Pagi itu ketika Gonel terbangun dari tidurnya, seperti pagi-pagi yang lalu, kata-kata kotor yang keluar dari mulutnya menyapa dunia. Wajahnya kelihatan tegang berkeringat.
"Bangsat! Itu-itu lagi!" teriaknya.
Ia bangun dengan tergesa, melepaskan sarung dan melemparkan ke atas tempat tidur, mengambil handuk yang tersampar di kursi, gayung berisi sabun mandi, sikat gigi dan odol, lalu ke luar kamar menuju kamar mandi umum.
Mulutnya terus mengoceh dan nada suaranya meninggi ketika melihat antrian panjang di luar kamar mandi. Orang-orang, seperti sudah biasa, tidak ada yang menanggapi. Satu dua orang, meletakkan jari telunjuknya di kening dengan posisi miring. Orang-orang tersenyum tersembunyi. Sikap mereka berubah ketika Gonel berkeras akan memotong antrian.
"Bangunlah lebih pagi,Bung!"
"Jangan sok jago, ah,"
"Emangnya, kamar mandi nenek moyangmu?"
Gonel pun mundur teratur. Otaknya masih mampu mengendalikan kegelisahannya. Ia tak mau mengambil resiko besar. Bisa-bisa menjadi babak belur kalau ngotot. Ia pun menunggu giliran meski batinnya masih saja memaki-maki.
Ia bersandar pada dinding gedhek. Matanya memandang sekeliling. Masih ada sebelas orang. "Duh Gusti! Berapa lama ini?" desisnya. "Terlambat lagi."
Di kepala, ia berusaha keras mencari kata-kata yang tepat sebagai alasan keterlambatannya. Harus benar-benar tepat. Biar dianggap tidak mengada-ada. Kalau tidak, bahaya. Sudah ada peringatan tertulis untuknya setelah beberapa peringatan lisan tak mampu ia perbaiki.
"Ah, ah, ah. Hidup memang berat. Sangat berat. Persaingan keras, saling sikut, saling tendang, saling ancam. Modal apa yang kupunya? Cuma tenaga yang bisa dijual. Jadi buruh, lumayanlah. Minimal bisa hidup meski masih ngos-ngosan juga." kata-kata bermunculan di kepala Gonel.
Ia menunggu. Menunggu. Dan menunggu. Matahari kelihatan sudah meninggi. Gonel menengadah. Tiba-tiba gairahnya hilang. Ia beranjak dari tempat itu.
"Hei Nel, tinggal dua orang lagi. Mau kemana kau?" teriakan seseorang untuknya. Gonel tak menanggapi.
Ia masuk ke kamar. Melemparkan handuk sekenanya dan meletakkan gayung di meja kecil.Ia membuka jendela kamar.
Angin dan sinar matahari mulai masuk.
Gonel berdiri dekat jendela. Matanya lepas ke depan. Rumah-rumah berhimpitan bagaikan susunan kardus-kardus. Beberapa rumah ada yang meletakkan barang-barang dagangan di depan rumahnya. Gang yang membelah kampung yang sudah sempit semakin sempit. Anak-anak banyak yang bermain tanpa perduli dengan ruang. Tak jarang mereka menghalangi orang yang berjalan. Tak beraturan.
"Ah," Gonel mendesis.
Ia tinggalkan jendela, lalu berbaring di tempat tidur. Ia merasa ada keanehan dengan dirinya. Biasanya, ia mengalami kecemasan luar biasa bila merasa akan terlambat datang ke pabrik. Tapi kali ini? Sama sekali tak dimengerti ada keputusan untuk tidak berangkat. Bisa jadi ada surat PHK besoknya karena semua peringatan yang diterima tidak tergubris. Ketakutan yang selalu membayangi melenyap begitu saja. Ingin ia terbaring. Beristirahat. Tanpa ada satu beban pun yang hinggap di kepalanya. Dan itu ia lakukan kini!
Pikirannya melayang-layang. Terbang, terbang, terbang jauh melampaui batas-batas sebelumnya. Ia lihat dirinya. Bagaikan menonton film layar tancep. Ia terpaku. Mengapa demikian? tanyanya. Manusiakah? Ingin ia tertawa getir mentertawakan nasibnya yang buruk.
Gonel, Gonel, tak ubahnya binatang. Sapi. Kerbau. Membajak lahan, menarik gerobak. Yang terhitung bukanlah pikiran. Tetapi tenaga. Seberapa besar ia butuh makan? Lalu dibandingkan dengan tenaga yang tercurah. Tak dihitung bahwa ia butuh pakaian, tak dihitung bahwa ia perlu rekreasi, tak dihitung biaya sosial yang harus dikeluarkan dalam hidup bermasyarakat, tak dihitung bahwa ia punya sanak saudara.
Gonel melihat dirinya, tertawa lepas dengan air mata tumpah. Mengapa kau masih terus bertahan, Gonel? Bukankah teramat menyiksa dihitung seperti binatang sedangkan kau punya pikiran? Bekukah pikiranmu?
Gonel melihat dirinya, ia mencoba menyapa dan mengingatkan. Tapi dirinya benar-benar tolol. Menoleh pun tidak. Ataukah ia telah tuli? Ah, Gonel. Bodoh benar kau! Ayolah hentikan rutinitas itu. Hentilah sejenak. Berpikirlah. Janganlah berlaku seperti binatang! Atau? Ah, jangan-jangan kaumerasa sebagai mesin. Diam, bergerak, di luar kemauan. Asal orang pencet tombol saja, setelah mengisi bahan bakar, maka lantas kau bergerak? Ah, ah, ah, Gonel, Gonel....
Terbang jauh melesat ke angkasa, lalu menukik turun, Gonel menyatu dengan dirinya kembali. Wajahnya kelihatan tegang, berkeringat. "Oh," teriakan spontan bersamaan dengan tubuhnya yang bangkit. Ia duduk, menarik rambut dengan kedua tangannya. Lantas tangannya memijiti kepala. Berat,terasa sangat berat.
"Aaa..aaah!" ia hempaskan suara dengan lepas.
Ia bangkit, duduk dengan mengangkat kedua kakinya. Lalu menyilangkan kedua tangan hingga bertemu pada satu titik.
"Selalu saja begitu," desisnya pelan. "Mengapa?"
Kepalanya berputar-putar. Ingatan akan perjalanan yang berliku-liku dan penuh duri. Malam-malam yang terlewati, seharusnya indah. Mengapa tidak? Mimpi-mimpi selalu buruk. Ia selalu jadi orang kalah. Untuk mengkhayal pun tak bisa.
Bagaimana harus lari dari semua ini?
Gonel, gonel. Tak mampu sama sekali ia menciptakan dunia lain. Meski ia menumpahkan segala kemarahannya. Semua telah terbangun secara sistematis.
Yogya, Agustus 1994.
Komentar
Tulis komentar baru