Skip to Content

Selamat Jalan Kak ADI

Foto LuckyOktaf
files/user/3646/1_922722457l11.jpg
1_922722457l11.jpg

Selamat Jalan Kak

ADI

 

            Pagi yang melelahkan, seperti biasa aku membantu ibu ku di warung untuk berjualan. Aku memang sedari kecil sudah diajarkan untuk menjadi anak yang tangguh. Tidak seperti kebanyakan anak manja di luar sana. Yang baru bangun ketika matahari sudah tinggi. Ibu ku baik, walaupun baru  akhir-akhir ini. Biasanya aku jarang diajak bicara. Tapi sekarang kami sering mengobrol banyak, apalagi tentang masalah masa depanku. Meskipun dia bukan ibu kandungku. Ya, ibu ku telah lama bercerai dengan ayah ku. Entah apa yang menjadikan mereka berpisah. Tapi aku pernah mendengar cerita dari ibu kandungku. Katanya ayah telah direbut oleh seorang gadis nakal bernama Emi. Dan meninggalkan ibu ku lalu menikah dengan nya. Namun, sampai saat ini aku tak pernah sekali pun melihat ataupun menemukan buku surat nikah ayah dan ibuku. Ah, biarlah. Aku tak mengerti, yang ku tau kini aku bahagia dengan keluarga ku ini.

            Pagi yang tenang, hari ini mendung. Seperti biasa aku dan kakak ku yang kebetulan sedang libur kerja membantu ibu di warung. Kakak yang biasanya iseng dan jail sekarang jadi pendiam. Aku coba tanya kenapa dia hanya tersenyum. Akupun tak pernah bertanya lagi. Tapi aku kasihan pada kakak ku yang  jadi berubah drastis akhir-akhir ini. Wajahnya yang tampan sekarang lebih banyak murung. Kakak memang pria yang sempurna menurutku. Dia punya postur tubuh yang ideal. Banyak digilai wanita. Tapi aku heran pada kak Adi, tak ada satu wanita pun yang nyantol di hatinya. Dia memang agak susah orangnya kalau masalah cewek.

            Keesokan harinya aku menemukan kakak ku sedang kesakitan di kamarku. Ya, kami kadang tidur berdua. Sejak kecil kakak sering tiba-tiba tidur disampingku. Ku tanya kenapa, dia bilang gatal. Aku tau kakak memang punya kulit yang sensitif. Tapi aku tak pernah melihat, baru kali ini kulitnya memerah dan berbintik-bintik. Apa kakak terkena Demam Berdarah? Batin ku, tapi gatal? Akupun memberi tahu ibu. Ibu Cuma bilang suruh kasih obat untuk alergi kulit. Dan aku memberi kakak ku obat itu. Beberapa hari sudah, namun kakak ku belum juga sembuh. Aku khawtir dia sakit di bagian dalam. Aku memintanya untuk periksa ke dokter. Tapi dia tak mau. Aku tak bisa menemaninya, aku harus segera berangkat kerja. Kakak bilang dia sudah agak mendingan. Dia juga minta kerja nanti malam. Dia dapat sift malam hari ini. Ibu mengijinkannya.

            Seminggu berlalu, gatal-gatal kakak kambuh lagi. Kali ini lebih parah dari yang sebelumnya. Ibu melarangnya untuk kerja hari ini. Dan membawanya ke rumah sakit terdekat untuk diperiksa apa kah itu gatal biasa atau bukan. Dokter hanya mendiaknosa kakak alergi makanan. Dan melarangnya makan ini dan itu. Aku heran, yang aku tahu kakak jarang makan makanan yang baru saja dokter sebutkan. Kakak membaik dan mulai bisa beraktifitas seperti biasa. Aku mulai tenang, kakak sudah membaik. Suatu sore kami sedang duduk bersama di teras depan rumah. Dan seperti biasa kakak selalu iseng dan jail padaku. Aku sampai jengkel melihat tingkahnya.

            “Kamu itu cantik dek, dadan donk? Jangan jadi anak tomboy kayak gitu??” Duduk mendekatiku.

            “Hmmm iya kak, yang penting kan aku dah punya cowok! Keren lagi.” Jawab ku sambil bercanda.

            “Kakak gak kerja? “ Tambahku.

            “Kakak lagi off, besuk kita mau ke Blitar sama ibu sama ayah. Aku mau ikut ah! Lumayan, moga aja bisa dapat cewek Blitar.” Sambil cekakakan sendiri.

            “Dasar kakak. Oya kak. Maaf ya adik gak bisa kasih apa-apa diulang tahun kakak yang ke-23 kemarin.”

            “He’emmmm gak  apa-apa,dik” Dia tersenyum.

            Seminggu berlalu, setelah kepulangan kami dari Blitar, kakak sakit. Badan nya gatal-gatal lagi. Ibu membawanya ke orang pintar. Masak sih kakak di guna-guna. Kakak menuruti permintaan ibu untuk dibawa ke pak kyai di daerah Pare. Segala doa telah dibaca, entah apa yang dilakukan pak kyai itu mengelus-elus punggung kakak. Dan mengusap-usapnya sambil membaca doa, entah apa yang dibacanya.

            “Kok aneh ya?” Kata pak kyai itu membuat kami bingung.

            “Kenapa pak?” Tanya ibu penasaran.

            “Gak mempan ,buk!”

            “Lalu bagaimana, pak?” Pak kyai itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda heran, lalu mengusap-usap lagi punggung kak Adi dengan membaca doa.

            Seminggu berlalu, kakak semakin putus asa dengan penyakitnya. Kakak melemah. Kakak jadi sering bolos kerja. Ibu memberi semangat kakak. Kakak kembali dibawa ke Rumah Sakit siang ini. Kali ini dokter mendiaknosa kakak terkena gejala Struck. Aku benar-benar tak menyangka. Kakak Cuma bisa diam. Kakak seperti sudah menyerah. Tapi kami tak henti-henti nya memberi semangat.

            Hari ini kakak mendapat panggilan dari spv tempat ia bekerja. Ia tahu spv itu bermaksud apa, yang jelas memberhentikan kak Adi jika ia masih tetap sering gak masuk. Kak Adi sadar ia sering sakit-sakitan. Tapi kak Adi tetap bersikeras untuk sembuh dan bisa bekerja lagi. Walaupun saat itu ia begitu sakit hati.

            Kakak kembali Drop. Kali ini ia mengerang kesakitan sambil menekan-nekan perutnya. Aku dan seisi rumah kebingungan. Kami hanya memberinya obat sakit perut biasa. Keesokan hari nya kakak melemah. Dia hanya bisa tidur di ranjang, sesekali ia terbatuk-batuk. Aku kasihan melihat kondisi kakak yang semakin drop. Dengan sakit yang tak jelas diaknosanya. Malam ini kakak minta tidur dengan ku. Memang agak risih, aku tak bisa tidur semalaman terganggu dengan batuk kakak yang semakin manjadi. Mungkin aku adik yang jahat, aku tak mau merawat kakak kandungku sendiri. Aku malah pura-pura tidur. Kakakpun tak pernah sedikitpun mengeluh.

            Keesokan harinya, kakak mulai tak mau makan. Tiap kali makan, tak ada makanan yang tersisa dalam perutnya. Dia terus saja muntah-muntah. Ibu mulai panik. Malam ini kakak tidur dengan ku lagi. Semalaman kakak hanya batuk-batuk, aku takut tapi aku juga sungkan untuk merawatnya. Entah adik macam apa aku ini. Terakhir yang ku dengar sebelum aku tertidur, kakak muntah darah. Ibu yang memijit tengkuk kakak. Akupun cuma diam didalam kamar.

            Hari ini aku masuk pagi, kakak memandangiku yang sedang mondar mandir mencari bedak.

            “Pit, aku entar tolong nitip belikan amplop besar ya?”

            “Buat apa kak amplop besar?”

            “Kakak mau ngasih surat risent. Nanti tolong carikan juga contoh surat risentnya di internet ya,Pit? Ini kakak kasih uang.” Sambil memberiku lembaran-lembaran uang 25ribu. Aku tak begitu memberinya komentar, aku langsung menerima uang itu dan kemudian berangkat kerja. Siang ini aku istirahat kerja. Betapa kagetnya saat tak kudapati orang-orang di rumah. Dimana mereka semua? Tak lama kemudian aku mendapat pesan singkat dari ayah, yang isinya memberi tahukan kalau kakak opname. Tanpa pikir panjang aku langsung meluncur ke rumah sakit. Ku dapati kakak dengan wajah pucatnaya. Tak lagi setampan dulu. Sungguh hati ini ingin menangis. Tapi aku malu pada orang-orang disekitarku.

            Tak terasa besok memasuki bulan ramadhan. Aku ingin melihat kakak sembuh. Tak henti-hentinya ku panjatkan doa untuk kesembuhan kak Adi. Kakak masih tergolek lemah dalam tempat tidurnya, bergantian kami menjaganya dirumah sakit.

            “Buk, Adi pengen minta tolong?”

            “Apa,nak?”

            “Panggilin pak pendeta,buk. Adi pengen ngomong sesuatu.” Tanpa memberi komentar apa pun Ibu mengiyakan permintaan kakak.

            “Pit, nanti kalau kamu pulang kerumah, tolong ambilin buku agenda kakak, di laci meja kamar ya?” Semua yang menyaksikan pasti tak kan mampu menahan airmata, aku tak tahan aku pun keluar dari ruangan kamar kakak. Dan bergegas pulang mengambil buku agenda kakak dirumah.

Ku dapati buku itu tergeletak didalam laci meja, aku lancang! Namun aku juga penasaran dengan isinya. Ku buka lalu kubaca. Ya Tuhan betapa teriris-iris membaca tulisan-tulisan ini.

            “Tuhan,aku sudah tidak tahan lagi dengan ini semua. Begitu sakit Tuhan.” Di lembar pertama

            “Hari ini aku dikeluarin dari tempat kerja, walau gak langsung aku dah tau jawabannya.” Di lembar kedua yang ku baca

            “Aku emang cowok penyakitan, aku gak mau ngrepotin kalian semua.” Lembar ketiga.

Aku tak mampu melanjutkannya. Airmata ku sudah banyak yang tumpah. Ku bergegas ke rumah sakit lagi. Ku dapati kakak sedang diperiksa dokter. Kali ini kata dokter kakak kena sakit paru-paru. Ya Tuhan tolonglah kakak ku ini. Aku begitu menyayanginya. Kakak semakin pasrah dengan penyakitnya. Tak lama kemudian ku mendengar ayah berbicara dengan seseorang di luar ruangan. Masuklah seorang laki-laki paruh baya yang sepertinya tak asing bagiku. Ya, ternyata dia adalah pamanku, dia seorang pendeta. Dan tak perlu ku bertanya lagi maksud kedatangan nya kesini.

Paman ku memeluk kakak seraya mengatakan “Tuhan memberkatimu,Nak”. Ruangan tampak  hening. Hanya isak tangis dari ibu tiri dan ibu kandungku. Ya, semuanya hadir. Bahkan kakak perempuan kandungku pun juga hadir. Kakak ku perempuan tinggal bersama ibu kandung ku. Ibu tiri ku tak mempunyai anak dari ayah ku. Namun ia sudah menganggap kami seperti anaknya sendiri. Terutama kak Adi. Dia adalah putra kesayangan ibu.

            Pak pendeta mu,ai mendoakan kakak. Kakak pun entah bicara apa pada paman, lirih suaranya ku dengar. Yang ku dengar paman hanya mengatakan “Puji Tuhan” berulang-ulang kali. Seusai acara itu aku pulang berbarengan dengan keluarnya paman dari ruangan kakak dirawat. Dan syukurlah kakak sudah bisa di bawa pulang keesokan harinya. Setelah hampir seminggu lebih ia hanya bisa terbaring lemah dirumah sakit.

            Pagi ini aku seperti biasa membantu ibu di warung. Namun kali ini kakak hanya duduk di atas kursi. Dia masih lemah. Aku mencoba berusaha menghiburnya.

            “Ibu, sebentar lagi kan lebaran. Aku mau pakek kerudungang ,ah.” Ku ambil kerudung ibu di laci meja kamarnya. Dan ku bawa keluar lalu ku pasang kerudung itu di atas kepala ku.

            “Gimana kak, lucu kan. Hmm...cantik gak?” Sambil ku pasang muka sok imut. Ibu yang melihatku jadi tertawa. Dan kakak pun ikut tertawa namun agak tertahan. Mungkin ia masih merasa sakit ditubuhnya. Lalu semua kembali diam. Hening.

            “Ibu....?” Suara parau kakak memecah keheningan. Aku yang mendengarnya langsung kaget mendengarnya

            “Ya,nak?” Cekatan ibu menjawabnya.

            “Tolong kecilin baju blouse aku ya buk?”

            “Untuk apa,nak kok dikecilin segala?” Kakak hanya terdiam tak menjawabnya.

            “Untuk lebaran ya,nak?” Tambah ibu.

            “He’em...” Hanya itu jawaban kakak.

            Tak terasa sudah hampir dua minggu nuansa Ramadhan. Suatu sore kami duduk bersama seperti biasa. Kakak tetap seperti sebelumnya tak ada perubahan.

            “Kak, lebaran ini kakak minta apa?” Kakak malah memandangiku.

            “Blouse,ya?” Tambahku.

            “He’em” Sambil tersenyum kecil.Akupun berangan-angan akan membelikannya blouse satu minggu sebelum lebaran.

            Hari ini kakak meminta ayah untuk ditemani ke kamar mandi. Dia bilang perutnya sakit. Sambil dibantu ayah berjalan kakak ku tampak sudah kesusahan untuk berjalan sendiri. Lama ayah menunggu kakak diluar kamar mandi. Ayah merasa ada yang aneh. Sekuat tenaga ayah mendobrak pintu kamar mandi. Dan ayah mendapati kakak sudah jatuh pingsan di dalam kamar mandi. Semenjak itu kakak jadi tak bisa kemana-mana. Hanya berbaring diranjang kamar. Kencing dan Berak pun kakak hanya bisa teriak-teriak seperti orang tua yang sudah tak bisa apa-apa lagi. Tangan dan kakinya sudah mulai tak bisa di gerakan lagi. Mata pandanya semakin melebar . Pucat. Seperti mayat hidup. Sungguh aku tak tega melihat Kak Adi seperti itu. Namun aku sudah pasrah pada Yang Maha Kuasa.

            Sengaja pagi ini aku membelikan kakak blouse seperti yang dimintanya kemarin. Namun kusembunyikan lebih dulu, untuk ku berikan nanti mendekati lebaran kurang sehari. Keesokan harinya saat aku masih bekerja, aku mendapat kabar kakak sudah masuk rumah sakit lagi. Tapi cuma sehari. Ia tak mau dirumah sakit lama-lama katanya. Keadaanya semakin melemah. Kami semua telah pasrah.

            “Pit, kamu harus rela jika kakak mu pergi. Kata dokter tadi paling lama jika ada keajaiban kakak mu hanya bisa bertahan paling lama tiga sampai lima tahun.” Aku yang mendengar itu semua tak sanggup lagi menahan airmata ini. Kakak yang tanpa sengaja mendengarnya hanya bisa diam dan pasrah. Sesekali ia kesal.

            “Biar buk! Biar saja! Aku mati itu lebih baik buk!” Kami semua tak sanggup lagi berbuat apa-apa. Selain memberi semangat kakak untuk sembuh.

            Lebaran Kurang beberapa hari lagi. Namun kakak harus dibawa ke rumah sakit lagi pagi tadi. Nafasnya sudah mendengkur. Aku takut. Sebelum berangkat kerja dan sebelum dibawa ke rumah sakit kakak sempat memperhatikan aku sibuk mondar mandir mencari bedak. Ia menatapku seakan ingin mengatakan sesuatu pada ku, namun mulutnya sudah kaku tak mampu untuk berucap. Aku hanya bisa berdoa untuk kakak. Semoga diberi kesabaran dan kesembuhan. Sore ini selepas Ashar aku mendapat kabar dari ibu bahwa kakak telah tiada. Ya Tuhan, secepat ini kah Engkau mengambil kakakku? Hati ku tak tau bagaimana rasanya. Airmata ini rasanya sudah derah membasahi pipiku. Aku segera pulang dan minta izin atasan ku agar mengizinkan ku pulang. Aku bergegas ke rumah sakit. Tapi kakak sudah kaku. Ku buka kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Dingin. Kulitnya sudah dingin. Aku memeluknya. Ku coba membangunkannya.

            “Kakak! Kakak! Bangun! Kak, bangun! Jangan tidur terus! Kak bangun!!!!!” Aku terkulain lemas. Aku memeluk tubuh ibu yang pingsan. Ibu mengigau dipelukanku.

            “Anak ku, jangan pergi,nak. Kamu arjuna ku jangan pergi anak ku yang paling ku sayang!” Aku berusaha menenangkannya. Namun ibu terus saja mengigau.

            “Ibu sayang kamu ,nak. Ibu sudah kecilkan baju kamu. Pita juga belikan baju kamu nak. Ini ibu simpan?! Nak,kamu mau kemana? Mau kemana kok naik sepeda segala. Nak, jangan tinggalin ibu,nak!!!!!!!!!” Aku tak kuasa menahan kesedihan ini.

            Jenazah kakak baru dimakamkan besok pagi. Semua sanak saudara dan rekan-rakan kakak hadir di acara pemakaman kakak. Akupun mengiringi perjalanan ke makam. Dengan membawa air kendi berisi air ini ku hantar kakak dalam persemayaman terakhirnya. Selamat jalan kakak. Semoga kau tenang disana. Salam hangat dan rindu dari aku, adikmu yang selalu menyayangimu. Maafkan aku yang tak pernah ada disaat-saat terakhir kepulanganmu. Aku tahu kau selalu ada disisiku. Walau kita terpisah jarak dan waktu yang tak tau kapan berakhirnya.

            Lebaran Tahun ini dan juga lebaran-lebaran yang akan datang aku tak lagi barsama mu kakak. Kak Adi.

 


oleh : Lucky Oktaf (Kediri, 2014)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler