“Jika rindu itu marabahaya,
mungkin aku adalah orang pertama kali
yang akan celaka.”
Nona, pagi itu ku terngiang sepucuk delusi cinta. Membawa iris mata dan pupil yang kian membesar, meninggalkan lusinan kesaksian rindu dalam getaran cinta
Waktu bersamamu berakhir dengan cepat kala itu. Mengawali segelintir cemas ranggas paling ganas di dadaku, satu hari dalam seumur hidupku
Aku ingin titip perihal pada nyala api di matamu. Bahwa tragedi paling kukuh. Adalah tanggalnya filantropi rindu
Nona, katakan padaku apa yang harus kusampaikan pada langit. Jika delusi filantropi serasa menghakimi. Merajut patahan ironi berbekas mimpi. Dan memahami sudut afeksi begitu teramat sunyi.
Apalagi yang harus kusampaikan pada tanah. Manakala sejatinya resah. Pada dirimu sang pembawa warna, dalam hatiku yang tandus tak ada cinta.
Apalagi yang harus kutitipkan pada angin.
Pabila Rahim desirannya adalah bagian tubuh gigilmu
Dan apalagi yang harus kurahasiakan padamu.
Pabila hakikat bayang lain datang menyerbuku dalam balutan warna kelabu, harus sirna dalam delusi cinta di depan mataku.
Nona, hanya kepadamulah filantropi rindu.
Hendak kupersembahkan dari hati yang tersiksa karenamu.
Sidoarjo 20-11-2019
Komentar
Tulis komentar baru