Di tengah sekumpulan menghela,
Tubuh kerontang arang terbakar.
‘tak lagi mata dapat membeliak,
‘tak lagi mulut dapat mengecap,
‘tak lagi fikiran dapat berhayal,
Detik-detik penuh jeritan menggelontang
Tercekik lehernya oleh zaman
Mengeruak suara parah parau
Terselip di setiap injakan kaki penguasa.
Kala tangis belum mereda,
Kala dahaga membanjiri kota,
Kala jerit hati penuh duka,
Kala darah mereka menyatu bersama tanah.
Ku buka Ranah jiwa dalam relung sanubari yang terkoyak,
Ku terkungkung dalam kelopak mata yang tak seberapa lebarnya,
jiwa ini jatuh terluka berdarah dan bernanah,
Di tengah bukit yang selalu terbangun,
Di lereng Ciremai yang agung,
Lembahnya itu rumahmu,
Gugusan setiap gagasan aslimu melaju....
Rindu seperti butiran hujan yang berkejaran di jendala bis sore itu. Tak habis-habisnya kupandangi, hingga reda memeluknya.
Bahkan daun yang jatuh sore tadi di taman kita, Ia mengetahuinya....
Apa lagi hanya sekedar hatimu, yang jatuh malam ini. Tentu Ia lebih mengetahui...
Komentar Terbaru