Skip to Content

Kumpulan Puisi: Toren Air

Foto Muhammad Ridwan Tri Wibowo

Toren Air

Sesuaikan gaya hidupmu
dengan warna toren air
di rumahmu.

Kausalitas

Karena sering tidur
di kelas saat KBM*.
Seorang siswa bermimpi
menjadi anggota DPR.

*Kegiatan Belajar Mengajar

Kilah

Tidak ada yang lebih percuma
daripada kilah seorang siswa
sebelum celana pensil
dan rambut panjangnya
dipotong guru kesiswaannya.

Penyuka Warna

Temanku bertanya padaku,
”Apa warna kesukaanmu?”
”Warna hijau,” jawabku.
”Aku kasih tahu,
salah satu ciri-ciri penyuka warna hijau,
itu adalah tidak buta warna total,”
celetuknya garing.

Lagi Mikir

Bingung.
Terus mikir:
”mau ngapain?”

Malah nambah bingung.

Sebenernya ini bingung mikir
atau karena mikir jadi bingung.

Auah.
Bingung.

Cahaya Ombak

Ada yang lebih hitam dari langit.
Yaitu langit.
Beruntungnya saja
ombak membuatnya bercahaya.

Kita

Kita adalah cabang sungai
serta kebisuannya yang kerap menjadi
bahasa tubuh koral

Basian Sore

Sebelum hari beranjak malam.
Matahari menyisakan semburat basian
hingga langit melahap sore di ujung petang.

Menggocek Seroja

Di sebuah danau
yang berlumpur
seekor bebeak usang
menggocek zigzag
bunga seroja
yang menjulang.

Lidah Buaya

Lidah buaya tahu
bahwa rambutmu adalah mahkota.
Maka, tak usah heran
kalau ia seolah-olah
rela dipotek
dan dirampas airmatanya
hanya untuk menguatkan
rambutmu.

Tangis Daun

Setelah menangis daun.
Pohon-pohon tersadar
bahwa
selama ini
dirinya hanya
penyerap api
amarah mentari

Hati-Hati di Jalan

                        hati                  hati
                        hati                  hati
                        hati                  hati
hatihatihatihatihati                  hatihatihatihatihati

hatihatihatihatihati                  hatihatihatihatihati
                        hati                  hati
                        hati                  hati
                        hati                  hati

Fulus

                          f
                          u
                      f u l u s
                      u   u
                      l    s
                      u   u
                       s u l u f
                            u   u
                          f    l
                          u   u
                      f u l u s
                          u
                          s

Saya

Saya adalah perempuan
Katanya wajah saya itu natur
Saya jawab saja, ”Masa iya?

—Memangnya wajah saya pemandangan alam—

Mata saya,
Kelopak saya,
Pipi saya,
Senyum saya

Katanya perpaduan antara langit mendung
Dengan dua punggung bukit
Bersama udara sejuk
Dan cahaya matahari mencoba menerobos
Awan Hitam

Saya jawab saja, ”Masa iya?

Merayakan Kemerdekaan

/i/

Pukul 02.00

Di pasir pantai segerombol malaikat asyik berpesta
merayakan ulang tahun kemerdekaan Indonesia.
Ada malaikat berlomba memasukkan paku
ke dalam botol takdir seseorang manusia
dan ada malaikat yang berlomba bermain
bola pantai menggunakan buah kepala.

/ii/

Sehabis subuh
Masih ada satu perlombaan yang tersisa.
Namun, ombak menyerap para mailakat
masuk ke dalam laut.
Tiang-tiang dan tali-tali ditinggalkan begitu saja.

/iii/

Cahaya matahari telah menyinari bumi
Langit sudah terang. Pantai mulai ramai manusia.
Aku menyaksikan beberapa manusia
berinisiatif melakukan perayaan kemerdekaan Indonesia.

Mereka melanjutkan satu perlombaan
yang belum sempat dilombakan oleh para malaikat.

Dengan mulut terbuka;
aku melihat manusia-manusia itu berlomba
memakan rezeki manusia lainnya
yang sudah diikat oleh tali rapiah.

Halte Keranda Biru

untuk mayat-mayat dini hari
yang ingin pulang ke rumah yang sejati

Dini hari sejumblah mayat jemu
menunggu keranda biru.

Di halte keranda biru.

jalan alam baka penuh riuh
dengan truk-truk yang berisi
doa-doa permohonan ampun
dari keluarga yang ditinggal pergi.

Lampu lalu-lintas silih berganti
--doa diterima, doa tidak diterima.
Hijau-merah, merah-hijau.

Baru berapa jam kemudian
sejumlah mayat mendapatkan
jatah keranda yang membawanya
pulang ke rumah yang sejati.

”Bagi orang yang sudah mati
menunggu lama keranda
adalah hal paling menjengkelkan,”
celetuk mayat lelaki yang berbadan ceking.

Di dalam keranda
sekumpulan mayat
menyebarkan nyiur amis
dari peluh badannya.

Ada banyak mereka yang tertidur,
ada yang hanya menatap kosong,
ada yang bermain handphone
karena masih penasaran
kabar kerabat dan sahabatnya di dunia.

Bukan Sekedar tentang Hujan

/i/

Keberanian: bukanlah;

seorang anak kecil
yang melawan orang tuanya
demi bisa bemain hujan.

Tapi,

keberanian adalah
cermin yang menyorotnya;

entah

yang retak di kamarnya
atau basah di luar rumahnya.

/ii/

Keberanian: bukanlah:

seorang lelaki yang rela menerabas hujan
agar pacarnya bisa pulang tepat waktu.

Tapi,

keberanian tumbuh di dalam hatinya;
ketika dulu ia pernah mengutarakan cintanya.

Titik Manis

Dunia telah temukan cara melahirkan
tanpa bercinta.
Tapi, aku menemukan wanita
lahir tanpa orang tua.

Aku melihatnya keluar dari novel Kahlil Gibran.
Ia sesuka hati; keluar-masuk novel tersebut
dengan sayap-sayap patahnya.

Meskipun terlihat sinis
aku selalu takjub melihat basah matanya.
Apalagi, setelah remang kamarku
membuatku bisa melihat titik manis
di dalam dadanya.

Hingga suatu malam ia berkata,
"Sudah waktunya kamu menutup novel ini."
Dan, akhirnya ia pergi membawa novel tersebut
dengan memeluk erat ke dalam dadanya.

Tugas Angin, 2

Aku merasakan angin segar masuk dari jendela kamarku yang terbuka.
Dan sebelum angin itu pergi jauh: aku mencoba memanggilnya.
Angin yang sudah siap melaksanakan tugas berikutnya
kembali meluncur ke arah sumber suara itu berada.

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara angin mendesah,
"Manusia memang selalu merepotkan saja." ujarnya Ketus.
Kelengangan ini memberikan kesempatan untuk berdialog dengan angin.

Mengapa belakangan ini, banyak angin yang berkunjung ke kamarku?

Angin yang mendengar isi hatiku seketika tertawa. Waktu ia tertawa,
aku melihat semilir angin sejuk berputar-putar di area kamarku.

"Sebenarnya ada banyak orang yang senantiasa merindukanmu.
Hanya saja kau terlalu sering berada di keramaian kota,
sampai-sampai angin susah mencarimu dan telat menyampaikan rindu itu.
Ketika tiba padamu, rindu itu telah tercampur polusi, suara klakson,
dan dengus nafas frustasi pengendara yang menatap macet di hadapannya.
Hanya saja kau tidak bisa memakluminya."

Entah mengapa aku menjadi tersipu malu mendengar gurauan itu.
Dan, untuk kedua kalinya angin tertawa
setelah merasa tugas yang dikerjakannya maksimal.

Celiana

/i/

Ibumu memasang seratus kembang api dalam kamarnya. Lalu, ia meminta ayahmu membakarnya. Ayahmu sendiri membakarnya dengan korek gas colongan dari tongkrongannya.

Ketika ayahmu melihat ibumu begitu girang. Ia membuka dua kotak petasan disko dan membakarnya sekaligus—dengan  tangan seribu.

Ruang menjadi kedap-kedip berwarna. Ayah dan ibumu pun, akhirnya berjoget pargoy hingga tak lama kemudian petasan meledak.

Terdengar dari arah pintu teman-temannya berteriak, ”Selamat hari berojol, Celiana!”

Tiba-tiba suara tangis bayi perempuan pun menggelegar mengimbangi musik DJ TikTok.

/ii/

Tujuh belas tahun lagi kamu tumbuh menjadi bunga.
Ayahmu mulai berkhayal.
Lelaki seperti apa nanti yang mampu memetikmu
dan menyelipkan tangkaimu
ke sela-sela kupingnya.

Lalu kamu membisikkan lembut dua kata
mantra kepadanya,

”Aku mencintaimu.”

Muhammad Ridwan Tri Wibowo, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2022

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler