Skip to Content

Serangan Fajar

Foto Andoyo Sulyantoro

Serangan Fajar

Cerpen: Lintang Alit Wetan

 

     SETIAP kududuk di bawah rindang pohon beringin di kampus tempatku menimba ilmu dulu. Entah duduk termenung tercenung-cenung sendirian, atau dirubung --mirip lalat mengerumuni bangkai busuk-- oleh bekas teman-teman kuliahku. Sambil berceloteh tentang seabreg cerita. Ingatan ini menerawang jauh,menerabas mega-mega yang berarak di langit sore tentang bagaimana aku back to atau pulang balik ke desaku. Kondisi ekonomi keluargaku sungguh mengenaskan. Begitu, cerita kakek kepadaku tempo hari. lalu aku memberanikan diri untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa --atas bujuk rayu warga masyarakat dan dorongan

keluarga-- dan kini aku dipanggil dengan sebutan Ibu Kepala Desa.

     “Tak ada yang perlu ditutup-tutupi!” Pesan romo sebelum menghembuskan nafas

pamungkas, menghadap pada Sang Pemilik Kehidupan, sebagaimana dituturkan kakek kepadaku

dengan berurai air mata.

     “Memang benar. Rumahmu masih beralas tanah, sementara tetangga kanan kiri ber jubin

tegel, bahkan porselin. Dinding dari gedek, dibuat dari kepang anyaman bambu. Atap dibuat dari

anyaman daun-daunan tebu kering. Usuk rumah berbahan pring.” Sangat sederhana, bahkan

teramat sederhana.

     “Berulang-ulang rumahmu roboh diterpa angin puting beliung.” Ujar kakek. 

     “Sungguh. Rumahmu berada di ketep, pinggir desa yang dikelilingi oleh persawahan dan

dilintasi rel kereta uap. Simbok dan romomu tidak cukup uang untuk membangun rumah yang

layak huni. Untuk makan sehari-hari pun, sudah bersyukur apabila dapur rumahmu masih

mengepul.” Lanjut kakek.

***

     Satu ketika, aku berada di acara perhelatan manten. Sebutlah pernikahan anak semata

wayang Juragan Suharta. Cukong tembakau yang juga bosku ini adalah adik iparku. Demikian

sebutan berdasar garis keturunan sistem kekerabatan orang Jawa. Aku berusaha ramah terhadap

siapa pun, kepada tamu-tamu yang juga ramah, saat menghadiri acara perhelatan anak juraganku.

Malahan aku, masuk bagian keluarga besar Juragan Suharta di kawasan Celah Kledung. Asap tak

jauh dari panggangan. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

     Aku selalu berdiri stand by, gasik di lawang regol. Aku bukan security. Tugas utamaku

adalah melayani dan mempersilakan tamu-tamu yang masuk ke acara tersebut. Sehingga para

tamu yang rawuh pun nyaman. Aku pun bersikap sopan dan santun, senyum tulus, hormat.

Kedua tangan mengatup di depan dada, posisi menyembah, badan membungkuk 90 derajat.

     “Matur nuwun.” Ucapku singkat.

     Di genggaman tangan kananku selalu erat memegang sepotong rotan yang menjadi

senjata andalan. Ujungan. Dulu, semasa muda, aku adalah juara pertandingan ujungan. Olahraga

tradisional, yang mana dua orang petarung saling menyabet kayu rotan ke kaki masing-masing.

Dalam satu pertandingan bergengsi memperebutkan satu daerah kekuasaan, Japlak mengerang

kesakitan. Aku terkapar. “Aduuuh!” Teriakku. Aku terjungkal berkalang tanah, dengan kedua

kaki berlumuran darah dan bengkak. Terjungkal oleh sabetan sebesar palu godam dari musuh

bebuyutan. 

     Ya, itulah kekalahan paling tragis, Wlandang Japlak. Wlandang adalah julukan ditujukan

kepada petarung ujungan yang kesohor dengan kedigdayaannya mengalahkan banyak lawan

tanding. Belum pernah terkalahkan. Kalah tanding tempo hari, berujung pada keputusan sepihak

dari Yu Japlak, hingga ku putuskan pensiun dari segala hal yang menyangkut olahraga ujungan.

Keputusan ini amat disayangkan oleh banyak pihak. Termasuk oleh para musuh bebuyutanku.

***

     “Jangan pilih dia! Tanda gambar ketela jangan kau coblos! Jagung, kelapa, kedelai atau

padi saja!” Koar-koar bobotoh pemilihan kepala desa. “Dia sudah pensiun sebagai petarung

ujungan. Bila dipilih menjadi kepala desa kita pun, ia akan bersikap sama. Pecundang, mental

tempe bongkrek!” Pengunjung bergemuruh. Beberapa kulihat mengiyakan, sementara yang lain,

cuek, apriori menganggap suara-suara itu menjadi angin lalu.

     “Aku duduk di kursi pemilihan kepala desa di panggung. Di tengah. Di sebelah kananku,

duduk 2 calon kepala desa bertanda gambar jagung dan di sebelahnya lagi kelapa. Sedangkan di

sisi kiriku, kuperhatikan duduk dengan gelisah 2 calon kepala desa yang lain, bertanda gambar

kedelai dan padi. Kostum yang mereka pakai mewah, beling-beling. Perhiasan emas permata,

cincin berlian, kalung liontin, jam tangan mahal, sepatu bermerk dipamerkan semua. 4 kompetitor ku bagai peragawan/peragawati yang dipajang di etalase oleh pemilik mall untuk

menarik minat pengunjung. Toko berjalan. Sementara aku, cuma ber kaos berkerah, bersarung

entah bercelana pendek warna apa yang aku kenakan di dalam sarung ini, celana dalam pun aku

tak pakai. Menuju ke panggung pemilihan kepala desa pun, aku terburu-buru. Tidak sempat

sarapan dan mandi. Bersama tim suksesku, sejak dini hari, masuk Subuh, aku ikut melancarkan

serangan fajar. Sebelum matahari terbit di ufuk timur, misi ini sudah tuntas.

     Aku duduk tenang, menikmati hidangan yang ada di atas meja yang disediakan oleh

panitia pemilihan kepala desa, sesekali udud klepas-klepus. Walaupun aku seorang perempuan,

tapi aku suka merokok. Kuamat-amati, ku hitung-hitung setiap pemilih, mana orang-orangku

yang mencoblos tanda gambar, dengan berharap mereka tidak salah coblos. “Coblos tanda

gambar ketela.” Harapan dan doaku.

***

     Tim suksesku disebar ke penjuru desa. Jauh-jauh hari, mereka merangkul kaum perantau

desaku yang terpencar di berbagai kota. Mereka mengurusi transportasi, akomodasi, makan,

minum, udud dan segala tetek bengek keperluan kaum perantau desaku. Di detik-detik akhir

jelang waktu penutupan pemilihan kepala desa, kaum perantau ini kujadikan senjata pungkasan

untuk mendulang suara yang terhitung banyak. Nah, hal ini tidak dilirik oleh kandidat kepala

desa yang lain.

     Empat puluh hari 40 malam, aku berpuasa. Tidak keluar dari dalam rumahku. Aku seperti

orang pingitan, selama hari-hari itu aku melayani tamu-tamu yang hilir mudik bergantian, keluar

masuk menemuiku. Bermacam-macam kepentingan mereka, misal ada yang menyatakan

kesanggupan mendukung sepenuh hati, memenangkanku di pemilihan kepala desa asal aku mau

memberinya uang pesangon untuk dibagi-bagi pada para pemilihku nantinya. Atau, bahkan

beberapa duda dengan terus terang mau meminangku menjadi isterinya. 

     “Ya, tidak semua permintaan tamu-tamu itu aku setujui. Justru, banyak yang

kudiamkan.” Tepat di malam menjelang hari pencoblosan, ketika aku sedang berdoa di langgar

depan rumah. Orang-orang ramai berteriak-teriak.

     “Ndaru…Ndaru…Cahaya terang benderang dari langit turun deras jatuh ke rumah

Japlak!” Aneh. Pada zaman serba canggih mereka masih percaya hal-hal irasional. Aku

terperanjat kaget. “Hah!” Aku merasakan angin bertiup kencang. Bulan purnama di malam itu

sinarnya terang benderang, menerpa tubuhku. Tidak ada yang aneh pada diriku, kecuali tubuhku

menggigil dingin. Cuma sebentar.

     Bergegas aku dan tim suksesku, keliling desa. Semua menyebar kemana-mana, sesuai

wilayah tugas masing-masing. Pintu-pintu rumah penduduk desa yang tertutup rapat, diketuk-

ketuk. “Assalamu’alaikum!” Pintu dibuka. Dua patah kata sebagai salam sapa dan silaturahmi,

kemudian amplop berisi sejumlah rupiah diberikan pada penghuni rumah. “Ketela?” Ya. Satu

penghuni rumah yang memiliki hak suara atau biting dihargai 100 ribu rupiah. 

     Aku dan tim suksesku menyerbu rumah-rumah warga. Jelang matahari terbit dari ufuk

timur, sebelum ayam jantan berkokok 3 kali dari kandang ayam warga, misi serangan fajar telah

rampung. Kini nasib, harga diri dan tahta kepala desa dipertaruhkan di bilik pencoblosan di balai

warga, keesokan hari.

***

     Waktu pencoblosan tinggal 30 menit lagi ditutup. Penduduk yang tinggal di desaku, telah

menunaikan hak suaranya. Empat kandidat calon kepala desa, bertanda gambar jagung, kelapa,

kedelai dan padi-- kompetitor tampak sumringah. Masing-masing berdiri, meneriakkan yel-yel

kemenangan bersama para pendukung. Mereka mencabut jagung, kelapa, kedelai dan padi yang

ditaruh di bawah panggung, dilempar-lemparkan dan dibagi-bagikan ke para pemilih. Saling

dorong, berebut pun terjadi. Terjadi adu mulut antara Trondol dan Sukilah, suami isteri

memperebutkan benda-benda itu. Tanpa menghiraukan Doski, anaknya menangis menjerit-jerit

terjepit di antara desakan orang-orang. 

     Di pojok jalan. Botoh pemilihan kepala desa, menggelar papan judi. Mengais rejeki

dengan menggelar bandar taruhan, siapakah yang akan terpilih menjadi kepala desa. Ke-4 rivalku

di ajang pemilihan kepala desa ikut terjun, memasang taruhan dengan optimis bahwa merekalah

yang pasti terpilih sebagai kepala desa. Suara mereka keras, mengalahkan lolong serigala buas di

belantara tropis malam hari.

     Jelang penutupan. Setengah jam lagi. 10 bus berplat B, berhenti di depan jalan balai

warga. Pintu bus dibuka, puluhan penumpang turun dari bus, masuk ke tempat pemilihan kepala

desa, dan mereka melaksanakan hak politiknya sebagai warga desaku yang sedang bekerja di

perantauan. “Satu…sepuluh…seratus lima puluh…dua ratus lima puluh.” Aku hitung warga

perantauan mencoblos di menit-menit akhir pemilihan.

     Mereka serempak berteriak lantang, “Ketela!”  Ya. Aku menang, panitia menetapkan dan 90 % warga memilihku sebagai kepala desa. Setiap kududuk di bawah rindang pohon beringin di kampus tempatku menimba ilmu dulu. Entah duduk termenung tercenung-cenung sendirian, atau dirubung --mirip lalat mengerubuti bangkai busuk-- oleh bekas teman-teman kuliahku. Sambil berceloteh tentang seabreg cerita.Ingatan ini menerawang jauh, menerabas mega-mega yang berarak di langit sore yang indah***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler