BEDA PUISI DENGAN KARYA SASTRA LAINNYA ADALAH PADA BENTUK
1960 an saya beberapa kali tamat membaca Gema Tanah Air/H B Yassin. Buku itu tebalnya 2 jari dengan jilid keras. Ada banyak nama penyair yang diangkat nama dan beberapa karyanya ke dalam buku itu.
60 tahun berlalu. Saya sudah banyak lupa namuan ada 1 judul yang masih saya ingat, yaitu Paradiso Purgatorio Inferno. Entah siapa pengarangnya. Lalu ada 1 nama yang masih saya ingat yaitu Buyung Saleh Puradisastra. Buyung Saleh Puradisastra menggubah puisi tentang perjalanannya ke alam sana dan ditolak.
Dalam buku itu H B Yassin sudah mencatat “bebas” sebagai bentuk puisi. Ini terlihat dari adanya karya-karya yang tidak lagi memakai patokan-patokan yang biasa dipakai oleh para pujangga lama.
Menggubah puisi dengan bentuk terikat memang membosankan. Banyak aturan. Sementara dalam putaran dunia rasa ingin bebas itu ada dan selalu ada. Para penyair yang ingin bebas akhirnya menjadi suatu kaum dengan karya-karya tanpa ikatan bentuk.
Dengan bentuk bebas atau bentuk terikat puisi adalah puisi. Ada keindahan rasanya. Keindahan rasanya bukan pada bentuk tapi pada kimiawi rasa yang muncul ketika penikmatnya berinteraksi dengan puisi.
Dunia berputar zaman beredar. Karena senang menulis maka saya tetap bergelut dengan usaha untuk menggubah puisi. Jika memang diakui keberadaan kelompok “seni untuk seni” dan “seni untuk seniman” maka saya berada pada kelompok pertama, yaitu “seni untuk seni”.
Lama saya menjadi penggemar bentuk bebas.Tapi lama kelamaan saya merasa hambar. Saya mengubah karya saya dari bentuk bebas ke bentuk terikat. Dari sekian banyak bentuk yang ada saya memilih bentuk soneta. Bentuk ini saya sukai karena ada nama William Shakespeare yang juga menggubah puisi dengan bentuk soneta.
Selain WS ada juga pujangga Indonesia yang menulis dengan bentuk soneta.
(BERSAMBUNG)
Komentar
Tulis komentar baru