yang lain. Demikian juga Andrew. Roni pun berhasil menghindari langkah kaki sang raksasa. Untuk hal itu, Roni yang masih muda diapresiasikan oleh sang pemimpin.
Lama sang raksasa selesaikan urusannya yang mendadak datang, mendadak juga kata-kata akhiran pada karyanya hilang. Mau tak mau, ia pun mengerahkan imajinasinya untuk sentuhan akhir itu. Timbul dan muncul kata-kata pada benaknya, seperti gumpalan awan besar melewati pancar matahari. Memasuki tempat asing penuh dekorasi, menembus sanubari, meminta izin pada naluri. Berantakkan, dan tiba-tiba dengan sendiri rapih. Cahaya kecil di sana namun menghilang, kemudian bersinar lagi pada posisi berbeda. Mencari-cari sekuat tenaga dan menggapainya. Dengan terus melakukannya, terasa hal itu adalah kenikmatan tiada dua.
Sampailah rombongan ke atas meja. Sebentar menatap cangkir besar yang dipenuhi harta karun tak terhingga. Toni berkata, “Cita-cita di depan mata, tak perlu lagi banyak bicara. Mari kita maju, pasukanku!”.
Bergegas mereka mendaki cangkir itu dari segala arah. Mereka tidak perlu mengumpulkan mayat nyamuk yang dipenuhi darah berkadar gula milik manusia, tak harus memutilasi mayat kecoa pada fenomena satu ini. Tak butuh bedil atau anak panah. Semangat yang nampak takkan pernah berhenti. Kerja sama tim yang sangat berarti. Kemurnian gotong royong terlihat jelas pada kepribadian mereka. Sulit aku membayangkan bagaimana indahnya harmonisasi mereka dalam hubungan rumah tangga, jika dalam hubungan sosial masyarakat saja mereka sangat terintegrasi. Sangat percaya satu sama lain, sangat menghargai apa yang dilakukan sesamanya. Aku tak yakin bahwa pada mereka ada dusta.
Keadaan jiwa mereka tiba-tiba berubah sesampainya di sana. Di saat sang manusia sedang nikmat merangkai kata dan perjuangannya. Para pasukan semut kehilangan momentum, suasana menjadi beda. Atmosfir kepahlawanan lenyap. Perjuangan yang tak kenal lelah surut. Sesak yang menegangkan akan hilangnya nyawa para anggota yang teramat serius pudar. Dan nampaklah keadaan berputar balik, mereka sedang tertawa ria satu sama lain. Tersenyum puas bersama-sama. Mereka bernyanyi seperti takkan henti. Berdansa karena nikmati gula penuh nafsu. Dan tibalah pesta besar menjadi suasana baru. Andrew dan Roni sudah kehilangan wibawanya. Seluruh perajurit bersuka cita, karena merasa kemenangan sudah ada di telapak tangan. Hati Toni sebenarnya tersangkut melihatnya, tapi ia tak mampu lagi melawan arus yang sangat deras.
Toni memenuhi ajakan adiknya untuk mencicipi cairan manis itu. Ya, dengan sedikit menjilat, Toni sudah masuk dalam suasana. Beberapa kembali ke sarang untuk mempersembahkannya pada Ratu Ann. Semua pasukan menikmati gula, seperti menikmati bercinta. Gembira akan nikmatnya hidup. Gembira mendapatkan harta karun tak terhingga. Lupa pada lain hal. Dan kegembiraan pula yang membuat lupa pada tujuan awal. Hidup ini tidak pernah memberi jaminan akan suatu, semua berhak untuk tidak bersusah melulu. Tengoklah tiap udara yang kita hirup. Sebenarnya ada satu kegembiraan tersembunyi yang ditawarkan kehidupan, yaitu menemukan yang kita cari dalam hidup.
Pesta besar terus mengambil suasana, setelah perjuangan yang teramat lelah. Lelah pulalah sang raksasa dengan urusannya, lantas ia beristirahat sejenak di meja kerja. Tak ada satupun perjuangan yang berakhir sia-sia, benar-salah itu bukan masalah, kesia-siaan hanya untuk pecundang tanpa cita-cita.
Pada dunia Toni, sang semut hitam. Sekarang keadaan sangat tenang. Serupa dengan keadaan jiwa sang raksasa yang lega. Kegagalan bukan lagi urusan jika kita merasa lega telah melakukan sesuatu, dan dunia hampir terasa seperti surga jika menyerahkan sisahnya pada keputusan waktu. Keberhasilan hanyalah bonus belaka untuk perjuangan meminta nyawa.
Belum lagi sang manusia kembali menulis, dengan cangkir kopi di tangan ia melihat mayat koloni semut mengambang. Yang tersisah adalah pasukan tanpa perintah, tanpa pemimpin, dan mereka yang terus di paksa air mata untuk mengenangnya. Tak jadilah sang raksasa menyeruput kopi kental itu. Dengan melihat tragedi pada cangkirnya, sang raksasa tak jadi mengetik untuk kata-kata akhir. Dibiarkan saja semua apa adanya, dan melihat sisi lain dari kesalahan dan kebenaran, juga kebaikan dan keburukan. Kesalahan yang berakibat buruk adalah pelajaran yang baik untuk kebenaran. Ia pun mengganti judul karyanya agar sang pembaca tahu makna kesalahan dari Toni dan kawan-kawannya, juga kesalahan sang raksasa.
(Kayu Agung, Palembang. 16 Agustus 2014)
Komentar
Tulis komentar baru