bumi ini
putarannya pasti
ketika pagi menegaskan sudut matahari
mengukir bayangan mengekor kemanapun langkahku pergi
dan senja menahbiskanku harus mengikuti bayangan di depan
aku tahu, aku tak mungkin menanggalkan kepastian
aku sadari, aku tak kan pernah bisa meninggalkan bayangan
kecuali sesaat saja
ketika kini matahari tepat di atas kepala,
dulu, aku melihat harapan itu diantara lumpur sawah
kini, aku melihat ketakmungkinan bermandikan lumpur menjadi bersih
akan tetapi duli TUAN
biarkanlah aku, kami bermain
tak perlulah kau diam disini ikuti permainan
karena kakimu tak berasal dari lumpur ini
hatimu tak berakar pada tanah ini
cintamu pun tak bersemi di lembah ini
Sampai disini,
Aku yang miskin ini lalu diam dan kembali menekuri jejak leluhur
mereka pun hanya diam dan dengan keheran-heranan memelototi
siapa suruh jadi petani? bukankah kusekolahkan engkau untuk berdasi dan bergincu??
hei, dengarlah
Aku datang terlalu awal, katanya kemudian
waktuku belum tiba.
peristiwa yang dahsyat ini masih terus berjalan, masih terus berkeliaran
dan belum sampai pada telinga orang-orang.
Kilat dan guntur memerlukan waktu,
cahaya bintang-bintang mmerlukan waktu
tindakan, meskipun sudah dilakukan,
masih memerlukan waktu untuk dapat dilihat dan didengar.
tindakan ini masih lebih jauh dari mereka
daripada bintang bintang yang paling jauh
namun mereka sudah melakukannya
UNTUK DIRI MEREKA SENDIRI!!**
** Requiem Aeternam Deo! by Nietzsche
dimana kata Tuhan akan kukurangi satu huruf, yakni "H"
Komentar
KEREN
KEREN
Terima kasih
terima kasih komentarnya mas rio nurhayat
salam jendela sastra
Tulis komentar baru