Jalan ini sunyi sekali. Orang-orang yang berjalan bisa terhitung dengan jari. Entah mengapa tidak banyak orang yang memilih untuk melalui jalan ini. Sedangkan ruas jalan teramat lebar. Bila kau terbiasa dengan jalan-jalan Jakarta, maka pikiranmu akan teduh melihat jalan ini. Kau akan meluncur dengan tenang tanpa rasa takut terlanggar kendaraan-kendaraan buas dan kau juga tidak perlu cemas dengan kemacetan panjang. Benar, jalan ini teramat tenang. Namun sunyi.
Kukira semua orang telah tahu dengan jalan ini. Jalan menuju ketentraman dan kebahagiaan. Di jalan ini orang terbebas dari segala beban. Di jalan ini orang bisa merenungi hidup secara dalam dan mencari makna-makna terpendam yang bertebaran di lautan kehidupan. Di jalan ini orang bisa belajar mengekang perasaan dan gejolak nafsu. Di jalan ini orang mampu secara perlahan membangun kekuatan jiwa. Ya, semua orang tahu. Tidak diragukan lagi. Tapi sekali lagi, entah mengapa tidak banyak orang ingin melalui jalan ini.
Sebagian besar orang telah menyempatkan diri untuk menjenguk. Dan bisa dipastikan saat-saat itu adalah saat-saat kritis sebagai manusia. Mereka yang telah mengarungi lautan dan berbenturan dengan badai mengamuk. Menaklukkan atau tertaklukkan. Mereka yang kalah, itulah mereka yang mencoba menyempatkan diri menjenguk. Tidak ada batas yang membedakan status sosial di jalan ini. Semua sama, sebagai manusia. Dan pada saat kekalahan, mereka menyempatkan diri menjenguk dan melewati beberapa penggal jalan ini, mereka mendapatkan ketentraman dan kekuatan baru, mereka kembali pergi dan memilih jalan lain yang penuh hiruk pikuk dan pertempuran sengit.
Jalan sunyi ini sesungguhnya jalan yang maha indah. Lihatlah pepohonan yang berjejer sepanjang jalan dengan rimbun dedaunan hijau yang meneduhkan dari sengat matahari. Di atas, burung-burung beterbangan dengan merdeka sehingga nyanyian yang keluar dari mulutnya adalah kemurnian jiwa sang burung. Langit di atas adalah hamparan awan-awan biru yang berarak dan bersinar cerah, sedangkan di sisi-sisi jalan dapat kita saksikan perbukitan subur yang meliuk-liuk. Sesekali kita melewati jembatan, gemercik air menentramkan telinga, dan kita lihat kejernihan air yang belum tercemar mengalir tenang dan sesekali bercanda dengan bebatuan.
Seringkali orang salah mengerti, dikiranya melewati jalan ini berarti menghindari diri dari kehidupan. Tidak! Melewati jalan ini tidak harus dengan menghindari diri dari kehidupan. Itupun bisa disebut pengingkaran. Tidak ada dogma yang mengajarkan demikian. Di jalan ini, proses aktif kehidupan manusiapun berlangsung. Kita bisa mempertanyakan lagi, apakah pernyataan itu benar-benar keluar dari hati terdalam atau sekedar hanya pembenaran. Memang jalan teramat banyak. Di persimpangan kita jumpai jutaan jalan. Dan lihatlah, jalan mana yang dipilih dan ditempuh? Jalan yang penuh hiruk-pikuk! Dikibarkan panji-panji iklan dengan tawaran yang sangat menggiurkan perasaan kita. Tontonan perempuan cantik dan lelaki pejantan yang mendesah memanggili kita tampak di mana-mana sepanjang mata kita memandang. Dan barang-barang yang terlanjur diidentifikasikan sebagai barang-barang milik manusia modern ditebar sepanjang jalan dengan slogan-slogan yang menyodok ulu hati kita untuk merasa mendapat malu bila tidak berhasil memilikinya.
Maka penuhlah jalan itu. Terdorong oleh keinginan murni atau sekedar tergiring oleh godaan? Itu pula harus kita pertanyakan. Di sanalah mimpi-mimpi di gelar dan sesungguhnya bukan mimpi kita semua. Kita yang merasa diagungkan sesungguhnya kita dicampakkan seperti sampah, seperti patung yang tidak bisa berpikir, seperti seorang idiot yang harus dibimbing. Itulah wajah kita sesungguhnya. Maka janganlah mengutuk bila terjadi pembantaian besar-besaran dalam proses itu, bila kita terus hanyut di dalam arusnya. Jalan itu adalah jalan pertarungan. Hukum yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa kuat dialah pemenangnya. Hanya gambaran itu tidak bisa ditunjuk begitu saja. Permainan telah dikemas dengan rapi dan diberi legitimasi untuk melegalkan segala permainan. Kalau kau berdiri sendiri, menyempil di sela-sela gedung, maka kaulah satu korbannya. Orang-orang seperti kau tidak mungkin dipertemukan dalam satu tempat. Dibuat sedemikian rupa sehingga kau merasa bahwa ini adalah kesalahanmu sendiri. Memandang orang senasibmupun akan penuh prasangka. Hari-harimu akan diisi oleh kesibukan bagaimana mendapatkan sisa-sisa hidup. Ini berarti pula kau tidak mungkin berdialog dengan dirimu, dengan keluargamu, apalagi dengan orang-orang sepertimu. Bila terlintas sekali saja di kepalamu keinginan itu dan kau hendak mewujudkannya maka jalan terjal harus kau lalui. Kesungguhan hatimu akan membuahkan hasil dan kau akan sampai ke jalan sunyi. Bila kau merasa perlu untuk mencari banyak kawan, maka berhati-hatilah bila sewaktu-waktu punggungmu tertikam oleh belati yang entah darimana asalnya. Tapi itu tak seharusnya membuatmu takut untuk melanjutkan perjalanan. Kebersamaan akan menjadikan kekuatan nyata yang tak terkalahkan.
Sepanjang jalan sunyi, memang tidaklah penuh dengan hiruk-pikuk. Di jalan sunyi adalah ketenangan dan keyakinan untuk melakukan sesuatu yang kau kehendaki. Ada janji-janji, tapi bukan janji muluk yang menggairahkan. Janji yang dapat kau raih dengan ketetapan hati. Jalan sunyi adalah realitas, bukan impian.
Sepanjang jalan sunyi,suaranya bergema memanggil dengan keagungan. Tidakkah kau dengar? Berhentilah sejenak dan rasakan panggilan lembut itu. Waktu untuk memutuskan adalah waktu yang panjang tergantung dari keinginanmu.
Menuju jalan sunyi tidaklah jauh, ia teramat dekat, dekat sekali, dan lekat di dalam dirimu!
Yogyakarta, 26 Oktober 1993
Komentar
Tulis komentar baru