Tara, meminjam emosi tetangganya, peri Stankevicius, untuk sekedar mengusir rayap yang mengerubuti meja kesayangannya, sebuah meja bundar tempat ia main boneka. Benar, Tara tak bisa marah, bahkan untuk hal-hal kecil. Menghardik anak-anak kecil singgah depan rumahnya, memanjati pohon cokelat, tak bisa. Kandas ditenggorokan kata-kata keras itu. Kali ini Tara memakai amarah yang dipinjamnya dari sang peri untuk membakar gerombolan rayap, sebagian sudah menggelepar kepanasan dan perlahan hangus dimakan kobaran obor yang dipancangnya diatas sebuah tongkat.
Emosi kali ini punya durasi, teringat ia wejangan peri. “hmm..sebelum obor ini padam, sebaiknya segera ku hantar marah ini kembali ke empunya”. Ia berjejal ke rumah sebelah. Didengarnya peri sedang bersedih, titikkan air mata, sendu sorotnya lagi siratkan kepedihan kelam. Tara terheran, ia keluarkan sapu tangan merah-hitam dari punggungnya, berusaha menghibur temannya itu. “ah, tak perlu…aku hanya sedang menggunakan sedu-sedan ku untuk sementara waktu, marah kan ada padamu..tertawa lagi kucuci, kagum serta tenang kusimpan rapi dilemari”, ia mengembalikan sapu tangan Tara. Hanya mampu menggangguk, Tara pun bertanya kenapa kali ini emosi yang dipinjamnnya pakai durasi waktu, seperti kendaraan argo saja. Stankevicius sudah kembali ke keadaan normal, “iya, soalnya sekarang musim hujan..aku harus cepat mencuci si emosi, kalau tidak keduluan Guntur dan petir”. Tara menggangguk tanda paham. Peri lalu menggenggam si emosi lalu mengajak Tara ke balkon tempat biasa ia membasuh semua perasaannya.
Tara melihat awan menggelap, ia membantu peri membasuh-basuh emosi. Peri kernyitkan dahi, ia merasa bahwa emosi tak keburu kering jika harus dijemur sekarang. “Tara, bantu aku mengibaskan emosi, biar cepat bilasnya. Tara menjepit sisi bawah emosi yang basah, dalam hati ia rasa bersalah juga sudah lama memakai perasaan itu, sehingga bisa-bisa tak sempat digunakan peri malam harinya. Sontak, ia ingat laskar rayap yang tadi dibakarnya hidup-hidup; ”Waduh, obornya masih nyala tidak, ya?!”, Tara berlari amat kencang, agak berteriak “Maaf ya, aku ke rumah dulu!”. Peri membiarkannya menjauh, kali ini ia memang tak memakai rasa herannya.
“Ups..”, desis Tara terhenyak menyaksikan api dari obor menjalar langit-langit rumah. Sejenak dialihkan matanya ke kerumunan rayap yang celaka!; sebagian mereka ternyata lolos!, Tara gagal melakukan pengebirian , padahal tadi sudah pakai emosi peri. Berusaha mengendalikan kebingungan, Tara lalu berteriak minta tolong, sambil mencari sesuatu untuk memadamkan api.
Dengan gesit, peri bersalto begitu mendengar teriakan kebakaran, sampai sekedip mata sudah menerobos masuk ke dalam rumah Tara. Ia membawa serta seluruh rasanya, yang belum dicuci tentunya. “Tara, berikan tempayan itu”, ia mengambil tempayan berukuran sedang ditangan Tara. Sudah begitu, diletakkanlah rasa tenang dan aman dalam tempayan, lalu wush…., serta merta guyur ke segala arah, termasuk dibagian yang belum terjilat api. Seketika api mulai menjelma jadi kabut hitam perlahan naik tertiup udara, melewati ubin, dan pulang kepangkal senja. Tara terbatuk-batuk namun lega mendapati keadaan sudah kembali seperti semula. Sambil mengeluarkan sisa udara tak bersih di hidung, ia berucap terimakasih kepada peri. Selanjutnya peri memunguti rasa tenang dan aman yang tadi digunakan memadamkan api, pulang, melanjutkan acaranya di balkon. Tara berpikir sekali-kali mungkin memerlukan rasa tenang atau rasa aman untuk dipinjam, bisa juga kedua-duanya!, “sekedar menetralkan suasana kalau-kalau panik seperti barusan” imbuhnya. Di lain rasa, ia mendapati parade rayap kembali, menertawakannya dari pohon cokelat depan rumah, mengacungkan lengan layaknya mengajak berkelahi, Tara pun spontan mengambil obor dimeja, keluar mengejar mereka dengan mata memerah. Ia sangat marah!!!.
Adin Ha. Gorontalo, Maret 2012
Komentar
Tulis komentar baru