Skip to Content

SECARIK KERTAS BERISI PUISI KERESAHAN

Foto Bi Sugi Hartono

SECARIK KERTAS BERISI PUISI KERESAHAN

Mungkin hanya itu yang kau ketahui dariku, keegoisan dan keangkuhan yang selalu melekat difikiranmu, entah mengapa selalu saja resah apabila kau tinggalkan dari ranjang yang dulu menjadi taman cinta. Memang begitulah nyatanya, bukankah dari dahulu selalu begitu, apabila orang salah setitik saja itu selalu teringat dibenak meski tak bersua beribu tahun, namun jika orang baik selalu saja tak bernilai walau baru saja melakukan kebaikan terhadap orang lain. Di kamar ini dulu kita bersama, memecahkan sepinya malam dan gaduhnya suasana, dikamar ini kita saling suap, saling bermanja-manja dan dikamar ini pula kita selalu saja mengutarakan isi hati kita. Bukankan kamar ini adalah saksi?

Sudah hampir senja aku menunggumu hari ini, di dalam kamar yang sunyi dengan secarik kertas yang selalu kita sediakan untuk menuliskan cinta. Dulu selalu begitu bukan? Kita bergantian menuliskan kata demi kata untuk saling menertawakan, atau sekedar menggoda. “Ah rasanya kau tak menepati janjimu kali ini, aku akan menunggumu sampai kau datang” gumamku pada diriku sendiri. Namun jemari jam tak tinggal diam, ia meniti rel perlahan tapi pasti meninggalkan rel yang satu ke yang lainnya. Aku gamang dan mulai resah!

Dalam keresahanku, aku mencoba untuk bersabar seperti katamu, “Bersabarlah, nanti kau temukan ketenangan”. Yah ku coba untuk mulai bersabar sembari membaringkan tubuhku di atas tikar yang biasa kita gelar untuk mengalasi tubuh kita. Aku terbawa lamunan dimana kita saling bercengkrama, lama sekali aku terpaku bersama lamunan bisu itu, tapi kau tak juga tiba.

Musim telah berganti, kau tak juga menyambangiku dikerumunan sunyi yang meninabobokan ku dalam kenangan itu. Entah berapa lama pula aku mendapatimu dalam mimpiku, sampai tak terhitung. Angin bergantian mendinginkan tubuhku dari sengatan cahaya yang menyilaukan mataku. “Ah mungkin engkau tak datang lagi seperti kemarin” lalu kulihat secarik kertas di meja yang mulai lusuh dikerumuni debu itu, masih kosong dan tak terjamah. Hanya kulihat saja sesekali aku muak melihatnya dan kualihkan pandanganku  pada bingkai fhoto yang berada di pojok meja itu. Ku pandangi wajahmu nan ayu, dengan solekan gincu berwarna silver dan baju panjang berwarna biru kesukaanmu, rambutmu yang menjuntai terurai manja, ah manisnya. Begitu rindu rasanya batinku.

Ku baringkan lagi tubuhku di atas tikar cinta kita,  sebelumnya ku buka pintu kamar itu agar kau tau aku ada di sana bila kau mencariku. Sepoi angin menerobos masuk mulai menjamahku dari kaki dan menelusuri tubuh kumalku, aku diam saja layaknya mayat yang tak ingin lagi menggerakan tubuh. Namun pikirku mulai berkecamuk lagi memikirkan dirimu, tak mau aku terbujur terus, ku pikir kau mungkin menungguku di suatu tempat, tapi apakah mungkin? aku tak yakin, karena kau pasti membenciku sebab sebelum kau pergi siang itu kau katakan sebuah kata yang membebaniku. “Aku tak kuat dengan sikapmu, sikapmu terlalu keras dan egois” selalu pernyataan itu bukan yang kau bicarakan padaku? Nah maka takkan mungkin kau menungguku di suatu tempat.

Ku ambilkan kertas yang ku bentang di atas meja sedari kutunggu dirimu beberapa waktu lalu, dan ku rengkuh pulpen yang bersemayam di dalam fas hitam itu lalu ku paksakan fikirku menjelma menjadi kau sambil mengguratkan tinta kering itu.

Aku hanya seuntai benang kusut yang mencoba menjadi baju untukmu tuk menghangatkanmu dikala kedinginan, tapi apa mungkin? kusut benangku adalah luka. Luka yang mendung dilangit biru hatimu. Ntah kapan langit kan biru membiru dengan benangku.

Di ambang dipan ini, ku temukan tumpukan cinta usang bersama debu-debu resah. Seperti mendungnya langit yang dijahit benang kusutku, tilam lelap bersama debu yang terhempas sepoi, apakah mungkin benangku bisa membirukan langitmu? Hanya siluet yang mampu memapahku. Siluet pun kelak kan rapuh dikala tak ada lagi lilin yang menerangi. Apakah mungkin?

Untaian benang yang ku coba merajut birunya langit, mungkin akan mengabur bersama senjanya hariku, telah ku tenunkan kain tuk bajumu dari kusutnya benang ini, apakah mungkin?

Tapi kan terus kupintalkan benang ini, agar menjadi penghangatmu, meski itu tak mungkin!

 

Aku diufuk kesenjaan.

 

Dan ku baringkan tubuhku kembali di tikar yang selama ini menemaniku, ruhku melayang menjamah mimpi, dan kau datang padaku, kau rengkuh bahuku tapi aku masih tak percaya, benarkah itu kau atau halusinasiku saja, ku coba pejamkan mataku dan ku buka perlahan, tapi wajahmu masih ada di depanku, “Ah itu benar kau” fikirku. Lalu  kupeluk erat ku harap kau akan mengerti arti dekapanku itu, ya rasa rindu yang teramat sangat. Lalu kau lirih berkata “Jangan kau fikir aku tak datang karena aku tak sayang, tapi aku harus menunaikan amanahku sebagai anak, maafkan aku, aku tau kau pasti merindukan aku selama ini, tapi sekali lagi, maaf aku harus tunaikan kewajibanku.” Dan kau lepaskan pelukan itu lalu pergi begitu saja, aku tak mampu berkata dan hanya terpaku melihatmu kian menjauh dan hilang.

Apakah mungkin itu bertanda kau juga merindukanku? Kurasa itu hanya bunga tidur, dan ku bergumam lirih “Jika memang begitu pergilah, biarlah kamar ini yang menemaniku” aku berdiri dan keluar menuju teras dan memandang ke arah mata angin lalu  memejamkan mataku, ku ucapkan kata “Di sini kau akan kembali bersama cita-cita kita.”

 

***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler