Skip to Content

Sekelumit Rasa

Foto Sintia Nurazizah

Ada yang tiba-tiba membuat ulu hatiku sakit. Menyesakan rongga dada hingga palung jiwa.

Ah. Apa harus sesakit ini ketika rasa sayang telah aku simpan seutuhnya untuknya.

Rasa yang begitu besar namun tak bisa lagi untuk aku utarakan. Aku hanya takut.

Takut jika nanti aku kembali membuatmu terluka. Menggoreskan luka lama yang nantinya

 akan sulit kembali untuk terobati.

Sayang. Kini aku hanya bisa menangis dalam diam.

Senyap adalah kawanku. Air mata pengantar tidurku.

Dan rasa  yang telah bersarang ini adalah penyakit yang tak pernah bisa tersembuhkan.

Ia terus menggerogotiku. Menghantuiku bahkan ketika mata ini terpejam.

Rasanya aku ingin terpejam untuk selamanya jika terus begini.

Aku hancur. Tapi tak ada yang bisa kulakukan.

Aku hanya bisa tersungkur dalam masa lalu kelam akan rasa ini untukmu.

Aku sakit. Jiwaku rapuh dan aku merana tanpamu.

Katakanlah aku egois ketika dulu mengatakan hal yang membuatmu terluka dan merasakan sakit yang berkepanjangan. Hanya karena aku merasa kamu tak pantas untukku.

Setelah aku membuatmu terluka aku ingin kembali. Apakah itu adil untukmu?

Tentu tidak bukan.

Aku ingin kembali berdiri kokoh tak tergoyahkan meski harus tanpamu. Namun kenapa rasanya begitu sulit Tuhan. Dia telah mengambil separuh apa yang berarti dalam hidupku.

Biarkanlah aku sedikit lebih lama merasakan ini Tuhan, jika memang harus. Agar aku belajar dan sadar.

Bahwa perasaan itu bukan sesuatu yang tak berharga, apalagi bisa aku sia-siakan begitu saja.

*****

 

Semuanya masih sama. Masih terlalu hampa untuk aku jalani.

Ku telusuri jalan ini. Mendongak sebentar kemudian kembali terisak.

Berhenti di sini. Berhenti. Hidupmu terlalu berharga untuk kau sia-siakan hanya karena cinta.

Bodoh. Bukankah kau yang telah membiarkan ia pergi? Tapi kenapa kau juga yang kini menyesalinya.

Aku tau aku salah. Berhenti mengatakan aku bodoh.

Fikiranku berkecamuk. Aku lelah, sungguh. aku terduduk di terotoar jalan.

Menenggelamkan kepalaku diantara lutut. Air mata bodoh berhenti. Kenapa kau selalu membuatku malu dan terlihat lemah?

Aku tak peduli akan apa yang dikatakan orang-orang yang berlalu lalang. Aku hanya ingin menumpahkan semuanya. Tak bisakah  sedikit saja kalian iba padaku? Bukan malah sebaliknya.

Aku merasakan hangat di kepalaku. Seperti ada yang mengelusnya. Siapa ini?

Aku mendongak. Sekejap terpaku. Senyum itu. Rahang tegas itu.

Lidahku kelu. Panca indera seakan mati rasa. Bahkan untuk berkedip  pun rasanya sangat sulit.

“Apa kau baik?” Suaranya. Sungguh aku merindukan suara ini.

Apa memang harus seperti ini sekarang. Dia begitu dekat, sangat. Tapi aku tak bisa sedikitpun meraihnya. Kembali. Kumohon kembali. Jeritku dalam hati.

“Lusiana. Kau kenapa?” Dia mengguncang bahuku. Menatapku dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran. Setelah apa yang aku lakukan. Dia masih saja menghawatirkanku.

Bodoh Lusiana. Kau sia-sia kan laki-laki yang begitu baik dan mencintaimu begitu banyak.

Kau benar-benar tak punya otak.

Dia mendudukanku di sebuah bangku panjang kemudian pergi. Mungkin dia lelah.

Tak satupun pertanyaannya yang aku jawab. Punggung itu. Yang selalu membuatku nyaman jika didekatnya. Kini ia menjauh dan terus menjauh. Hingga lama kelamaan menghilang.

Aku kembali menangis. Apakah sesakit ini rasanya ditinggalkan?

 

 

*****

 

 

“Selamat atas pernikahan kalian.” Kupeluk sahabat terbaik yang selalu ada untukku ini. Akhirnya dia menikah juga. Setelah sekian lama berpacaran  dengan Adrian. Mengalami jatuh bangunnya percintaan yang rumit dengannya.

“Terimakasih, Lus. Semoga kau cepat menyusul.” Sunggingan manis aku berikan padanya. Akupun berharap demikian. Tapi ya. Apa yang bisa kuperbuat jika tulang rusuk yang telah Tuhan ciptakan untukku tak kunjung menjemputku. Aku hanya bisa menunggu.

“Tentu saja, Met. Kami akan segera menyusul.” Jorsen merangkul pundaku dan tersenyum manis. Sejak kapan dia di sini. Dan ayolah apakah dia tidak sadar jika suaranya yang nyaring itu membuat kami jadi pusat perhatian.

“Wah benarkah?” Mata Meta berbinar ketika menanyakannya. Aku tau dia benar-benar tertarik dengan obrolan ini. Bencana. Aku harus segera mengakhiri situasi seperti ini.

“Met, kami duluan ya.” Jors mencoba melepaskan tangannya yang kuseret. Aku tak menghiraukannya sama sekali. Taman. Taman aku harus mencari taman. Ya ampun. Aku lupa dimana tamannya. Meta kenapa rumahmu begitu besar.

Kuhempaskan tangan Jors dengan kasar. Menatapnya tajam penuh dengan aura intimidasi.

“Oke, aku tau aku salah. Tapi jangan sambil berdiri ya. Aku cuma ga mau kaki kamu sakit kalo kelamaan berdiri. Bukankah sepatu Heels itu membuatmu sakit?”

Ia benar. Sebab itulah aku paling anti memakai sepatu hak tinggi. Apalagi yang tujuh senti. Kalau bukan karena Meta. Aku tidak mau melakukan ini. Sampai-sampai aku harus belajar selama dua minggu untuk bisa berjalan menggunakannya. Aku tatap matanya dalam.

Darimana Jors tau? Seolah tau apa yang kufikirkan. Dia menghela nafasnya.

“Apa kamu ga liat. Kaki kamu sedikit merah? Pasti kamu belajar keras untuk mengggunakannya kan? Lagian aku juga tau kamu termasuk cewe tomboy. Dari apa yang sering kamu kenakan ketika kita hangout bareng.”

Aku tak bisa percaya. Jorsen memperhatikanku hingga sedetail itu.

“Nah, sekarang. Kamu bisa marahin aku sepuasnya.”

Dia menghadapku dengan sunggingan yang tak pernah luntur sedikitpun dari bibirnya.

“Kenapa kamu selalu menggodaku, Jors. Kau tau aku muak dengan semua itu. Kenapa  harus aku yang kamu goda?”

Jors hanya terdiam menatapku tajam. Raut wajahnya tiba-tiba berubah serius. Seperti bukan Jorsen yang kukenal.

“Jika kamu emang suka sama aku jangan gini caranya. Kamu jujur aja, jangan terus kaya gini aku..”

“Aku cinta kamu, Lusiana. Sangat.”

Aku membulatkan mata. Jorsen memeluku dari bawah.

Dengan dia yang berjongkok di atas rumput secara tiba-tiba.

“Lusiana aku cinta kamu. Sungguh.” Pelukannya semakin mengencang, “aku tau kamu belum bisa lupain mantan kamu yang dulu itu. Makanya aku ga berani bilang sama kamu dan lebih milih nyimpen perasaan ini. Hingga kamu bener-bener siap. Tapi kalo kaya gini.

Apa yang bisa aku lakuin. Aku gak mau kamu jauhin karena ini Lusiana. Aku bakalan berikan waktu sebanyak apapun yang kamu mau.”

Dia terisak. Jorsen menangis karena seorang wanita adalah hal terakhir yang akan aku fikirkan di dunia ini. Ini sangat mustahil. Seorang perfect seperti Jorsen yang aku yakin hanya dengan satu kedipan mata semua wanita manapun akan bertekuk lutut.

Aku menghela nafas lelah. Kenapa semuanya jadi rumit begini. Kuelus rambutnya dengan perlahan. Rambutnya yang hitam legam ini begitu halus.

“Kenapa, kamu menangis?” Konyol. Jelas-jelas dia nangis karena kamu, Lusiana.

“Aku gak mau jauhin aku setelah ini. Setelah kamu tau apa yang aku rasakan sebenarnya.”

Dia mendongak. Masih ada jejak air mata yang tertinggal.

Mata coklat itu menatapku dengan sendu. Genggaman tangannya begitu hangat.

“Jadi, apa jawabannya, Lus?”

“Aku..”

Tiba-tiba tanda sebuah pesan masuk membuatku mengalihkan tatapannya. Menarik salah satu lengan yang digenggamnya.

‘Kamu harus bahagia, Lusiana. Jangan selalu menyalahkan dirimu sendiri akan kisah kita yang tak berhasil. Aku memang sempat terluka. Parah. Tapi aku mencoba belajar dan berdamai dengan semuanya. Kini aku sudah baik-baik saja sungguh. Sekalipun kita memang masih saling mencintai tapi mustahil untuk kita bersama kembali. Kenapa? Karena kamu memang bukan takdirku Lusiana. Aku menyadarinya sekarang. Maaf jika kamu terluka kembali dengan yang aku katakana ini. Tapi aku harus mengatakannya agar kamu tidak selalu menungguku. Apalagi ada orang yang begitu menyayangimu sekarang, dan pastinya dia lebih sempurna di banding aku. Itukan yang kamu mau? Haha.. aku terlalu banyak bicara. Semoga kamu selalu bahagia’

 

Aku berdiri dengan segera. Dia ada di sini pasti. Oh Tuhan, sungguh aku ingin bertemu dengannya. Kucari ia ke sana kemaari dengan segera. Meski tak ada nama yang tertera di akhir pesannya aku tau ini dari siapa.

Air mata lolos begitu saja tanpa bisa kucegah.

Apa ini yang memang harus benar-benar terjadi? Kenapa rasanya masih sangat sakit.

“Lus, kenapa hey.”        

Aku menatap laki-laki di hadapanku yang terlihat sangat khawatir. Menelisik lebih jauh ke dalam bola matanya.

Haruskah aku memberikannya kesempatan? Atau menghempaskan begitu saja perasaannya yang tulus. Sepertinya aku harus memmikirkannya terlebih dulu. Akhirnya aku pergi begitu saja tanpa sepatah katapun. Meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.

 

‘Aku akan memikirkannya, dan mencoba memberikan kesempatan’

 

Pesan itu terkirim. Aku tersenyum simpul setelahnya.

 

***** 

END

Komentar

Foto Sintia Nurazizah

Ini adalah cerpen asli

Ini adalah cerpen asli karangan saya. No pelagiat!.. Terimakasih untuk yang sudah berkenan membaca :)

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler