Saat membagi sore yang berkabung,
tidak ada yang memprediksi,
selain hujan—yang jatuh menangisi bumi,
bukan pertolongan—tetapi ritual kegilaan.
Mulai dari tanah yang dilukai,
pohon-pohon meraung tangis,
burung-burung terkapar membusuk di ranting kering,
ikan-ikan terapung dengan bebas,
lebih lagi—kematian yang menyedihkan.
Mereka yang bertahan tidak tahu,
tempat mana yang diatur untuk tidur
seperti denyut nadi—pasang surut—langit malam
yang rumahnya selalu menghidupkan,
atau seperti kerang yang terdampar di pantai.
Oh dewa—kapan tiba waktunya,
dengan wajah pucat—bertabur noda-noda dosa,
merunduk ke batu—memohon ke langit,
Tuhanku—aku ingin mendengar percapakan-percakapan,
yang hening dan ramai seperti Taman Firdaus.
Atambua, 01 Februari 2022
Komentar
Tulis komentar baru