Skip to Content

Rasa yang Terlalu Tua

Foto Cha Annisa

Rasa yang Terlalu Tua

 

Hidup kita masih sama. Tak banyak yang berubah. Hanya saja kopi yang masih mengepul di depanku terasa menua. Rasanya seperi menyaduh serbuk kopi yang sudah tersimpan selama betahun-tahun, kedap udara, mengapak dan menggumpal seperti bola.

Entah rasa kopi ini yang terlalu hampa, atau rasa di hati ini yang terlalu tua. Tapi hari ini aku tau bahwa aku sudah menepati janjiku sendiri untuk berlari menjauh dan melupakan jejakmu. Aku tahu. Aku bisa rasakan itu.

Sekali lagi, aku tahu. Karena aku baru saja melihatmu. Bertukar sapa denganmu. Membalas senyum dan bahkan tawamu. Hingga menjabat erat tanganmu. Ini sama rasanya seperti menemukan barang yang dulu pernah hilang lalu ketika aku tanpa sengaja menemukannya tergeletak manis di tempat terbuka, aku tahu dan aku menyadari bahwa aku sudah tak lagi membutuhkannya. Aku seperti merasa bahwa aku sudah menemukan penggantinya berupa barang dalam bentuk lain namun sama fungsinya. Sekalipun pada nyatanya aku belum benar-benar menemukan penggantinya. Paling tidak, aku merasakan demikian.

Aku tahu, sudah tak ada lagi rasa yang sama seperti bertahun-tahun yang lalu. Aku tahu, waktu sudah berhasil membimbingku untuk melupakanmu. Aku tahu, jabat tangan ketika bersua denganmu adalah jabat tangan resmi seorang teman lama yang lama tak bertemu. Aku sadar, suasana diantara kita masih sama kaku seperti dulu.

Melihatmu lagi membuatku seperti terseret oleh dimensi waktu dan kembali ke masa lalu. Ada jutaan scene yang berkelebatan di kepalaku. Ada ratusan hal tentangmu berebutan hadir di ingatanku. Ada puluhan kenangan yang mendadak membangkitkan rasa haru. Tapi satu hal, sayangnya rasaku sudah berubah dan tak lagi sama seperti dulu. Dan aku bersyukur untuk itu.

Sekian tahun. Baru kali ini aku merasakan lega yang teramat luar biasa. Rasanya lebih lega dari setahun yang lalu dimana aku berhasil mengangkat kaki untuk memulai langkah pertama dengan niat meninggalkanmu lalu kemudian berlari melupakanmu. Ini lega yang tak bisa dilukiskan dengan kuas dan kanvas. Ini lega yang tak bisa diungkapkan oleh pena dan kertas. Ini lega yang tak bisa dituturkan bukan karena kosa kata yang terbatas. Ini lega karena aku tahu aku sudah benar-benar bebas.

Aku tak perlu lagi mengekalkan imaji tentangmu, aku tak perlu lagi diam-diam memandangimu, aku tak perlu lagi menyimpan aura dan kharismamu. Aku sudah tak lagi membutuhkan semua itu. aku hanya perlu tersenyum tipis pertanda segala tentangmu sudah tertinggal di belakangku.

Dan jabat tangan terakhirku ketika aku pamit pulang itu menyakinkanku bahwa luka itu sudah sembuh sempurna. Kenangan itu sudah terkelupas masa. Harapan itu dipulangkan ke tempat asalnya. Reuni dimudahkan seperti sedia kala. Aku sudah bisa tertawa.

Aku menyesap kopiku perlahan. Aku menikmati sensasinya hingga menghilang di balik kerongkongan. Ternyata ini bukan hampa. Tapi rasa dihatiku yang terlalu tua. Jadi sudahlah, habiskan saja, toh aku masih punya serbuk kopi yang masih kusimpan di tempatnya yang lama. Lagipula aku baru saja menemukan pengganti barangku yang hilang dengan fungsi yang kurang lebih sama.

Jadi, selamat tinggal rasa hampa. Selamat menjelang rasa manis gula. Selamat mempergunakan dan memperlakukan pengganti barang yang hilang sebaik-baiknya.[]

 

#untukRantauduajuli

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler