Aku tak akan mengisahkan cerita lama tentang penguasa Laut Kidul atau penjaga gunung Semeru. Aku juga tak akan bercerita tentang seekor ayam jantan yang pandai mengeram ataupun hiruk pikuknya Kalamaya dan Bachan.
“Tetapi orang-orang sudah terlanjur percaya pada cerita gempar ini. Orang-orang telanjur percaya di Bukit Jagokereng terkubur batu Lembayung dan Galih Semeru bersama gentayangan arwah para pengikut PKI yang setiap Kamis malam bisa dimintai nomor togel. ” katamu.
“Kau percaya pada kisah konyol yang diembuskan oleh para Polisi culas yang sedang mabuk itu?”
“Apakah salah percaya pada hal-hal yang menakjubkan? Bukankah kisah-kisah para nabi di kitab-kitab suci juga menakjubkan?”
Masalahnya kita tak hidup pada zaman para nabi. Masalahnya kita tak hidup di kitab-kitab suci, di alam yang serba-ajaib. Karena itu, sebaiknya percayailah kisahku. Kisah tentang pembantaian bukit Sriti yang sudah ramai dijadikan jarahan karena bebatuan disana sangat menajubkan.
“TAK semua orang akan percaya pada kisahmu. Kecuali jika….”
Kecuali jika aku menjadi saksi pembantaian itu bukan? Kurasa akulah satu-satunya saksi yang masih hidup. Waktu peristiwa itu terjadi aku berusia 9 tahun dan pandanganku—meski terhalang hujan yang turun terus-menerus—masih sangat waras. Aku masih anak-anak penasaran dan ingin tahu segala yang terjadi. Meskipun menyaksikan dengan gemetar, aku masih bisa membedakan apa yang dipalu dan digodam, siapa yang menanam dinamitnya? Aku masih bisa memergoki beberapa jip dan truk yang mengusung perempuan-perempuan malang yang hendak dipaksa untuk menggali tanah di tengah hutan. Lalu jika ada yang tidak mau tak segan orang-orang berseragam itu memuntahkan pelurunya.
Kepala-kepala mereka, sebagaimana kepala kita, sungguh sangat ringkih. Tak ada yang tidak pecah saat dihajar popor tentara. Tak ada yang utuh dan tak berceceran—kecuali kepala Sitaresmi—saat dihantam beberapa peluru serdadu.
“Sitaresmi tidak bisa dibunuh saat itu?”
Dalang perempuan asal Tamanayu yang mahir mengoprolkan wayang dengan sabetan-sabetan sangat cepat itu sepertinya dilindungi oleh semacam karet tak tembus peluru. Semua peluru mental dari tubuh.
“Apakah karet pelindungnya berlapis-lapis?”
Ya, karet pelindungnya berlapis-lapis. Kuharap kau tidak meledek kisah yang terdengar konyol ini. Aku tahu siapa pun akan sulit memercayai kisah dalang perempuan tak tembus peluru. Aku tak peduli kau percaya atau tidak. Aku sekadar ingin mengatakan, hanya karena Sitaresmi dan 23 perempuan penabuh gamelan dan sinden selalu memainkan lakon Dewa Sampun Pejah, mereka dikejar-kejar tentara. Mereka dianggap antek Gerwani. Mereka dianggap telah menghina Gusti Allah.
Kau tahu apa isi lakon Dewa Sampun Pejah? Ini hanyalah kisah biasa tentang Drupadi yang yang dilucuti pakaiannya di Istana Kuru oleh Dursasana. Kisah tak istimewa tentang penelanjangan Drupadi oleh Dursasana yang digagalkan Kresna. Saat itu Kresna menutupi tubuh Drupadi dengan bentangan jarit tak putus-putus sehingga tak seorang pun bisa menatap tubuh tangguh istri Yudistira itu.
“Ya memang bukan cerita yang luar biasa,” katamu, “Jadi, apa yang membuat Sitaresmi dikejar-kejar para serdadu?”
Tak ada yang luar biasa andaikata Drupadi dalam lakon itu tidak bilang, “Dewa telah mati. Ya, Dewa telah mati karena Dia—sebagaimana Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa—tak berkutik saat Dursasana dan Duryudana melecehkan aku. Di mana Dewa saat manusia-manusia utama di dunia tak sanggup menolongku?”
“Lalu, apa hubungan lakon itu dengan pembantaian di Bukit Jagokereng?”
Tentu saja tidak ada. Akan tetapi pada Desember 1965 setiap alasan bisa digunakan untuk membunuh siapa pun yang dianggap musuh. Kau bisa membunuh orang-orang yang kau benci hanya dengan menuduh mereka sebagai tukang santet. Kau bisa membunuh perempuan paling cantik dengan hanya menuduh dia sebagai penyebar agama sesat.
“Kau hendak memaksaku percaya bahwa Sitaresmi tidak bersalah?”
Tentu saja dia tidak bersalah.
“Kau juga ingin memaksaku percaya pada kisah kekebalan Sitaresmi?”
Aku tak membutuhkan persetujuan orang lain untuk mengisahkan apa pun yang terjadi pada Sitaresmi. Kau boleh tertawa keras-keras saat mendengarkan kisah bunyi klonthang-klonthang yang berdentang teramat keras ketika para serdadu menghantam kepala Sitaresmi dengan popor senapan. Kau juga boleh tertawa saat kukatakan Sitaresmi tak lebih dan tak kurang adalah penjelmaan Dewi Sri—istri Batara Indra—yang tak akan bisa dibunuh oleh manusia sesakti apa pun.
“Baiklah, aku akan berusaha percaya,” katamu memancing, “tetapi apa yang sesungguhnya terjadi saat itu sehingga 24 perempuan harus dibantai dan dikuburkan secara paksa?”
Segalanya bisa begitu gampang terjadi gara-gara tak satu pun peluru serdadu bisa menembus tubuh Sitaresmi. Ini membuat Komandan Regu Tembak berang. Tak hanya marah-marah, dia kemudian meminta para penembak mengikat tubuh Sitaresmi di pohon jati.
“Kalau tak mati ditembak, tusuk saja lambungnya dengan bayonet!” teriak Komandan Regu Tembak memberi perintah.
Para penembak pun menusukkan bayonet ke tubuh Sitaresmi, tetapi hanya terdengar semacam benturan besi dengan besi.
“Tusuk matanya!”
Para penembak menusukkan bayonet ke mata, tetapi hanya terlihat semacam perisai cahaya yang menghalangi siapa pun menatap Sitaresmi menyanyikan tembang “Maskumambang”. Tembang berbunyi: kelek-kelek biyung sira aneng ngendi/ enggal tulungana/ awakku kecemplung warih/gulagepan wus meh pejah2 itu dinyanyikan lirih, tetapi entah mengapa bisa kudengarkan dengan sangat jelas.
Tetap tak bisa membunuh Sitaresmi, Komandan Regu Tembak rupa-rupanya tidak kehilangan akal. Dengan sigap, dia berteriak, “Jika salah satu dari kita tak bisa membunuh Sitaresmi, bukan tidak mungkin para sinden, yang mungkin tahu rahasia sang majikan, justru bisa dengan mudah menghabisi dalang sialan itu. Beri mereka belati. Suruh mereka menguliti tubuh Sitaresmi!”
Para penembak memanggil tiga sinden dan segera memberi mereka belati.
Tiga sinden tegang. Mungkin mereka gamang melukai perempuan kencana yang sangat mereka kasihi.
“Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu Tembak.
Tiga sinden kian tegang. Mereka bergeming. Mereka ketakutan. Mereka gemetar.
“Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu Tembak sekali lagi.
Di luar dugaan, tiga sinden itu justru berbalik ke arah penembak dan berupaya menusukkan belati ke dada para penembak. Tindakan konyol itu berakibat fatal. Para penembak lebih cepat melesatkan peluru ke tubuh para sinden. Daging-daging tubuh para sinden pun memburai. Darah mengucur di antara hujan yang terus mengguyur dilereng bukit Sriti.
“Masih ada yang akan melawan perintahku?” kata Komandan Regu Tembak.
Tak ada yang berani menjawab. Tak ingin ada korban lagi, Sitaresmi memberi isyarat kepada para penembak agar mendekat. Aku tak bisa mendengarkan segala yang mereka perbincangkan. Aku hanya tahu tiba-tiba para penembak mengeluarkan seluruh peluru dari senapan dan mereka beramai-ramai mengencingi timah pembunuh itu.
“Apakah akhirnya Sitaresmi terbunuh oleh peluru yang sudah bersepuh urine para penembak itu?” tanyamu.
Apakah perlu kuceritakan?
“Tak perlu. Siapa pun akan mudah menebak apa pun yang terjadi. Siapa pun akan menganggap kamu gila. Siapa pun akan menganggap ceritamu berlebihan.”
Aku tak peduli. Aku hanya ingin orang tak percaya lagi pada cerita tentang Batu Galih Semeru, Gading Semeru, ataupun Kecubung Semeru.
Komentar
Tulis komentar baru