'satu dua tiga empat ...'
jari telunjukmu mulai berpindah
dari satu bintang ke bintang yang lain
sambil memegang perutmu
yang mulai main opera
opera yang tak punya skenario
kau telentang menghadap langit
di pinggir alun-alun
di sana hiruk pikuk masih berpacu
berpacu kepongahan berpacu kesombongan
tanpa peduli yang berputar dalam benakmu
dari mana makan malam malam ini
karena pagi kau lalui tanpa segelas air
tanpa sesuap sarapan
tengah hari kau telusuri kota dengan kepongahannya
dan malam ini terdampar di pinggir alun-alun
membaringkan lelah
lima enam tujuh delapan
kau terus melompat
dari bintang yang satu ke bintang yang lain
dari kejauhan kau terlihat ingin sesuatu
sementara perut yang tetap kau pegang
semakin perih dengan tuntutannya
tapi kau tak bisa berbuat apa-apa
selain menghitung bintang
pura-pura tenggelam dalam keseriusan hidup
yang segalanya mesti diperhitungkan
kau masih telentang seperti tadi
sedang rinai embun kau biarkan menimpamu
entah sudah berapa lama kau berbaring
namun rasa kantuk tak juga mampu melelapkanmu
karena dalam perutmu
dering harapan yang kau hitung
masih belum selesai
lima puluh satu lima puluh dua
lima puluh tiga lima puluh empat
kau terus menghitung
dan masih saja kau terbaring
dalam derita yang perih
kau nikmati siang
kau nikmati malam
tapi air mata kau pantangkan meleleh
keringat yang mengucur
tak pernah kau basuh
tapi kau bawa sampai lelap
malam ini rasa lapar kau biarkan
menyiksamu menuju mimpi
hanya yang bisa kau lakukan
menghitung bintang di angkasa raya
meski kau tak tau untuk apa kau menghitungnya
sembilan puluh tujuh
sembilan puluh delapan
sembilan puluh Sembilan
seratus
tanganmu terkulai
menimpa tubuhmu
matamu terpejam
mulutmu terkatup
kau telah sampai ke alam mimpi
dengan perut yang belum terisi
Komentar
Tulis komentar baru