Deras asmaramu mendekapku, seluruhnya dengan penuh,
Membawa resah seminggu rindu, menunggu sambut dengan keluh,
Ah.. sewajarnya demikian, aku menimpalinya.
Tak cukup dekap dan peluk,
rintikmu memagut sengit bibirku,
Aduh.. kurasa engkau menggigitku dengan gemasnya.
Cukupkan sapa ini,
mari kubonceng kau dengan motorku,
Kita laju sepanjang jalan ini, meninggalkan riang ingatan yang menggenang
Mari kumulai saja…
Aku ingin bercerita padamu, tentang terang yang masam sebab hadirmu.
Lalu pergi sembunyi dalam gumpal cemburu, serupa warna abu menuju gelap.
Sesekali ia mengintip dan menatap penuh kelebatan amarah, dan kelamaan gemeretuknya berlomba dengan nafasnya,
Amarah dan nafasnya seirama tatap yg dingin
Kau tak takut rupanya…
Sudah hentikan senyummu, jangan kau goda terang lebih lama,
Selepas rindu ini, panggilkan kawanmu,
Bianglala ia punya nama kan?
Kulihat ia suka mengendap dalam senyap cintanya kepada terang.
Jangan lupa, Sampaikan salamku untuknya.
Sampaikan, bahwa malam terlalu sering menyekapku lewati masa.
Maafkan aku tak bisa berlama dalam dekapmu, tubuh ini sudah mulai renta.
Tulang ini pun mulai ngilu,
Dan sendau gurau kita tak seperti dulu lagi,
Renta ini adalah fana yang kerap menggigil takut.
Sementara lapang dan atap, menjelma perangkap bagimu, membendung curah rindumu.
Asmaramu selalu mencari nama untuk dikenal,
Dan aku tak pernah salah untuk menyapa namamu,
Namamu berbeda pada memoriku, memorinya, atau memori mereka,
Namamu mempunyai wujud lukisan verbal, yang takkan tertukar.
Sedari kecil hingga renta, seperti rindumu yang setia pada serap tanah.
Asmara hujan, kupanggil engkau.
Mari kita cukupkan sampai disini,
Terang mulai tak sabar dengan dirimu.
Lain kali cukup kau sapa aku pada bulir air di teras rumah, dengan rintik sendu.
Aku takkan lupa padamu,
Asmara hujan.
Jl. Raya Parung, 22 Juli 2018
Komentar
Tulis komentar baru