Balada sebuah Perlawanan
yang kemudian menjadi desah angin
adalah kenangan, riwayat yang pernah
terputus di buku-buku
ketika gedung-gedung tumbuh dari kepala,
api masih menyala di ladang, berkobar–memanas
sementara itu jejak-jejak kita telah hilang,
melepuh, kemudian tenggelam disimpan zaman
“siapa yang takut peperangan,” katamu
tapi aku telah larut, mati dalam tulisan,
ketidakpuasan yang tak mengenal kekal
melalui kitab-kitab kau bertanya pada tuhan,
tak henti membaca sejarah berulang-ulang
“siapa yang mengajari kita peperangan”
ah, kenangan hanyalah keterlanjuran
dan hidup telah menjadi sandiwara yang membosankan
maka biarlah anak-anak lapar hingga mati,
sebab gedung-gedung itu telah urung dihancurkan
“serigala kudisan itu akan terus melolong
menyanyikan doa-doa yang tenggelam”
sebelum pagi benar-benar kembali – aku meradang,
menerjang segala himpitan gedung-gedung yang terjal
sementara itu kau masih di sana, terus membaca kematianku
“kau harus kembali dari kematian,” bisikmu di kejauhan,
dari samarnya berbagai peristiwa dan kenangan
dan demi tangis anak-anak yang lapar,
demi ingatan yang terus dihantam
bayangan-bayangan kematian, kau sulut kembali
perlawanan, wajah lain sebuah perdamaian
“kita telah sama-sama tahu,
bahwa peperangan,
ibu dari berbagai ketidakpuasan,
tak pernah bisa dihindarkan”
“ia seperti maut. mengintai setiap degupan”
2011
Komentar
Tulis komentar baru