Ingatanku masih pagi, saat pertama kali kau memberikan senyuman yang paling manis dari beberapa wanita yang pernah kutemui. Awalnya kita dipertemukan di suatu senja, di sebuah kontrakan yang sudah cukup reot. Plafonnya sudah tak beraturan lagi, bergantungan tanpa ada yang mengurusinya, dinding bercat putih sudah memudar termakan usia. Namun keadaan itu tidak bisa mengusik konsentrasi mata untuk menyaksikan keindahan permata yang tersajikan lewat pancaran sinar dua bola matamu kala itu. Layaknya aku tengah berada di dalam taman, dengan hamparan bunga yang selalu menggoda setiap pengunjung yang datang. Bayangkan, jika kita sedang berada dalam sebuah taman yang penuh dengan berbagai macam bunga yang sedang bermekaran! Walaupun begitu banyak bunga, namun sudah tentuh ada salah satu di antara bunga-bunga yang sedang merekah mempunyai daya pikat yang sangat kuat bagi para penikmat keindahannya. Ciptaan Tuhan yang satu ini memang diidentikan dengan makluk Tuhan yang berhati lunak alias para wanita. Tetapi bukan berarti hanya wanita yang suka dan ingin memetiknya. Laki-laki juga seperti itu, walau tidak semuanya. Kupu-kupu pun seakan bertengkar dan tawuran bila bunga yang diinginkan telah dihinggapi kupu-kupu yang lain, apa lagi manusia. Begitu pun aku yang saat itu asyik menikmati pemandangan di wajahmu. Rasanya ingin segerah memetik hatimu, karena takut ada yang mendahului.
Kau masih malu-malu menampakan tawa, saat salah satu dari sahabatku memberikan tontonan yang mengundang tawa. Lebih tepatnya cerita lucu. Kau tidak serta merta beradaptsi dengan lingkungan yang baru bagi dirimu. Saat itu pula aku merasa bahwa kau adalah orang yang tak mudah tunduk pada setiap godaan yang datang. Dan agar kau tahu, aku mengagumi tipe wanita seperti ini. Aku seakan terhipnotis dengan segala tingka lembutmu kala itu. Kadang, tatapanku tertangkap matamu, saat aku terlalu larut dalam pandangan ke arah wajahmu. Tapi bukan aku sendiri. Kau juga harus mengakui bahwa kau pun begitu. Ya, kita sama-sama merasakan hal yang sama. Aku merasa bahwa musim semi sedang bertandang di hatiku. Bunga-bunga sedang bermekaran, menebarkan aroma yang mampu memanjakan pernafasan. Dan bunga itu adalah kau, gadis bermata bening, hitam manis, lesung pipi.
Saat sang mentari perlahan-lahan kembali keperaduannya di bawa kaki langit, saat suara malam telah terdengar, jangkrik-jangkrik berdansa ria, mengiringi malam merangkak naik menuju larut. Dan aku terbangun dari kasur empuk yang bernama dunia imajinasi, kemudian sadar bahwa aku masih anak bawang dalam romansa kehidupan, yang diutus ke tanah asing untuk mencari seberkas harapan dan seribu kepastian, menyelami lautan harapan dan mengarungi samudera takdir bersama buku dan pena yang berairkan tinta emas untuk mengukir masa depan. Sepenggal adegan yang barusan terjadi disingkirkan sementara untuk membuka kembali buku pelajaran yang baru diterima dari dosen. Kalkulus menjadi teman bermain di atas meja biru, yang berada di sudut kanan kamar kontarakanku. Bermain dengan pelajaran yang penuh dengan angka ini sedikit menyita perhatian untuk membaca, memahami bahakan memainkan jemari atau sekadar mencoret-coret buraman putih. Aku menemukan rumus logika hati, bahwa di ujung satu tambah satu kita hanya dapat menemukan satu. Sejak hadirmu, saat itu aku menemukannya, menemukan rumus itu. Bahasa sederhananya, “kau dan aku adalah satu”. Apakah kita akan menyatu dan terus bersatu? Tanyaku, serupa monolog, kala itu.
Kau masih saja duduk bersama saudari-saudariku di sebelah kamarku yang kebetulan kamarnya saling berhadapan. Asal kau tahu, matematika memang membutuhkan tingkat perhatian yang tinggi, tapi perhatianku lebih tinggi ke arahmu, dari balik pintu lewat lubang kecil yang mungkin telah disediakan, mungkin saja Tuhan atau setan yang sengaja membocorkan daun pintu itu. Ah, aku tak tahu. Sesekali aku tersenyum sendirian, mungkin dikira gila jika ada yang tidak sengaja melihatnya. Ya, wajar kalau aku sedang berada dalam situasi yang jarang sekali kutemui. Memang ada, tapi tak seindah situasi saat itu. Malam pun telah memeluk larut. Kau bersama sahabatmu yang juga merupakan sahabat dari saudariku, memilih untuk menginap.
Ketika bola api kemerah-merahan kembali bertengger di atas cakrawala ujung timur, menghangatkan penghuni bumi, kau bersama sahabatmu beranjak pergi, dan hanya menitipkan nomor ponsel. Aku masih ingat nomor itu, ekornya 603. Ingatanku memang cukup kuat, apa lagi hanya empat tahun yang lalu. Rasa-rasanya seperti satu detik yang barusan berlalu. Mungkin berlebihan menurutmu, tapi memang kenyataannya kisah ini masih terbungkus rapi dalam kantong ingatanku. Bagamana mungkin kau tidak menitipkan nomor ponselmu, jika laki-laki seperti ku yang memintanya. Terlalu PD ya? Tapi nyatanya begitu kan? Kau tak bisa mengurung niatmu untuk menitipkannya.
Sudah kukatakan, aku khawatir ada yang lebih dulu menancap gasnya dan memboncengi hatimu. Makanya malam itu aku memilih untuk menelponmu lebih dulu. Rumus ampu yang sering kugunakan untuk menaklukan para wanita kuluncurkan. Awalnya memang sulit untuk menggamit dawai hatimu. Hingga malam yang ketiga, kau pun hanyut dalam pelukanku. Singkat cerita kita jadian.
Saat bersamamu, banyak kisah yang kita bingkai bersama, banyak cerita yang kita sulam bersama, sesuai dengan buku harian Sang pebolak balik hati, alias Sang pemilik cinta. Dia-lah yang menjadi sutradara dari peran yang telah kita mainkan. Kita sama-sama saling memberikan inspirasi. Banyak Susah dan senang yang kita lewati bersama. Banyak canda tawa yang kita bagi berdua. Kadang menertawakan hubungan yang kita jalani, kadang menertawakan tingkah kita saat berbagi cerita, kadang terselip beberapa pertengkaran yang membuat kita sama-sama merasa patah dan luruh. Membuatmu menangis layaknya anak kecil yang ingin dicolok permen ke mulutnya, membuatmu membenci dirimu sendiri karena menjadi sebab aku marah. Kadang kita seperti sepasang makhluk Tuhan yang sedang jatuh cinta, kadang juga seperti dua orang yang tidak saling mengenal.
Kau sering memintaku untuk memelukmu saat kita berada di bawa selimut birumu yang tebal. Ingat, aku tak akan menceritakan hal lain, mungkin kau sudah tahu maksudku. Kau sering melarangku jika terlalu lama berhadapan dengan laptop, karena kau takut di hari tua nanti aku yang duluan butah. Membeli susu gemuk untuk menjadi penangkis, karena kau tahu aku sering menghabiskan malam dengan membaca. Menantangku untuk meberikan materi kebidanan walau aku tak tahu ilmu kebidanan. Ya, itu menjadi pengalamanku. Aku harus membaca buku kebidanan terlebih dahulu sebelum menjelaskannya, layaknya seorang guru, dan kau layaknya seorang siswa. Memintaku untuk membuatkan puisi dan membacanya untuk meninabobokanmu. Ketika ada kegiatan keorganisasian, kau selalu ikut denganku, kau selalu berada di sampingku, karena takut aku tergoda oleh wanita lain. Saat tensi forum diskusi mulai meningkat, saat aku tengah ngotot beradu argument atau berdebat, kau sering mengingatkanku dengan mengijak kakiku atau mencubit lenganku. Kau takut jika aku tak bisa mempertahankan lagi argumentku. Kau takut kondisi forum memanas. Kau takut melihat adegan ekstrim yang sering dimainkan dalam setiap forum musyawara. Dan aku sadar bahwa kau mencintaiku.
Kita terus saling mengingatkan satu sama lain bahwa kita harus menjaga kepercayaan orang tua kita untuk merai cita-cita. Dan itu terbukti, kau mampu menyelesaikan kuliah D3 kebidanan dengan mendapatkan peredikat lulus dengan pujian. Berarti jelas bahwa cinta bukan untuk menjadi kita butah, tapi cinta membuat kita mampu menangkap makna positif di dalam sebuah hubungan. Masih banyak lagi yang terlukis di atas kanvas langit kota daeng sebagai saksi bisu dari perjalanan panjang itu. Tiga tahun lebih lamanya kita bersama di kota daeng. Setelah itu kau mendahuluiku untuk pulang ke kampung halamanmu. Hanya janji yang pernah terucap bahwa kita akan terus saling mencintai sampai kita disapa opa dan oma, sampai menutup usia. Kita pernah mengurai janji, bahwa kita akan bersama-sama menceritakan cerita cinta untuk anak cucu kita kelak, bahwa meraka ada karena cinta, bukan karena birahi semata.
Memupuk dan merawat rasa cinta ketika dibatasi dengan dinding jarak memang sangatlah sulit bagi sepasang makhluk Tuhan yang sedang merajut cinta. Rasa kangen setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik terus menumpuk dan kian menyiksa jiwa sepasang nyawa yang sedang berada dalam kecepuk rindu. Dan itu yang kita rasakan, bukan? Lewat telepon seluler kita berusaha untuk membunuh rasa ridu yang membeludak walau sebentar saja. Kau terus memotivasiku dari jauh agar secepatnya menyelesaikan kuliahku. Hingga akhirnya aku mampu menyelesaikannya.
Hal yang paling ibah buatku, saat pangeran kesatriamu dipanggil Tuhan sebelum aku benar-benar mengenal sosoknya. Aku rela tiga minggu lebih tidak masuk kampus, hanya untuk terus berada di sampingmu, hanya karena aku tak mampu membiarkanmu hanyut dalam keterpurukan dan tenggelam dalam hitam. Aku takut kuliahmu berantakan. Kepergian pangeranmu mengajari aku arti ketulusan dan betapa berharganya seoarng Ayah. Membuat aku selalu dan sangat merindukan sosok pangeranku di penghujung senjah yang beranjak menggenggam sang malam. Membuatku seakan terbawa kembali pada peristiwa yang dialami oleh Ayahku kala itu. Membuatku semakin takut kehilangan orang yang aku sayangi. Membuat aku mengerti betapa perihnya ditinggal pergi oleh orang yang sangat berarti dalam hidup. Membuat aku terus memanjatkan syukur pada sang pemilik kehidupan karena masih memberikan nafas untuk kedua orang tuaku. Membuat aku mengenal Tuhan lebih dekat lagi.
Waktu terus berlalu, saat dinding jarak dan sekat waktu menjadi tirai penghalang, satu yang utuh dari dua kepingan itu perlahan-lahan tercecer, berserakan. Dan aku yakin Tuhan hanya memberikan waktu untuk kita saling menginpirasi hingga mencapai cita-cita. Aku tahu cinta tak selamanya meiliki. Aku tidak penah membencimu. Jika kau ingin menghinaku, silahkan kau hina aku, silahkan kau sombongkan dirimu sedikitpun aku tak kan marah, akan kubalas dengan sebuah senyum dan doa atas kekhilafanmu. Cinta itu adalah karunia Ilahi yang suci, dan sayang itu adalah rahasia yang diberikan agar kita saling berbagi. Hidup ini memang penuh masalah, tanpa masalah kita tidak akan pernah bijak dan dewasa. Semoga kau menjadi lebih dewasa setelah mengambil hikma dari perjalanan panjang yang kita tempuh bersama. Itu pun jika kau mampu memetik buah positifnya. Aku do’akanmu dari jauh agar kau selalu diberi kemudahan dalam berkarya demi hidumu dan keluargamu. Ingat, kau masih punya tanggung jawab yang berat, untuk ke4 adikmu. Aku tak punya hak lagi untuk melarangmu, tapi setidaknya aku yang pernah mengisi hidupmu sekadar memberi pesan, fokus kerja itulah yang diharapkan semua keluargamu. Terlebih kakak sulungmu yang ada diperantauan, yang telah membantu membiayai kuliahmu sampai kau sukses. Siapa pun jadi suamimu nanti, hargai dia. Lupakan hal bodoh yang pernah terjadi waktu kita masih bersama demi keharmonisan rumah tangga. Bawalah segudang pesan positif untuk membina bahtera rumah tanggamu di kemudian hari.
Aku tak pernah menyesal dengan apa yang telah terjadi. Tuhan sudah punya rencana untuk hidup kita masing-masing. Aku banyak mendapat nilai positif selama bersamamu. Kau sering menjadi topik utama dalam setiap tulisanku, di setiap jedah waktu. Sejak bersamamu, aku merasa menjadi manusia yang kreatif menurut versiku, menjadi manusia pemberani menurt gayaku, berani dalam menyelesaikan suatu persoalan di dunia yang pelik ini.
Aku tahu, bahwa cinta adalah energi. Dalam ilmu fisika energi bersifat kekal. Jika cinta adalah energi, maka cinta hanya berubah menjadi samudera iklas setelah kata “MELEPASKAN” menjadi keniscayaan atas cinta. Mencintai adalah mengenal Dia. Mengenal makna di balik takdir-Nya. Mengenal simiotika dan gejolak kehidupan. Mengenal setiap rasa dan logika yang dititipkan pada diri kita. Bukankah mengenal dan mendekatkan diri pada-Nya adalah hakikat hidup itu sendiri? Cinta itu rahasia Tuhan Sekuat apa kita mencintai, selama apa kita setia, sebesar apa kita bersabar, jika tinta takdir tidak menggoreskan apa yang menjadi harapan kita, maka semuanya tak akan terwujud. Tuhan merangkai hidup ini tak seindah yang kita dambakan, tapi tak seburuk yang kita cemaskan. Menuntun kita untuk selalu memahami segalah maksud dan rencana-Nya.
Terima kasih atas segalanya yang pernah kau berikan hingga aku memahami hakikat hidup, membantuku memahami kakikat cinta itu sendiri. Jika Tuhan mempertemukan kita kembali di kemudian hari, maka tidak ada kata untuk menolaknya. Jika tidak, pasti kita akan bertemu di dunia berikud, stelah kita meninggalkan dunia kita sekarang. Sekali lagi, terima kasih untukmu yang pernah menghiasi hidupku. Terima kasih mantan kekasihku***
Komentar
Tulis komentar baru