Pengantar koran pagi ini belum juga datang. Biasanya pada jam-jam segini teriakan koran-koran yang khas dari pengantar koran itu pasti sudah terdengar. Juga bunyi reyot sepeda pancalnya yang sudah karatan itu.
Matahari sudah tinggi. Sudah tak lagi mengintip malu-malu seperti beberapa waktu tadi. Jalanan juga sudah pada ramai oleh anak-anak sekolah berdandan rapi, pergi ke sekolah. Para pekerja juga sudah mulai kelihatan meramaikan pagi. Jalanan sudah tak lagi sunyi. Hanya saja pengantar koran itu kenapa pagi ini belum juga meuncul batang hidungnya.
Sudah tak terkirakan lagi gelisah hatinya. Menunggu. Jangan-jangan dia sakit ? Hatinya yang masygul itu membuat pikirannya mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Atau sudah berhenti ? Dan ribuan atau dan atau kemudian muncul, membuat gelisahnya bertambah-tambah saja. Tak biasanya sesiang ini belum muncul, desahnya terus menerus sepanjang detik pagi ini.
Sudah dari pukul 5 tadi dia berdiri mematung di pinggir warung kopi itu. Berjam-jam, kakinya sampai pegal. Sesekali duduk, murung matanya menunggu. Tidak ingin berlama-lama duduk melamun, segera saja dia sudah berdiri, dengan berdiri pandangan matanya akan jauh lebih awas, jadi dia bisa segera tahu pengantar koran itu datang. Ataukah kesiangan ? Aduh kalau sampai benar aku kesiangan datang ke sini, akan kuhajar Inong yang pagi-pagi tadi memintaku pergi kepasar, sampai aku telat menunggu di sini.
Warung kopi itu mulai menggeliat bangun. Pemiliknya baru saja datang. Terpal dan tutup kayu sedikit demi sedikit dicampakan di belakang. Jajanan di hidangkan di meja. Sambil mengelap meja, kursi pemilik warung itu memandang heran ke arah lelaki berdiri yang tak acuh terhadapnya.
“Nungguin apa Bang ?” akhirnya tak tahan juga mulutnya untuk mengetahui. Pikirannya curiga. Zaman serunyam ini banyak perbuatan jahat yang tak diduga bisa terjadi begitu saja. Bisa saja lelaki itu melihat-lihat jalan sambil mencari mangsa. Atau malah mencuri kesempatan menggondol laci penyimpanan uang hasil warungnya. Segera disembunyikan laci tempat uang itu berada, dipindahkan di bawah meja yang tak kentara. Pakaian dan wajah lelaki itu tidak mencerminkan seorang terpelajar, tidak mungkin dia orang baik-baik. Seperti jongos saja tampang dan tindak-tanduknya.
Lelaki itu tak acuh. Tetap berdiri mematung. Telinganya menangkap tanya. Namun dia tak mengira tanya itu untuknya.
Pemilik warung cemberut. Kesal wajahnya. Makin menjadi-jadi saja curiganya. Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu. Ah peduli setan, asal dia tidak berbuat kurang ajar aku juga tak akan peduli padanya. Bodoh amat tadi aku bertanya macam itu pula.
Lelaki penunggu pengantar koran itu tak sadar sedari tadi dirinya diperhatikan. Sebab perhatiannya hanya tertuju pada satu titik di perempatan jalan tak jauh dari tempatnya berdiri. Dari tikungan sebelah utara itu akan muncul anak kecil lusuh, bersepeda pancal, dengan koran-koran yang terikat di goncengan sepeda. Di stang depan juga terselip banyak koran untuk dilemparkan. Sudah bertahun-tahun seperti itu. Sudah berbulan-bulan dia menunggu di bawah pohon rindang di samping warung kopi ini setiap jam 5 pagi hari minggu. Ya, hanya ketika minggu pagi saja.
Biasanya pukul 5 lebih sedikit, selambat-lambatnya pukul setengah 6, pengantar koran itu akan lewat situ, melemparkan koran di rumah besar belakang lelaki penunggu itu berdiri. Dan sebelum pengantar koran itu melemparkan korannya, lelaki penunggu itu akan memintanya baik-baik untuk memberikan koran itu padanya. Dia akan membuka beberapa halaman lalu menutupnya dan menggantikan tugas pengantar koran untuk menyampaikan koran itu kedalam rumah mewah dibelakangnya, melewati pagar tinggi berwarna hitam itu. Begitu rutinitasnya setiap minggu pagi. Dan minggu pagi ini belum dilakukannya.
****
Entah sudah berapa ratus kali dia menulis. Cerita-ceritanya tak pernah berhenti. Dengan variasi cerita yang beragam namun selalu saja bertema satu, penantian dan rindu. Sampai lelah tangannya menulis. Kadang Ibunya hanya heran, melihatnya sampai tengah malam menulis diatas kertas dibawah petromax yang tak begitu terang itu. Selalu begitu setiap malam, dan setiap jumat pagi, dimasukannya semua kertas-kertas bertulis huruf-huruf indah itu didalam amplol coklat. Diberikan sebuah alamat diatasnya, lalu dia bergegas terburu-buru mengantarkannya ke kantor Pos. Dikirimkan.
“ Untuk siapa kau menulis nak ?” Ibunya yang tak pandai membaca itu memergokinya masih menulis hingga dini hari. Dilihatnya kertas-kertas berserakan diatas meja. Sudah ada beberapa tumpuk diatasnya. Melihat anaknya yang begitu rajin menulis beberapa bulan ini, membuatnya penasaran. Apakah ada wanita yang telah menjerat hati anaknya ? sampai membuat anaknya menulis berlembar-lembar seperti ini.
Dikiranya itu surat, yang dituliskan anaknya itu. Dia tak pandai membaca, jadi hanya bisa mengira saja. Ternyata mengamati lebih dekat, dia tahu itu bukan surat. Mesti tak pandai membaca, dia pandai melihat. Bentuk surat tak begini adanya.
“Bukan untuk siapa-siapa mak”. Lelaki itu menjawab ringan, lalu melanjutkan menulis lagi. Dia agak terkejut oleh pergokan ibunya tadi. “Untukku, iya, ini hanya untukku.”
“Dan apa yang kau tulis ? emak tahu ini bukan surat,” tiba-tiba pikiran wanita tua ini mengembara di masa lalunya. Mengingat lelaki yang dicintainya. Lelaki yang memberikannya seorang anak lelaki itu. Lelaki yang entah menghilang kemana. Kabar mengatakan penguasa menculiknya.
“Sebuah cerita mak, ini memang bukan surat, hanya sebuah cerita. cerpen mak, begitu orang-orang menyebutnya, iya ini sebuah cerpen.” Lelaki itu menjawab serampangan.
Ibu tua itu mengendurkan pandangan matanya. Terpaku pada apa yang ditulis anaknya diatas kertas. Pandangannya benar-benar menerawang jauh. Terpaku, air mata tiba-tiba jatuh di pelupuk matanya. Diusapnya dengan bajunya yang kusut itu. Tak ingin anaknya tahu. Entah bagaimana ia harus menjelaskan arti air mata itu.
****
Menunggu beberapa bulan. Dia, tahu, lelaki itu tak akan pernah datang. Berarti kabar itu benar. Sementara kandunganya sudah semakin membesar. Lelaki itu berjanji tiga bulan dia akan pergi, selepas itu, bila suasana sudah redam kembali, dia akan pulang. Bila penguasa sudah tidak mencari-cari seniman-seniman lagi, dia akan kembali. Hanya itu yang dijanjikan ketika itu.
“Aku hamil.” Kata-katanya membuat mata lelaki itu berbinar, awalnya heran, lalu berubah jadi rasa syukur yang tak terkira adanya.
