Disisi pintu, ketika hujan turun
Aku melihat matamu
Seperti puisi yang belum terselesaikan
Ada riakan hitam yang menggelantung
Menjawab tanya yang tersamar
Dalam renta malam yang mulai retak.
Tiada seteru, embun bersenyawa pancuran udara.
Menabur benih-benih hari baru.
Tepi-tepi malam semakin terkikis,
Berlekuk-lekuk kontur bukit dan lembah
berliku-liku alur air sungai mengalir
turun-naik roda kehidupan berjalan
Bergelombang ombak cobaan dan rintangan
goresan langit
garis tangan
suratan nasib
kulihat samar-samar
bagai kerlip lampu suar dikegelapan
Ba’da subuh di suatu warung kopi lalu Semerbak wanginya anyir ikan berbaur.
“Ini susu nya, pak lurah…”
ku tulis, atas rasa cinta dan prihatin kala sakitnya tanah Bangka Belitung karena penambangan timah liar oleh orang - orang tak bertanggung jawab...
Ketika kuntum cinta merekah,
Air telaga hati mengering.
Menguap keluar diri,
Mengembun menjadi kegalauan..
Tercipta puisi karena cinta dan keindahan
menggores pena karena arahan hatimu
dalam gulungan ombak keduanya menyatu
Bulat bentuk tubuh bola waktu
jatuh menggelinding kala purnama bersinar
bergemuruh suaranya ketika menggelinding
bagai gemuruh ombak bergulung ke pantai
Komentar Terbaru