BU HALIMAH
Cerita Pendek Wahyu Barata P.
Sewaktu di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dulu, di daerah kami yang terpencil, guru yang membimbing kami seorang ibu yang sudah tua. Namanya Bu Halimah. Dia begitu baik hati dan penyantun.
Ketika itu, setiap pagi; dari batas terluar tempat dia berpijak; dari hulu kami turuni bukit; melintasi lembah; menyebrangi bentangan aliran sungai yang deras dan dalam; menapaki jalan setapak, tebing curam, jalur terjal dan berliku; menemuinya dengan tubuh berpeluh-peluh, telapak kaki pecah-pecah; penuh harap untuk menyerap dan memuliakan ilmu yang disampaikannya kepada kami; sejak dari dasar-dasar membaca, menulis, dan berhitung.
Hingga ia mengajari kami memaknai Kitab Suci Al Quran, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, Bahasa Inggris, dan Ilmu Pengetahuan Sosial; dengan sabar, penuh belas kasih, tak kenal lelah dan keluh.
Meski hanya satu buku paket digunakan tiga sampai lima murid, ia sering membelikannya untuk kami, dari gaji hasil jerih payah dan keringatnya yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan sepeda tua ditempuhnya panjang liku lintasan waktu, dari hari ke hari, untuk membuka pintu alam merdeka, membimbing, menegakkan semua mata pelajaran dalam pikiran dan jiwa kami.
Dengan pakaian ilmu dan takwa dia selalu begitu santun, begitu bijaksana, begitu mulia. Diapun selalu tabah, setia menemani kami meski kenyataan yang dihadapinya getir menikam kalbu.
…atap asbes, dinding bilik dan kayu, alas tanah, bangku-bangku, dan meja-meja tua, di sekolah kami; mesin tik usang satu-satunya yang juga dibelinya dari upah mengajar per bulan, sangat berarti dalam pengabdiannya. Hingga tugas administrasi yang harus dituntaskannya; laporan yang tak jarang terpaksa ditulis tangan; dan dana-dana pendidikan yang selalu datang tak tak tepat waktu, bahkan tak ada kabar sama sekali; semuanya bersaksi menghormati dia yang rela berjuang mendidik dan mengangkat martabat kami murid-muridnya.
Setelah Bu Halimah pensiun, sekian lama kucari keberadaannya, sekadar untuk menyampaikan bingkisan Ramadhan sebagai tanda terima kasih karena dia telah berjasa mendidik kami dengan baik. Dan untuk unjuk diri bahwa aku salah seorang anak didiknya telah berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi di universitas negri terkemuka di Jakarta. Sekarang aku bekerja di salah satu bank swasta nasional terbesar di Indonesia, juga di Jakarta. Hingga ada orang yang menunjukkan tempat tinggal Ibu Guru yang baik hati dan bersahaja itu.
Kumandang adzan Maghrib dari Masjid Ar Rahman mengalun menggeletarkan sukmaku. Bu Halimah pergi berwudhu. Setelah mengenakan mukena, dia masuk ke masjid untuk menunaikan shalat wajib berjamaah.
Seusai shalat berjamaah Bu Halimah bergabung dengan lima rekannya yang juga sudah renta. Mereka mengundangku berbuka puasa di panti tempat mereka dirawat (nama dan tempatnya kurahasiakan).
Di meja makan terhidang semangkuk besar kolak pisang, ubi, dan kolang-kaling, untuk tajil. Untuk santapan makan malamnya sudah disiapkan sebakul nasi putih yang masih mengepul, goreng tempe dan tahu, goreng ikan mas, sayur daun singkong, dan mie kuah instant. Semua itu dimasak oleh Bu Halimah, Bu Sumiati, dan penghuni panti lainnya.
Pada pertengahan bulan Ramadhan itu, aku, Bu Halimah, dan rekan-rekannya, termasuk lima rekan mereka yang beragama Katholik dan Kristen Protestan melahap menu buka puasa itu.
”Sebenarnya saya tidak puasa, sedang sakit maag akut. Penyakit bawaan sejak di Pulau Buru.” Kata Bu Halimah terbata-bata. Padahal nenek yang lahir tanggal 15 Juli 1929, di Solo, Jawa Tengah itu, selalu berpuasa penuh pada bulan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya.
Selesai makan, aku ngobrol santai dengan mereka, “Rumah ini kok seperti…maaf…seperti panti…Bu?” tanyaku kepada Bu Halimah.
“Rumah ini kan tempat penampungan untuk mantan aktivis Gerwani, nak.” jawab Bu Halimah tanpa tedeng aling-aling.
Aku terhenyak, seketika terkesima. Wajahku terasa panas. Degup jantungku terasa tak menentu.
“Gerwani? Gerakan Wanita Indonesianya PKI? Semua yang tinggal di sini, Gerwani?” tanyaku lagi.
“Iya. Kamu kenapa? Kok terkejut?” sela Bu Agnes.
“Gak apa-apa Bu.” kilahku sambil meredam rasa takut.
“Ibu tahu. Kamu pasti gak percaya kalau kami Gerwani. Sejarah mencatat Gerwani adalah organisasi wanita Partai Komunis Indonesia yang dicap atheis, biadab, dan tak bermoral.” desak Bu Halimah.
Aku terpukul mendegar jawaban Bu Halimah.Tak bisa berkata-kata lagi. Mereka memandangku dengan tatapan mata menghakimi. Lalu Bu Sumiati menambahkan,”Gerwani dituduh sebagai salah satu antek PKI yang pada 30 September 1965 dinyatakan memberontak, menculik, dan membunuh enam jendral dan seorang perwira pertama Angkatan Darat.”
Kepalaku mulai terasa berputar. Kenyataan yang kusaksikan di depan mata membuatku pusing. Bukankah sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga sekarang Partai Komunis Indonesia dicap sebagai kelompok yang tidak percaya adanya Tuhan, atheis? Tetapi melihat Bu Halimah dan rekan-rekannya yang melaksanakan shalat, sulit bagiku untuk memahami kalau antek-antek PKI seperti mereka dikatakan sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan.
Menurut Bu Halimah, komunis hanya suatu sistem, dan agama adalah hak setiap orang dan tak ada kaitannya dengan komunis.
“Saudara saya semuanya muslim. Bapak dan Ibu saya Haji. Karena ikut organisasi Pemuda Rakyat dan Gerwani kami dianggap komunis.” Kata Bu Halimah.
Tak ada alasan yang bisa diterima, semua keluarganya ditangkap dan disiksa. Hingga Bu Halimah ditahan 7 tahun lamanya di Pulau Buru.
“Tidak benar komunis itu tidak beragama!” sergah Bu Agnes.
“Saya dan keluarga mendapat pendidikan agama Islam dari kecil. Mulai dari membaca Al Quran, shalat wajib lima waktu, puasa wajib di bulan Ramadhan, membayar zakat, shalat sunat Dhuha, Witir, Tahajud, dan Tarawih, tak pernah saya tinggalkan.” ujar Bu Halimah yang di masa mudanya berprofesi sebagai guru Sekolah Menengah Atas.
Bu Sri dan Bu Vero silih berganti menuturkan, “Tudingan kepada kami selama ini sangat tidak adil. Dan sekarang kami lebih memilih tinggal di panti jompo ini daripada tinggal bersama keluarga. Kami tidak ingin mengganggu anak-anak kami yang sudah berkeluarga. Lagi pula, biar bisa bebas memperjuangkan keadilan untuk kami semuanya.”
Lalu Bu Halimah memaparkan pengalaman pahitnya setelah terjadinya Gerakan 30 September pada tahun 1965 :
Pada tanggal 2 Oktober 1965 suasana kota Jakarta sangat mencekam. Dua hari setelah pembunuhan terhadap enam jendral dan seorang perwira pertama Angkatan Darat, PKI dituduh bertanggung jawab dan para aktivisnya menjadi target penangkapan.
Suami Bu Halimah yang bekerja sebagai wartawan tak sempat istirahat. Ia mengajak Bu Halimah yang sedang hamil dan dua putrinya yang berusia di bawah 10 tahun meninggalkan rumah.
Berbekal koper pakaian mereka mendatangi rumah saudara, mencari tempat mengungsi. Tak ada yang berani menerima mereka. Teman suami Bu Halimah di Kebayoran berkenan menerima mereka. Bu Halimah dan dua putrinya dititipkan di situ,, sedangkan suaminya segera pergi lagi.
Mereka tak lama di satu rumah, harus berpindah-pindah. Kadang-kadang tinggal di rumah teman suami Bu Halimah, sesekali tinggal di kediaman saudara yang berkenan menerima mereka. Menginap paling lama tiga hari karena sangat besar risikonya.
Suatu saat mereka menetap di rumah teman Bu Halimah di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Pada akhir tahun 1965, dua kali suaminya datang menjenguk, sekali siang, sekali tengah malam. Ia tidak pernah tahu suaminya tinggal dan bersembunyi di mana. Dan sekian waktu tak pernah tahu kabar suaminya. Mereka tak pernah bertemu lagi.
Selama dalam pelarian, teman dan saudara-saudara suami Bu Halimah ada yang baik hati berkenan meminjamkan mobilnya. Tetapi akhirnya tentara menemukan mereka di kawasan Gunung Sahari pada pertengahan tahun 1966, dan menangkap Bu Halimah bersama dua putrinya dan putra bungsunya yang baru lahir, mobilnya di sita.
Bu Halimah ditahan di penjara Bukit Duri, Jakarta. Putra bungsunya diasuh dalam penjara sampai usia tiga tahun. Kemudian tiga anaknya itu dititipkan ke paman mereka di Jatisrono, Wonogiri, Jawa Tengah.
Ketika Bu Halimah sudah bebas dan tinggal di rumah kakaknya di Jatisrono, pada hari Minggu di bulan Juni tahun 1969, saat terdengar kumandang adzan Maghrib, kedua putrinya masih bermain di halaman. 15 orang tentara ditemani pejabat kabupaten dari beberapa jip militer yang menderu memasuki halaman, menyerbu masuk. Mereka menggeledah seisi rumah kakak Bu Halimah. Tempat tidur, kursi, meja, lemari, dan barang-barang lainnya dilemparkan ke halaman. Hingga akhirnya mereka berhenti.
“Pinjam ibumu sebentar ya!” kata seorang tentara kepada putri sulung Bu Halimah yang saat itu berusia sebelas tahun.
Bu Halimah dibawa ke kantor balai kota Solo untuk diinterogasi lalu dijebloskan ke penjara Komando Distrik Militer, lalu dipindahkan ke rumah tahanan perempuan di Bulu, Semarang. Ia dituduh mengikuti rapat politik PKI. Padhal waktu itu ia menghadiri pesta pernikahan sepupunya di Solo, beberapa hari sebelum aparat menangkapnya di rumah kakaknya. Sehingga kakak dan saudara-saudaranya panik. Kakaknya mencoba menebusnya dengan sejumlah uang tetapi sia-sia, Bu Halimah tetap dihukum, namun tak pernah sekalipun dipukul atau disiksa. Selama ditahan di Jakarta dan di Semarang anak-anaknya jarang sekali bisa menjenguk. Akhirnya ia dikirim ke Pulau Buru.
Sebelum reformasi 1998, anak-anak Bu Halimah tidak berani membeberkan latar belakang keluarga mereka. Tak sekalipun mereka menggunakan nama bapaknya dalam administrasi kependudukan. Mereka memakai nama paman yang menjadi wali mereka.
Bu Halimah bebas dari Pulau Buru pada tahun 1980. Ia bersatu kembali dengan putra-putrinya. Putri sulungnya menjadi guru SMA, putrid keduanya seorang pengacara, dan putra bungsunya menjadi dosen di universitas swasta terkemuka, semuanya di Jakarta. Tetapi ia lebih memilih tingggal di panti bersama rekan-rekannya. Anak dan cucunya selalu menjenguknya secara berkala.
Rambutnya yang sudah memutih, perangainya yang ramah dan ceria, tidak menunjukkan kepedihan dari peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Bu Halimah tampak tegar di usia senjanya.
Setelah mengakrabi para mantan aktivis Gerwani saat berbuka puasa bersama mereka, segera kuserahkan bingkisan Ramadhan itu kepada Bu Halimah, lalu pamit pulang…Di jalanan malam kupacu mobilku menyusuri lintasan sepi, dengan hati yang memendam beribu tanya.
Komentar
Tulis komentar baru