“Anak ini harus jadi pengarang, pengarang yang baik, nanti aku yakin keadaan akan lebih jinak lagi padanya daripadaku.” Lelaki itu mencium kening wanita cantik itu dengan lembut. “Aku harus pergi, sebelum aku ditemukan dan menyusul nasib seperti karyaku, dibakar.”
Dia tak mengerti. Dia hanya gadis desa yang tiba-tiba jatuh hati pada lelaki pelarian itu. Dia tak tahu masa lalu lelaki itu. Dia hanya jatuh hati.
****
Wanita itu muncul di televisi. Mendampingi suaminya. Pembesar negeri yang tersohor. Lelaki itu tak sengaja memelototi televisi yang menyala sendirian. Rumah majikannya lengang ketika itu. Memberanikan diri, melihat televisi lebih dekat. Wajah wanita berbalut gaun indah itu mirip sekali. Apakah itu Sri ? tanyanya dalam hati.
Sri ? wanita tetangga desa yang telah melumatkan hatinya. Tidak hanya dengan cintanya, tapi juga penghinaan keluarganya yang pahit serasa racun itu. Ibunya mencampakan rencana perkawinannya begitu saja, ada yang lebih baik daripada kamu -yang tak jelas asal usul dan bapakmu itu-, kau sungguh anak desa yang tak pantas mendapatkan gadis kecilku.
Diamatinya lelaki yang jadi suaminya itu. Wajah itu, yang poster-posternya menghiasi setiap titik di kota barunya itu. Calon walikota.
Hahahaha, dia tertawa sedemikian gilanya. Seperti setan telah merasuki otak dan hatinya, membakar dendam yang tersimpan. Sungguh dunia itu sempit adanya, Sri. Jalan tuhan akan mempertemukan kita, lagi.
Ditelusuri jalanan kota barunya itu. Kota tempat ia merantau, mencari pekerjaan, dan membawa kehidupan baru baginya dan ibunya. Dicarinya rumah mewah, sesuai alamat yang didapatnya dari omongan-omongan para pembantu di rumah majikannya itu.
Ditulisnya sebuah surat panjang, tentang penantian dan rindu. Disematkan didalamnya alamat dan namanya.
Orang-orang berpakaian hitam-hitam itu, bertubuh gegap, berkacamata hitam, kadang beberapa membawa senjata. Berjaga 24 jam di pelataran gerbang rumah mewah itu. Tak sejengkalpun membiarkan lelaki itu melewati pagar rumah mewah itu. Meludahinya seakan sampah kecil yang tak berharga sedikitpun.
“Aku ingin bertemu Sri, dia bekas calon istriku.” Tampangnya yang kotor membuat orang-orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa cengingisan. Sejengkal dia melangkah, tubuhnya roboh, wajahnya hitam lebam kena bogem orang berpakaian hitam-hitam itu.
Dia melangkah pulang, gontai. Suratnya robek-robek dimakan tangan ganas orang-orang berpakaian hitam-hitam itu.
Puluhan kali dicobanya, puluhan lebam hitam diwajahnya bertambah. Dia tak akan pernah menjumpau Srinya lagi. Suratnya lewat pos pun pasti tenggelam di tangan sensor orang-orang berpakaian hitam-hitam itu.
Kalau saja dia tak tahu, saban pagi orang-orang berpakaian hitam-hitam itu mengantarkan sebuah koran kedalam rumah mewah itu, dia tak akan menghabiskan waktunya menulis seharian. Mungkin lewat koran aku bisa berbicara kepadanya, kepada Sri.
****
Menulis memang bukan keahliannya. Berapa ratus cerita ia layangkan ke alamat koran. Setiap minggu ia memandang halaman pemuat cerita-cerita pendek itu. Tak satupun dia membaca namanya ada di sana.
Berlembar-lembar kertas yang ia beli dari hasil jerih payahnya menjadi tukang kebun di rumah mewah dibelakang ia berdiri mematung menunggu, berjam-jam ia menulis tak pernah mau berhenti, sampai ceritanya termuat di koran minggu pagi.
Menulis memang bukan barang mudah. Walaupun siapa saja bisa melakukannya, tapi tetap saja menulis bukan barang mudah. Lelaki itu hampir tenggelam oleh keputusasaannya. Kalau saja penantian dan rindunya tidak lebih besar dari rasa putus asanya, dia pasti sudah merelakan takdir itu dijalaninya.
Makin hari, makin dia tak peduli, hanya ini, hanya ini dia bisa berbicara lugas kepada Sri. Lewat tokoh-tokoh, jalan cerita, latar dia berbicara, sampaikan rindu dan penantian setia yang begitu lama ia lakukan. Dia harus belajar bersabar, sedikit lagi.
Jam sudah menunjukan pukul 8 pagi, kalau sampai ia terlambat mengurus kebun di rumah megah dibelakang dia berdiri menanti itu, omelan tak enak dihati pasti ia dapati. Belum juga pengantar tukang koran kecil itu datang. Sampai panas kepalanya dipanggang matahari yang semakin meninggi.
-Koran-koran. Suara khas mengucapkan kata-kata itu membuat telinganya bergerak. Seperti kucing melihat tikus bergaya didepannya, rasa lapar lelaki itu akan penantiannya bergejokal. Semoga kolom hari ini memuat ceritanya. Matanya lapar melihat-lihat, memandang habis segala penjuru perempatan itu. Tertuju pada satu titik sumber suara. Tikungan sebelah utara itu.
Sambil bergaya kecil, menggowes sepeda karatan itu, pengantar koran melihat lelaki itu menunggunya tak sabar. Selalu saja, setiap minggu pagi. Lelaki itu akan mengoyak halaman cerita di koran itu seperti orang kelaparan mengoyak makanan saja. Dia akan melongo memandang mata yang mencari liar. Lalu sedetik kemudian, matanya akan sayu, lalu mencoba membolak-balik halaman lain dengan paksa, seakan tak terima, matanya berkata, mungkin dihalaman lain ada. Sudah berbulan-bulan lelaki itu berbuat demikian.
Lambat berjalan. Lelaki itu tak sabar, tubuhnya sempoyongkan menjemput pengantar koran itu. Matanya seperti dibutakan hanya dengan satu titik itu saja, si pengantar koran. Kepalanya berdenyut-denyut tak karuan. Ayo cepat, lekas bawa kemari koran itu bocah. Dia berlari, menerobos jalan.
Dimatanya, bocah itu seperti memperingatkan. Bibir bocah pengantar koran itu terbuka lebar, seperti mau berteriak kencang. Diotaknya hanya ada koran, koran, koran. Sampai sebuah mobil kencang itu mematahkan lehernya. Waktu berjalan lambat.
Tubuh-tubuh manusia tiba-tiba berkerumun. Ramai. Darah tercecer dimana-mana, mulut-mulut pada mengatup terpana, kejam. Hancur. Tersisa matanya memandang bocah pengantar koran yang ikut berkerumun itu.
****
Sri membuka koran. Minggu pagi seperti ini biasanya sang suami tak akan merecokinya dengan acara-acara kampanye dan segala macam. Wanita terpandang itu duduk manis di meja makan. Usai sarapan. Pembantu-pembantunya membereskan meja. Dijauhkan koran dari wajahnya, memandang pembantu perempuan itu, dia berkata, nanti biar saya yang bereskan. Kamu istirahat saja. Pembantu perempuan itu mengiyakan takzim. Iya ibu.
Sri meneruskan membaca. Sampai dihalaman itu dia terpana. Judulnya besar menyebut namanya. Penasaran, melanjutkan tuntas membaca isinya.
Beberapa menit dia terdiam. Air matanya jatuh. Cerita di koran minggu pagi itu membuatnya menangis.
Komentar
Tulis komentar baru