Skip to Content

DI UJUNG CAKRAWALA SENJA (a fragment of a farewell)

Foto Inayatul Fariha

DI UJUNG CAKRAWALA SENJA

(a fragment of a farewell)

 

Saat aku tatap matanya, aku melihat suatu kerinduan yang sangat mendalam, terpancar dari hati yang suci, bening sebening air telaga. Dan aku tak tahu kapan lagi akan kutatap sorot mata itu karena aku tak tahu kapan aku akan kembali. Lebih jauh lagi kutatap sorot mata itu, ada suatu makna yang hanya aku seorang dapat menangkap makna itu, karena itu hanya ditujukan untukku. Ya, tatapan mata itu akan selalu terbayang di pelupuk mataku. Tatapan mata itu akan selalu aku rindukan. Aku takkan pernah rela jika tatapan mata itu beralih pada orang lain. Tidak, tidak boleh ada yang memilikinya. Ia milikku seorang. Dan, ah, air mata itu, air mata yang suci. Air mata yang akan membasuh hatiku. Aku merasa bagaikan Sang Damarwulan yang akan meninggalkan kekasihnya Anjasmara untuk berperang. Aku pun teringat bait-bait puisi Asmaradhana yang dituliskan oleh kekasihku di buku harianku. Betapa syair-syairnya mampu menyihirku, menaklukkan hatiku. Tapi tidak, aku tidak akan mengucapkan perpisahan itu, kematian itu. Tidak! Tidak!

 

Sayangku, mereka telah memanggilku, aku harus pergi. Aku akan tinggalkan tanah Jawa Dwipa ini. Aku akan pergi ke tanah yang penuh dengan darah dan air mata. Aku sandang SS 1, teman setiaku, dan kupakai baret jinggaku. Aku siap. Aku melihat kekasihku menatap ke langit. Di bibirnya, senyum tersungging, begitu tipis, menyiratkan luka. Kutatap dalam-dalam matanya. Tatapan bening itu berbicara padaku, ungkapkan satu janji suci. Tapi, kulihat ada ketegaran di sana. Jiwanya, nafasnya, akan selalu bersamaku. Kurengkuh ia dalam pelukanku, sangat erat. Betapa aku tak bisa melepaskannya. Ia jiwaku, nafasku, hidupku, cahaya hidupku. Perlahan kulepaskan pelukan itu, kulepaskan pegangan tangan kami.

 

Selamat tinggal belahan hatiku. Tunggulah aku di tanah ini karena kita telah berjanji, dan janjimu adalah hidupku. Selamat berpisah jiwaku. Esok takkan kaudengar lagi langkah kakiku di halaman rumah, tapi kau kan selalu dengar nyanyian hatiku. Kekasihku jangan palingkan wajahmu,aku ingin melihat tatapan matamu untuk yang terakhir. Esok aku akan menemukan tatapan lain yang bukan milikku. Tatapan-tatapan garang yang takkan memberiku kesejukan. Tapi, sayangku jangan kaututupi sinar mata itu dengan tangismu. Tidak, aku tak mau melihatnya. Sungguh pedih kurasakan bagai sejuta sangkur-sangkur senapan mencabik-cabik jantung. Tidak! Kekasihku tak boleh menangis, perjuangannya masih panjang. Impiannya belum ia dapat. Kekasihku tak boleh menangis.

 

Jika kubisa sungguh aku akan berpaling padamu, tapi kapal telah jauh meninggalkan dermaga. Maafkan aku kekasihku, aku tak bisa. Aku harus berjalan di jalan yang telah tercatat untukku. Inilah kehidupanku. Aku tak tahu kapan semua kan berakhir. Aku tak tahu kapan desing peluru dan mortir akan terbungkam. Aku tak tahu kapan darah akan berhenti tertumpah. Tapi percayalah, Allah tak akan membiarkan semua ini. Panjatkan selalu doamu kekasihku. Doa yang tulus akan terbang, mengetuk pintu langit, menggetarkan dinding-dinding kalbu.

 

Kekasihku, kau punya kehidupanmu sendiri, Berjalanlah di jalan yang digariskan untukmu. Berjuanglah selalu untuk kebenaran, untuk rakyat, untuk bangsa kita. Jangan surutkan langkahmu ke belakang. Tetaplah kumandangkan syair-syairmu menyeru pada mereka yang telah merampas hidup dan darah bangsa. Serukan pada orang-orang di jalan perjuangan kalian. Maafkan aku, kekasihku, aku tak bisa ikut bersamamu bersyair bersama mereka. Aku seorang yang tiada daya, orang yang terbelenggu tirani, tiada kekuatan untuk memutuskan rantai Sapta Marga yang membelenggu aku. Kau yang punya kebebasan, majulah. Ingat kata seorang bijak, Fay. Kita semua adalah tentara di lini masing-masing. Jadilah tentara sejati dengan syair-syairmu. Jelajahi seluruh relung-relung jiwamu untuk mencari makna kehidupan dan kemenangan. Jika aku tak bisa menjadi ksatria untuk persada ini, biarkan aku menjadi ksatria di hatimu. Jika aku tak bisa menjadi bunga bangsa, biarkan cintaku menjadi bunga dalam hidupmu.

Kelak jika aku kembali, akan kita kibarkan bendera kemenangan kita. Tunggulah aku, kekasihku. Kelak jika di angkasa kau dengar gemuruh pesawat dan hatimu bergetar, itu adalah pesawatku yang membawaku pulang untukmu. Bentangkan tanganmu untuk menyambutku dengan pelukan yang sangat kurindukan.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler