Skip to Content

Balada Sebuah Perlawanan

Foto Arinda Risa Kamal

Balada sebuah Perlawanan

 

 

yang kemudian menjadi desah angin

adalah kenangan, riwayat yang pernah

terputus di buku-buku

 

ketika gedung-gedung tumbuh dari kepala,

api masih menyala di ladang, berkobar–memanas

sementara itu jejak-jejak kita telah hilang,

melepuh, kemudian tenggelam disimpan zaman

“siapa yang takut peperangan,” katamu

tapi aku telah larut, mati dalam tulisan,

ketidakpuasan yang tak mengenal kekal

 

melalui kitab-kitab kau bertanya pada tuhan,

tak henti membaca sejarah berulang-ulang

 “siapa yang mengajari kita peperangan”

 

ah, kenangan hanyalah keterlanjuran

dan hidup telah menjadi sandiwara yang membosankan

maka biarlah anak-anak lapar hingga mati,

sebab gedung-gedung itu telah urung dihancurkan


“serigala kudisan itu akan terus melolong

menyanyikan doa-doa yang tenggelam”

 

sebelum pagi benar-benar kembali – aku meradang,

menerjang segala himpitan gedung-gedung yang terjal

sementara itu kau masih di sana, terus membaca kematianku

 

“kau harus kembali dari kematian,” bisikmu di kejauhan,

dari samarnya berbagai peristiwa dan kenangan

 

dan demi tangis anak-anak yang lapar,

demi ingatan yang terus dihantam

bayangan-bayangan kematian, kau sulut kembali

perlawanan, wajah lain sebuah perdamaian

 

“kita telah sama-sama tahu,

bahwa peperangan,

ibu dari berbagai ketidakpuasan,

tak pernah bisa dihindarkan”

 

“ia seperti maut. mengintai setiap degupan”

 

 

 

 

2011

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler