PERISTIWA 30 SEPTEMBER
Terbit di Jambi Independent tanggal 20 Mei 2012
Oleh: Rika Ariyani
Andai saja Koran kumal itu tak kutemukan di dapur rumahku, mungkin aku tak akan ingat peristiwa 30 September, 3 tahun yang lalu di pusat kota Padang. Kenangan pahit itu hampir menghilang di memoryku. Tapi Koran itu menguak kembali semua kisah sedih dan perih waktu itu.
Mengingatnya, aku jadi ingat Untin. Berdua kami arungi dunia yang nyaris hancur itu. Ketika gempa itu menggoncang, kami tengah melangkah ke arah Mesjid di sekitar pantai. Gempa itu menggoncang beberapa menit sebelum kaki menggapai mesjid. Aku langsung ingat, aku belum menunaikan kewajibanku.
“Ya Allah… Ya Allah… lindungi kami ya Allah! Astagfirullahal’azim… Astagfirullahal’azim…Astagfirullahal’azim…” Aku langsung beristigfar sekeras mungkin.
“Ya Allah, selamatkan kami Ya Allah. Selamatkan kami ya Allah.” Ucapku berkali-kali.
Kupegang lengan Untin erat-erat. Lengan itu bergetar hebat kurasakan. Sama bergetarnya dengan tanganku. Di seberang sana aku masih sempat menyaksikan gedung bertingkat itu runtuh menyapu tanah. Betapa dahsyatnya Allah menggoncang bumi Andalas itu. Suasana tiba-tiba mencekam. Debu bertebaran di mana-mana.
“Ya Allah, selamatkan hamba ya Allah. Jangan ambil nyawa hamba di sini. Hamba belum siap ya Allah. Beri hamba kesempatan untuk bertobat kepada-MU.” Lagi-lagi aku bermohon dalam tangisku. Aku belum shalat. Itu yang sangat aku sesalkan. Seandainya kewajiban itu telah kutunaikan, aku pasrah, aku akan menerima dengan ikhlas jika Allah menghendakiku saat itu.
Kami masih berdiri di seberang gedung yang rata dengan tanah itu. Masih bingung harus ke mana kaki ini akan dilangkahkan. Di mana-mana debu menghalangi pemandangan.
“Ayo untin, kita pergi dari sini.” Ajakku sambil terus berpegangan padanya. Ku lihat Untin semakin lemas. Dia kelihatan lebih shock daripadaku. Semakin kutarik lengan itu melangkah, semakin kuat dia menahanku. Dia tak mau beranjak dari tempat itu. Tidakkah dia berfikir bagaimana jika gempa ini berpotensi tsunami? Dan tidakkah dia ingat saat ini kami berdiri beberapa meter saja dari pantai?
“Uni gak sanggup melangkah Ika… Uni disini saja.” Ucapnya pelan sekali. Tapi aku tak akan membiarkannya. Aku harus membawanya pergi dari tempat ini secepat mungkin. Kutarik tangan itu lebih kuat lagi. Akhirnya untin mengikuti langkahku. Kami berlari terbirit-birit.
Di sepanjang jalan, semua orang melakukan hal yang sama. Mereka berlari mencari ketinggian. Di mana-mana hanya ada tangisan dan teriakan histeris. Jalanan macet seketika. Api merajalela di pusat perbelanjaan. Beberapa orang kulihat tak sadarkan diri ditempat. “Ya Allah, betapa kacaunya duniamu saat ini.” Bisikku.
Kami masih terus berlari dan berlari tanpa arah. Beberapa kali ku stop angkot-angkot yang berjalan beriringan, tapi mereka menolakku. Bahkan dengan sengaja mereka tutup pintu masuk biar tak ada yang menumpangi.
“Ke mana, nak?” Mataku seketika menoleh ke sumber suara. Seorang Bapak separuh baya dengan motornya.
“Ke lubuk lintah, Pak.” Jawabku cepat. Menghiba.
“Naiklah nak, biar Bapak antar.” Ucapnya pasti.
Ya Tuhan, betapa baiknya Bapak ini. Disaat mereka menyelamatkan diri masing-masing. Bapak ini dengan sangat ikhlas menawarkan bantuannya pada kami. Awalnya aku ragu-ragu. Bagaimana jika dia memanfaatkan kesempatan? Bagaimana jika dia punya niat jahat pada kami? Bagaimana jika… bagaimana jika?
Aku tertegun sesaat. Tapi Untin langsung menyuruhku naik. Tanpa berfikir apa-apa lagi, aku langsung duduk di belakang kemudi.
Bersusah payah sang bapak melajukan motornya. Dari belakang, aku dan Untin tak henti-hentinya beristigfar dan berdoa. Berdoa untuk keselamatan kami.
“Aie… aieee…..” Samar-samar kudengar teriakan dari kejauhan. Aku semakin cemas tak terkira. “Ya Allah, ini pasti tsunami.”
Aku semakin meratap dan terus beristigfar keras. Sang bapak dengan tenang tetap saja melajukan motornya tanpa lelah. Dan tangisan Untin semakin menjadi-jadi.
“Ya Allah, benarkah bumi Andalas ini akan engkau musnahkan hari ini?” Tanyaku disela-sela doa.
@@@
Waktu magrib telah masuk. Aku tahu itu. Meski tak seorang pun yang sudi mengumandangkan suara azan. Kaki ini belum bisa kuhentikan. Kaki ini terus saja melangkah tanpa lelah meski luka disana-sini.
Sesaat aku langsung tersadar dengan kekhilafanku. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan panggilan Allah, jika saat ini hanya ampunan dari-Nya yang aku harapkan. Bagaimana mungkin aku bisa mengabaikan perintah-Nya, jika saat ini hanya perlindungan darinya yang aku butuhkan. Ya Allah, hamba macam apa aku ini. Di saat sekarat pun aku masih saja mengabaikan-Mu.
“Kita shalat magrib dulu, Untin. Nanti kita lanjutkan perjalanan tanpa arah kita.” Ucapku pada Untin.
Akhirnya kami tunaikan shalat magrib di sebuah Mushala. Tak banyak yang memilih shalat. Mereka lebih memilih terus berlari tanpa arah daripada menemui Allah di rumah-Nya untuk meminta pertolongan. Untung saja aku masuk ke dalam barisan orang-orang yang selalu ingat pada Allah, dalam keadaan apa pun.
Sang Bapak penyelamat tak lagi bersama kami, kami diturunkan diperempatan jalan di tengah kerumunan manusia. Mungkin karena dia tahu, suasana tak lagi seseram tadi. Aku sangat bersyukur atas pertolongannya. Aku menganggap dialah malaikat penolong buat kami. Sayang sekali, aku tidak ingat untuk meminta alamatnya. Aku hanya ingat untuk ucapan terimakasih dan itu aku ucapkan berulang kali didepannya. Dan aku sangat menyesal sempat berburuk sangka kepadanya.
Setelah shalat, kami masih melanjutkan perjalanan. Masih belum tahu hendak kemana kaki ini dilangkahkan. Di persimpangan, kami berhenti sebentar. Sakit di kedua kakiku semakin membuat aku tak kuat melangkah. Ya Allah, aku tak kuat lagi.
Untin kulihat tak banyak bicara, dia lebih pendiam dari biasa. Mungkin karena masih shock dengan kejadian ini.
“Kita mau tidur dimana, Un?” Tanyaku padanya. Dia menggeleng saja. Aku menjadi tambah bingung dibuatnya. Kulirik arloji dipergelangan. Jam 9 malam. Jalanan tak seramai tadi. Meski disana sini masih banyak kendaraan yang berkeliaran.
Ingin sekali kuhubungi keluargaku, kabarkan pada mereka bahwa aku baik-baik saja, tapi sejak gempa menggoncang jam 5 tadi sore, semua jaringan hilang seketika. Aku tahu pasti, betapa cemasnya kedua orang tuaku. Terlebih setelah diberitakan oleh stasiun-stasiun televisi itu. Tapi aku harus berbuat apa? Aku tak mampu menghubungi dan menenangkan hati mereka. Yang aku bisa hanya berbisik pelan, “Putri sulungmu baik-baik saja, Ayah…”
Akhirnya kami tertidur di persimpangan jalan, di bawah sebuah gardu. Ada beberapa orang yang memilih untuk tidur bersama kami di sana. Setelah kuketahui mereka adalah Mahasiswa UNP. Kami akhirnya berkenalan dan berbagi kesedihan di bawah gardu itu.
Ketika subuh mengumandangkan azan, aku dan Untin kembali melangkah pergi. Tujuan kami satu. Mesjid terdekat! Tak ada fikiran sama sekali untuk kembali ke rumah kontrakan kami. Aku merasa lebih tenang berdiam diri di rumah Allah. Satu pelajaran yang bisa kuambil dari peristiwa ini. Bala’ tak dapat ditolak! Untung tak dapat dicari.
SELESAI
Komentar
Tulis komentar baru