SELOKA BISU
BATU BENAWA
Bunga Rampai Puisi
Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII
Kabupaten Hulu Sungai Tengah 2011
Seloka Bisu Batu Benawa
Kalimantan Selatan: Panitia Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII 2011
bekerja sama dengan Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Hulu Sungai Tengah
Xx + 226 hlm.; 14 x 21 cm
Cetakan ke-1: September 2011
Editor : Y.S. Agus Suseno
Desain isi : Hery S.
Desain cover: Hery S.
Lukisan cover: Hajriansyah
Diterbitkan oleh:
Panitia Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII 2011
bekerja sama dengan Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Hulu Sungai Tengah
Jalan H. Abdul Muis Redhani Nomor 3, Barabai
Kabupaten Hulu Sungai Tengah
Kalimantan Selatan
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Senarai Isi
Sambutan Bupati Hulu Sungai Tengah
Sambutan Kepala Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Hulu Sungai Tengah
Pengantar Panitia Pelaksana
Sekapur Sirih Editor
Senarai Isi
AA Ajang
Cermin Retak
Aan Maulana Bandara
Kerinduan
Abdul Hanafi
Anarkis
Abdus Sukur MH
Nyanyian Anak Seribu Sungai
Abdurrahman El Husaini
Nyanyi Hati
Ahmad Albar BS
Rumpiang
Ahmad Syadzali
Kembali ke Awal
Ahmad Syarmidin
Sketsa
Akhmad Husaini
Bila Sunyi
Akhmad T. Bacco
Sajak Batang Pisang
Rumah Musim Semi
Mendung dalam Sepi Pagi
Ali Syamsudin Arsy
Kereta Panjang Kalimantan
Sawit-Sawit Daun Sawit
Aliman Syahrani
Kandangan 2003-2013
Orkestra Perahu
Aliansyah Jumbawuya
Sajak
Ana Maulida Hidayah
Perasaan Bukan Rasa
Antung Hormansyah
Pasrah, 1
Pasrah, 2
Ariffin Noor Hasby
Kata-Kata yang Kau Beri Tanda
Kusimpan Saja Hujan
Arsyad Indradi
Wajah Mekar Bunga
Narasi Kupu-Kupu
Arief Rahman Heriansyah
Jejak Rumah Lanting
Aspihan H. Hidin
Gelombang Sunyi
A. Rahman Al Hakim
Mata Utama
A. Setia Budhy
Serumpun Puisi
Negeri Penyair
A.W. Syarbaini
Agaman Rista Anoman
Bambang Indra Rukmana
Aku Paham
Burhanuddin Soebely
Seloka Bisu Batu Benawa
Gandut
Bram Lesmana
Panggillah, Aku Pasti Datang!
Perpisahan
Dien Alice
Rotasi
Eko Suryadi WS
Di Malioboro
Rumah Puisi
Erika Adriani
Minta Aku Bunga
Setelah Laut, Kota Pun Makin Jauh
Evira N. Maulida
Namamu Hanya Bisa Kuhijab dalam Puisi
Eza Thabry Husano
Wajah Musim
Cakar Waktu
Fahrurraji Asmuni
Bulan Jatuh
Puisiku Terbaring
Kebangkitan
Farid Ma’ruf
Bait-Bait Mimpi
Fitriansyah
Kado Untuk Anakku
Gusti Indra Setyawan
Nisan yang Bertuah
Hajriansyah
Bulan Bukit Sampah
Kuala
Haliem Kr
Anakku Sayang
Harun Al Rasyid
Matahariku Tersayang
Hamami Adaby
Derai-derai Angin di Ujung Daun
Tuhan Berkata Lain
Hamberan Syahbana
Perkenalan Imam Perang Penyangga Utama Kerajaan Dunia Maya
Helwatin Najwa
Berdamailah, Wahai Sang Waktu
Tersenyumlah
Hujan Sudah Reda, Sayang, Malam Kian Larut Malam
H. Adjim Arijadi
Menelanjangi Matahari
H. Amir Husaini Zamzam
Ayahku Koruptor
H. Embeka
Malam Nisfu Sa’ban
H. Fahmi Wahid
Malam Setelah Gerimis Panjang
H. Murjani H.
Sketsa
Hj. Maisyanti Disi Fatimah
Mentari di Ufuk Barat
Hj. Roosmayati
Jangan Ucapkan Kata Cinta
Ibramsyah Amandit
Candi Agung
Hadapan
Mamang Borneo
Iberamsyah Barbary
Sabda Alam
Imam Bukhori
Tahun Ramadhan
Ismail Wahid
Rumah Cahaya
Jaka Mustika
Kita Tak Pernah Tahu
Jhon FS. Pane
Seperti Batu
Sketsa Mimpi Kota
Kalsum Belqis
Ladang Angin
Kayla Untara
Hijau Itu…
Komariah Widyastuti
Nyanyian Hutan Perawan
Lilies MS
Biarkan Sajalah Mereka
Takjub
Mahmud Jauhari Ali
Pada Sungai, Ada Sebuah Kisah
Mas Alkalani Muchtar
Tanah Huma
Masdulhak Abdi
Aku Tetap Anakmu
Mengapa Kau Lupa Namaku
Muhammad Radi
Apa yang Kau Perlukan
Muhammad Rifqi
Pulang (Lagi)
Menunggu Waktu
Muhammad Rusmadi
Hm...
Muhammad Rusyadi
Teriak Hening Tabalong
Mutia Rahmah Albar
Perjalanan
Miranda Seftiana
Penyesalan Sebuah Raga
Misbah Munir Akhdy
Badan Pesan
M. Amin Mustika Muda
Aku Mencari Air Mata
M. Aini Asmuni
Rentang Waktu
M. Nahdiansyah Abdi
Ekstase Namaku
Sore Bersoda
Bianglala
M. Hasbi Salim
Telaga Ramadhan
M. Sulaiman Najam
Kotaku
Duka Meratus
M. S. Sailillah
Surat Buat Kekasih
Burung Kemerdekaan
Ninin Susanti
Bulan Kugantung di Sudut Kampungku
Noor Aida
Iktikaf
Noor Anissa Fauzana
Tangisan Kali Balangan
Nurdin Yahya
Lubang Besar
Warta
Oka Miharzha S.
Mengejar Rama-Rama Cinta
Puji Rahayu
Subuhku yang Terbuang
Rahmiyati
Sedikit Saja, Rindu dan Masa Lalu Itu
Seperti Kincir Menderu
Rahman Rizani
Buah Benci dari Anak Balian
Kotak Politik
Ratih Ayuningrum
Dan Hujan Adalah Cerita
Aku Pernah Menyukai Bintang
Melukis Malam
Reni Eka Winarti
Tobat
Redha Adharyan Ansyari
Kandangan Kota Cintaku
Rudi Karno
Mantra
R. Syamsuri Sabri
Kuyang
Sumpah Kuyang
Sri Normuliati
Pulang
Hanya Perlu Dilihat
Suhaimi
Atas Nama Hujan
Sumarni
Dalam Bis Gunung Bamega
Suriansyah
Alex/Siami 2011
Suriansyah
Tentang Kata
Surya Achdiat
Ilalang
Syaiful HS
Darah Dingin
Syarkian Noor Hadie
Dunia
Taberi Lipani
Hilang
Mantra Rasaku
Tajuddin Noor Ganie
Mendulang Intan
Taufiq Ht
Kau pun Tersesat di Kota Ini
Ke Wisata Goa Berangin dan Selarik Sajak Kau Dendangkan
Tati Noor Rahmi
Barabaiku
Tato A. Setyawan
Telah Kau Tulis Banyak Larik Puisi dari Buih Ombak Pantai Pagatan
Tarman Effendi Tarsyad
Rumah Kayu
Sepotong Sumbu Pada Lampu
Lampu Bersumbu Kalbu
Tri Restu Panie
Negeri Ini Bebas Penganggur Sejati
Wahyu Hidayat
Tak Tahu
Zainal Arifin
Menebar Benih Sastra di Bumi Murakata
Barabai Nan Jauh
Zainal Mursalin
Dinding
Guruh
Zurriyati Rosyidah
Kucingku Sayang
Violet
Tentang Penyair
Sambutan
Bupati Hulu Sungai Tengah
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Terbitnya buku sastra, sebagai salah satu penanda Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VIII di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), patut diapresiasi. Atas nama pemerintah kabupaten maupun pribadi penyuka sastra, saya menyampaikan kegembiraan, rasa bangga dan terima kasih kepada semua pihak yang berperan serta atas terbitnya buku ini, dan dalam keseluruhan kegiatan.
Dalam ASKS VIII, panitia menerbitkan tiga buku sastra: bunga rampai puisi sastrawan Kalimantan Selatan, antologi puisi dan cerpen pemenang Lomba Cipta Puisi dan Lomba Mengarang Cerpen Kalimantan Selatan, dan buku Pemenang Lomba Penulisan Cerita Rakyat Kabupaten HST.
Tiga buah buku tersebut semoga menjadi tambahan pengetahuan bagi dunia pendidikan di Kabupaten HST, khususnya, dalam hal ini pengetahuan tentang sastra dan sastrawan Indonesia di Kalimantan Selatan, sementara cerita rakyat Kabupaten HST bermanfaat sebagai bahan pelajaran muatan lokal. Buku-buku ini juga semoga menginspirasi sastrawan dan budayawan Kalimantan Selatan, umumnya, dan memotivasi penulis sastra di Kabupaten HST, khususnya.
Buku-buku ini diharapkan bukan hanya menambah literatur perpustakaan sekolah di Bumi Murakata, tapi juga sebagai pintu masuk, jendela jiwa, untuk mengenal karakter insan Bumi Murakata yang berbudaya dan berintegritas.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada sastrawan dan budayawan Kalimantan Selatan yang berpartisipasi dalam kegiatan ini, yang telah berkontribusi memajukan seni dan budaya di Bumi Murakata, dan berkenan menjadikan Barabai, Kabupaten HST, sebagai tuan rumah ASKS VIII Tahun 2011.
Semoga kegiatan ini memberikan makna yang positif bagi perkembangan seni dan budaya di Kalimantan Selatan, umumnya, dan di Kabupaten HST, khususnya; guna memajukan sumber daya manusia kita di bidang kebudayaan.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Barabai, Agustus 2011
H. HARUN NURASID
Sambutan
Kepala Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Hulu Sungai Tengah
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, taufiq dan hidayah-Nya jualah Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporbudpar) Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), bekerja sama dengan panitia pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VIII Tahun 2011, dapat menerbitkan buku ini. Kehadiran buku ini diharapkan memperkaya khazanah pustaka sastra dan budaya di Kabupaten HST, khususnya, dan Kalimantan Selatan, umumnya.
ASKS VIII Tahun 2011 di Barabai, Kabupaten HST, mengusung tema Menebar Benih Sastra di Bumi Murakata. Tema ini mengandung arti, bahwa kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan benih, bibit dan calon penulis sastra di Kabupaten HST yang, harus diakui, masih tergolong minim.
Saya menyambut baik kerja sama panitia pelaksana ASKS VIII ini, hingga dapat menerbitkan buku Seloka Bisu Batu Benawa (Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII), Balian Jazirah Anak Ladang (Antologi Pemenang Lomba Cipta Puisi dan Cerpen Kalimantan Selatan), dan Batu Tangga Datu Nini Haji di Balai Gunung Kepala Pitu (Antologi Pemenang Lomba Menulis Cerita Rakyat Kabupaten HST).
Semoga kehadiran buku-buku ini dapat memotivasi, menambah wawasan dan pengetahuan, dalam upaya kita membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya. Saya juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh sastrawan dan budayawan Kalimantan Selatan yang berpartisipasi.
Akhirul kalam, mohon maaf atas segala kekurangan yang mungkin terjadi dalam seluruh rangkaian pelaksanaan kegiatan.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Barabai, Agustus 2011
Pengantar Ketua Panitia Pelaksana
Syukur alhamdulillah, pelaksanaan kegiatan Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VIII Tahun 2011 di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dapat berjalan sesuai rencana. Kegiatan dilaksanakan secara bertahap, sejak praAruh, Aruh, dan (juga, dicanangkan agenda) pascaAruh.
Kegiatan praAruh telah dilaksanakan sebelumnya, sejak rapat pembentukan panitia, merancang materi dan jadwal kegiatan, mengkomunikasikannya dengan pihak-pihak terkait, publikasi di media massa; hingga mempersiapkan “pasukan khusus” (kepala sekolah, guru, siswa-siswi SLTP/Madrasah Tsanawiyah dan SLTA/Madrasah Aliyah Kota Barabai), yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan.
Pelaksanaan perhelatan sastra Kalimantan Selatan terbesar ini dilandasi tema Menebar Benih Sastra di Bumi Murakata. Dengan tema itu, diharapkan seni sastra dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih baik, di Bumi Murakata, khususnya, dan di Kalimantan Selatan, umumnya.
Di samping beragam materi kegiatan lain, salah satu “agenda wajib” ASKS adalah lomba penulisan karya sastra Kalimantan Selatan, yang hasilnya dibukukan. Dalam hal ini, diterbitkan tiga buku: bunga rampai puisi sastrawan Kalimantan Selatan, antologi puisi dan cerpen pemenang lomba, dan buku kumpulan pemenang lomba cerita rakyat Kabupaten HST.
Hal lain yang perlu dicatat dalam ASKS VIII Tahun 2011 di Kabupaten HST ini adalah safari sastrawan Kalimantan Selatan ke sekolah-sekolah di Kota Barabai. Hal ini penting, mengingat seni sastra membutuhkan apresiator, dan apresiator utamanya adalah dunia pendidikan. Peran guru dan anak didiknya dalam apresiasi sastra tak dapat dianggap remeh.
Lomba penulisan cerita rakyat penting untuk mendokumentasikan khazanah budaya lokal, dalam hal ini cerita rakyat dari Kabupaten HST. Selama ini, cerita rakyat yang hidup di masyarakat Kabupaten HST lebih banyak disampaikan secara lisan, amat sedikit yang dalam bentuk tulisan. Hasil lomba ini dapat ditindaklanjuti oleh para pihak dalam bentuk penelitian lebih lanjut, atau dalam bentuk diskusi dan seminar, dan hal itu telah dicanangkan sebagai agenda pascaAruh. Karena minimnya sumber bacaan tentang khazanah budaya lokal, buku cerita rakyat tersebut barangkali dapat dijadikan sebagai bahan muatan lokal di sekolah; lebih baik lagi seandainya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Kabupaten HST. Cerita rakyat (mitos, dongeng, legenda) banyak mengandung amanat dan nilai-nilai yang positif untuk pembangunan moral bangsa.
Diharapkan, ASKS VIII Tahun 2011 ini memacu kreativitas sastra dan budaya, lebih-lebih bagi masyarakat Bumi Murakata, Kabupaten HST, di masa mendatang.
Barabai, Agustus 2011
H. Fahmi Wahid
Sekapur Sirih Editor
Saat ketua panitia pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VIII, Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), H. Fahmi Wahid, menyerahkan setumpuk naskah di Warung Komisi XI (warung kopi tempat para seniman barucau) Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarmasin, Kamis, 4 Agustus 2011, Pukul 22.30 WITA, saya tertegun. Bukan jumlahnya yang membuat saya bimbang, tapi cukupkah waktu untuk mengerjakannya, mengingat ASKS VIII dijadwalkan berlangsung 16-19 September 2011.
Betapa pun, karena diminta sebagai editor, bekerja siang-malam demi mengejar tenggat waktu (sebelum proses cetak buku) adalah sebuah tantangan. Sulitnya, puisi-puisi untuk bunga rampai ini sebagian besar tidak dikirimkan lewat e-mail (yang bisa di-copy paste dan langsung disunting), tapi dalam bentuk print out, sehingga yang harus dilakukan kemudian (setelah diseleksi) adalah mengetik ulang puisi-puisi tersebut. Untuk itu, saya menyampaikan terima kasih kepada Nurdin Yahya yang telah membantu mengetik ulang.
Dari pengamatan saya selama menjadi anggota dewan juri lomba cipta puisi, cerpen, cerita rakyat dan editor buku-buku sastra (berbahasa Indonesia maupun berbahasa Banjar), sebagian besar penulis sastra kita “tidak lulus” dalam ejaan, struktur kalimat, fungtuasi, penulisan kata tempat, kata kerja dan hal-hal lain yang terkait dengan “penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Itulah yang juga terjadi saat saya menyeleksi. Setelah memilah (dan memilih) “puisi yang kurang buruk dari yang terburuk” (atau “yang terbaik dari yang kurang baik”, terserahlah), saya harus tatak buntut, buang kapala, manyiangi -- atawa manggayat, mangatam wan mahampalas lagi teknis tata bahasa tersebut.
Panitia meminta tiap penyair mengirimkan maksimal tiga puisi. Bagi yang mengirim sesuai jumlah itu (atau lebih, atau kurang), dan yang terpilih kemudian ternyata hanya satu, itulah “hak prerogatif” editor, guna menjaga “mutu”. Tak pelak lagi, antologi ASKS adalah “beranda sastra” Kalimantan Selatan yang harus selalu dijaga dan diperbaiki mutunya dari waktu ke waktu; meskipun hal itu sukar dilakukan, sebab terkadang harus berkompromi dengan keadaan.
Yang membanggakan, di Kalimantan (bahkan bila dibandingkan dengan di Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, Maluku), hanya Kalimantan Selatan yang punya agenda sastra tahunan seperti ASKS. Di Kalimantan Selatan sendiri, bidang seni lain (teater, musik, seni rupa,) tak punya agenda itu; terutama dalam independensi senimannya mengelola materi acara, bukan yang dalam bentuk “program” atau “proyek” yang telah diplot birokrasi segala sesuatunya (dan seniman biasanya hanya sebagai “pelengkap penderita”). Pengecualian ada pada seni tari, yang memiliki Festival Karya Tari Daerah Kalimantan Selatan, yang rutin dilaksanakan Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Selatan.
Puisi-puisi yang terhimpun di bunga rampai ini mencerminkan keberagaman. Bukan hanya tema dan mutu puisinya, tapi juga profesi penulisnya. Dari kepala dinas sampai pekerja harian lepas, dari ketua wredatama sampai siswa. Pembacalah juri terbaiknya. Waktulah yang akan menentukan: apakah dari 105 penyair (ini jumlah terbanyak sepanjang sejarah penerbitan antologi puisi ASKS, dengan syarat yang lebih longgar) yang 148 karyanya terhimpun di sini akan terus berkarya (dan bertahan) di masa depan, untuk menyuburkan taman sastra Indonesia di Kalimantan Selatan.
Banjarmasin, 23 Agustus 2011
Y.S. Agus Suseno
A A Ajang
Cermin Retak
cermin retak
pantulkan bayang
wajah utuh
bias seribu
menyisakan sudut-sudut kaku
menajam dan memanjang
kadang melukai
menggambarkan usangnya kehidupan
yang terhempas
di saat orang-orang menari girang
masih menyisakan banyak kedukaan
(potret negeri ini)
Handil Bhakti, 03032011
Aan Maulana Bandara
Kerinduan
to: Sayneri Nuryanti
Aku masih belajar hidup
bahwa hidup ini tidak indah
penuh duri dan lika-liku
Say, aku bukan dua puluh tahun lalu
segala hidup penuh indah
dan kemilau pesta
Tapi saat ini aku rapuh
berpeluh penuh keringat nanah
tak ada lagi mata air
air mata sudah tumpah
Istri sudah jenuh
menatap derita dan penderitaan
di mana dan ke mana
aku harus berlari-lari mencarimu
mengejar ombak
menunggu kerinduan yang tak bertepi
Barabai kota apam
membuatku terhenyak
di manakah kau, Say?
Kandangan, 24 Juli 2011
Abdul Hanafi
Anarkis
Pemantik masa kobarkan amarah
Acungkan tinju mengepal tegak
Rahang geram gemeretak
Mata menyala merah bara
Tak puas hanya dengan kilatan lidah
Kelebat tangan ikut beraksi
Raih perhitungan, lemparkan batu
Sasaran panik tak menentu
Pekik teriak menindih riuh:
“Berantas korupsi…!”
“Tumpas kezaliman…!”
“Hancurkan sarang maksiat..!”
Dalih mereka meredam kejahatan
Dapatkah api memadamkan api lain
Tanjung, 29 Juli 2011
Abdus Sukur MH
Nyanyian Anak Seribu Sungai
tak tentu waktu
tapi selalu begitu
menjelang sore hari
kami selalu menikmati
(mandi bercanda di riak sungai)
anak lelaki: berebut eceng gondok
akarnya diambil dijadikan pupuk
anak perempuan: berenang di tepian
tapi itu dulu
ketika jumlah sungai katanya seribu
inilah nyanyian anak seribu sungai
yang setiap waktu selalu sangsai
sungai kami saat ini bisa dihitung dengan jari
hilang perlahan tapi pasti
2010-2011
Abdurrahman El Husaini
Nyanyi Hati
: Ibramsyah Amandit
Badai akan datang
Camar segera pulang
Daun pandan dianyam-anyam
Jadilah tikar sebagai kasur empuk singgasana mimpi
Guna menanti senyum hapuk tawa kaum bidadari
Di pulau harapan
Badai akan datang
Camar segera pulang
Mengumpulkan daun-daun pandan
Jadilah sarang di pohon-pohon keabadian
Mtp, 20/12/10
Ahmad Albar BS
Rumpiang
Rajutan nafas kasih sayang dan cinta
Umpan kehidupan fatamorgana
Manakala alunan rindu terpadu
Puing rona kehidupan
Intai kurun waktu bertabur
Adakan sejuta makna
Nanang bahalap ayam barumbai
Galuh Diang maambur pupur
Januari, 2009
Ahmad Syadzali
Kembali ke Awal
Kami rindukan kemurnian
Sebagaimana Kau letakkan kami pada bagian permulaan
Tak ada keluh kesah, tak pula kesalahan atau pun kejahatan
Kau limpahkan kami madu ketenangan
Alangkah rindunya kami,
Karena kemurnian permulaan itulah kami menjadi seringan kapas
Melayang-layang menembus awan-Mu
Hingga tak ada halangan kemanapun kami suka
O, wahai pemilik rahmat
Jangan biarkan kami terjerat,
Lihatlah kami yang terpenjara
Jeruji-jeruji ini telah melumpuhkan sayap-sayap kami
Ahmad Syarmidin
Sketsa
singa jilat pemburu
anjing cium harimau
kucing dekapan anjing
tom dan jerry bermesraan
kuda pacaran keledai
gajah makan durian
kera cengkerama buaya
berang-berang musang
berleha-leha
suami-suami takut istri
sketsa
belantara rimba hutan kota
ilusi
kolusi
korupsi
lari dari hukum negeri
ke luar negeri
ainal mafar?
ke mana hendak lari
hukum-Nya amat perih
“fa firru ilallah”
Larilah pada-Nya jua
Al Qahhar
kami amat yakin samudera maghfirah-Mu
Kandangan, Juli 2011
Akhmad Husaini
Bila Sunyi
Suara keras menggelegar memekikkan telinga
Dan kesunyianlah yang kuterima
Aku sudah bosan di sini
Tak ada perubahan
Salahkah aku?
Ingin rasanya aku melangkah pergi
Meninggalkan tempat ini
Tempat yang pernah memberikan kenangan
Tentang hidup yang penuh nestapa
Tapi aku akan terus berjalan
Meninggalkan suara-suara nyaring
Yang memekikkan telinga
Aku ingin mandiri berdaya guna
Dengan senyuman kecut
Memberi arti tanpa kesia-siaan
Perasaan takut kerap melanda
Disegani orang
Aku pergi ingin memberi arti
Kuajak lamunan mengentalkan keraguan
Kandangan, Maret 2011
Akhmad T. Bacco
Sajak Batang Pisang
Hanyut dalam air nan deras. Meskinya tali tak dilepaskan
Meluncur dalam jeram. Terombang-ambing dalam gemericik desah ombaknya.
Angin sepoi
Lalu ada diam yang memberontak
Memang batang pisang tempat para mati tidur dalam senyap
Kukus hangat pemandian terakhirnya
Menyuburkan tanah-tanah pemakaman
Setelah itu kesenyapan terjadi. Hanya cinta yang dapat menguatkan dada.
Dalam kehilangan
Akhmad T. Bacco
Rumah Musim Semi
Angsa pun mengangguk. Terjun ke air deras
Daun-daun dan bunga persik
Mengurai hawa memang asyik. Aku kagum pada putikmu. Gugur di musim semi
Seiring beberapa salju jatuh. Air sungai mendinginkan.
Kutak peduli orang-orang menghukummu dalam diam
Pagi yang sunyi
Biar teduh dalam senyapnya
Rumah musim semi putik-putik bunga-bunga bermunculan
Ada air mata. Tumpahkan rindu.
Gaduh dalam jiwa yang merindu-Nya
Tanjung, 1 Agustus 2011
Akhmad T. Bacco
Mendung dalam Sepi Pagi
Mendung dalam sepi pagi
Begitulah terbentang ngarai di bawah sana
Duduk dalam diam bersedekap erat
Memeluk alam di saat bayang-bayang tak terlihat
Menyerpih sesekali awan menyungkup bumi
Merayulah angin dingin
Beku
Tanjung, 17 Juli 2011
Ali Syamsudin Arsi
Kereta Panjang Kalimantan
Bunyi kereta itu mulai terdengar, datang dari tempat yang jauh, jauh sekali, bahkan senyap di gumpalan embun; kita nikmati lenggoknya gemulai di liuk-liuk bukit dan ngarai
Perjalanan kereta itu, lesap di antara tebing-tebing curam, hutan-hutan lebat pohonan, sesekali menghilang dan jantung berdebar; kita sambut lambai tangan orang-orang di dalam, orang-orang yang meluncur bersama - membuka mata - pada ketinggian
Dermaga kereta itu telah pula bergelantungan; inilah rumah kami, rumah dari kereta panjang kalimantan
/asa, banjarbaru-samarinda, 18 Juli 2011
Ali Syamsudin Arsi
Sawit-Sawit Daun Sawit
Bila daun-daun sawit itu telah menghijau di sini, di tanah-tanah datu nini ini maka tak akan lama lagi terkuraslah air di sini sampai ke mata-mata sumbernya dan kita tak lagi dapat berenang dalam keriangan seperti yang dahulu kami nikmati, betapa sejuknya embun di pagi hari, betapa kami dengan lapang dan jernihnya dingin menyelimuti
Bila saja akar-akar sawit itu telah meretakkan lapisan tanah-tanah ini, tanah-tanah datu nini kami maka yakinlah bahwa yang seharusnya menanggung beban dari luka itu bukan anak-cucu kami tetapi mereka yang telah membangun sarangnya di pemukiman jauh, jauh dan sangat jauh sekali
Bila biji-biji sawit itu telah melepaskan dirinya dari batang dahan akar daun pelepah dan tangkainya maka saksikanlah oleh kalian betapa dalam dan teramat dalam sumber air mata mereka mengalir, bahkan bukan sebagai air tetapi darah yang membentang teramat panjang sebagai bagian dari ketakberdayaan, sebagai bagian dari ketakmampuan; untuk mempertahankan, sebab inilah pertahanan terakhir yang mampu dipersembahkan
Bila congkak dan serakahnya akar-akar sawit itu merampas hak atas air yang mengalir di atas permukaan maka pastikanlah bahwa kalian (wahai orang-orang bebal) telah menghambakan berjuta mata luka ke haribaan nestapa
/asa, banjarbaru, 18 Juli 2011
Aliman Syahrani
Kandangan 2003-2013
kepada siapa lagi kuwariskan kini
harta pusakaku bernama puisi
karena, sebagaimana kita alami selama ini:
menulis puisi adalah anak tiri
kepada siapa lagi kudaraskan kini
litani purbaku bernama puisi
karena, sebagaimana kita rasa selama ini
membaca puisi dianggap onani
kepada siapa lagi kusyahadatkan kini
alif darahku bernama puisi
karena, sebagaimana kita tahu selama ini
sebuah puisi disamakan khuldi
sekarang aku pun mengerti
mengapa Burhanuddin Soebely dikebiri
meditasi di menara imaji
jauh dari elegi
sekarang pun aku mengerti
mengapa Iwan Yusi mengunci diri
menzikiri orkestra mimpi
jauh dari obsesi
dan sekarang pun aku makin mengerti
mengapa Muhammad Radi mati suri
mendulangi firman ilahi
jauh dari berahi
pun kini aku kian mengerti
mengapa Ruslan Faridi akhirnya pergi
meretasi kepompong sunyi
menautkan diri ke Diri
menyempurnakan janji
dan Darmansyah Zauhidhie
seakan bersaksi di teratak pinasti
Kandangan, 13-25 Juli 2011
Aliman Syahrani
Orkestra Perahu
dan di manakah aku harus menambatkan
perahu rinduku,
melemparkan jangkar kesepianku
di pelabuhan hatimukah,
atau pada jeruji lentik bulu matamu?
senja berkisut membasuh ombak
deburnya menyimbur ke hulu hatiku
dan perahu rinduku terus melaju
dalam pelayaran menzikiri nama demi nama
namamu,
berpacu menderu mendera paru-paru
kandas di kedua bilah merah bibirmu
Aliansyah Jumbawuya
Sajak
Sajak adalah
getar dawai petikan bidadari kala sepi menghujam hati
Sajak adalah
bianglala yang menghias langit senja
Sajak adalah
sepasang burung kasmaran bersahutan senandung riang
Sajak adalah
jendela terbuka saat seorang dara menikmati purnama
Sajak adalah
hujan pertama bagi doa tanah huma
Sajak adalah
gelombang tadarus yang menggeramang di malam kudus
Sajak adalah
kokok ayam jantan menjelang azan subuh
Sajak adalah
secercah cahaya di lorong gelap gulita
Sajak adalah
oase di tengah padang tandus
Sajak adalah
peristiwa sakral saat pertapa menerima wangsit
Sajak adalah
saputangan yang setia menyeka air mata kaum dhuafa
Sajak adalah
helaan nafas kecewa orang-orang tak berdaya
Sajak adalah
kabar angin kembara tentang hikayat gubuk tua
Sajak adalah
tangan terkepal pantang bersekutu dengan kecurangan
Sajak adalah
teriak serak penggugat menghujat angkara para durga
Sajak adalah
janji yang pasti kau tuai di penghujung hari
Sajak adalah
sapa mesra sepanjang masa!
Ana Maulida Hidayah
Perasaan Bukan Rasa
Bila gemericik hati mulai mengalir
Lembut bergulir indah bak berpusaran
Menelusur perih hingga tak terbit
Teranglah jiwa menyelinap hingga penat
Lusuh merobek akar kegalauan
Bagaimana tidak?
Benakku dipaksa lari dari kerugianku sendiri
Padang pikiran bagai belantara
Terasa penuh ilalang keheningan menusuk malam
Bosan miliki bahagia, tapi terasa hampa
Bahagia milik hampa, bagai manusia tak tau rasa
Antung Hormansyah
Pasrah, 1
Dalam gundahku
Sepotong asa kutautkan pada-Mu
Dalam takbirku
Dalam rukuku
Dalam sujudku
Raga, atma, kuserahkan pada-Mu
Ya Allah. Ya Rabbi
Aku tak mampu tengadah
Antung Hormansyah
Pasrah, 2
Ketika mata tak mampu membeda
Tangan tak mampu meraba
Mulutku membisu seribu basa
Hati menggulana
Kemana?
Kepada siapa
aku menghamba?
Tumbuhan?
Hewan?
Itu sudah purba
Atau pada manusia?
Ah, hampir semua mati rasa
Tuhanku, hanya pada-Mu
Terimalah sujudku
Arifin Noor Hasby
Kata-Kata yang Kau Beri Tanda
bagi Barack Obama
kata-kata yang kau beri tanda
sebuah lingkaran waktu
barangkali esok akan sampai ke pelosok dunia yang tersingkir
dan tersungkur
menjadi opera sabun mandi di laut merah
tapi di sini aku masih termangu
menunggu uluran tanganmu yang hangat
bukan senyum serigala atau gadis telanjang dada
yang melipat gaun malam
masa lalu seorang serdadu Vietnam
rumah-rumah bertembok waktu
kehilangan ruang dalam diriku
sebelum sebuah kitab suci
mengirimkan lagu kecapi ke rumahmu
dalam secangkir kopi yang menghangatkan
jendela pagi dunia
Banjarbaru, Nopember 2008
Arifin Noor Hasby
Kusimpan Saja Hujan
kusimpan saja hujan yang meluap dalam diriku
meski beribu sajak telah tumbuh di situ
melantunkan gelisah buku yang ditinggalkan oleh waktu
tapi apakah artinya setumpuk kata-kata
bila tak memberi makna pada jiwa
yang kehilangan ruang sejak lama
untuk mengucapkan tanda-tanda
Banjarbaru, Nopember 2002
Arsyad Indradi
Wajah Mekar Bunga
: memoriam Jarkasi
Kau tahu apa yang aku pendam
Bunga apa yang kau tanam
Tapi masih belum juga dapat menafsir
isyarat yang kau berikan
Bertahun tak pernah meluput
Setiap detak jam dan nadi berdenyut
Bunga yang kau tanam
Senantiasa subur di dalam jiwa
Saat lama tak bertemu
Mimpi pun menjalin rindu
Sewaktu kau menatapku
Ada kaca di hatiku
Pagi itu
Kubuka kain kafan penutup wajahmu
Bibirmu, mekar sekuntum bunga
Matamu, harum wanginya
(Subhanallah: bunga al kausar)
(kssb), 2010
Arsyad Indradi
Narasi Kupu-Kupu
Hakikatnya akulah kepompong
Metamorfosa bergantung di selembar daun
lalu menetas berupa kupu-kupu
lalu terbang menurut takdir
yang telah terikrar
sewaktu masih segumpal darah
Perjanjian itu ditandai ruh berupa sayap
Lalu diperkenankan mengembara di alam ini
Sampai pada batas waktunya
Adalah seekor kupu-kupu
Di ujung selembar daun
Tak pernah lagi menghitung
Entah berapa bunga dihinggapi
Hidupnya adalah madu
Di selembar daun seekor kupu-kupu
Akal pikirannya
Tak sempat mencatatkan narasinya
Memandang sempitnya alam ini
Aku menatap
Dan meratap
Saat daun itu luruh
Entah ke mana terbangnya kupu-kupu
KSSB, 2011
Arief Rahman Heriansyah
Jejak Rumah Lanting
bermula; siang yang merajalela mencekik
memanaskan senja di tepian kampung Pandawa
telaga hulu sungai muara basah: rindu landai
ironi petaka menyambar legenda cerita
"Tuh! jangan memandang senja kuning!"
Uma memekik menarik telapak kecil
ringkih tubuhnya, berbalut helaan risau
mana? dia tak melihat burung gagak bernyanyi
di senja hari, di malam hari
selimut yang membalut tubuh luka
menggigil mendekap nasib angkara
di rumah lantingnya yang bergoyang
diterpa badai tak tau kasihan
lalu petir menjelma
menjadi mimpi buruk selamanya
meringis memandang jejak rumah lanting
tiada, hanya dalam hitungan detik
murka, lalu kepada siapa?
lalu ia menjauh, jauh sekali
melangkah meraih hidup sekali lagi
Banjarbaru,29/05/2011
Aspihan N. Hidin
Gelombang Sunyi
lautmu adalah lautku
sama-sama memendam resah
dan tak pernah mendeburkan ombak
pada tepi karang rindu
telah kusimpan
sejuta kata yang lama terbentang
dalam sangkar dukamu
karena duka kita
menyimpan sejuta mata luka
yang pupus dalam zikir kata-kata
kau daki tebing-tebing retak
yang digerus gelombang sunyi
seperti halnya gelombang itu
akulah gelombang sunyi itu
Kandangan, 21 Maret 2011
A. Rahman Al Hakim
Mata Utama
tiada lingkaran hitam di balik kelopak mata
mereka kata ini buta
sinar hanya kelam
pekat warna hitam
menatap apa yang ditatap
memandang apa yang dipandang
mereka sebut ini buta
lebih baik daripada menyaksikan kepalsuan
yang tampak di mata hanya tipuan
kenyataan khayali penciptaan
rasa berhembus aroma
rasa merambat suara
rasa meraba sentuhan
tapi itu pula kepalsuan
biarkan gelap menjala
pupus semua indera
lalu yang tampak dan dirasa tiada
niscaya kepalsuan sirna
tiada tahu arti cahaya
bila gelap tiada sepenuhnya
maka yang ada hanya Ada
(ARAska.Bjm.Kalsel 150711)
A. Setia Budhy
Serumpun Puisi
Seperti petang menggeliatkan camar dari biru
pengharapan
Aku tergagap-gagap menafsirkan hening yang kauselipkan
ke rumpun puisi
Kau menjelma hantaman badai yang merebut ikan dari jala para nelayan
Barat dan timur kecipak senyummu menggugurkan kata
Puisi ini hembusan rindu, lapar pelayaran mencari
harapan demi harapan
Rumput dan tanah menanam kelu tempat menabung luka dan pilu
Dari seberang pulau
angin buritan mengirimkan kabar
Tentang perempuan berjari puisi
Dan aku semakin saja kehilangan kata-kata di atas
geladak
PTSL 04.’10
A. Setia Budhy
Negeri Penyair
Penenun kata
Mencari makna di lereng senja dengan puisi
Rumah itu, dibangun dengan timbunan puisi
Mencari jerit puisi
Membaca cinta dengan puisi
Penenun kalam
Menghunus pedang ketidakadilan dengan puisi
Memberi makan orang-orang miskin dengan puisi
Membebaskan para budak dengan puisi
Membayar hutang dengan puisi
Para penyair
Melukis alam dengan puisi
Membajak sawah ladang dengan puisi
Mendaki gunung dengan puisi
Memetik mawar dengan puisi
Menatap rembulan dengan puisi
Menebar teror dengan puisi
Tanjung, 1 Ramadhan 2011
A.W. Syarbaini
Agaman Rista Anoman
Yaku, bamukim di pahaluatan Pratapan Suka Saruni Gandala Sudu
Nagara Pancawati Danda
putra Kanjang Rama Ratu Bagus Prabu Batara Rama
yaku, nang bangaran Pancuna Sunggana Bayu Sunta
Anjani Sinta Narapati Anoman Panca Suna
Yaku, amsalan raga badani
Hujan maka am mandi
Daun luruh maka am makan
Ambun miris matan langit maka am minum
Iih, mun wigas waras
Paribasa nang kada kula mangaku kula
Maharap pitutu wan agamanku
Wayah kaduluran rista nang likat batikap di awakku
Wayah barah sangga buana aritanku
Ada juakah nang rigi
manjanaki hati nang rabah marista
Bambang Indra Rukmana
Aku Paham
Kutelusuri anganku yang semu
Perlahan hadir penuh kabut
Semakin jelas, semakin pula terlihat
Puisi hatiku yang suka berpujangga
menjadi nyata
Dia pangeranku,
sampai saat ini pun
kembali tergenang pada aliran mutiara
Perlahan aku paham
Hingga air mataku ikut menyahut
Aku paham, kataku, jangan tanya lagi
Mimpiku indah dengannya
Walaupun akhir menyedihkan
Aku paham
Burhanuddin Soebely
Seloka Bisu Batu Benawa
senja. “Daku melihat seorang pangeran berdiri di palka
benawa itu.” kata si anak sebelum ditelan malam, bertahun
lalu. “Ya, dikaulah itu, anakku…” sahut si ibu, menjejalkan
mimpi ke dalam sangu, bertahun lalu. Ada torehan di pohon
waktu, barangkali janji untuk bertemu, barangkali juga pangkal
serapah itu, tempat berangkat badai itu….
pagi. Orang-orang merubung bandar. Sama bertanya tentang
khianat cuaca. Ada apa di nun sana? “Pangantin, si pendurhaka
dengan nurani terusi berisi duri, sudah pecah benawa.” serombongan
camar membawa kabar yang cabar. “Pangantin, si pendurhaka
peminum santan perahan air mata bunda itu sudah menjadi batu.”
(ya, ya, Pangantin, namaku
si pemburu mimpi
yang dicegat kutuk ibu
sebelum tiba pagi
sungguh, tak ada yang berubah dilimbur waktu. Tapi daku, bebutir air
yang harus mengarus, bebutir akhir sangu yang dilepas hulu. Tahukah,
wahai, ketika kuucap bahwa andika bukan ibu, seribu sembilu bergegas
manyurapat segenap urat, merih menyerpih.Tapi daku harus berucap
karena daku tahu, di atas benawa itu, sejumlah pemangsa tengah menunggu,
siap mendedah sehabis-habis nista, sepanas-panas abu cacing lata
seharusnya, cukuplah angin berberita mimpi memuara, sebab jalan pulang
cumalah secencang luka.Tapi bahasa rindu mengangin pada layar, pada kemudi,
pada tali sisal, pada pengayuh patah dan jukung rumpung. Maka kupilih
apa yang disebut kedurhakaan itu, karena daku tahu andika
adalah telaga kemengertian yang tak pernah kering, sungai pemaafan
yang tak habis alir. Tapi kita, agaknya, tak lagi bijak memaknai cinta,
menerjemahkan manusia dan kegirisan pikiran, menafsiri keremukredaman
dan kejemuan
maka, di atas palka, selepas serapah itu
kuhikmati aum laut aum angin
kutemukan air mata andika
lebih intan dari butir hujan
lebih merjan dari embun dinihari)
sudah silam. Tapi sesal lepuh pada kulik halang sapah itu. ”Alahai,
Diyang Ingsun meramu lagu, kesah yang lelah.” ujar angin pada gerumbul
kembang tanjung. ”Hulu waktu cuma kedip lampu, padam di buih.” rintih
dedaun sirih. ”Ya, sepanjang ingatan, Pangantin si benih bacin.” ricik ombak
menubuh sunyi.
(ya, ya, Pangantin, namaku
si pemburu mimpi
yang dicegat kutuk ibu
sebelum tiba pagi
diam-diam kurasakan ihwal itu, barangkali kesedihan, barangkali juga
bukan kesedihan. Bukankah antara kutuk dan maut yang menjemput
akan ada sesuatu yang abadi: sebuah amsal dengan akhir yang begitu
sederhana, selarik seloka untuk yang teraniaya
ya, ya, Pangantin, namaku
batu di jejak waktu
selalu berseru
: ibu, ibu, ibu)
kandangan, 2011
Burhanuddin Soebely
Gandut
di bawah sarubung, sepi
ingat zafuri, ruslan faridi….
seharusnya sudah sejak tadi kutinggalkan
belukar malam, tapi ada yang membangkitkan
keliaran terpendam: nyanyian kesepianmu itu….
burung tarabang ka higa paring
ada tatinggal di dahan nangka
kakanda bungas kamari guring
ada bantal muat badua
ayo, kemari, pengantinku! Kau pun menjeratkan
selendang ke leherku. Sarubung membunyikan desau
angin di rumbai pucuk enau, seperti desir gaun
saat tersilak pintu kelambu
sudah layu malati jawa
daunnya kuning gugur ka batu
bantal satu kapala dua
badannya dua jadikan satu
ayo, sungaikan berahi, pengantinku! Petikan panting
menggiring susuran jemari. Dan gesekan biola
mengiramakan kesat lidahmu. Akulah muaramu,
pengantinku! Lalu rentak babun menuntun
hentakan. Dan dengung gong menyuarakan desah
yang sesekali kausinggahkan ke telingaku.
ah, penariku, gelora purba itukah yang kaulabuhkan
ke fantasiku? Ataukah kaulilitkan wilayah
paya-paya hidupmu? Aku mencoba menafsiri
matamu, penariku. Dan di situ kutemukan
sawah tergenang padi tak menjadi
mandapai, 2011
Bram Lesmana
Panggillah, Aku Pasti Datang!
sajak rindu untuk tanah banuaku - Murakata
Panggillah!
Aku pasti hadir dalam kegelisahanmu, ibu!
entah lewat ranggas batang ilalang
entah lewat panas lelatu
atau menyusup di sisa arus sungai labuan amas selatan
yang tercekik disumbat peradaban tahun kemaraumu
Panggillah!
Aku pasti datang, ibu!
tapi biarkan aku hanya di halaman
sepasang sepatu tuaku enggan dilepas
temalinya sudah renta dan hampir putus
serenta anakmu mengelana meniti hidup
di beranda orang lain.
Panggillah!
Aku pasti datang, ibu!
Pada ladang rindumu,
semai masa lalu masih terus bersemayam
pada bulir darah jiwaku
anak kandungmu!
Rantau, 8 Maret 2011
Bram Lesmana
Perpisahan
Maafkan, bila kuberanjak sendiri menuju perahu
saat langit gelap, laut bergelombang
panggilan camar resah
harus kupenuhi
Jangan ikat kemudi dengan temali serapah
biarkan aku pergi meninggalkan arena perdebatan tak berujung
di antara luka-luka hari kemarin yang terus membusuk
Jangan teteskan hujan kesedihan di riak laut
Pandang saja bagai siluet
entah dari sudut mana kau lukiskan
aku tetap akan mengayuh
di bongkah-bongkah gelombang
di arus pasang dan angin musim perpisahan
jangan coba lukis sketsa kesalahanku di telapak dedaunan
karena pagi akan lewat dan membawanya pada pijar mentari
jangan ajari matahari dan angin menghisap embun
lebih baik kau hampar sajadah
letakkan namaku dalam keranda
lalu antar ke batas kaki langit.
semua sudah cukup!
semua harus berakhir!
jangan kau nyalakan ladang-ladang api
di kemarau panjang perjamuan yang sedang kita hadapi
Rantau, 15.05.2011
Dien Alice
Rotasi
Ketika sore berdiri di sini
Sadarlah aku matahari pasti akan turun dan tenggelam
Ketika kupandang langit malam
Hati ini mengucap lewatlah siangku
Ketika pagi burung berkicau
Hati ini menjadi risau
Adakah waktu lusa tersisa untukku
Amuntai, 3 Syawal 1430 H.
Eko Suryadi WS
Di Malioboro
musik malam kita mainkan
Malioboro menjadi bentangan Indonesia
bergoyang dalam hentakan nada
Sejenak kita lupakan puisi
Ai, kita menjadi terhibur dengan kebingungan sendiri
Hidup dibangun dari kesementaraan
Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Papua dan Sumatera
adalah Indonesia
Kita berenam bagian pulau-pulau
Aneh, tiba-tiba mencintai negeri ini bukan lewat puisi
Tapi lewat getaran melodi
Malioboro tersenyum,
kita terkotak dalam peta sendiri
Di sini kegamangan itu harus direbut
meski dengan napas tinggal satu
Ternyata tidak ada kesementaraan
Semua dilakukan untuk bertahan dan menjadi pemenang
Di Malioboro setelah pertunjukan
puisi tetap tak tergantikan
ia adalah kesaksian zaman yang melantur
untuk urusan makan pun kita melupakan tidur
Yogyakarta, 2008
Eko Suryadi WS
Rumah Puisi
Rumah puisi adalah hatimu
yang merangkai kota-kota dunia
Membaca dan merekam peristiwa
lewat jemari waktu
Dalam pahatan hari
tanpa henti
Rumah puisi kita bangun
dari kecemasan dan mimpi embun
Hati kita adalah jembatannya
kita biarkan terasing sendiri
Kekosongan kita lukis di selembar kertas
dengan tipu daya
warna-warna diputihkan tanpa ujung
Kita melukisnya dengan tombak, panah, keris, pedang,
bayonet, molotov hingga bom
Kita menguasnya dengan ekspresi dan tangan sendiri
Gambarnya beterbangan di udara
kita santap setiap sarapan pagi
Rumah puisi tak lagi kita tulis dengan kata-kata
atau kita bingkai dengan hati
Tetapi sudah mereka tulis dengan peristiwa
setiap waktu
Rumah puisi bukan lagi rumah kita
ia adalah cuaca
sebab musim dan angkara pemiliknya
Kotabaru, 2006
Erika Adriani
Minta Aku Bunga
minta aku bunga
o, gerimis kehidupan
hanya sekadar mawar
kabut dan debu
berdesakan di taman batinku
semoga kemarau ini
segera mengalir
kembali
ke asal mula nafas sungai
Erika Adriani
Setelah Laut, Kota Pun Makin Jauh
keperkasaan memprahara perahu sajakku
hingga pelayaran harapan dipulangkan badai
o, beribu burung di ranting-ranting ombak
bersaranglah di ceruk karang jantungku
bersaranglah. Telurkan aksara langit
lalu bacalah risalah dunia
aku berjalan mengusung pelabuhan
menghela kapal-kapal
karena laut makin jauh
dan aku kian larut
terasing dari kata-kata yang gaduh
ketika matahari terbaring di ranjang khalwatku
kelengaian membawa seluruhku mengikut jejak sunyi
dan kota pun makin jauh
Evira N. Maulida
Namamu Hanya Bisa Kuhijab dalam Puisi
kau
lelaki bersayap keangkuhan yang mengetuk-ngetuk pintu malam
membiarkan angin yang jatuh menggerai kerinduan
sumba yang tumpah di langit-langit kekar dadamu
di sanalah tempat kurakitkan hati
tapi siapakah kini yang menjaga damaimu?
karena kudengar separuh rasamu bersandar di beranda seorang putri
kuisakkan tangisku diam-diam lalu kubingkis dengan rapi
perih itu
yang kau kirimkan seperti pesta-pesta yang memilukan
mengantarkanku pada genangan asa
tempatku merampungkan kisahmu dalam puisi
hanya itu
11-11-2009
Eza Thabry Husano
Wajah Musim
jentikan hujan membasuh garis matahari
di tanah rekah, tahi cacing, rumputan kering
mengubur riwayat api kemarau panjang
angin dingin berbagi selimut musim
menyelusup aroma wangi daun-daun
ke dalam mantel kehidupan
di bawah hujan, ombak gemuruh
kolam basah memotret tubuh perempuan
kuyup meredup merapat
sejengkal detik menjadi hari
sejengkal waktu menjadi musim
jentikan hujan melarutkan kehidupan
jentikan hujan berdenting merajah mimpi
di ranjang musim jadi saksi
kayapu waktu jadi duri dan daki
lautan berdarah kembali melayarkan irama
perahu-perahu tanpa arah
bertambat di akar-akar batu
air mataku
Banjarbaru, 2010
Eza Thabry Husano
Cakar Waktu
perarakan cahaya lampu-lampu kehidupan
tertera dalam lambaian musim
dan getar ilalang di hempasan padang
tafsir isyarat masa lalu
ketika uap embun menelan serat rambutku
kau mengucap kata ziarah
dalam timbunan sejarah
di tepi kolam aku masih tertegun
mencicil letup luka
: siapa tahu purnama dan matahari
mengusung keranda hari?
cakar anak panah menanam darah
separuh langit kita pecah
sebelum cinta itu tamat mengaji
pusara hari berbagi
kucelup rindu lewat tanah
mengalir penat nafasku sendiri
menapak arakan pelayat, sunyi
lelatu meluaskan erang dan kenangan
rentang jauh seutas tali ayunan
: masa lalu, o Kekasih
jemputlah aku!
Banjarbaru, 2011
Fahrurraji Asmuni
Bulan Jatuh
Aku melihat bulan seiris jatuh
tersangkut di ranting cemara
Pucat, malam tambah pekat
Siapa lagi yang berbuat ulah tanpa tenggang rasa
Sementara langit tak mencegah kepergiannya
Lebih baik kuambil saja penerang hidupku
Pengusir sepiku
Tapi si bulan enggan dibawa
Lebih senang bergelantungan
Menikmati lembutnya belaian angin dan cumbuan malam
5 Juli 2011
Fahrurraji Asmuni
Puisiku Terbaring
Puisiku terbaring di pangkuan rembulan
Lelah setelah bermain dengan ombak
Kehabisan keringat bertinju mesra dengan matahari
Berpacu mengalahkan angin
Puisiku terbaring di dekapan rembulan
Setelah menundukkan hujan
Setelah menghijaukan daun
Puisiku terbaring di dekapan rembulan
Karena terjerat rasa
Ketika kehabisan kata
Ketika malam bertahta
Amuntai, 15 Juli 2011
Fahrurraji Asmuni
Kebangkitan
Sore langit bersorak sambil menumpahkan hujan
Rahmat dan hidayah telah diturunkan.
Penghuni bumi tidak lagi kekeringan iman
Semangat kebersamaan tumbuh menghijau
Siraman air dari langit
Mengubah langkah
Jalan menuju masjid jadi terbentang
Azan pun berkumandang menggetarkan langit kehidupan.
Amuntai, 2011
Farid Ma’ruf
Bait-Bait Mimpi
Di setiap satu bintang yang kita anggap paling bercahaya,
ada satu kejujuran yang tak terelakkan
Di setiap helai daun yang jatuh di depan kita,
ada gundah dan nikmat yang tingkah-tingkahan
Di setiap angin yang buatmu menggigil dan memelukku,
ada seuntai tali semu yang mengikat kita
Dan setiap aku tiba di bait ketiga itu,
selalu saja malam pergi tanpa ada pamit dan pesan
Lantas kutemui diriku dalam kenyataan
bahwa bait-bait itu tak ubahnya rindu seroja pada pagi
Batola, 6 April 2011
Fitriansyah
Kado Untuk Anakku
Anakku si buah hatiku
Selamat ulang tahunmu
Terimalah kado untukmu
Engkau permataku
Renungkan, anakku
Shalat kau tegakkan
Puasa pasti kau lakukan
Zakat, sedekah, kerjakan
Naik haji jangan kau lupakan
Sopan-santun harus jadi kebiasaan
Perkataan manis buah bibir kefasihan
Silaturahmi jadi hiasan
Jauhi kemungkaran
Tegakkan kebenaran
Selamatkan dirimu dari kesombongan
Kerasukan
Bawalah kado ini, anakku
Amuntai, April 2011
Gusti Indra Setyawan
Nisan yang Bertuah
untuk ayahanda di singgasana nirwana
Detak jantung yang membingar di pelipis nadi
Tatap mata yang kusam menderai tangis
Suara hati yang disapu senja
Lenyap terbawa arus angin menyapu badai
Jeritan sukma menghantam pilunya langit
Ketika lembayung itu pergi
Terhempas di kawat berduri
Sekujur raga yang dingin terpaku tak berdaya
Nirwana kembali menyambut kerandamu
Beribu tangis membanjiri nisan yang bertuah
Manakala sesal itu datang
Laksana petir menggoyang pantatnya
Tiada tatap lagi yang bisa menaungi teriknya matahari
Tiada senyum lagi yang menghantarkan ke singgasanamu
Untaian doa mengiringi langkah itu
Kenanglah aku dalam tidur panjangmu
Selamat jalan pelita hatiku
Tunggulah aku di pintu surgamu
Tanjung, 29 Desember 2009
Hajriansyah
Bulan Bukit Sampah
di tikungan tajam bukit sampah
hapemu berdering
suara kekasih di kejauhan menanya kapan pulang
entah mahakam, di teluknya yang jauh
junjung buyah di punggung sana menurunkan raja-raja tenggarong
menghukummu
kita sama terdiam
di sudut bukit sampah nenek mati menghibur cucunya
samarinda, juli/11
Hajriansyah
Kuala
Di batas hujan itu jalan membelok tajam
akasia berjajar dan ilalang
jalanan berlobang dan sawit tinggi bertandan hitung
hitung tinggi hitung rendah
masa-masa terus berubah
rebah biru rebah kelabu
abu lesap ditindih hujan
: hujan menyegarkan lagi hijau daunan
pangkalanbun, ujung 2010
Haliem Kr
Anakku Sayang
berjalanlah, anakku
selangkah demi selangkah
berlarilah, anakku
semasa demi semasa
tinggalkan angan dan bayang
menembus ruang dan waktu
mengejar layang-layang
dan terbang meraih bintang
Agustus, 2010
Harun Al Rasyid
Matahariku Tersayang
Oh, matahariku tersayang
Sungguh pertemuan kita ini
Adalah suatu pertemuan rindu
Terasa amat indah dan syahdu
Kau dan aku dalam damai
Saling ungkai kerinduan
Duh,
Betapa jari jemarimu yang lentik
Halus lagi anggun
Selalu menggerawai
Dan menjamahku lembut
Hingga membangkitkan berahiku
Untuk merindukannya
Oh, matahariku tersayang
Aku tak mampu berbuat
Menegur tingkahku
Biarkanlah aku malu di sini
Untuk menyampaikan perasaan cintaku
Duhai, kekasih mana yang kau cintai
Jika bukan sepertimu
Aku mengagumimu
Kau selalu datang di timur
Dan tak pernah terlambat
Aku tetap setia menantimu
Kerinduan kita bercumbu rayu lagi amat mesra
Kelemahan dan kekurangan apa yang ada pada diriku
Aku tampan dan gagah
Kukagumi dirimu
Masih kuingat komat-kamit bibirmu yang terpantik kokoh
Yang menebarkan bakti
Hingga menuai simpati
Oh, matahariku tersayang
Wah, musuh mana yang kau takuti
Dan rela menceburkan dirimu
Di kedalaman laut sebelah barat
Apakah kau tidak percaya dengan cintaku sekarang
Padahal cintaku tak pernah luntur terhadap dirimu
Hamami Adaby
Derai-Derai Angin di Ujung Daun
Menikmati getaran angin yang menyadap mata, bagai
pisau karet toreh mengalir pelan putih darah segelas hati
menetes perlahan di urat-urat pohon menanak gores luka
jadi sekeping empedu di selaput mentari lewat resah dedaun
Jadi beku di tangan penyadap seorang perempuan.
Pagi yang bening derai-derai angin di pucuk hening mengisah
Jalan-jalan menaik menapak batu, pepohonan, ilalang runcing
di ujung rambat kolam mata air dingin dalam dekap pagi di pancur sungai.
Sajak putih-sajak putih sejak kemarin menoreh latex
gerai-gerai putih warna pelangi kalbu sutra biru langit
di arakan keranda pagi serunai mengiris tentang cuaca
luluh senja mendekap seperti ada sukma yang terbuang.
Banjarbaru, 12 Mei 2011
Hamami Adaby
Tuhan Berkata Lain
Di hamparan laut yang ganas Tuhan mengatakan lantang
layari birunya ombak dan angin yang mengendus di perut bumi
di sampan itu
adalah perjanjian disetujui, masih ingat?
Maka menangislah sekeliling selaput matamu
belum bernyala seperti matahari
kaca-kaca cahaya belum disuguhi penglihatan
belum dilap, masih berdebu, senyum wahai putih sorban.
Bila sampai batas waktu 40 hari purnama memancar
Tuhanmu memberi seutas tali kasih
kejarlah duniamu seolah hidup selamanya maka:
terangi pelitamu dalam zikir besok akan mati.
La ilaha illallah Muhammad kekasihNya.
Banjarbaru, 23 Juni 2011
Hamberan Syahbana
Perkenalan Imam Perang Penyangga Utama Kerajaan Dunia Maya
(dalam teater tradisional Kalimantan Selatan, mamanda)
Tang
trantang tang tang tang tang tang gong
trantang tang tang tang tang tang gong
trantang tang tang tang tang tang gong
tang tang tang tang trantang tang gong
(demikian bunyi gendang babun dan gong
membahana dipukul dengan dua bilah rotan bertalu-talu
lalu dari lawang sari tampil melenggang gagah perkasa seorang kesatria
Imam Perang Kerajaan Dunia Maya penuh wibawa)
Manakala beta telah sampai di depan pintu gerbang istana
Ada baiknya beta memperkenalkan diri nama dan gelar serta
jabatan beta di Kerajaan Dunia Maya ini
Surya Kencana, Halang Mangkung Perkasa
Adi Pratama Nugraha tersebut beta punya nama
menjabat sebagai Imam Perang Penyangga Utama
di ini Kerajaan Dunia Maya
tang tang tang tang trantang tang gong
Bukan nama sembarang nama
tetapi nama yang mengandung makna
bukan gelar sembarang gelar
tetapi memang gelar
yang memang tepat dan pantas beta terima
tang tang tang tang trantang tang gong
Surya artinya matahari yang selalu memberikan cahayanya
tak pandang bulu tak pilih kasih sehingga siapa saja
tampak terang benderang di hadapan beta
sekecil apa pun perbuatannya yang merugikan negara
pasti langsung dapat aku prediksi dan dapat aku baca
tang tang tang tang trantang tang gong
Kencana berarti emas logam mulia yang maknanya
selalu setia pada Kerajaan Dunia Maya
sedikit pun tak ada niatan menghianati Sri Paduka Maharaja
sedikitpun tak ada niatan merongrong kebijakan Sri Baginda Yang Mulia
apalagi ikutan menggerogoti harta Kerajaan Dunia Maya ini
baik korupsi, kolusi dan nepotisme keluarga sendiri
jauh lagi dengan konspirasi bersama itu dan ini
jauh pula dengan mark up kalkulasi dan memanipulasi kwitansi
baik secara pribadi maupun berjamaah di sana sini
tang tang tang tang trantang tang gong
Halang Mangkung Perkasa adalah gelar kehormatan atas keberanian beta
gagah perkasa menjaga dan menyimbat siapa saja
musuh ingin menerobos tanpa izin Sri Paduka Maharaja Dunia Maya
bahkan hingga sejauh satu kilometer pun aku pastikan tak ada
yang berani mendekat karena jangankan manusia
lalat, kecoak dan sebangsa margasatwa lainnya
pun pastilah takut mati bersimbah darah oleh tajamnya
mandau pusaka beta yang sangat berjasa
tang tang tang tang trantang tang gong
Adi Pratama Nugraha adalah Penghargaan Bintang Jasa Satya Lencana Kelas Satu
dari Sri Paduka Maharaja Yang Mulia Sri Sultan Syah Alam Sangga Buana Dunia Maya
atas segala pengabdian dan pengorbanan selama beta menjaga
dan memelihara kerajaan tetap jaya dan mulia sepanjang masa
Baik musuh yang dari dalam istana
maupun musuh yang berasal dari nun jauh di sana
tang tang tangtang trantang tang gong
(Begitu pertunjukan kesenian tradisional mamanda telah usai
Sang Imam Perang masih termangu menatap pembagian honor malam ini
plus penghasilan menarik ojek ternyata masih belum cukup
buat makan esok hari dan buat bayar uang les ditambah
sumbangan perpisahan kelas tiga di sekolah anaknya.)
Banjarmasin, 1 April 2011
Helwatin Najwa
Berdamailah, Wahai Sang Waktu
malam ini
aku ingin menuntaskan urusan kita
aku ingin bertanya padamu
mengapa engkau selalu membatasi
apa gerangan kehendakmu
detik-detik yang kautawarkan
masih belum cukup untukku
menit-menit berlalu
seperti hantu
jawablah pertanyaanku
kau bergerak di sekelilingku
membelengguku
apa yang kau mau
hidupku telah terpasrahkan untukmu
denyut nadiku berpacu bersamamu
helaan nafasku pun
telah kau miliki
kaugelayuti pundakku
dengan irama bandulan
dan tarikan masa
kau menjerat kakiku
terseret mengikuti jejakmu
Kotabaru, 23 Januari 2011
Helwatin Najwa
Tersenyumlah
menikmati debar-debar aneh
di saat pantulan matahari
menerpa rambutmu
garis mata mengerjap
lalu senyum mengembang
duh, itu yang selalu aku inginkan
bila waktu masih terajut
di antara kita
maka berikanlah terus senyum itu
untukku
Kotabaru, 12 Februari 2011
Helwatin Najwa
Hujan Sudah Reda, Sayang, Malam Kian Larut Malam
Kantuk pun mulai menggayuti pelupuk mata
Lihatlah bulan berpayung awan
Berpagar bintang-bintang
Dalam lembabnya cuaca
Telah kulapisi peraduan
Dengan seprai merah wangi kencana
Agar kehangatannya
Meliputi kita malam ini
Kotabaru, 14 April 2011
H. Adjim Arijadi
Menelanjangi Matahari
Semua gunung, bukit-bukit
Miliknya sang penguasa
Bukan milik Sang Maha Kuasa
Semua lembah, rawa dan hutan, hutannya
jua miliknya si penguasa. Katanya
bukan milik si Maha Empunya
Semua tambang, gas, biji besi,
batu bara, intan, emas, timah, uranium
sudah dikapling penguasa negara
Bukan empunya Yang Maha Esa.
Adalah laut dunia kelautan
Adalah bumi segala alkah makam
Nabiullah, Waliullah
Sang penguasa punya tatanan
Tidak lagi Sang Pencipta pemiliknya
Di bumi ini
Di Nusantara ini
Sisa-sisa lasykar Pajang
Geraham Majapahit
Mahkota Sriwijaya
Gelegar gong Kerajaan Demak
Adalah rajutan taring-taring
Di gusi yang berbisul-bisul
Mereka yang menghunus keris
Empu Gandring
Di lembaran alun-alun
Keangkuhan Patih Gajah Mada
Bumi ini
Laut ini
Semesta alam ini
Kami yang punya
Di luar itu
Jangan coba berandai-andai
Bermuslihat dengan parang maya
Di luar itu
Cuma orang-orang malam
Merintihlah di saat tidur lelap
Jangan muntah
Membaui kepala ikan yang membusuk
Yang terbantai di pantai
Apa ulas sejarah
Pembiaran bebek-bebek
Mati kehausan
Di telaga bening
Pembiaran Tom & Jerry
Bermain tonil
Tak usah menadah
Tuhan cukup disembah
Ber-khalwat di sajadah
Sepanjang perjalanan sejarah
Lelakon hiu di laut
Lelakon elang di udara
Lelakon macan di hutan rimba
Adalah sorga sang penguasa
Bila sepanjang waktu cuma malam
yang menggulita.
Senja temaram cuma cerita
Di saat laron-laron menyelingkuhi
Lampu-lampu neon
Adakah daya
Menelanjangi matahari
Agar terang terangannya siang
Dan gelap gelapnya malam.
Mana nyali anak cucu
Yang mewarisi panji-panji
Tatunggul Wulung Wanara Putih
Mana keris sempana
Warisan Perang Banjar
yang berkepanjangan
Mana mandau panah
warisan Perang Barito
yang diemban Antasari, Surapati, Seman dan Panglima Batur.
Akankah terus merajut mimpi
Tanpa matahari telanjang?
Kristal, Jakarta,18 Juni 2011
H. Amir Husaini Zamzam
Ayahku Koruptor
Di koran pagi dan sore
siaran televisi semalam suntuk
terpampang gambar dan berita
ayahku koruptor
Di rumah tahanan dan penjara
di leher tergantung tulisan
di belakang baju tahanan bertuliskan
ayahku koruptor
Anak cucuku dan keluarga
sedih dan cucurkan air mata
bangsa Indonesia prihatin dan malu
Oh, malunya bangsamu!
Kini fakta tiada dusta
banyak koruptor tertangkap
namun tiada jera dan kapok
tiada takut penjara dan neraka
gelora korupsi tiada terbendung
kapan Indonesia bebas bahaya korupsi?
Inikah pertanda
roh iman tergusur tiada bersinar
rasa malu hilang
rasa kebangsaan luntur
semua sedih dan malu
hati bangsaku terluka
nurani rakyat teriak
Indonesia berduka dan berkabung
Nauzubillah!
Amuntai, 11 Juli 2011
H. Embeka
Malam Nisfu Sya’ban
Malam itu
tenggelam
dalam kalam
yang sangat dalam
Malam itu
karam
di lautan zikrullah
Malam itu
bergumam
ayat-ayat Allah
Malam itu
Bibir-bibir basah
mengingat Allah
Malam itu
raya bagi malaikat
menghampiri bumi
Malam itu
kututup buku kelam
dan lembaran baru
Malam itu
Sya’ban penuh harap
meniti ke lorong ramadhan
H. Fahmi Wahid
Malam Setelah Gerimis Panjang
kulihat cuaca yang tak tentu dari wajahmu
kadang hujan, sedikit gerimis, lalu cerah kemudian mendung kembali
setelah melayari matamu, berlama-lama;
kutemukan hamparan malam setelah sunyi merapatkan matamu
kurasakan cuaca yang tak tentu dari tubuhmu
barangkali setelah berlama-lama kubaca
dari bagaimana nafasmu mendengus tak karuan
dan saat bulan habis di tangkai jendela itu
malam dilayari embun,
matahari muncul dari gumpalan-gumpalan
di mana laut dan ombak berseru
pun jua setelah berlama-lama menunggu terjagamu
kurasakan ada yang lain yang tak bisa kurasakan
di sudut celah matamu, air matamu
H. Murjani H.
Sketsa
Pernah kita tertawa dan menangis
Pernah kita gembira dan bersedih
Pernah kita bahagia dan menderita
Pernah pula kita bangun dan terjatuh
Hidup bukanlah hanya hitam dan putih
Tapi hidup bagai sketsa sebuah lukisan
Indah
Dengan warna-warni kehidupan
Juli, 2011
Hj. Maisyanti Disi Fatimah
Mentari di Ufuk Barat
Luasnya laut yang tak pernah bertepi,
Kokohnya gunung yang berdiri menjulang
Tingginya gedung-gedung pencakar langit
Glamour dan mewahnya kehidupan malam
Menjadikan irama dalam kehidupan setiap insan.
Namun,
Ketika mentari di ufuk barat telah datang
Laut yang luas beriak tak tenang
Gunung-gunung beterbangan
Gedung yang tinggi berserakan
Insan-insan di dunia berhamburan dan ketakutan
Tak ada lagi kekuasaan dan kekuatan
Tak ada lagi irama dalam kehidupan
Semua sudah dihadapkan pada dua pilihan
Hidup dengan keindahan dan ketenangan
Atau penuh dengan penyesalan dan kesakitan.
Hj. Roosmayati
Jangan Ucapkan Kata Cinta
Kita saling mengagumi
saling sayang, saling menghargai
ada getaran sukma
di relung sanubari
Biarkan layar terkembang
dihembus sang bayu
terbawa arus dibawa gelombang
tanpa menepi pantai
Jangan ucapkan kata cinta
cinta telah sirna
hati ini telah membeku
terpendam di lautan salju
Jadikan aku teman
jadikan aku sahabat
jadikan aku saudara
berbagi cita, karsa
dalam suka dan duka
Tanjung, 1 Agustus 2011
Ibramsyah Amandit
Candi Agung
Ia wariskan kegamangan
dan gemetaran kaki
di batas rimba sejarah silam
berkabut banua kami
Tapi bagiku tak hilang apa-apa
lantaran jauh pelataran candi;
tak rugi rupa-rupa bunga sesaji
tanpa perapian asap dupa
tanpa perabot ruyung ulin
simpuh tawasul duduk bersila!
hingga dongeng itu bisa bergeliat
lalu tegak berdiri
lalu jalan-jalan kesana-kemari
ke anak-anak sekolah
ke orang-orang agama yang lemah
mungkin di liang candi
peziarah banyak yang jatuh
seperti berbalut kain kafan
kehilangan iman
rohnya bangkit;
berkumpul di jamaah tahayul
yang lain berpisah
ke rumah-rumah pembuat kisah
Tamban, 13 Februari 2011
Ibramsyah Amandit
Hadapan
Jangan membayangkan diriku di tempat wudhu
di bawah altar pertobatan
atau di kuil pemujaan
Pengakuan apa pun kau tuntut
cuma kukirim setangguk kemunafikan
Hartaku hanya sepasang daun pintu
gang setapak, itu pun buntu
Memang penuh ritma
tapi tak terhubung dengan lintasan jalan raya
meski aku merasa gerah sekali
meski di belakangku jendela-jendela menghembus angin pelbagai arah
bau busuk kotoran dan sampah
bau-bau amis darah
karena sesungguhnya aku beternak singa jantan yang pemarah!
Tamban, 12 Februari
Ibramsyah Amandit
Mamang Borneo[*]
Aku mencari pepunden cinta Borneo
mencari pemilik makna otot rimba
saat ini mamang buli ke risau
kebawa-bawa kepada ikau…
Iyu, beh; ikau uluh Siang , uluh Ngaju, uluh Busang
uluh Benuaq, uluh Punan, uluh Penyabung,
uluh Bahau, uluh Kenyah, uluh Manyan
uluh Bawu, uluh Ot Danum, uluh Lawangan
uluh Taboyan, uluh Kahayan, uluh Kutai
uluh Bakumpai, uluh ngawa
si kuweh-kuweh uluh Ngaju kanih…
Risau yaku buli kepada rimba, hutan ulin, hutan ramin
kapur meranti keruing
ken kuweh ikau cari jihi huma betang
huma beleh peteh, sandung semayam tulang-tulang
Ken kuweh tancap kayu pelawan
sanggai lunuk upacara tewah
Rimba awen meranggas-ranggas
pagar banua hilang batas
tiada halat sasangga wisa, hilang arifnya!
Kudengar isyarat bahaya dari gurun-gurun:
“Ihdzar al jidaar, ihdzaar al jidaar!”
Awas dinding. Awas dinding!
Namun tiap jengkal tanah Borneo gerbang peluang
kaki tangan jerat masuk menginjak-injak
senyum jebak rayu menembak-nembak
halimatek lintah lunak menghisap-hisap
Aku mencari pepunden cinta tanah Borneo
mencari pemilik makna otot rimba
dari perih luka-luka daging jantung banua
Sebuas-buas binatang tidak di rimba
sebuas-buas siapa ia binatang kota
Segarang-garang raung bukan singa
segarang-garang raung ia uang kuasa
Konglomerat habitat apa kuku tajam taring merunjam-runjam
sorot mata ke lapis-lapis bumi paling dalam
wariskan jurang menganga;
kawah kubur rakyat anak banua
banjir menerjang desa-desa, membelah-belah kota
melindas sawah kebun dan pematang
Sebuas-buas siapa ia binatang kota?
segarang-garang apa raung ia uang kuasa?
Kita, kita, kita…
inilah kita jadi reruntuhan peristiwa
Kita, kita, kita…
inilah kita tak kuasa berkata jida!
Hai Dayak, pewaris Diraja Bunu
putera-putera kekasih raja Jata, raja Sangiang
habiskah sudah tewah Balaku Untung?
Duhai Rahyang Hatala Langit;
tunjukkan pepunden tanah Borneo
pemilik makna otot rimba
tunjukkan enzim kekuatan tubuh Kalimantan
zat hidup pengetahuan Borneo
tunjukkan apa-bagaimana-siapa-mengapa di Borneo!
Kudengar dari gurun-gurun berdesauan suara lembut:
wari’u al lushuut
wari’u al lushuut
wari’u al lushuut!
Usir maling maling itu, usir maling maling itu
usir maling maling itu!
Tamban, 8 Mei 2011
Catatan:
buli (bahasa Suku Dayak Bakumpai) : kembali
ikau (bahasa Suku Dayak Bakumpai) : kamu
iyuh (bahasa Suku Dayak Bakumpai) : ya
beh (bahasa Suku Dayak Bakumpai) : ungkapan kekesalan, dengan penekanan pada juruf “h”
uluh (bahasa Suku Dayak Bakumpai) : orang
si kuweh-kuweh (bahasa Suku Dayak Bakumpai) : di mana-mana
Ngaju (bahasa Suku Dayak Bakumpai) : hulu (juga nama suku Dayak di Kalimantan Tengah)
kanih (bahasa Suku Dayak Bakumpai) : sana
yaku (bahasa Suku Dayak Bakumpai) : aku
ken kuweh (bahasa Suku Dayak Bakumpai) : di mana
sanggai lunuk (bahasa Suku Dayak Ngaju) : tiang utama
halimatek : sejenis lintah
jida (bahasa Suku Dayak Bakumpai) : tidak
bunu (bahasa Suku Dayak Ngaju) : manusia
Jata : nama dewa (dalam kepercayaan Suku Dayak Ngaju)
Sangiang : ibid
Rahyang Hatala Langit : Tuhan Yang Maha Esa (dalam kepercayaan Suku Dayak Ngaju)
Iberamsyah Barbary
Sabda Alam
kepada Prof. Gusti M. Hatta
- Hutan kami telah tercabut dari amanah penyerap hujan, penyejuk alam
Kulit bumi tergerus tak kuat menahan arus
Sungai Danau, mual melimpah menahan bah
Gambut dibakar, menebar asap menyelimuti kota
Mata hati pedih, anak negeri sedih
Kami terhujat dalam prasangka
- Jangan salahkan sungai, bila kapal dagang kalian tersandera di muara
Dada kami sesak, berulang kali alur tersumbat
Diuruk lumpur, air mata hulu berderai
Mengadu kepada laut, tak kuasa juga terumbu karang melarung beban
Jangan salahkan sungai, bila pohon-pohon kami hanyutkan, karena sudah terbantai
Tebing dan bebatuan larut menyatu dalam deras, tanpa basa-basi
Alam menebar wangsit, menggulung, merendam
Takkan terbendung oleh nyali siapa pun
Itulah jawaban, atas penafsiran yang arogan
Sedih kalian, duka alam mengandung beban
- Jangan salahkan angin berselingkuh asap
Muhibbah ke negeri jiran
Kami bagaimana, apa lakon yang terjadi
Dijadikan nyala membara, ia juga!
Bertaburlah abu dan debu mendera
Api mengusir dalam asap, membumbung mengejar kawanan awan yang sudah tidak karuan
Jangan salahkan kami, bila gentayangan roh ini membungkus matahari, walau dalam gairah
Menyelinap ke mana angin berburu, menebar tirai kabut merah
Makhluk-makhluk kota, memaki pedih matahari yang lupa
Sudah satu bulan ini tidak mengucapkan selamat pagi
Apa daya binarku terbajak cinta yang lain
“Pedih kalian, pedih kami yang terusir dari habitat”
Rusaklah sudah adat bumi menyangga langit, adat langit berahi biru, membuahi binar kuning sang matahari;
“Seharusnya di bumi terhampar hati yang hijau, mengerti tulus adat istiadat, alam penyantun mahkluk”
Banjarbaru, 2011
Imam Bukhori
Tahun Ramadhan
Kasih-Nya berharap sepenuh tahun Ramadhan
Sebab cinta iblis tergadaikan
Seribu bulan tak mampu menatap ribuan cahaya menggumpal di satu malam
Karena ia mercusuar Tuhan
Riuh rendah malaikat bailang di sepertiga malam
Haturkan saur kemesraan Tuhan
Pohon rumput udara bintang lunglai tak tahan
Membuncah rindu dendam
KasihNya berharap sepenuh tahun Ramadhan
Namun kita main-mainkan keMahaSeriusan Tuhan
Kita kebiri ia sebulan
Kita kekang hanya sekadar nafsu minum makan
Lalu kita ciptakan setan dalam diri tanpa bantuan para setan
Untuk reguk: “lekaslah datang Syawalan”
Agar akuku menjelma binatang jalang
Agar ia terus kekenyangan
Kasih-Nya berharap sepenuh tahun Ramadhan
Sementara kita sibuk siapkan sandang papan kepalsuan
Tiba di depan pintu kematian
Menerima nasib marista tak bertuan
puasa pertama Ramadhan, Rabu (11/8), 02.20 WITA
Ismail Wahid
Rumah Cahaya
Kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit
Mendekap manusiaku yang senantiasa pergi. Di dalamnya
tergantung igauan azan-azan kefakiran
Apakah pasar dunia telah usai di sini? Yang
batas antara tawa manusiamu dan sunyi yang
menyanyi. Yang menegakkan sujud air mata yang
di dalamnya mengalirlah malaikat
Seperti sungai waktu. Menangisi pelayaran
manusiamu. Lewat pelabuhan-pekabuhan:
ke sebelah Barat benak dunia
O, panorama alam benda!
Kesendirian rumah cahaya yang bangkit
Mendekap bumi manusiaku yang begitu sibuk
Yang di kotanya menyalakan konser, perempuan
perempuannya menari-nari, dibalut kain tipis pakaian
musim panas. Di trotoar
bunga-bunga yang terselip sepasang payudara
telah runtuh. Telah letih dari perlambang cinta
Dan di situ, o surga telah benar menjelma
di hadapan. Dalam fantasi kota malam yang
begitu tenteram, begitu megah dan mengerikan!
Apakah pasar dunia tanpa tiang akhir di situ?
Orang datang orang pergi tanpa manusia
Kesendirian rumah cahaya inilah yang
bangkit. Mendirikan tiang langit di tengah pasar
Barabai, 28 Juli 2011
Jaka Mustika
Kita Tak Pernah Tahu
Ooooiii...!
saudara-saudara lahirku!
Camariah! Tubaniah! Tambuniah! Uriah!
Pernahkah kita tahu
kapan roh dihembuskan dalam janin
janji apa yang kita sepakati
tatkala darah pertama tumpah
gurat nasib yang mesti kita titi
dan kapan kita mesti kembali
menghadap Rabbul Izzati
dalam kehidupan panjang tak berujung
Kita tak pernah tahu
kapan kita akan pulang
tapi kita pasti pulang
Ooooiii...!
saudara-saudara lahirku!
aku tak mau kembali tanpa bekal
aku tak mau kembali dalam bebal
aku tak mau pulang dalam kepapaan
aku tak mau pulang dalam kehinaan
Mungkin waktu kita tinggal sedikit
Segeralah berbenah selagi bisa
Sebelum maut tiba ditenggelamkan
tepian kali Barito, 210611
Jhon FS. Pane
Seperti Batu
di matamu kutemui lautan yang telah menjadi padang pasir
dari ujung ke ujung mata bumi mata angin berkesiur
menyihir cuaca menjadi gerhana yang panjang
mengembunkan berjuta butiran air mata
kukepal keluh air mata yang telah menjadi batu
di setiap kalimat yang lahir di gelap rahim malam
dengan potongan-potongan wajah yang begitu dingin
dengan gigil di ujung malamnya
kau pun diam seperti penyair kehilangan malam
terserak
membatu
tapi tak jua kau paham takdir yang menenggelamkan sunyi
ke dalam sungai-sungai yang semakin kering
Kotabaru, 2010
Jhon FS. Pane
Sketsa Mimpi Kota
Di atas ombak waktu menggenapi risau karang-karang
Ketika kerinduan gunung bagi selat tak menentu arah
Ketika laut lelah mengencang angin meniupkan layar
Memasang arah ke ufuk-ufuk yang terasing
Telah lama kita susun mimpi-mimpi
Yang dituliskan camar bagi pasir-pasir putih
Bagi rumah-rumah, kampung-kampung membenah cemas
Ketika musim telah menggigilkan gairah mendung
Yang koyak disihir kemarau dan jejak mata api
Ada jua kudengar suara dari pucuk kecemasan
Yang tersesat di rerimbun kenangan,
Di dalam hutan-hutan, sungai-sungai masa kecil yang porak poranda
Dengan genangan luka yang tertimbun
Bersama hilangnya senandung mantra sunyi pucuk batu
Kecuali desah dendam dan prasangka di tambang air mata
Di atas ombak waktu meriak
sepanjang garis pulau, selat, gunung dan menara-menara
yang menanda wajah kota
Begitu pula senyummu mengiring ujung haluan
Menari selincah-lincah camar membelah gelombang
Mendayung sekuat-kuat angin menuju suar lampu
Yang berkilau gaib di dalam ruang mata kota
Kotabaru, 2007
Kalsum Belqis
Ladang Angin
Kekasih duduklah di sampingku
Coba kau pandang gersang bumi
Lalu rabalah seluruh ingatanmu
Apa yang dulu ada di sudut sungai itu
Masihkah kau mencium aroma gemericik air
Ataukah kau masih mendengar nyanyian ikan
Bisakah kau merasakan lagi sejuk air
Saat kau mengguyur tubuhmu, ya sungai itu
Kekasih mari kita mengenang masa hijau
Dan membayangkan hamparan kesejukan
Masa menguning padi dan gemericik tawa kita
Dalam nyanyian gunung kala panen tiba
Jangan kau pedulikan kenyataan
Biarkan lambaian hijau sawit mencipta tarian
Atau lolongan ikan di keruh parit sempit
Tetaplah kau masuki alam khayal kenangan
Kekasih mari berdansa di ladang angin
Kita usap kebun plastik berdaun kertas
Menarilah
Menarilah
Kekasih hijau kita telah menjadi ladang angin
Kebun kita
Daun kita telah menjadi daun kertas
Sungai
Padi
Sawah
Menarilah, menarilah dan masuk ke dalam khayal
Sebab kenyataan hanyalah tarian duri.
Martapura, 23 Mei 2011
Kayla Untara
Hijau Itu…
sudah keringkah air mata iba
dari anak bangsa?
sudah terlalu banyakkah liur dusta
dari para penguasa?
katanya pembangunan
tapi hutan kami kau robohkan
katanya pemerataan
tapi pohon kami kau rebahkan
katanya pelestarian
tapi illegal logging kau izinkan
dengan dalih yang dipaksakan
kini hutan tinggal tanah gersang
tak ada celoteh burung dan para binatang
lelatu mengepak terbang
di antara mamang para damang…
buldozer, eksavator, chainsaw, dan deru roda bergigi
membelati tak punya hati
tinggal jejak menista diri
sedang ulat-ulat melata mancari sari
kini,
hijau itu menjelma hitam
hijau itu telah lenyap tenggelam
hijau itu hanya berupa pekat malam
hijau itu adalah warna tanpa nyata
hijau itu tak lagi bernyawa
hijau itu laksana neraka
yang dulunya kau bilang
“ini tanah sorga…!”
Kini,
yang tersisa hanya gores luka
jangan salahkan jikalau bara jadi nyala
karena kami telah kau perkosa
jangan salahkan jikalau kami sebar wisa
sebab mamang kami tinggal kata
jangan salahkan jikalau kami kirimkan parang maya
kala roda bergerigi mencipta mata luka
jangan…!
Pagi, 2010
Komariah Widyastuti
Nyanyian Hutan Perawan
Adakah nyanyian yang lebih memilukan
selain jeritan perawan hilang keperawanan
telanjang bulat terkoyak tercabik-cabik
nafsu serakah yang hilang rasa sayang
Aku hutan perawan di negeri tak bertuan
anak sejarah peradaban insan tak beriman
mencari damai sanak saudara yang hilang
yang mungkin terkubur di lumpur banjir bandang
yang mungkin tertimbun di timbunan nestapa gempa
atau terkapar lapar di tenda-tenda pengungsi
Aku hutan perawan yang hilang bentuk
jauh dari hijau sejuk jambrud di pucuk-pucuk
jauh dari canda ria udang dan kepiting
jauh dari senandung cacing dan belalang
jauh dari riuh kicau dendang beburung
bertasbih menuju kebesaran Sang Maha Pencipta.
Handil Bakti, 23-04-2011
Lilies MS
Biarkan Sajalah Mereka
itu hanya sebuah silhuet kukira
perhelatan itu ‘bak pawai ta’aruf
persembahan bahana swarga loka
senandungnya mewarnai putih merah jingga
hatinya pyarrr, berpendaran
biarkan sajalah mereka
mereka hirup wangi kesumba
mereka rengkuh bianglala
mereka terbang jauh tinggi ke angkasa
kepakkan sayap kecil merpati putih jenaka
yakinlah
dalam kehangatan tulus damai cinta kita
menbusur panah kendali jiwa
terpatri kokoh pada
dinding hati-Nya
Tanjung, Ramadhan 1, 31 Juli 2011
Lilies MS
Takjub
Kutadah cinta di langit hatimu
Malam mimpikan rindu menatap bidadari
Bidadari bulan sumringah
Di tengah derai daun mahoni tua
Silih berganti bertunas lagi
Kutadah cinta di langit hatimu
Wajahmu cawan rindu dahagaku
Kureguk terus dan terus kureguk
Tak henti-henti tak kering-kering
Dan bahkan bagai oase di musim panas tiba
Takjub
kali ini pun kembali kutadah
Hingga aku bersimpuh luluh
Sebab mimpiku ada di cawanmu
Tanjung, Ramadhan 1, 31 Juli 2011
Mahmud Jauhari Ali
Pada Sungai, Ada Sebuah Kisah
di bawah rumpiang
seorang ibu mengayuh jukung renta yang meretak-retak
sedang anak kecil, sipit matanya, diikat di punggungnya
di depannya, pucuk-pucuk ranum menumpuk
memenuhi ruang bebas udara
lalu ia terlihat memecah gulungan-gulungan gelombang
yang datang dari sebuah perahu panjang dengan gerak terburu
dan anaknya terbangun, menangis sejadinya, mirip pengemis kecil
yang pernah kulihat di bawah hujan ritmis senja dulu
di ruang bebas, bercahaya
sebuah perahu lain melaju, lebih terburu
gulungan-gulungan gelombang berdatangan
seperti ingin mengoyak-ngoyak jukung renta miliknya
membuatnya memecah, terus memecah
tapi tubuhnya yang lelah, tak sanggup memecah semua gelombang
dan pucuk-pucuk ranum miliknya berjatuhan
suaranya meloncat ke udara
lalu hilang bersama mulutnya yang tenggelam
sedang anaknya ia juakkan setinggi-tingginya
di bawah awan tipis, dirinya berenang sambil membawa anaknya
suatu waktu, anak kecil berwajah Dayak menangis di atas rerumputan
sementara ibu tadi tenggelam
tiba-tiba, aku yang telah basah, teringat ibuku
ibu yang membesarkanku di antara mahkluk-makhluk sungai
lalu aku menyelam
menyelamatkan ibu itu di bawah cerlang langit Sungai Barito
Kalimantan Selatan, 15 Mei 2011
catatan: rumpiang: nama salah satu jembatan di Kabupaten Barito Kuala, Kalsel
jukung: sampan, perahu tak bermesin
Mas Alkalani Muchtar
Tanah Huma
Di pagi buta bersinarkan pelita
Siap memanggul parang dan payung
Menyisiri tepian bersimbah garu
Terbelenggu sinaran kecil diterpa riak
Khayalan merasuk sukma
Mendamba dalam relung jiwa
Tawakkal pada yang Maha Kuasa
Kubuka jerat kutabur doa
Kuhampar jeratan bening
Kuning bercampur debu
Tumbuh subur bagai dipandu
Kuangkat tangan kusebut nama-Mu
Inikah impianku
Alabio, 10 Juni 2011
Masdulhak Abdi
Aku Tetap Anakmu
Kemarin, rumah ini masih penuh wewangian
Kalian suguhkan sesaji ketulusan
Mengepul asap dupa malaikat dan bidadari surga
Merasuk wejangan menyusup raga
Ketakjuban tanpa kata tanpa terbaca
Hari ini, rumah ini mendadak sepi
Dalam nganga dan begitu asing bagiku
Begitu sepi tak ada pijak dan lari-lari kecil
Begitu dingin tak ada peluk dan canda usil
Tangis seketika merebak meluluhkan kekuatanku
Lunglai dalam kehilangan
Di atas pusara ini
Kan selalu kuhaturkan
Rinai-rinai menggugah rasa
Elegi rumah tua tiang bambu dan atap rumbia
Hari ini, bocah titisan pun berbela sungkawa
Canda itu itu seketika menguap tanpa tanda
Bagimana bisa, bagaimana sanggup
Duka menguras rasa
Hari ini dan selamanya tetap terngiang
Tentang air mata yang telah kau cucurkan
Tentang darah yang pernah kau alirkan
Tentang basah peluh yang pernah kau guyurkan
Tentang hengal nafas yang sudah kau hembuskan
Katamu demi kau anakku
Di sisi batu nisan ini kan selalu kulantunkan
Kelapangan kubur dan wewangian surga
Karena sampai kapan pun
Aku tetap anakmu
Masdulhak Abdi
Mengapa Kau Lupa Namaku
buat murid-murid berdasi
Kupikir jika kau jadi orang penting
Namaku masih tertulis di jidatmu
Di antara sederet nama lain
Yang belum tentu tercatat di diari kecilmu
Kupikir sejauh rentang waktu
Kau masih ingat wajahku
Di antara wajah-wajah lain yang kau temukan
Di balik dasi, di bawah kursi
Di atas selembar kuitansi
Masih saja berharap tegur sapa
Jabat cium tangan saat bersua
Ternyata cuma teori dalam pelajaran tata krama
Atau ada rasa malu untuk menegurku
Karena baju safariku lusuh
Atau karena alasan
Aku hanya seorang guru
Bahkan, katamu, “bekas guruku”
Muhammad Radi
Apa yang Kau Perlukan
Dan, …
(ya)
Apa yang kau perlukan, Sobat? Kasih sayang?
“Tidak!” jawabmu. “I need something more than…”
Oh, I think that you’ve just misunderstood about…
Ya, kasih sayang. Kadang ia muncul di dangau
di antara kesibukan ladang. Lantas kau memekik
di pantai. Ia datang dengan wajah pucat
di antara cemas hujan…
Kandangan-Banjarmasin, April 2011
Muhammad Rifqy
Pulang (Lagi)
Aku ingin pulang
Meninggalkan hampa jiwa
Mencium manisnya tawa
Aku ingin pulang
Meniadakan galau fatamorgana
Memeluk mesra belaian bunda
Aku ingin pulang
Melupakan sakit raga
Berbaring di pelupuk kerinduan-Nya
Aku ingin pulang hingga maut menjemput nyawa
di sapuan sayap mulia malaikat-Nya
Aku ingin pulang
Bila nanti tiba waktunya
Banjarmasin-Banjarbaru, 16.09.2006
Muhammad Rifqy
Menunggu Waktu
Menunggu waktu yang tak jua pasti. Remang pagi di era sunyi
Berirama kicau burung. Jiwa-jiwa terkungkung
Menunggu waktu rindu
dalam mengepak sayap-sayap surya
bertaut suara,
berbising deru
Menunggu waktu bersama syahdu
Kelam malam berpurnama separo
Berbisik serangga
menguak derita
menunggu waktu
dijemput maut
menunggu malang hitam. Memutih
Menghilang dalam tebas parang
Hingga raga kaku menunggu
Muhammad Rusmadi
Hm…
buat isteriku (Marhamah) dan anak-anakku
(Nadya Hanifa Humanisa &
Ganang Muhammad Ferlez Oasis)
Katanya harga-harga naik lagi, Friend?
“Betul, namun…!”
Pantaslah harga keadilan di negeri ini
kian melonjak,
dan…
“Apa?!”
Harga kebenaran s‘makin
diinjak-injak!
Kandangan-Banjarmasin, 2011
Muhammad Rusyadi (Abhimanyu)
Teriak Hening Tabalong
untuk Tabalongku
Menapaki jalan berbatu
Debu hitam memenuhi hati
Riuh rendah cengkeraman tangannya
Pada ibu pertiwi
Kubangan hitam membiru
Jauh sekali
Tinggal sejumput kecil yang tersangkut di benakku
Betapa perkasa rimbunan hijaumu
Ditingkahi ribuan senarai kicau dan riakan air
Serta saputan kesejukan
Itu dulu
Dulu sekali
Kini biasmu berubah warna
Setiap jengkalmu terus disapu, tanpa henti
Hanya beberapa inci dari mataku
Hanya beberapa senti dari masa laluku
Kapan kau kembali
Buncahan rindu sudah tak bertepi
Untuk bergelayut di sebagian dahanmu
Dan perkasanya bukit-bukitmu
Yang kini kronis menanti ajal
Dalam penantian dan derita yang tak berujung
Tanjung, 1 Agustus 2011
Mutia Rahmah Albar
Perjalanan
Pagi datang menyapa
Sambut ceria embun-embun muda
Hangatkan segala suasana
Cairkan semua kebekuan jiwa
Suara ayam begitu lantang
Bangkitkan para pejuang Tuhan
Melaju hilir mudik
Kian selisih
Terus arungi lautan kehidupan
Wujud kecintaan kepada alam
Mentari mahkota dunia
Kehidupan di semua penjara
Siang petang terlewati jua
Bawa kesejukan
Terik tak jadi halangan
Terus melaju melawan arus kehidupan
Jatuh tersungkur di ujung senja
Bersujud dalam genangan dosa
Bersatu dalam raga
Menghadap suatu nahkoda
Kian waktu berjalan
Melangkah terus maju meradang
Isak-isak kehidupan
Mendayu hiasi perjalanan
Keringat bercucuran
Tak kuasa tahan langkah
Setapak demi setapak
Menuju keridhoan sang kuasa
Bersama mentari tertutup mata
Berakhir di senja abadi
Di ujung penghabisan cerita
Sambut mimpi-mimpi
Miranda Seftiana
Penyesalan Sebuah Raga
Di balik lukisan dunia
Aku menadah di antara mereka
Tubuhku renta tak berdaya
Ditopang tongkat lapuk sahabatku
Kucoba susuri sisa hidupku
Lelah ragaku,
Menjalani waktu yang kulewati
Andai dulu aku?
Ah, apa guna kusesali
Toh semua takkan pernah kembali
Kurebahkan segala asaku
Kucoba lepaskan segala gundahku
Pikiranku kembali ke masa lalu
Mengingatkan aku atas kesia-siaan dulu
Yang pernah menegurku
Baru kini aku mengerti
Apa arti hidup ini
Setelah waktu yang terbuang selama ini
Hanya penyesalan yang menemani
Menunggu hariku nanti
Sebelum tubuh ini terbujur kaku
Kuingatkan padamu
Akan ketidakberdayaanku
Atas kesalahan di masa lampau
Maka berikan waktu dengan indahnya masa
Misbah Munir Akhdy
Badan Pesan
1. Latah
Darah pecah mencuci ujung-ujung bedil
rebah!
bicara menyambung kata
terputus
Akankah hati ini juga pecah?
Tidak!
aku tak akan memecahnya
biarkan mereka tertawa
mereka yang telah lelah, mungkin
diam,
bicara tentang diam
kaku
mati
2. Sebatas Kita
Hai pintu di depanku
bolehkah kuketuk daunmu untuk kami
ketika semua wajah telah pulang
menidurkan lelah di ambangmu
Aku bukanlah kunci yang tertidur
jeruji bisu mencengkerammu
sebingkai bayang di terasmu
berdiri sebatas kita
3. Lukisan Air Mata
Halimun pun pergi dalam diam
jalan-jalan tertidur
dibuai keangkuhan lalu lintas kota
yang semrawut
Setetes air mata bergulir dalam desah
rindu malam
waktu bercanda dengan waktu
Hai, bulan di langitku
sambutlah salam matahari
esok pagi
aku ingin tidur di bawah cahayanya
abadi
4. Catatan Kecil
Bacalah telaah kita malam ini
menyebar mengelilingi pernyataan
memoles diri
mengurung kita di hatinya
Sudahkah kita tulis kata mati
merakit kegalauan
berjumpa pada mata
berkata tanpa kata.
M. Amin Mustika Muda
Aku Mencari Air Mata
Aku mencari air mata. Aku berjalan pada suatu taman bunga, pelan. Aku menemukan sekuntum bunga mawar, yang tanpa kelopak lagi meratapi nasibnya. Matanya menatapku, seperti pisau yang baru saja diasah, mengkilat dan tajam. Seperti ingin menyerangku, tatapan matanya merah marah.
Aku mencari air mata. Aku bertanya kepadanya, pelan. Kenapa kau tak lagi ramah. Bahkan kau telah berubah menjadi pemarah. Lalu kenapa air matamu tumpah sebanyak ini. Lihatlah kakimu itu, yang sejak tadi basah direndam air mata. Berhentilah kau menangis. Atau nanti kau akan mati tenggelam, oleh air matamu sendiri.
Aku mencari air mata. Aku bicara kepadanya, pelan. Yang lalu biarlah lalu. Yang hilang biarlah hilang. Sebanyak apapun air mata menggenangi taman bunga ini, kelopakmu tidak akan kembali lagi.
Aku mencari air mata. Aku bercerita kepadanya, pelan. Kau adalah mawar, dan akan selalu menjadi mawar. Oh, mawar, kembalilah kau tersenyum. Meski tanpa kelopak, kau adalah bunga yang akan selalu memberi warna cantik, pada taman bunga ini.
7 Juni 2011
M. Aini Asmuni
Rentang Waktu
Waktu adalah pedang
Waktu adalah uang
Barangkali ini adalah kata yang tepat untukmu waktu
Dalam rentang yang tak terbatas
Tak bertepi dan tak bersahabat
Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu
Tiap detik, tiap menit dan tiap jam terasa singkat
Masa kecil, remaja, muda begitu cepat
Tak terasa masa tua datang mengikat
Sekujur tubuh yang dulu kuat
Dengan wajah memikat
Kini menjadi berkarat
Rentang waktu begitu cepat untuk diingat
Selama nyawa tak meninggalkan raga
Hidup masih berharga
Di usia yang sudah senja
Dalam sisa umur yang tersisa
Maka
Kerjakanlah apa yang bisa
Jangan berkeluh kesah
Menyesal juga percuma
Rentang waktu
Engkau masih bersahaja
Memberikan harapan dan asa
Dengan cinta dan doa
Pada sang Pencipta
Marabahan, Juli 2011
M. Hasbi Salim
Telaga Ramadhan
hamparan tanah tandus
luas sejurung masa
telaga menganga
airnya seterang cermin
sejuk, merasuk ke dalam sumsum
di sini selaksa satwa bercanda
telaga impian
bertatah rahmah
bertabur pengampunan
berperisai kebebasan nyala neraka
inilah telaga ramadhan
ya rabb,
izinkan hamba menimba airnya
buat bersihkan jari-jari ini dari noda kemunafikan
awal ramadhan, 1432 h.
M. Nahdiansyah Abdi
Ekstase Namaku
Malangnya kau namaku
menjadi artefak di tengah himpitan raksasa bisu kebudayaan massa
Sini bergabung masuk ke rongga dadaKu
bersama tarikan Hu dan hembusan Allah
menjadi gila yang tanpa lelah namun hening
Ucapkan selamat tinggal pada masa depan, silakan
menunggu pada masa lalu dan pada kekinian: Sempurna!
05.04.11
M. Nahdiansyah Abdi
Sore Bersoda
Di hari kematian Eza Thabry Husano
Aku menyimak bukit
dari jendela lantai 2 hotel lambung
Seluruh rasa hijau bergema
lewat pohon-pohon yang tegak di atas sana
Merasa hidup tak akan lagi sepanjang
ketika menuliskan beberapa bait puisi pendek
Orang tua itu pastinya terbaring dengan tenang
Suaranya yang lembut hinggap di cuping
ajalku
Ya, begitulah. Perjalanan masih akan berlanjut
Bagi yang meninggalkan dan yang ditinggalkan
Samarinda, 15 Juli 2011
M. Nahdiansyah Abdi
Bianglala
Sehabis main fesbuk, dengan lancang ia menulis puisi
Seperti mengejan, ia keluarkan erangan penghabisan: aaacchh
Malam sepertinya akan sempurna, Sayang
01.05.11
M. Sulaiman Najam
Kotaku
kotaku hilang di laut khayal
karena badai menghapus mimpi
kotaku adalah kapalku
muatan angan-anganku
sebuah kota yang indah
terapung antara dua selat
selat laut yang cantik
selat makassar yang bertuah
kota bergaya legenda
pulau palinggam cahaya
dalam cerita lamut
bijaksana sakti mandraguna
elok mengagumkan
pertautan alam dan kota
bagai sepasang kekasih
kehidupan abadi
lampunya terang benderang
bagai kota seribu satu malam
airnya bersih
seperti perak di pagi hari
jalanan mulus
kadang berkelok
bagai ular melata di tempat licin
rakyatnya yang asih
bahagia dan sejahtera
karena alamnya kaya raya
kini kotaku hanya mimpi
tenggelam di laut khayali
M. Sulaiman Najam
Duka Meratus
dia kusapa
saat kabut menggerakkan sayapnya
dari puncak ke puncak
tersenyum dengan tatapan ragu
membaca yang tersirat di dadaku
kuelus rambutnya yang disaput awan
dia menunduk di bawah kakiku
bercerita tentang masa lalu
dalam lembar Meratus terluka
wajahnya selembut angin seputih kapas
ketika bajunya koyak
tubuhnya dipaksa bugil
napasku terhenti di genangan air mata
mengalir di sungai-sungai
derita dan kesedihan
diungkapkan di tabir basah
kabut yang menyelimutinya
kami dihimpit angin sedingin malam
dalam selimut sahabat
luka dan darah mengental
tercecer di potret nurani
untuk kajian telaah anak cucu
rahasianya tersimpan dalam puisi
sementara kutitip di dada mereka
kelak ada yang masuk di persembunyiannya
Loksado, 14 Desember 2007
M. S. Sailillah
Surat Buat Kekasih
kekasih, hatiku adalah gurun dalam pasirmu
debu dalam badaimu angin dalam topanmu
seberkas sinar dalam gulitamu
saat bulan tersipu, masihkah ada sinar yang membekas
di hatimu
kekasih, hatiku adalah pualam
dan aku ingin merautnya dalam senyummu
lalu kita labuhkan di laut lepas yang ganas
seperti sepasang merpati putih yang terbang membelah
cakrawala tiap ketika melagukan tembang kasmaran
berlayar mencari pantai akanan
kekasih, aku tulis surat ini dalam ruang dan waktu semu
angin dingin mendirus dalam, ah, hatiku
mengawang mengukir cintamu
adakah ini negeri kita yang dialiri sungai perak ke muara
kekasih, hatiku menggelombang dalam lautmu
namun dahagaku takkan pupus sebelum perjalanan ini
menyentuh pintumu
M. S. Saillillah
Burung Kemerdekaan
Dua ekor burung kertas
sepasang warna merah dan putih
dari persegi empat dilipat susah payah oleh seorang bocah
ketika ditolakkannya ke udara terbang rendah memburu mimpi
sia-sia kepak sayapnya
kalau akhirnya membentur matahari
patah sayap dan kakinya
Sepasang burung kertas merah dan putih
dilipat dalam mimpi seorang bocah
ketika hinggap di pucuk cemara
tiba-tiba air matanya beruraian
meratapi warna yang hilang entah ke mana
tidak juga berkibaran di pucuk tiang bendera
sementara wajah si bocah pucat pasi
sebab ia merasa bersalah telah menyimpan zat pewarna
di saku celananya
Lalu cepat-cepat dilipatnya kertas yang berwarna merah
membentuk dua kemungkinan, entah burung atau kapal api
lalu dilarutkan ke sungai darah mencari jiwa yang tertinggal
dilipatnya pula kertas yang berwarna putih
membentuk istana putih di suatu negeri bawah sadar
Sesaat sepi lalu merenung
akankah merah berwarna merah lagi dan putih berwarna putih pula
bila semua enggan berbagi diri
Tiba-tiba kebekuan menyeretnya ke ruang waktu yang begitu asing
karena gelap ia terjerembab, lututnya berdarah terbentur batu cadas
darah menggenang dan seketika menjelma menjadi telaga
yang menenggelamkan seisinya
Orang-orang tidak bisa bersuara, hanya dia seorang, bocah tadi
“inilah firdausi yang terlahir ke dunia,” katanya
orang-orang kembali membisu, tapi semua mafhum
kalau itu fantasi duniawi
sebab memetik kata dari daun sama dengan dzikir khusuk kepada-Nya
Banjarmasin, 1995
Ninin Susanti
Bulan Kugantung di Sudut Kampungku
bulan kugantung di sudut kampungku
dengan sinarnya yang berpendar
menerangi gelapku malam ini
bulan kugantung di sudut kampungku
dengan cahayanya yang suram
tetap setia memberi warna di malamku
bulan kugantung di sudut kampungku
dengan senyumnya yang malu-malu
menatapku yang tengah memendam rindu
bulan kugantung di kampungku
dengan biasnya yang berpendar
sampaikan rinduku ke kotamu
bulan kugantung di sudut kampungku
Marabahan, 22 Juni 2010
Noor Aida
Iktikaf
Dalam tafakur
Jiwa tersungkur
Mengembara menjelajah arti
Mencari jejak yang tak terperi
Sunyi bening
Di malam hening
Membias tanya tentang siapa
dari mana, di mana dan ke mana?
Singkapkan selimut diri
Singkirkan jubah hitam
Kupas lepas nuansa tabir
Lepas tuntas hiasan dunia
Hapus pupus catatan duniawi
Masih adakah sisa amal untuk akhirati?
Bugilkan tubuh yang papa
Pertaruhkan tubuh yang hampa
Hempaskan angkuh yang bertahta
Leburkan tubuh yang khilaf
Pengakuan tubuh yang dhaif
Lunturkan warna penghias diri
Masih adakah rasa keakuan diri?
Sirami debu-debu kalbu
Putihkan dengan nur yang kilau
Hembuskan bius kosong di ruang angan-angan
Mengelana sepi ke alam bebas
Melantunkan nama-nama indah-Mu
Di relung batin terpatri haqqul yakin
Singkapkan tirai pembatas kehambaan
Kuak rahasia di balik misteri
Menyelam air lautan yang tak bertepi
Mengais-ngais permata yang terpendam
Qudrat, iradat, ilmu, hayat, sa’ma, bashar, kalam
Untaian mutiara di lautan makrifat
Hadirkan hati di haribaan-Nya
Suguhkan gejolak rindu gelora cinta
Tepiskan ragu raih istiqomah
Tadahkan doa, ikhlas, tawakal
Mengharap rahmat hidayah-Nya
Amin, ya Rabbal Alamin
Marabahan, 25 Juli 2011
Noor Annisa Fauzana
Tangisan Kali Balangan
meluaplah derasmu
di keseharian malam
di keseharian siang
bersama tubuhmu yang keruh dan luka
ke hilir kau mengalir
membawa duka
ke hulu kau merembes
mencipta rasa
orang-orang hilir mudik
bersama arusmu
menantang, menyongsong derasmu
berpacu dalam kehidupan
orang tertawa
menguliti kulitmu
menertawakan lukamu
yang semakin keruh dan usang
tangismu
adalah tangis datu-datu murka
yang mulai lupa pada tubuhmu
yang luka
ditusuk jari-jari kehidupan
Paringin, 22 Juni 2010
Nurdin Yahya
Lubang Besar
Sungguh jejak itu warna lebam siang-malam
Terbanglah anak-anak tiung biduan gunung
Menuju gulatan waktu di atap-atap pencakar langit
Yang berbaris menyisiri mimpi-mimpi rumpun ilalang
Gemericik sungai menanyakan angin pada kering pagi
Ranting lusuh dan akar beku memberi tanda lewat desah
Maka angin keruh menahta di pucuk-pucuk ulin
Musim merunduk entah kemana rindunya pada tatujah
Sungguh jejak itu lubang besar di pematang sawah
Menyisakan isak ambaan dan tajak yang terselip
Nurdin Yahya
Warta
Jika itu harapan
Adalah yang tersangkut
Pada angan yang semilir kering
Jika itu ingatan
Adalah yang terpaut
Pada rentang di malam samar
Lalu warta manakah itu
Melambai pada daun runduk
Atau sekadar solek yang kemarin
Hingga tajak dan bubu menyelip
Bila memang, sungguh
Tanda itu bukanlah abu-abu
Yang menggema dari air siang
Kiranya itu musim tak berpijak
040711
Oka Miharzha S.
Mengejar Rama-Rama Cinta
O, kawan, karena kepomponglah kau ada
jadi rama-rama cinta bersayap lebar tempat bernaungan hewan lain
inilah, kawan, awal dari sebuah pesawat angan-angan, yang dibenci cinta
cinta ada di mana-mana, di tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi, cinta tak pernah tidur
mengasihi kekasih-kekasihnya, begitu banyak bertimbun mulut-mulut lawan cinta menghadang di luar kepompong
o, kawan, benarkah tugas pengembara mengejar rama-rama cinta
lalu menangkap dan menjerat ia dengan benang sutra warna-warni
dari cinta yang serba mungkin terjadi, atas kekasih-kekasihnya
atau hanya tipu muslihat,
rama-rama cinta palsu dan keserakahan
atau memang cinta asli, murni, dan maha tunggal
aku, cinta, ya cinta, aku bersemayam di aras dan lebih dekat di urat leher cinta
ya, kawan, itu aku dan cintaku ada di sana bersama cinta penuh kesyahduan
o, kawan, aku, cintaku, adalah pengembara yang mengejar rama-rama cinta
sampai cinta terakhir, tak mungkin diganti cinta yang lain
malam Nisfu Sya’ban 1432 H.
Puji Rahayu
Subuhku yang Terbuang
Di mana aku?
Tatkala kehadiranmu yang diam-diam
Tatkala hadirmu menyusup di antara kelelapan
Tatkala kau hadir sebagai penyemangat jiwa
Di mana aku?
Saat makhluk pilihan berlomba-lomba
Saat kaki renta pun gemetar mencoba melangkah
Saat nyanyian adzan mulai memanggil
Di mana aku kala itu?
Akankah aku masih bisa
Akankah esok kau masih ada
Di antara tetes air wudhuku aku menangis
Aku rugi
Aku khilaf
Kembalilah padaku
Subuhku yang terbuang
Batu Piring, Juli 2011
Rahmiyati
Sedikit Saja, Rindu dan Masa Lalu Itu
untuk Ibu
setidaknya ini pantas,
pun hanya bercakap dengan kertas-kertas saja
tentu saja tentang kita, sedikit saja
karena tak mungkin lagi aku melantun
meski dengan nada yang terlampau santun
seperti dulu yang selalu mengalir lagu-lagu indah
dengan tanya penuh makna
tak mampu lagi aku bercakap, seperti dulu
yang selalu menyuguhkan rindu
tentu saja itu untukmu
perempuan di hati kecilku:
bahkan di saat yang tidak tepat ingatan itu selalu datang
lalu, pada siapa aku harus menawarkan tawa yang ternyata sakit
perempuan di hati kecilku:
tentu saja ini tentang kita, dahulu
Maret 2010
Rahmiyati
Seperti Kincir Menderu
Aku merasa sepi seperti kincir menderu
Tak ada yang benar-benar kuterbangkan
dan sungguh-sungguh kurapatkan
Kincir yang sendiri
Mengitari udara yang itu-itu saja
2010
Rahman Rizani
dan,
tunggulah wahai insan yang kubenci
bibirku ini sudah kukunci untuk memaki
tunggulah utusan beribu benci di hati ini
di saat malam kelam berselimut sepi
parang maya yang akan kuberi
maka
lengkaplah sudah segala sesaji
di kukus kemenyan mantra-mantra akan bertiti
di antara wewangian bunga tujuh rupa kutabur duri
di tiga jarum bisa akan kulumurkan
di dinding malam darah ayam hitam kan kusemburkan
untuk kau yang telah ingkari beribu janji
untuk kau yang telah berani mengibuli
untuk kau yang telah mengusik ketenangan
untuk kau yang penuh dengan kemunafikan
kau yang telah semai benih kecewa di hati
maka tuailah buah benci ini
bersiaplah
jelang ajalmu malam ini
saat kau tertidur kau tak akan bangun lagi
bersiaplah
besok biru memar jasadmu tanpa denyut nadi
mati!
Rahman Rizani
dang ding dung...
saling tendang buatku bingung
semakin banyak dorong-mendorong
anjing-anjing saling menggonggong
tak ada yang saling mengusung, menjunjung
tak otak atik...
beradu cepat di dalam taktik
berpacu dalam lintasan politik
ada yang pajang foto cantik agar menarik
ada yang turun ke jalan becek agar dilirik
ada yang berjanji segala harga akan menukik
ada juga yang bermodalkan kritik
semua tampak baik
tapi kenapa perutku rasa digelitik
Ratih Ayuningrum
Dan Hujan Adalah Cerita
Hujan yang menggeliat pada daun-daun adalah cerita
Tentang sunyi yang pernah coba kupahami
Namun, sunyi tetaplah sunyi
Tak ada kesepahaman
Tak ada cerita berkesudahan
Aku hanya mampu melihat kenangan
pada rintik yang berubah menjadi bulir kesekian
Hujan mungkin hanya menyimpan cerita menjadi kenangan
Dan aku adalah pencerita padanya
Tanpa jenuh
Selayaknya resapnya yang penuh
Kotabaru, Juni 2011
Ratih Ayuningrum
Aku Pernah Menyukai Bintang
Sesekali
Aku memang pernah menyukai bintang
Di antara sekelumit cerita
tentang dongeng bintang jatuh dan satu permohonan
Aku mencintanya
Dalam dan rumit
Namun
Sesekali aku memang pernah menyukai bintang
Tatkala bintang belum memenuhi ruang kalbu yang berbeda
Saat bintang tak pernah menjadi mimpi
malam paling agung bagi sebuah jiwa
Aku memang pernah teramat menyukai bintang
Hanya sesekali saja, tapi
Dan kini, entah.
Kotabaru, Agustus 2011
Ratih Ayuningrum
Melukis Malam
Kita pernah mencoba melukis malam bersama
Hingga lena
Menghitung titik-titik gerimis yang menembus pekat jelaga
Sesekali meniup uap yang berhamburan dari mulut masing-masing
Tak ada dingin yang beku
Tak pernah ada malam yang panjang
Kita pernah mencoba melukis malam bersama
Tetapi, malam terlalu panjang kini
Hingga kemudian kutemukan hanya sebuah sepi yang merayap perlahan
Kita pernah mencoba melukis malam bersama
Kini, masihkah kita ingin nikmati lukisan itu?
Kotabaru, Agustus 2011
Reni Eka Winarti
Tobat
Getarnya hati menguak kelamnya malam
Terpana diri akan nikmatnya ketenangan memandang malam
Sungguh terlalu hina jika kau lalaikan persujudan,
tiada kau sentuh dengan keningmu
Sungguh terlalu serakah saat kau tidak mau berbagi
ucap syukur atas rezekimu
Sungguh terlalu pelit saat kau punya waktu,
namun kau abaikan untuk mengingat siapa kamu
Sungguh terlalu sombong saat jabatanmu meninggi,
namun kau lupa siapa memberi
Sungguh terlalu munafik dirimu saat di atas kau akui
“ini karena usahaku sendiri”
Sungguh terlalu sedih suatu saat kau telat
untuk menyadari terlenanya kau jika maut sudah menghampiri
Sungguh terlalu, terlalu, terlalu,
Angkatlah kedua telapak tanganmu,
Rundukkan wajahmu
Keluarkan air matamu,
Akui lumuran dosa-dosamu,
Mengakulah diri tenggelam di dunia yang akan kau tinggalkan
Bukan dunia yang kaubawa
Tapi dengan dunia kau akan ke mana?
Tersadarkah di keheningan
saat azan subuh berkumandang
atau semakin terlena dinikmatnya pelukan setan
yang erat memelukmu di kesejukan rintik hujan
Anugerah – musibah
Siapa kita?
Siapa kamu?
Siapa aku?
Siapa pemberi hidayah?
Sang Illahi Yang Maha Pengampun,
Maha Pemaaf, Maha Mengetahui segala isi hati hamba-Nya
Tobat
Redha Adharyan Ansyari
Kandangan Kota Cintaku
Kandangan kota cintaku
kulihat engkau tak lagi berkumandang ayat cinta
kudengar engkau sering menjadi arena caci maki
warna awan pun jadi sering menoreh luka
meneteskan kesedihan di setiap pesisir kota
Kandangan kota cintaku
curhat-lah, mungkin bisa lewat facebook, sms, atau telepon aku
apa yang buat kau bak tertancap kaku?
curahkan semuanya, jangan sisakan pedihmu
Kandangan kota cintaku
kuingin melihat matamu semanis pandangan
kuingin mendengar puja-puji atas namamu
kuingin kau tak habis termakan waktu
kuingin kau dikenal seluruh penjuru
kuingin kau berkibar di atas semuanya
dan kuingin kau juga mencintaiku
Kandangan kota cintaku
aku cinta kota Kandangan
tempat awalku menjejaki bumi
sudut desa 2 banyu, 30 desember 2009
Rudi Karno
Mantra
Kur.. sumangat..
orang-orang melarungkan hatinya dalam iring-iringan ritus:
kuridingku kuriding angin, buluh marindu tunggangannya
menari-nari atas ruh yang terus beterbangan menjangkau lazuardi
orang-orang semakin larut dan tenggelam di cakrawala
Terbang, teruslah terbang
menggeletis-geletis suaranya tanpa henti
gumamnya terus menerus
kur... sumangat ...
Banjarmasin, 1 Juli 2011
R. Syamsuri Sabri
Kuyang *
Sirr wos wos sir, anak blantak
Mengurai darah, mengisap darah
Di ujung bibir, tangga sungsang
Di bulan hidup tujuh hari
Matamu pijar penyihir
Lidahmu tajam sembilu
Rambut melilit urat nadi
Tajam rasa, tajam pencium
Sir wos wos sir, anak blantak
Pencari mangsa, liur dahaga
Pengisap darah bayi
Pengisap ari tembuni
Terbang di desir angin
Hinggap di wuwungan tunggal
Menetes lendir, perut terurai
*penanggalan/kuntilanak
Marabahan, 2011
R. Syamsuri Sabri
Sumpah Kuyang
Wahai kuyang tanggalan ujud
Anak blantak pengiring mambang
Kena sumpah Gusti Pembayun
Yang dirajam di Gunung Ringgit
Wahai kuyang si cabut bukang
Minggat, minggatlah engkau
Atau kujala ujud jadimu
Dengan lawai pintalan putri
Anak Datuk Sringgi
Jangan menunggu, jangan mengganggu
Anak Adam meluncur papan
Meulur ari tembuni
Membasuh jabang bayi
Atau kubakar garu setanggi
Kutabur dedak ketan
Kulempar dengan melawin
Empangan Raja Janggi
Pulanglah engkau, pulanglah!
Marabahan, 2011
Sri Normuliati
Pulang
Jejaknya terbang, menghilang
Meninggalkan bayang-bayang
Berbaur dengan cahaya bintang
Seperti keremangan yang tak lekang
Langkahku mencoba menggali setiap lubang
Di antara rumpun ilalang yang bergelombang
Jalan itu memberi kebisuan yang panjang
Dengan napas dan air mata yang berlinang
Hening
Sejenak kita tak perlu memburu langit terbentang
Dan seperti juga semua yang akan hilang
Raga ini mulai merapuh dalam bimbang
Menuju satu pintu untuk pulang
Sri Normuliati
Hanya Perlu Lihat
Lebam biru itu seperti ukiran bunga
yang menyatu dalam luka
Bukan hanya dirinya
Bukan hanya tentangnya
Sentuhanmu terlalu lama
Membekukan aliran darah semanis gula
Apa kau lupa?
Tangis perempuan di ujung purnama
Dia yang pernah kau taruh dalam sukma
Menulis cerita dengan tinta air mata
Apakah itu cinta?
Apakah itu kecewa?
Apakah itu pengorbanan yang membawa petaka?
Siapa yang mau mengerti dia
Engkau pun tidak
Entah mereka yang jauh di sana
Suhaimi
Atas Nama Hujan
Atau kau selalu hadir dalam rintiknya
Aku tau kau selalu menyentuhku
lewat tempias yang kau biaskan
Atas nama hujan
Bisakah kau pergi
Karena akan kubunuh rinduku serupa debu
Akan kubelah laut agar tak kuselami dasar
Atas nama hujan
Aku mencintai seseorang yang tak pernah ada
Oktober, 28.09
Sumarni
Dalam Bis Gunung Bamega
Dalam bis Gunung Bamega
hujan lebat, angin ribut dan suara petir yang menyambar
Hujan menyapa segenap alam di bumiku tuntung pandang
Merelakan kepergianku menembus harapan masa depan
Kerisik sepoi dedaunan di luar sana
Kesendirian yang membisu menyusup dinding celah jendela
Dalam bis Gunung Bamega
Kurasa tidak ada sehelai kain kafan menyelimutiku
Kain kafan yang menyelimuti perjalanan hidupku
Menjinjing tangan menadah, berharap, meminta kepada yang tak nampak
Ya Allah, berilah aku kekuatan, rezeki, secercah harapan demi cita-citaku
Ya Allah, berilah aku apa saja agar
aku bisa menyatu, mengayun dengan berjuta tangan yang menadah
Perjalananku seperti dalam keranda mayat penuh tangisan
Tangisan yang mengiringi kepergianku ke gunung bamega
Sejenak aku tertidur dalam bis Gunung Bamega
Licin, gelap, menurun, dan mendaki untuk masa depanku
Khayalan dan angan-angan yang melambai seperti pohon kelapa
Menyala-nyala jiwaku
Menggeliat seakan-akan dicambuk oleh malaikat
Dahiku berapi pancaran mata air
Tubuhku dalam bis mengeras bagaikan batu
Jantung berdebar berhenti
Tengah malam membisu, nafasku kencang bagaikan angin
Angin yang seolah-olah menghempaskan jiwa yang tandus
Oh, gunung bamega, kau begitu jauh
Jauh dari gemerlap kota, berjuta hamparan harapan kupasrahkan
Pasrah pada nasib, pada pasir putih, pada buih
Inginnya aku berteriak lantang di bumi gunung bamega
Tapi aku takut pada sungai, pada kapal, pada burung dan pada gunung
Pagi yang hening, Tanjung Serdang yang dingin, meluapkan harapanku
Dalam bis Gunung Bamega
Kugantungkan harapanku, cita-citaku
Kuinjakkan kakiku di Kotabaru gunung bamega
Sandal jepit, pakaian, ijazah dan keringat mereka yang menghantarkanku
Menghantarkanku ke pintu gerbang impian cita-citaku
Harapanku seperti di ambang surga
Malaikat-malaikat itu datang untuk bertanya denganku
Surga atau neraka, neraka atau surga
Dalam tubuh yang kerdil, hina, retak dan tak berdaya
Dalam teriknya matahari, keringat bercucuran bagaikan tangisan di bola mata
Sedih, riang, duka atau beban yang menghadang
Seperti semut-semut yang berkumpul dalam ruangan
Ruangan yang penuh sesak karena manisnya gula
Oh, Tuhan, hantarkan aku pada kesuksesan
Tuhan, dengarkan doaku
Dengarkan tangisku dalam relung jiwa
Dengarkan, dengarkan, Tuhan
Tuhan, oh Tuhan
Sukses yang sebenarnya
Sukses yang penuh harap
Sukses yang penuh cita
Harap yang penuh pengharapan
Cita yang penuh tantangan
Penuh untuk segala-galanya
Bis Gunung Bamega, harapan dan cita-cita kugantungkan
Bis Gunung Bamega, hantarkan aku pada cita-citaku
Suriansyah
Alex /Siami 2011
Saat anak bangsa diuji
Dalam pengetahuan
Pendidikan
Budi pekerti
Keberhasilan
Namun dalam persiapan
Ada gladi resik
Wajar, tetapi bukan kesuksesan
Hanya skenario kebocoran
Tidak, bukan itu tujuannya
Alex, kau anak didik, polos
Ingin sukses tanpa rekayasa
Semua itu
Kau ungkap
Kau ceritakan
Kau beberkan, apa adanya
pada ibu, keluarga, media
bahkan khalayak ramai
Semua demi kemurnian
Tapi, kau dicaci, dimaki
Bahkan diusir dari hunianmu
Inikah yang diinginkan
Tidak, kejujuranmu hakiki
Terbukti kau sudah kembali
Kejujuran adalah
Amuntai, 2011
Suriansyah
Tentang Kata
Pemburu kata tak pernah kesepian
Terbang ke angkasa melewati mega-mega hitam
Menari menikmati inpirasi sambil merajut kata
Pecahan kata bercampur batu hitam menggelinding di sepanjang jalan
Sang jawara menembus memecah pelangi yang bercerita
dengan tembang di atas tambang
kemakmuran membayang memberi harapan masa depan
Pemburu kata tak akan kehabisan air mantra
Menyaksikan goyangan daun hijau pengganti jalur hijau
Sambil menimang-nimang bocah malang yang terbaring
di bawah deru kemakmuran
Saudara di perempatan berburu dengan kata
dengan bertutup muka menyembuyikan tahta
mereka berkata, di sini kami hanya mengharap
perangkai kata melempar kembalian belanja
membagi rasa dari hasil rangkaian kata
Pemburu kata tak pernah kesepian
Menari memandang bulan tersenyum
Mengintip mentari menyalak kesenjangan
Antara kata dengan kata-kata yang terangkai dalam
janji terus menggelinding melindas dengan senyum sinis
Pemburu kata masih punya kata mencoba berkata
Tapi jawabnya jangan hanya kata-kata
Kita sudah memetik hasil kata-kata
Batola, Juli 2011
Surya Achdiat
Ilalang
Serumpun ilalang menyindir
“mengapa engkau menjilat embunku ?”
padahal
aku cuma kebetulan tengadah
dan tetes hujan jatuh ke bibir
lalu
haruskah aku menunduk kembali
untuk meludah
sedangkan kerongkonganku tandus
gerah dan dahaga
Wahai ilalang!
Jika engkau belum cukup ikhlas
ambil kembali embunmu
Syaiful HS
Darah Dingin
Andai hatinya bisa dilihat
Yakin ia orang akan memilih buta
Andai ada penghulu jagal
Yakini bahwa nama jagal pun menyesal pernah ada
Iblis terkejam sekalipun akan ngeri
Bila tahu rasa apa yang ada kini
Kesanggupan yang di luar kesanggupan
Memeras darah yang tak lagi merah
Karena iris demi iris itu terus berlalu
Demikian lembut, berlalu, tanpa hati dan rasa
Hingga akhirnya terhenti dengan sendirinya
Murung Pudak, 2 September 2010
Syarkian Noor Hadie
Dunia
pernahkah kau baca malam yang kau telan
dalam beribu mimpi
ketika kau tidur dalam terjaga
tak pernah salah
pernahkah ada yang puas
seperti eksim
gatal tak berujung
luka, dan berdarah
berenanglah dalam lumpur
dan bencana
dalam madu suka cita
kau butakan mata hati
menghitamkan jantung
azan, tak jua meneduh telinga
sampai kapan,
sampai angkara mencekik dunia
Marabahan, 2011
Taberi Lipani
Hilang
apakah lagi hakikat cinta
ketika putihnya mega telah tergadaikan
pada segumpal sesal
yang mengubur berjuta kehendak
terpuruk bermandi luka
ketika mencoba berburu makna
di rimba syakwasangka
menyentak bermacam rasa
timbul tenggelam
tertindih duka tiada terbatas
dan ketika tersadar pun
semua tetap terlelap dalam gelap
bahtera jiwa telah kandas
bila mengharap yang tiada
hilang.
Taberi Lipani
Mantra Rasaku
kama kama hidup
kama kama mati
kuasa hidup
tidak kuasa mati
kama kama rasa
rasa ini rasa itu
merasa sana sini
huallah
yang hidup
yang merasa
yang hidup
sana sini rasa
rasa ini
rasa itu
rasaku jua
Tajuddin Noor Ganie
Mendulang Intan
Dulu, ketika masih kanak-kanak
Aku pernah ikut mendulang intan
Membantu ayahku
“Adinda,“ ujar ayahku membuka bicara
“Ada apa, kakanda?” sahut ibuku manja
“Besok aku membawa serta anak kita bekerja mendulang intan.”
“Mengapa anak kita harus ikut bekerja, kakanda. Bukankah Tajuddin Noor Ganie masih belum cukup umur untuk mengerjakan pekerjaan yang begitu berat?”
“Ya, benar sekali, adinda. Aku tahu itu. Tapi itu atas saran malim. Kata beliau, harus ada anak kecil ikut bekerja dalam kelompok kami. Masih kata malim, galuh di Kampung Karamunting senang sekali melihat anak kecil.”
“Oh, begitukah, kakanda. Kalau begitu, bolehlah. Tapi kakanda harus menjaganya. Jangan sampai terjadi apa-apa dengan anak kita.”
“O, itu pasti, adinda,”
Ketika masih di rumah
Sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan
Ayahku sudah memberi wanti-wanti
“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”
“Ya, ayah.”
“Ketika berada di pendulangan intan, ananda jangan sekali-kali bernyanyi, apalagi bersiul.”
“Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”
“Menyanyi dan bersiul di pendulangan intan pamali, anakku. Konon, Putri Sahanjani dan Siti Anggani tidak suka mendengar nyanyian dan siulan.”
“Apa dan siapa mereka berdua itu, yah?”
“Beliau berdua adalah putri raja yang tidak kasat mata, keduanya tinggal di Alam Banjuran Purwa Sari. Tugas mereka berdua menaburkan butiran intan mentah ke dalam lubang pendulangan yang digali orang di Kampung Karamunting ini, anakku.”
Ketika masih di rumah
Sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan
Ayahku sudah memberi wanti-wanti
“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”
“Ya, ayah.”
“Ketika berada di pendulangan intan, ananda jangan sekali-kali berkacak pinggang.”
“Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”
“Berkacak pinggang di pendulangan intan pamali, anakku. Konon, Putri Sahanjani dan Siti Anggani tidak suka dengan orang yang berkacak pinggang. Beliau berdua tak mau mendekat, apalagi menaburkan intan ke dalam lubang pendulangan milik orang-orang yang berkacak pinggang. Orang yang suka berkacak pinggang adalah orang sombong, anakku.”
Ketika masih di rumah
Sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan
Ayahku sudah memberi wanti-wanti
“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”
“Ya, ayah.”
“Ketika berada di pendulangan intan, ananda jangan sekali-kali menyalakan api.”
“Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”
“Menyalakan api di pendulangan intan pamali, anakku. Konon, Putri Sahanjani dan Siti Anggani sangat takut dengan nyala api. Karena mereka berdua diciptakan Tuhan dari api. Jika tubuh keduanya terkena api, maka keduanya akan mati.”
Ketika masih di rumah
Sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan
Ayahku sudah memberi wanti-wanti
“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”
“Ya, ayah.”
“Ketika berada di pendulangan intan, ananda jangan sekali-kali membawa ayam.”
“Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”
“Membawa ayam ke pendulangan intan, pamali, anakku. Konon, Putri Sahanjani dan Siti Anggani sangat takut dengan ayam, karena ayam adalah monster ganas di alam gaib sana.”
Ketika masih di rumah
Sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan
Ayahku sudah memberi wanti-wanti
“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”
“Ya, ayah.”
“Ketika berada di pendulangan intan, ananda jangan sekali-kali bersin, kentut, buang air kecil, apalagi buang air besar di lubang pendulangan.”
“ Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”
“Semuanya itu pamali, anakku.”
Ketika masih di rumah
Sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan
Ayahku sudah memberi wanti-wanti
“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”
“Ya, ayah.”
“Ketika berada di pendulangan intan, ananda dilarang keras menyebut kata “intan”. Sebutlah “intan” dengan kata “galuh”. Ananda dilarang keras menyebut kata “ular”. Sebutlah “ular” dengan kata ganti “akar”. Ananda dilarang keras menyebut kata “nasi”. Sebutlah nasi dengan kata ganti “biji”. Ananda dilarang keras menyebut kata “pulang”. Sebutlah”pulang” dengan kata ganti mara. Ananda dilarang keras menyebut kata “hujan”. Sebutlah hujan dengan kata ganti “jatuh”. Ananda dilarang keras menyebut kata “makan”. Sebutlah makan dengan kata ganti muat.”
“Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”
“Semuanya itu pamali, anakku.”
Dulu, ketika masih kanak-kanak
Aku pernah ikut mendulang intan
Membantu ayahku
Banjarmasin, 2011
Keterangan:
malim = julukan terhadap penasihat spiritual para pendulang intan. Malim diyakini punya kemampuan gaib untuk melihat intan yang masih berada di dalam tanah.
galuh = kata untuk menyebut intan. Siapa pun, pendulang atau bukan, dilarang menyebut kata “intan” selama yang bersangkutan berada di lokasi pendulangan.
Kampung Karamunting = nama tempat di Kota Banjarbaru yang, pada 1980-an, menjadi lokasi pendulangan intan.
Putri Sahanjani dan Siti Anggani = nama dua putri raja di alam gaib. Keduanya diberi tugas oleh ayahnya untuk menaburkan intan mentah ke dalam lubang, sesuai kata hati masing-masing. Lubang yang ditaburi adalah lubang pendulang yang tidak melanggar pamali (atau tabu) yang berlaku.
Alam Banjuran Purwa Sari = istilah dalam bahasa Banjar untuk menyebut alam gaib.
mara = istilah dalam bahasa Banjar, artinya “pulang”.
muat = istilah dalam bahasa Banjar, artinya “masuk”(arti lain, “cukup”).
Taufiq Ht
Kau Pun Tersesat di Kota Ini
orang-orang akankah terjaga nanti
saat aliran sungai tak lagi bening
di mana riam-riam sungai seperti merangkai risaunya sendiri
kau lihat, kini seekor capung menutup sayapnya
sembunyi sepanjang hari
rumah begitu debu
ranting-ranting kering
dedaunan menguning di musim penghujan
sedang pohon-pohon akan tumbuh di sela bebatuan
dan angin yang berkesiur di siang itu
perlahan berkelana pada arus yang tak lagi deras
apa gerangan yang berlaku di belantara ini
rumah tak lagi menampung keluh kesah
tempat di mana kau dulu belajar menahan rasa perih
tempat di mana kau dulu berteduh dari terik matahari
sebagaimana bila pagi itu telah tiba, embun berkesiap membukakan pintu
saat orang-orang beranjak merayapi kota, dan jalan-jalan begitu berkabut
dan kau pun tersesat di kota ini
terkurung dalam gelembung rasa haru
sembari menulis kalimat-kalimat berkarat
batu-batu kecil
kerikil-kerikil tajam
pasir menghitam oleh embun dan cahaya
tanah lapang berselimut kegalauannya
hingga dingin menusuk tulang
dan bukit-bukit, gunung yang getas dan tandus hutan mahoni, lirih suaramu
dan kau pun tersesat di kota ini
tak berdepa-depa
sembari menunggu tiba musim bunga berikutnya
menanti wangi liar
dari belukar
di sebuah halaman
yang kini sendiri
kembali dengan langkah gontai berselimut embun malam dan remang
Barabai, 2010-2011
Taufiq Ht
Ke Wisata Goa Berangin dan Selarik Sajak Kau Dendangkan
waktu itu kau mengajakku ke wisata goa berangin
sebelum sampai kita lewati jalan-jalan setapak
menyusuri rimbunan pohon dan semak-semak belukar
“perjalanan kita mesti tercatat dalam ingatan,“ ujarmu
entah apa maksudmu kala itu, sebab kau tampak senyum-senyum masam
dan langkah kaki kita terhenti dengan peluh dingin
setelah tampak bongkahan batu cadas, tempat di mana akhir melepas lelah
lubang menganga, angin sepoi-sepoi
sesekali ricik air terdengar lanskap di celah bebatuan
pun juga ketika telunjuk manismu menunjuk bukit seberang
adakah yang lebih indah dari yang kau pandangi sekarang?
setelah kota tak lagi memberi kedamaian
hiruk-pikuk orang-orang dalam tekanan
betapa hidup tumpang tindih, tak ada keceriaan
hanya kecemasan-kecemasan dan keputusasaan
apa makna keceriaan, kecemasan dan keputusasaan?
tiba-tiba gerimis turun dari langit pekat
kita coba menerka-nerka suara gerimis dan gelap yang terdapat di lubang goa
“di dalam gelap pasti ada cahaya, dan di dalam cahaya segala bermula”
angin sayup-sayup
suara tempias air hujan terdengar lirih menyusuri lorong goa yang lama ditumbuhi lumut
suara itu kita dengar tak berkira-kira, berkelok-kelok tak menentu
“itulah perjalanan hidup,” desahmu panjang
membentur lorong-lorong waktu
tanjakan demi tanjakan, dan kadang meski luka diterjang dinding curam nan terjal
jejak memang tak mesti orang tahu, sebab cahaya dan bekas tapak langkah kita adalah saksi bisu di mana hidup adalah bertahan dari kegetiran-kegetiran
tapi bagaimana apabila kegetiran-kegetiran itu menjadi ledakan?
“seperti saat dahulu engkau batuk-batuk di depan pintu kamar,” sanggahku
“ya, sudahlah, hidup sejatinya melayari dari waktu ke waktu
bukan semata karena kegundahan-kegundahan itu!”
dan lalu segalanya menjadi serba mungkin
biarlah setiap percikan-percikan itu yang mengekalkan segala
menyempurnakan pertemuan kita
di sini, setiap gejala dan dengus napas kita biarkan pula mencatat peristiwanya sendiri
atau sekejap seperti usia kita yang perlahan sirna ditelan senja
sebab malam sebentar lagi menyapa melintasi hamparan keheningan
2010-2011
Tati Noor Rahmi
Barabaiku
Hampir mendekati ujung tahun ’79, aku lahir di sini, bahkan besar pun di sini.
Tiada terperi kebahagiaan orang-orang terdekatku
atas kelahiran diriku yang lama mereka nantikan.
Dengan penuh keceriaan, kesenangan, keriangan, mereka menerima kehadiranku.
Di sini, di kota ini, Barabaiku tersayang
Kuhabiskan masa kecil sampai remajaku bersama teman sebaya.
Bermain, bergembira, saling mengenal, bersenda gurau penuh tawa dan canda
Diselingi duka yang melara hati
Adat dan budaya tak kulupa
Yang tumbuh dan berkembang tak tergilas zaman
untuk penyeimbang hidupku dalam bergaul di lingkungan terbesarku,
di luar dari keluarga kecilku.
Kini aku di perantauan
mencari peruntungan
untuk memenuhi hidup yang semakin menantang.
Menambah wawasan dan pengalaman.
Bekal hidup yang masih panjang.
Namun, aku tak akan pernah lupa.
Kenangan masa kecil dan remajaku.
Penuh gejolak jiwa. Menggelora.
Bagai bara api yang sulit padam.
Barabaiku, kau selalu di hati,
dalam sanubari,
dan takkan pernah terganti.
Barabai, 2009
Tato A. Setyawan
Telah Kau Tulis Banyak Larik Puisi dari Buih Ombak Pantai Pagatan
untuk arsyad indradi
pada pantai yang mana lagi kau larung puisimu
sedang beribu buih telah kau pungut
kau anyam serupa temali tasbihmu
kau bentangkan serupa negara yang luas di sajadah
aku tau, telah kau tulis banyak larik puisi dari buih ombak pantai Pagatan
ia perihal rindumu yang meluas-luas
pada batang cemara
pada kayuh perahu nelayan
pada kanak-kanak yang senantiasa menjala mimpi ketika senja pulang
(hanya selembar surat dengan sebaris janjimu yang kurawat hingga kini; "aku rindu pantaiku. yang tiap butir pasir kugambar di telapak tangan. kelak akan kujemput pantaiku yang abadi, karena di sanalah kecintaanku padamu," katamu)
lalu, masa perjumpaan menjelma suara
menjadi kenangan
riuh percakapan kita yang hilang menyua di pantai
pantai Pagatan yang ia tiada lupa, tiada ingkar
pada puisi kita yang semakin tua
dengan tiap hurufnya meletup-letup di dadaku
batulicin, januari 2011
Tarman Effendi Tarsyad
Rumah Kayu
rumah kayu berpintu rindu
depannya pohon jambu
daun gemersik angin menyeru
bagai musik penghapus sendu
rumah kayu berjendela cinta
sebelahnya sebuah telaga
tumbuh mekar bunga padma
mata menatap sejukkan jiwa
rumah kayu rumah kita
tempat membasuh segala luka
tempat melebur penat dunia
hingga tertidur tersenyum ceria
Tarman Effendi Tarsyad
Sepotong Sumbu Pada Lampu
sepotong sumbu pada lampu
telah mampu menerangi halaman kelabu
meskipun angin menderu
api tetap tegak merah membiru
sepotong sumbu pada lampu
telah mampu menerangi rumah berdebu
meskipun dinding lapuk kayu
sinar tetap benderang memantul kemilau
sepotong sumbu pada lampu
telah mampu melebur hati yang beku
meskipun karat tebal menyatu
cahaya tetap cerah merekah kalbu
Tarman Effendi Tarsyad
Lampu Bersumbu Kalbu
seberang sungai ada sebuah lampu
menyala sepanjang waktu
air bening kemilau
mengalir tiada hilir tiada hulu
pohon-pohon gemerlap memantul hijau
orang-orang bergegas mendekat tanpa diseru
tapi jangan kau tanya tentang sumbu
karena lampu bersumbu kalbu
Tri Restu Panie
Negeri Ini Bebas Penganggur Sejati
Andai desaku adalah negeri ini
di sini tak ada penganggur murni
lahan tidur ratusan hektar
sabar menanti tenaga kekar
Pagi petang turun ke sawah
malu mengaku diri petani
siang malam mencari ikan
tapi enggan disebut nelayan
pemilik warung dagang sembako
terasa hina pedagang kecil
Andai desaku adalah negeri ini
di sini tak ada pemuda tuna karya
meskipun bukan pegawai negeri
di sini tak ada wanita tuna susila
walau cuma pelestari industri rumah
di sini tak ada pengemis peminta-minta
mungkin hanya malas kerja keras
Andai desaku adalah negeri ini
sejak lama bebas pengangggur sejati
19/02/2011
Wahyu Hidayat
Tak Tahu
Kutatap rona memerah pada pipimu
Aku menjadi ragu, apa itu benar-benar kau?
Kutatap sekali lagi, ternyata itu memang kau
Namun, mengapa hati ini masih ragu?
Sungguh, aku tak tahu apa yang terjadi
Aku tak tahu apa yang kurasa
Aku tak tahu apa yang kudamba
Aku tak tahu apa yang kuingin
Namun, mengapa selalu ada hasrat dalam kalbu?
Kuselami apa dalam diri
Kudaki apa impian diri
Kucari tahu apa inginnya hati
Yang pasti satu kata, “bahagia”
Ya! Tapi mengapa bahagia selalu menjadi misteri?
Zainal Arifin
Menebar Benih Sastra di Bumi Murakata
kita berjalan di lapis sunyi
bangga dengan kehitaman diri
menjelajah jauh dari pintu ke pintu
oh, alangkah malangnya nasib
tapi masih saja kita menepuk dada
sementara kerja belum selesai
ini Bumi Murakata tanah banyu kita sadatu
ini saatnya para dangsanak basaruan
manyaru kita sabarataan
datanglah
iringi setiap butir baras tabur, baras kuning, baras habang, baras putih
dangsanak handak mandiriakan gawi
Aruh Ganal, Aruh Sastra Banua
mari kita jadikan Bumi Murakata ini kawah Candradimuka
wadah melebur segala kaji, segala jampi-jampi
segala macam ilmu bahasa
bahasa para Datu, bahasa para halimun-kah, bahasa para Sang Hyang-kah
mulai dari khayangan sampai turun ke bumi lamah ini
ayo kita kaji, ayo kita semarakkan
ayo kita tebarkan benih bahasanya di Bumi Murakata ini
hingga buahnya kita petik jadi barakat, jadi sangu kita bulikan
kurrr sumangat… kurrr sumangat…
jangan baciciran di jalan
ini lawang sudah babuka, jangan tasalah tuju
di sini kami umpat manunggu sampian sabarataan
Kandangan, 25072011
Zainal Arifin
Barabai Nan Jauh
senja itu burung kangkangkaput terbang melintas
sambil berbunyi, “kangkangkaput… kangkangkaput… kangkangkaput…”
aku jadi terpana
di usia yang sudah tidak muda ini
kenang-kenanganku berbalik jauh ke belakang
ketika kita sama duduk di pelataran
sebuah rumah kecil menghadap sebatang jambu
tempat panjatan kita masa anak-anak
sedang anak-anak gadis menunggu di bawahnya
riang, berceloteh sambil menunjuk ke buah-buah ranum di ujung ranting
kau dan aku sama duduk di situ
sekarang kita telah bercucu
wajah ranummu sudah tak muda lagi
garis-garis usia telah menggambarkan pengalaman hidup yang panjang
terlukis di sana segala tangis dan tawa
segala kenangan indah dan jua kadang getir yang dalam
kekasihku
kini kita menampak Barabai dari kejauhan
sudah terlalu jauh berubah wajahnya
yang dulu indah dengan ladang dan angin perbukitan
kini sudah penuh dengan guratan jalan-jalan
mobil-mobil modern berseliweran di atasnya
sedang gerobak sapi sudah jarang terlihat
bunyi anak ari sudah tak terdengar lagi nyanyiannya
sementara kita semakin sendu
menghitung usia dengan butiran tasbih satu-satu
kekasihku
kini kita di perantauan
hanya mampu menampak Barabai nan jauh
terukir indah dalam kenangan
sedang kau dan aku
duduk diam membisu
Kandangan, 25072011
Zainal Mursalin
Dinding
Angin basah melingkar di pori-pori jasadku
Mengembunkan air mata
Tentangmu
Kusaksikan kabut warna kelam di lentik bulu matamu
Jelmakan tangis bulan emas
Dikau yang terpuja bagai carik kertas di atas meja tua
Hitam-putih
Jadi sembilu di jiwaku
Engkau lesap dalam tiap luka di lubuk putih
Batu nisan adalah warna yang tak bisa kutandai
Selain bening
Bening
Kandangan, 07032011
Zainal Mursalin
Guruh
Gerincing lonceng kematian
Mengiringi perjalanan ruh ke pangkuan Illahi
Nyanyian malaikat dalam takbir dan tasbih
Tercipta jadi nur yang bertabur rahmat
Membimbing jiwa suci menuju firdaus
mengangkat jasad pada kesempurnaan
Lelaki suci itu pun telah pergi
Kandangan, 12022005
Zurriyati Rosyidah
Kucingku Sayang
Setiap jalan singgah
Adalah piringan hitam yang merekam suara mimpi-mimpi kita
Lusa atau minggu depan
Piringan hitam itu mungkin diputar lagi
Lalu kita menari
dalam kubangan air liur lelangit yang memucat dihardik matahari
Pada sebuah warung makan
Seekor kucing berbulu warna putih kuning
Mengibaskan ekornya
Pada betisku yang gigil
lalu ia mengucap sesuatu padamu
entah apa, mungkin ia menanyakan siapa kekasihmu
kau tertawa, dan aku merangkulmu
pada sebuah kamar hijau rumput
seekor kucing belang harimau
mirip kucingku yang dicuri bandit
tanpa diminta ia merebahkan tubuhnya yang gendut
hamil 3 minggu tampaknya
di samping selonjor kakiku
si belang, sedikit nakal
aku mendengarkan gemuruh kesepiannya
si belang minta kau mengelus tubuhnya yang dibalut titik-titik hujan
seketika, tanganmu dan tangan si belang bermain petak umpet
ia menggigit jari-jarimu, kekasihku
lembut dan manja ia mencicipi aroma di jarimu
aroma yang masih lekat
ketika kau menyentuh sendi-sendi jantungku
Ma,Teras Puitika, 1 Mei 2011
Zurriyati Rosyidah
Violet
akhir perjalananku tahun lalu
sebuah baju kaos berwarna cerah lembut
menjadi pilihan yang tak terencana
ia menggoda keangkuhanku dengan santun sederhana,
hingga menggandengnya adalah tindakan awal
lalu kunikahi ia dengan mahar kurang dari dua puluh ribu
tajam matanya cemerlang menembus tahun
menyatu dengan tubuhku
dan kami selalu berembus di antara lampu-lampu yang mulai murung
diserang ciuman lapar
violet dalam versiku adalah embrio pergantian
dari liar menjadi tunduk dan teguh pada erangan,
entah itu sebuah kota
yang menarik ulur rambut lidah dan tubuh para perempuan
lalu telinga para lelaki menjadi garang
dan kenikmatan mutlak meninggalkan kelamin-kelamin
yang menagih catatan puitika
Ma, Teras Puitika, 10 Juni 2011
Tentang Penyair
AA Ajang (Ahmad Azhar), lahir di Yogyakarta, 1 Januari 1973. Bekerja di Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Barito Kuala (Batola) di Marabahan. Puisinya dimuat dalam Cinta Rakyat, Antologi Puisi Sastrawan Kabupaten Batola (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Ije Jela Bersastra di Tahun Emas (2009); Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
Aan Maulana Bandara, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), 8 Maret 1969. Alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin. Puisinya dipublikasikan di Banjarmasin Post dan Dinamika Berita, juga terdapat di La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004).
Abdul Hanafi, lahir di Kabupaten Tabalong, 5 September 1958. Penilik PLS UPT-IP di Kecamatan Murung Pudak. Tinggal di Kompleks Bumi Tabalong Damai Blok D Nomor 04 RT 10, Desa Mabu'un, Kecamatan Murung Pudak. Puisinya dimuat dalam Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Abdus Sukur MH, lahir di Banjarmasin, 3 Desember 1966. Sering mendukung Tim Kesenian Kalimantan Selatan dalam pertunjukan seni di berbagai kota di Indonesia. Menulis puisi, cerpen, esai sastra, aktor, sutradara, presenter, penulis naskah teater; aktif di berbagai sanggar dan organisasi seni, melatih, menggelar pertunjukan dan mengkoordinir kegiatan seni budaya di Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarmasin. Karyanya dimuat di Wasi, Antologi Puisi Pekan Temu Budaya Nasional III Taman Budaya se-Indonesia di Kota Banjarmasin (1999), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Puisi dan esainya juga dipublikasikan di Majalah Bandarmasih, Tabloid Wanyi, Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2002).
Abdurrahman El Husaini, lahir di Puruk Cahu, Kalimantan Tengah. Guru di SMA Negeri 1 Martapura, Kabupaten Banjar. Puisinya dipublikasikan di Dinamika Berita, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, juga dimuat di Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005), Taman Banjarbaru (2006), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Konser Kecemasan (2010) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
Ahmad Albar BS, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 5 Agustus 1958. Bermukim di Sungai Habaya, Desa Sinar Baru RT 05, Kecamatan Rantau Badauh, Marabahan, Kabupaten Batola. Puisinya dipublikasikan di acara puisi Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin, Sajak-Sajak Bumi Selidah, Antologi Puisi Penyair Kabupaten Batola (2005), dan Cinta Rakyat, Antologi Puisi Sastrawan Kabupaten Batola (2007).
Ahmad Syadzali, penulis kolom “Kalam” di Media Kalimantan, aktivis Kasisab Intitute, dosen IAIN Antasari Banjarmasin; kandidat doktor di Universiti Utara Malaysia (UUM).
Ahmad Syarmidin, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 9 Agustus 1952. Aktif di komunitas seni Posko La Bastari, Kandangan. Karyanya dipublikasikan di Banjarmasin Post. Selain dalam La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004), puisinya juga terdapat dalam Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Karyanya (bersama Iwan Yusi, Hardiansyah Asmail, M. Fuad Rahman dan Aliman Syahrani) tentang legenda yang hidup di masyarakat Dayak Meratus, Loksado, terdapat dalam buku Datu Kandangan Wan Datu Kartamina, Kisah Rakyat Kabupaten Hulu Sungai Selatan Bahasa Banjar (Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten HSS, Kandangan, 2011).
Akhmad Husaini, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 18 November 1979. Puisinya dipublikasikan di acara puisi Radio BBC London dan Radio Australia (siaran bahasa Indonesia), UMSIS RRI Banjarmasin, Media Masyarakat, Gawi Manuntung, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Media Kalimantan, Mata Banua, Tabloid Gerbang dan Urbana. Puisinya dimuat di Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Akhmad T. Bacco (Akhmad Tajuddin), lahir di Desa Hayup, Kecamatan Haruai, Kabupaten Tabalong, 13 Agustus 1958. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasat Pol PP) Kabupaten Tabalong. Ketua Sanggar Budaya Tataba Grup, ketua Dewan Kesenian Tanjung (DKT) dua periode (1999-2001, 2001-2004). Menulis puisi, cerpen, tahun 2001 mengajar lokakarya budaya di Kota Padang (Provinsi Sumatera Barat) dan Cirebon (Provinsi Jawa Barat). Silir Pulau Dewata (2003) adalah antologi puisi tunggalnya yang telah terbit. Kaminting Pidakan, yang dimuat sebagai cerita bersambung (cerbung) di Media Bersinar (majalah Pemerintah Kabupaten Tabalong), novel berbahasa Banjar, mendapat penghargaan Balai Bahasa Banjarmasin (2010). Puisi dan cerpennya juga terdapat dalam Duri-Duri Tataba, (1993), Semata Wayang Semata Sayang (1994), Potret Diri (1995), Jembatan, Antologi Puisi dan Cerpen Tiga Kota (2000), Nawu Raha, (2002), Raja Anum, Kumpulan Cerpen dan Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong, (2006) dan Ronce Bunga-Bunga Mekar, Antologi Puisi dan Cerpen Siswa SLTA se-Banua Anam (editor, 2007). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2007).
Ali Syamsudin Arsy (Asa), lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), 5 Juni 1964. Bermukim di Kota Banjarbaru. Puisinya dipublikasikan di media lokal, nasional, dan antologi Ragam Sunyi Jejak Tsunami (2005), Kenduri Puisi, Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008), Komunitas Sastra Indonesia (2008), Tanah Pilih (2008), Pedas Lada Pasir Kuarsa, Antologi Puisi Temu Sastrawan Indonesia III, Provinsi Bangka Belitung (2009); Konser Kecemasan (2010), Mengalir di Oase (2010) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Puisi dan prosanya juga dapat dibaca di Kalimantan dalam Puisi Indonesia dan Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Antologi Gumam Asa-nya yang telah terbit: Negeri Benang Pada Sekeping Papan (2009), Tubuh di Hutan-Hutan (2009) dan Istana Daun Retak (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2005) dan Penghargaan Sastra Balai Bahasa Banjarmasin (2007).
Aliman Syahrani, lahir 30 Desember 1976 di Desa Datar Balimbing, Kecamatan Loksado, Kabupaten HSS. Karya fiksi dan nonfiksinya dimuat di media massa Kalimantan Selatan, Surabaya dan Malaysia, juga dalam La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Ronce Bunga-Bunga Mekar (2006); Darah Penanda, Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Kalimantan Selatan (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008), Orkestra Wayang, Antologi Cerpen Sastrawan Kabupaten HSS (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Palas (2004) adalah novelnya yang telah terbit, dan Menangkis Jampi-Jampi Agama (2009), kumpulan esai. Karyanya (bersama Iwan Yusi, Hardiansyah Asmail, M. Fuad Rahman dan Ahmad Syarmidin) tentang legenda yang hidup di masyarakat Dayak Meratus, Loksado, terdapat dalam buku Datu Kandangan Wan Datu Kartamina, Kisah Rakyat Kabupaten Hulu Sungai Selatan Bahasa Banjar (Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kandangan, 2011). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2003).
Aliansyah Jumbawuya, lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), 4 Juni 1973. Menulis puisi, cerpen, resensi buku, artikel kesusastraan, keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Sejak 2001 menjadi wartawan Tabloid Serambi UmmaH (Banjarmasin Post Grup), mengasuh rubrik sastra. Tahun 2010, alumni Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin ini mengundurkan diri dari Banjarmasin Post Grup karena ingin mencari suasana kerja baru. Bukunya yang telah terbit: Mewujudkan Good Governance di Kalimantan Selatan (Inspektorat Provinsi Kalimantan Selatan), Saatnya Penulis Muslim Menggebrak (Tahura Media, 2009), Biografi H. Ahmad Makkie: Kembali ke Pondok, Refleksi 40 Tahun Membesarkan dan Dibesarkan Golkar (2010) dan kumpulan cerpen Perkawinan Rahasia Sang Bintang. Mengasuh rubrik “Klinik Menulis” di Radar Banjarmasin. Dua cerpennya terdapat di Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
Ana Maulida Hidayah, lahir di Marabahan, Kabupaten Batola, 1988. Alumni Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Banjarmasin (2010). Guru di SMP Negeri 2, Kecamatan Cerbon, Marabahan. Tinggal di Jalan Keramat Syahidun RT 2, Marabahan, Kabupaten Batola.
Antung Hormansyah, lahir di Kelua, Kabupaten Tabalong, 5 Agustus 1964. Pengawas TK/SD di Kecamatan Murung Pudak. Tinggal di Jalan Pembangunan I RT 03, Tanta, Kabupaten Tabalong. Puisinya dimuat dalam Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Ariffin Noor Hasby, lahir di Marabahan, Kabupaten Batola, 20 Februari 1964. Bermukim di Kota Banjarbaru. Menulis puisi, esai sastra dan cerita rakyat Si Palui. Puisinya dipublikasikan di rubrik sastra media cetak lokal maupun nasional. Sampai 2010, puisinya terdapat dalam 34 judul buku antologi puisi bersama yang terbit di tingkat lokal maupun nasional. Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011) adalah buku terkini yang memuat puisinya.
Arsyad Indradi, lahir di Barabai, Kabupaten HST, 31 Desember 1949. Bermukim di Kota Banjarbaru. Buku-bukunya: Nyanyian Seribu Burung (KSSB, 2006), Kalalatu, Puisi Bahasa Banjar dan Terjemahan Bahasa Indonesia (KSSB, 2006), Romansa Setangkai Bunga (KSSB, 2006), Narasi Musyafir Gila (KSSB, 2006); 142 Penyair Menuju Bulan, Puisi Penyair Nusantara (editor, KSSB, 2006), Anggur Duka (KSSB, 2009), Burinik, Puisi Bahasa Banjar dan Terjemahan Bahasa Indonesia (KSSB, 2009), dan Risalah Penyair Gila, Kumpulan Esai (KSSB, 2009). Antologi puisi bersamanya: Jejak Berlari (1970), Bandarmasih, Edisi Puisi (1972), Panorama (1972), Tamu Malam (1992), Jendela Tanah Air (1995), Rumah Hutan Pinus (1996), Gerbang Pemukiman (1997), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Bahana (2001), Tiga Kutub Senja (2001), Bulan Ditelan Kutu (2004), Bumi Menggerutu (2004), Baturai Sanja (2004), Anak Zaman (KSSB, 2004), Dimensi (KSSB, 2005); Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Kenduri Puisi, Buah Hati Untuk Diah Hadaning (2008), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008), Pedas Lada Pasir Kuarsa, Antologi Puisi Temu Sastrawan Indonesia III, Provinsi Bangka Belitung (2009), Konser Kecemasan (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
Arief Rahman Heriansyah, lahir di Amuntai, Kabupaten HSU, 14 Juni 1992. Alumni Pondok Pesantren Al Fallah, Kota Banjarbaru. Juara I Cipta Puitisasi Al-Quran Kalimantan Selatan (Kota Banjarbaru, 2010), Juara III Cipta Puitisasi Al-Quran Indonesia (Surabaya, 2010), Juara II Lomba Cerpen Budaya Jepang Tingkat Pelajar dan Mahasiswa Kalimantan Selatan (Unlam, Banjarmasin, 2011), Juara I Lomba Cerpen Pramuka Tingkat Kabupaten (Kabupaten Batola, 2011), dan Juara I Lomba Cerpen Pendidikan Forum Lingkar Pena (FLP) SLTA/sederajat Kalimantan Selatan (2011). Puisinya dimuat di Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
Aspihan H. Hidin (Aspihannor), lahir di Marabahan, Kabupaten Batola, 10 Maret 1980. Pengurus Dewan Kesenian Daerah (DKD) Batola. Selain dipublikasikan di media cetak lokal, puisinya juga terdapat dalam Cinta Rakyat, Antologi Puisi Sastrawan Kabupaten Batola (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Darah Penanda, Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Kalimantan Selatan (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008); Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010), dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
A. Rahman Al Hakim (ARAska), lahir di Sungai Namang, Kabupaten HSU. Wartawan koran Mata Banua (Banjarmasin). Puisinya terdapat di Taman Banjarbaru (2006), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab, Antologi Pemenang Lomba Penulisan Puisi dan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006); Ziarah Pelangi Balangan Menari, Antologi Puisi dan Cerpen Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Konser Kecemasan (2010) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
A. Setia Budhy, lahir di Marabahan, Kabupaten Batola, 1 Januari 1965. Bermukim di Jalan Kambitin Raya, Kecamatan Murung Pudak, Tanjung, Kabupaten Tabalong. Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unlam Banjarmasin, mahasiswa PhD di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Antologi puisi tunggalnya Rumah Hutan Tropis (2008), Sajak Semenanjung (2010), dan manuskrip Syair Jalan Kembali. Gadis Dayak (2008) adalah kumpulan cerpennya yang telah terbit. Pembicara di Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Cerpennya dimuat dalam Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
A.W. Syarbaini, lahir di Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten HST, 8 Mei 1955. Pimpinan Sanggar Seni Ading Bastari, Simpang Empat Barikin, Kecamatan Haruyan. Aktif menggelar musik panting, tari, teater japin bakisah, wayang kulit, wayang gung dan seni tradisi lainnya. Anggota Tim Kesenian Kalimantan Selatan pada Pekan Wayang Indonesia II di Jakarta (1974), Pekan Tari Rakyat Nasional (1976), Festival Jakarta (1978), dan pelatih tari di SMA Negeri 2 Surabaya (1982). Pembina Dewan Kesenian Murakata (DKM), Kabupaten HST, sambil terus menggelar pertunjukan musik, tari dan teater tradisi di pelosok-pelosok Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Puisinya dimuat dalam Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Bambang Indra Rukmana, lahir di Banjarmasin, 16 Mei 1960. Kepala Seksi Pariwisata di Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabalong, pengurus Dewan Kesenian Tanjung (DKT) dan sekretaris FKPPI 1605 Kabupaten Tabalong.
Burhanuddin Soebely, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 2 Januari 1957. Menulis puisi, cerpen, esai sastra, novel, dipublikasikan di Banjarmasin Post, Media Masyarakat, Radar Banjarmasin, Bernas (Yogyakarta), Masa Kini (Yogyakarta), Pelopor (Yogyakarta), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Pelita (Jakarta), Berita Buana (Jakarta), Terbit (Jakarta), Majalah Anita (Jakarta) dan Majalah Femina (Jakarta). Tiga noveletnya, Reportase Rawa Dupa (1997), Seloka Kunang-Kunang (1998), Konser Kecemasan (2001), masing-masing meraih Juara II Sayembara Penulisan Novel Majalah Femina, dan dimuat sebagai cerbung di majalah tersebut. Novelet lainnya yang dimuat sebagai cerbung adalah Biru Langit, Biru Hati (Banjarmasin Post, 1979) dan Serenada Tanah Bencana (Banjarmasin Post, 1991). Buku-bukunya: Mata Air Goa Pulangka Pitu (bersama H. Zubir Mukti, Djumri Obeng, Surasono, Penerbit PT Aries Lima, Jakarta, 1984), Cerita Rakyat Kalimantan Selatan 2 (bersama Djarani EM dan Iwan Yusie, Penerbit Grasindo, Jakarta, 1997), Lintas Revolusi Fisik Tahun 1945-1949 Daerah Kalimantan Selatan (Penerbit Adicita Karya Nusa dan Pemerintah Kabupaten HSS, 2001); Puisi Indonesia ’87 (antologi puisi bersama, Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Mamanda, Ampunlah Tuanku (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten HSS, Kandangan, 2002), La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (editor, diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004), novelet bahasa Banjar Bahara Mingsang Idang Siritan (Penerbit IRCISoD dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten HSS, Kandangan, 2005), dan Perkawinan Batu (antologi puisi bersama, Dewan Kesenian Jakarta, 2005). Ia juga menulis skenario untuk sejumlah sinetron yang telah ditayangkan TVRI Stasiun Pusat, Jakarta, menulis belasan naskah dan sutradara pertunjukan teater Posko La Bastari; komunitas seni pertunjukan di Kandangan yang telah pentas di Kalimantan, Jawa, Bali dan Sumatera. Puisi dan esai sastranya terdapat dalam Kalimantan dalam Puisi Indonesia dan Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Menerima Anugerah Budaya Gubernur Kalimantan Selatan (2010).
Bram Lesmana (Sibrammulsi), lahir di Pantai Hambawang, Kabupaten HST, 10 Januari 1967. Pendiri dan pembina Sanggar Seni Balahindang, Rantau, Kabupaten Tapin. Meraih penghargaan Sutradara Terbaik Festival Teater Perjuangan Kalimantan Selatan di Kandangan, Kabupaten HSS (2007) dan Sutradara Terbaik Festival Teater Pelajar Kalimantan Selatan di Kota Banjarmasin (2008). Sekretaris Umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Tapin. Bermukim di dua tempat: Rantau dan Kota Banjarbaru. Puisinya dimuat dalam Petualang Tanah Kering, Antologi Puisi Penyair Tapin (Penerbit KSI Kabupaten Tapin, Rantau, 2010). Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (2011).
Dien Alice (Hj. Diana M. Alisi), guru di SMA Negeri 1 Amuntai, Kabupaten HSU. Karyanya menjadi nominasi Lomba Penulisan Naskah Buku Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan (1999-2000, 2000-2001). Sering mengikuti lomba penulisan karya sastra dan lomba mengulas karya sastra tingkat nasional bagi guru, yang diadakan Kementerian Pendidikan Nasional. Karyanya terdapat dalam Mahligai Junjung Buih, Antologi Puisi dan Cerpen Sastrawan Kabupaten HSU untuk Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV, Kabupaten HSU (2007), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Eko Suryadi WS, lahir di Kotabaru, Kabupaten Kotabaru, 12 April 1959. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kotabaru. Antologi puisi tunggalnya: Di Balik Bayang-Bayang (1982), Sebelum Tidur Berangkat (1983), Di Batas Laut (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan III, Kabupaten Kotabaru, 2006) dan Elegi Negeri Seribu Ombak (2010). Puisinya terdapat dalam antologi Dahaga-B.Post 1981 (Tajuddin Noor Ganie, editor, 1982), Ulang Tahun (1984), Tamu Malam (1993), Kesaksian (1996), Wasi, Antologi Puisi Pekan Temu Budaya Nasional III Taman Budaya se-Indonesia di Kota Banjarmasin (1999), Kasidah Kota (2000), Jembatan (2000), Reportase (2004), Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima (2005); Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Konser Kecemasan (2010), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak adalah cerita rakyat Kabupaten Kotabaru yang disusunnya bersama M. Sulaiman Najam dan M. Syukri Munas (2008). Ketua Umum Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kotabaru dua periode (1995-1998, 1998-2004), peserta Baca Sajak Serumpun Melayu di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta (2006), menghadiri Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah (2008) dan Temu Sastrawan Melayu di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (2008). Menerima penghargaan Bupati Kotabaru sebagai Pembina Seni (1999) dan Tokoh Seni (2001). Ketua KSI Kabupaten Kotabaru. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2006).
Erika Adriani, lahir di Banjarmasin, 18 Agustus 1982. Guru di SMP Negeri 3, Kecamatan Batumandi, Kabupaten Balangan. Bermukim di Barabai, Kabupaten HST, dan di Kota Banjarmasin. Juara I Lomba Menulis Puisi Kalimantan Selatan, dibukukan dalam Darah Penanda, Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Kalimantan Selatan (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008), Juara III Lomba Menulis Esai Sastra Kalimantan Selatan (ruMah Cerita Banjarbaru dan Radar Banjarmasin, 2008), 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan, dibukukan dalam Ziarah Pelangi Balangan Menari, Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008); Juara III Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (Disbudparpora Kota Banjarmasin, 2009), 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan, dibukukan dalam Nyanyian Akar Rumput, Pengakuan Ikhlas Pulang Ziarah, Bianglala Pemenang Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Juara I Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, sekaligus Juara I Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, dibukukan dalam Manyanggar Banua, Bunga Rampai Puisi dan Cerpen Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Puisinya juga terdapat di Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
Evira N. Maulida, lahir di Kota Banjarbaru, 7 Rabiul Awal 1414 H. Alumni SMA Negeri 1 Martapura (2011), kini kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Juara I Lomba Menulis Surat Untuk Guru (2007), Juara I Lomba Menulis Cerita Rakyat Pelajar Kalimantan Selatan (Balai Bahasa Banjarmasin, 2009), Juara I Lomba Baca Puisi Pekan Jurnalistik Pelajar (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2010), 10 Besar Pemenang Lomba Cipta dan Baca Puisi Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) di Surabaya (2010), dan Juara I Lomba Baca Puisi Pelajar Kalimantan Selatan (karya Eko Suryadi WS) di Kabupaten Kotabaru (2011).
Eza Thabry Husano, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 3 Agustus 1938. Pendiri dan motor utama komunitas sastra, Kilang Sastra Batu Karaha, di Kota Banjarbaru. Menulis puisi, cerpen, naskah drama, esai sastra, dipublikasikan di media cetak lokal dan nasional. Antologi puisi tunggalnya Rakit Bambu (1984), Surat dari Langit (1985), Clurit Dusun (1993), dan Aerobik Tidur (1996). Antologi bersamanya: Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (bersama Hamami Adaby, 1982), Festival Puisi Kalimantan (1992), Jendela Tanah Air (1995), Getar (1995), Getar II (1996), Bangkit III (1996), Gerbang Pemukiman (1997), Wasi, Antologi Puisi Pekan Temu Budaya Nasional III Taman Budaya se-Indonesia di Kota Banjarmasin (1999); Datang dari Masa Depan (1999), Cakrawala (2000), Jakarta dalam Puisi Mutakhir (2000), Bahana (2001), Tiga Kutub Senja (2001), Narasi Matahari (2002), Sajadah Kata (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004), Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005), Perkawinan Batu (Dewan Kesenian Jakarta, 2005), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Konser Kecemasan (2010), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (1985), Penghargaan Sastra Bupati Batola (1987) dan Penghargaan Sastra Walikota Banjarbaru (2004). Konsistensinya dalam bersastra, luar biasa. Puisinya yang dimuat di buku ini dikirimnya via pos, 14 Juli 2011, sehari sebelum meninggal dunia di kediamannya di Kota Banjarbaru, 15 Juli 2011.
Fahrruraji Asmuni (Raji Abkar), lahir di Alabio, Kabupaten HSU, 13 Agustus 1960. Guru di SMA Negeri 1 Amuntai, Kabupaten HSU. Puisi, cerpen dan esai sastranya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Tabloid Serambi UmmaH, Majalah Kiblat, Sahabat Pena dan lain-lain. Puisinya dimuat di antologi Darah Impian (1982), Bintang-Bintang Kusuma (1984), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Mahligai Junjung Buih, Antologi Puisi dan Cerpen Sastrawan Kabupaten HSU untuk Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV, Kabupaten HSU (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008); Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Kuning Padiku, Hijau Hidupku (1984), Sang Guru (1990), Pengabdian (1995), Dialog Iblis Dengan Para Shalihin (2000) dan Datu-Datu Terkenal Kalsel (2001) adalah buku kumpulan cerpen dan cerita rakyatnya.
Farid Ma’ruf, lahir di Desa Batakan, Kabupaten Tanah Laut, 28 Juli. Siswa SMA Negeri 1 Marabahan, Kabupaten Batola.
Fitriansyah, Lahir di Kabupaten HSU, 19 November 1961. Pengawas Sekolah Menengah. Tinggal di Jalan K.H. Ahmad Dahlan RT 04 Nomor 147, Kelurahan Murung Sari, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten HSU.
Gusti Indra Setyawan, lahir di Barabai, Kabupaten HST, 7 Januari 1972. Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 3, Tanjung, Kabupaten Tabalong. Anggota Sanggar Langit, Tanjung, dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Penyanyi dan pencipta lagu Banjar. Puisinya terdapat di Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Hajriansyah, lahir di Banjarmasin, 10 Oktober 1979. Menulis puisi, cerpen, pelukis dan penulis kolom di koran Media Kalimantan. Jejak Air (2007) adalah antologi puisi tunggalnya yang pertama, dan yang kedua (bersama M. Nahdiansyah Abdi) Jejak-jejak Angin (2007). Karyanya terdapat dalam Malaikat Hutan Bakau (2008), Darah Penanda, Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Kalimantan Selatan (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008), Pedas Lada Pasir Kuarsa, Antologi Puisi Temu Sastrawan Indonesia III, Provinsi Bangka Belitung (2009), Konser Kecemasan (2010), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia dan Kalimantan dalam Prosa Indonesia, keduanya diterbitkan Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Menghadiri Temu Sastrawan Indonesia (TSI) II di Provinsi Bangka Belitung (2009) dan Pertemuan Penyair Nusantara IV di Brunei Darussalam (2010). Angin Besar Menggerus Ladang-Ladang Kami (2009) dan 79 Puisi Hajri (2010) adalah antologi cerpen dan puisi tunggalnya. Pimpinan Penerbit Tahura Media dan ketua KSI Kota Banjarmasin. Menerima Hadiah Seni (Seni Rupa) Gubernur Kalimantan Selatan (2011).
Haliem Kr, lahir di Pantai Hambawang, Kabupaten HST, 10 Agustus 1952. Pendiri Sanggar Riak-Riak Barito (saat bertugas di Marabahan, Kabupaten Batola). Setelah purna tugas, bermukim di Kompleks Melati, Banua Jingah, Blok I Nomor 50, Barabai, Kabupaten HST. Puisinya dimuat dalam Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008).
Harun Al Rasyid, lahir di Birayang, Kabupaten HST, 16 Desember 1940. Bermukim di Amuntai, Kabupaten HSU. Pernah menjadi anggota DPRD HSU (2004-2009). Puisinya dimuat dalam Mahligai Junjung Buih, Antologi Puisi dan Cerpen Sastrawan Kabupaten HSU untuk Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV, Kabupaten HSU (2007), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Hamami Adaby, lahir di Banjarmasin, 5 Mei 1942. Mantan Kepala Kantor Departemen Penerangan di Kabupaten Tabalong (1986-1994) dan Kabupaten Batola (1994-1998). Setelah pensiun (1 Juni 1998), bermukim di Kota Banjarbaru, aktif di komunitas Kilang Sastra Batu Karaha dan Dewan Kesenian Kota Banjarbaru. Antologi puisi tunggalnya Desah (1984), Senja (1994), Iqra (1997), Kesumba (2001), Dunia Telur (2001), Nyanyian Seribu Sungai (2001), Bunga Angin (2002) dan Badai 2011 (2011). Antologi puisi bersamanya: Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (bersama Eza Thabry Husano, 1982), Bunga Api (1994), Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Jembatan Asap (1998), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja (2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002); Notasi Kota 24 Jam (2003), Anak Zaman (2004), Uma Bungas Banjarbaru (2004), Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Dimensi (2005), Bumi Menggerutu (2005), Garunum (2005), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), 142 Penyair Menuju Bulan, Antologi Puisi Penyair Nusantara (Arsyad Indradi, editor, 2006) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Menerima Penghargaan Sastra Bupati Batola (1996), Penghargaan Sastra Walikota Banjarbaru (2004) dan Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
Hamberan Syahbana, lahir di Banjarmasin, 14 Juli 1948. Menulis puisi dan ulasan sastra di Majalah Bandarmasih, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin dan dunia maya. Menulis naskah drama, beberapa di antaranya telah dipentaskan Posko La Bastari, Kandangan, pada Temu Teater Indonesia X, Yogyakarta (1999) dan di Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarmasin. Puisinya terdapat dalam Panorama (Dewan Kesenian Kalimantan Selatan, 1974), La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Kumpulan esainya menunggu diterbitkan. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2010).
Helwatin Najwa, lahir di Desa Munti, Barabai, Kabupaten HST, 15 Mei 1967. Sejak 1993 bertugas di SMK Negeri 1 Kotabaru, Kabupaten Kotabaru. Esai sastranya dipublikasikan di Radar Banjarmasin. Puisinya dimuat dalam Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008).
H. Adjim Arijadi, lahir di Desa Mali-Mali, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, 7 Juli 1940. Pelukis, penyair, aktor, sutradara teater, film dan sinetron, pendiri dan pimpinan Yayasan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Puisinya dimuat di antologi Air Bah (1970), Jabat Hati (1973), Jejak Berlari (1974), Panorama (1974), Ritus Warna Ritus Kata (bersama Ajamuddin Tifani dan A. Tariganu, 1994), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Konser Kecemasan (2010) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Genta Panjang Perang Banjar (enam naskah) dan Bulan Emas Ular Betina (lima naskah) adalah buku kumpulan naskah dramanya, keduanya diterbitkan Yayasan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan (Banjarmasin, 2010). Menerima Anugerah Budaya Gubernur Kalimantan Selatan (2009). Salah seorang pendiri, anggota seumur hidup dan sekretaris Lembaga Budaya Banjar (LBB) Kalimantan Selatan; menerima gelar Datu Mangku Adat (DMA) dari Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar pimpinan Pangeran H. Khairul Saleh.
H. Amir Husaini Zamzam, lahir di Amuntai, Kabupaten HSU, 10 November 1938. Ketua Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) Kabupaten HSU, wakil sekretaris Yayasan Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah, Amuntai, dan Pemimpin Umum Majalah Mimbar Khalidiyah terbitan pondok pesantren tersebut. Menulis puisi dan esai sastra sejak 1963, dipublikasikan di Majalah Merdeka (Jakarta), Majalah Pembina (Jakarta), Surat Kabar Mingguan (SKM) Manikam (Banjarmasin), SKM Upaya (Banjarmasin), Buletin Sastra Dermaga (Palangka Raya), Banjarmasin Post dan Media Masyarakat. Puisinya terdapat dalam antologi Sepuluh Penyair Hulu Sungai Utara (1974) dan Mahligai Junjung Buih, Antologi Puisi dan Cerpen Sastrawan Kabupaten HSU untuk Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV, Kabupaten HSU (2007). Antologi puisi tunggalnya 2 x 2 = 5? (2003), Doa Terakhir Ayahku (2004) dan Pintu Kabah (2006). Bersama Yusni Antemas dan Zainuri Dimyati, mencipta lambang daerah Kabupaten HSU. Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2004) dan Anugerah Budaya Gubernur Kalimantan Selatan (2010).
H. Embeka (H. Misran BK), lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 10 Februari 1964. Pengawas SMP/SMA/SMK pada Dinas Pendidikan Kabupaten HSU di Amuntai. Menulis puisi, naskah teater, aktor, aktif di Sanggar Budaya Sastra Sukmaraga, Sanggar Sastra Payung Kambang, Dewan Kesenian Amuntai dan acara puisi “Bintang-Bintang Kesuma” Radio Gema Kuripan, Amuntai. Bermukim di Kompleks Citra Permata Sari, Blok E, Nomor 14, Sungai Malang, Amuntai.
H. Fahmi Wahid, lahir di Barabai, Kabupaten HST, 3 Agustus 1964. Bekerja di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Balangan. Saat kuliah di Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin, aktif di bidang sastra dan teater, mengkoordinir acara kesenian dan sekretaris Teater Pena Banjarmasin (1987-1990). Puisi ketua Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten HST dan sekretaris KSI Kabupaten HST ini terpilih sebagai 5 Besar Lomba Tulis Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (2000) dan 19 Nominasi Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, dibukukan dalam Manyanggar Banua, Bunga Rampai Puisi dan Cerpen Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Puisinya juga terdapat dalam Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2011).
H. Murjani H., lahir 1 Januari 1957. Kepala Dinas Pemuda Olah Raga Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Balangan.
Hj. Maisyanti Disi Fatimah, lahir di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut (Tala), 14 Mei 1983. Guru di SMA Negeri 2 Tanjung, Kabupaten Tabalong. Aktif di Sanggar Langit, Tanjung, dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT).
Hj. Roosmayati, Kepala TK Pembina, Tanjung, Kabupaten Tabalong. Guru tari. Puisi dan cerpennya terdapat dalam Semata Wayang Semata Sayang (1998), Potret Diri (1999) dan Nawu Raha (2002). Aktif di Sanggar Tari Bunga Tanjung dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Puisinya dimuat dalam Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Ibramsyah Amandit, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 9 Agustus 1943. Selama studi di Yogyakarta (1970-an), bergabung dengan Persada Studi Klub (PSK) pimpinan “Presiden Malioboro” Umbu Landu Paranggi. Badai Gurun dalam Darah (2009) adalah antologi puisi tunggalnya. Puisinya juga terdapat dalam Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998), La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004), Sajak-Sajak Bumi Selidah (2005), Cinta Rakyat, Antologi Puisi Sastrawan Kabupaten Batola (2007), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006); Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Konser Kecemasan (2010), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
Iberamsyah Barbary, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 2 Januari 1948. Setelah purna tugas sebagai Regional Manager Kalimantan PT Asuransi Jiwasraya di Balikpapan, Kalimantan Timur (2002), kini bermukim di Kompleks Perumahan Banjarbaru Permai, Jalan Padang Nomor 67, Kota Banjarbaru.
Imam Bukhori, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 25 Juli 1969. Berkesenian sejak 1990-an, saat bergabung dengan Teater Dua Lima, Surabaya. Wartawan koran Media Kalimantan wilayah Kabupaten Balangan, pengurus Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten HST. Bermukim di Desa Hamparaya RT 03, Kecamatan Batumandi, Kabupaten Balangan.
Ismail Wahid, lahir di Barabai, Kabupaten HST, 31 Desember 1959. Ketua bidang teater Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten HST, ketua KSI Kabupaten HST. Puisinya terdapat dalam Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair Hulu Sungai Tengah (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Jaka Mustika (Maskuni), lahir di Amuntai, Kabupaten HSU, 29 Oktober 1953. Bermukim di Kecamatan Cerbon, Marabahan, Kabupaten Batola. Menulis puisi, cerpen, cerita rakyat, naskah drama. Karyanya dimuat dalam Tembang Sungai Lirik (1993), Rimbun Tulang (1994), Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998); La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Cinta Rakyat, Antologi Puisi Sastrawan Kabupaten Batola (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2010).
Jhon FS. Pane, lahir di Kotabaru, Kabupaten Kotabaru, 16 Juni 1975. Guru di SMP Negeri 2, Kecamatan Kelumpang Hulu, Kabupaten Kotabaru. Puisinya dipublikasikan di Radar Banjarmasin dan Banjarmasin Post, juga dimuat dalam Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006) dan Kota, Kita, Antologi Puisi Penyair Kabupaten Kotabaru (2007).
Kalsum Belgis, lahir di Martapura, Kabupaten Banjar, 21 Agustus 1978. Pernah Mengikuti latihan tari dan teater di Teater mBlink, Kuningan (Jakarta), dengan pengawasan Aby Manyu. Bergabung dengan BKS Kostrad, pimpinan Lim Kampy. Menempuh pendidikan SMP-SMA di Bandung dan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Bermukim di Jalan Kampung Baru, Martapura.
Kayla Untara (Muhammad FR), lahir di Kandangan, Kabupaten HSS. Bermukim di Jalan Trikesuma, Kampung Qadi, Barabai, Kabupaten HST. Menulis puisi, cerpen, artikel, berteater di Posko La Bastari, Kandangan. Karyanya dipublikasikan di Tabloid Gerbang, Serambi UmmaH, Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Cerpennya dimuat di Orkestra Wayang, Antologi Cerpen Sastrawan Kabupaten HSS (2007). Puisinya juga terdapat dalam La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009). Cerpennya, Bapintaan, Juara II Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, dimuat dalam Manyanggar Banua, Bunga Rampai Puisi dan Cerita Pendek Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Karyanya (bersama Iwan Yusi, Hardiansyah Asmail, Aliman Syahrani dan Ahmad Syarmidin) tentang legenda yang hidup di masyarakat Dayak Meratus, Loksado, terdapat dalam buku Datu Kandangan Wan Datu Kartamina, Kisah Rakyat Kabupaten Hulu Sungai Selatan Bahasa Banjar (Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kandangan, 2011). Puisi dan cerpennya juga terdapat dalam Kalimantan dalam Puisi Indonesia dan Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
Komariah Widyastuti, lahir di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, 18 Desember 1989. Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan, Program Studi Bimbingan Konseling (BK), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unlam Banjarmasin. Juara Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan, dibukukan dalam Nyanyian Akar Rumput, Pengakuan Ikhlas Pulang Ziarah, Bianglala Pemenang Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009); Juara III Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, dimuat dalam Manyanggar Banua, Bunga Rampai Puisi dan Cerita Pendek Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Bermukim di Jalan Kecubung II RT 013 RW 004 Nomor 20, Kelurahan Handil Bakti, Kecamatan Alalak, Kabupaten Batola.
Lilies MS (Lilies Marta Diana), lahir di Pelaihari, Kabupaten Tala, 28 Agustus 1966. Puisinya dipublikasikan di acara puisi UMSIS RRI Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Dinamika Berita. Karyanya terdapat dalam Kumpulan Puisi Penyair Pelaihari (1981), Semata Wayang Semata Sayang (1998), Potret Diri (1999), antologi cerpen Nawu Raha (2002), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006); Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Ketua Sanggar Langit, Tanjung, dan pengurus Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Kepala Bidang Kebudayaan di Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabalong. Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
Mahmud Jauhari Ali, lahir di Banjarmasin, 15 Januari 1982. Bermukim di Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar. Menulis puisi, cerpen dan esai kebahasaan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Mata Banua, Sinar Kalimantan, Media Kalimantan dan Tabloid Serambi UmmaH. Menerbitkan buku kumpulan artikel, kumpulan puisi dan cerpen, pemakalah dalam Seminar Bahasa Nasional di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2008) dan Kongres Bahasa oleh Pusat Bahasa (2008). Puisinya terdapat dalam Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
Mas Alkalani Muchtar, lahir di Alabio, Kabupaten HSU, 1 Juli 1958. Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) Darussalam, Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten HSU. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Dinamika Berita, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Majalah Mandau Telabang dan Majalah Trubus. Karyanya dimuat di Mahligai Junjung Buih, Antologi Puisi dan Cerpen Sastrawan Kabupaten HSU untuk Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV, Kabupaten HSU (2007) dan Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008).
Masdulhak Abdi, lahir di Barabai, Kabupaten HST, 4 Mei 1973. Kepala SMP Negeri 4, Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong. Puisinya dipublikasikan di Mentari, Dinamika Berita, Radar Banjarmasin dan Banjarmasin Post. Pengurus Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Puisinya terdapat dalam Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Muhammad Radi, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 17 April 1962. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Majalah Hai, Idola, Nona, Nova, Aneka Ria, Keluarga, Kiblat, Panji Masyarakat dan The Favour Magazine (Kanada). Bukunya yang telah terbit: Pengajaran Fisika dan Peradaban Muslim (1995), kumpulan cerpen Di Antara Warna-Warni Pelangi (1998), Proses Pembelajaran, Mengacu Pada Fitrah (1999), Menghindari Jebakan Kultural: Kehidupan (2001) dan Shalat dan (Permasalahan Real) Kehidupan (2002). Puisinya juga terdapat dalam La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Konser Kecemasan (2010) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Muhammad Rifqi, lahir di Barabai, Kabupaten HST, 1 Februari 1988. Mahasiswa Fakultas Teknik, Program Studi Teknik Arsitektur, Unlam Banjarmasin. Cerpennya, Manggantang Sayang, Juara Harapan I Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, dibukukan dalam Manyanggar Banua, Bunga Rampai Puisi dan Cerpen Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Bermukim di Jalan Pangeran Antasari RT 12 Nomor 20, Barabai, Kabupaten HST.
Muhammad Rusmadi, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 14 Oktober 1974. Wartawan Rakyat Merdeka, Pemimpin Redaksi Tabloid Haji & Umrah dan Asisten Kepala (Biro Jakarta) The New York Times. Tulisannya terbit di media massa lokal, nasional dan mancanegara, juga dalam antologi Di Antara Warna-Warni Pelangi (bersama Muhammad Radi, 1998), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Bermukim di Kompleks Gria Jakarta, Blok J 1/3, RT 007 RW 5, Kelurahan Bumbu Apur, Pamulang, Tangerang, Provinsi Banten.
Muhammad Rusyadi (Abhimanyu), lahir di Kabupaten Tabalong, 8 Juni 1972. Bermukim di Jalan Pelabuhan Pertamina, Tangki Hijau Nomor 3 RT 7, Kelurahan Belimbing Raya, Kecamatan Murung Pudak. Pekerja harian lepas di Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabalong.
Mutia Rahmah Albar, lahir di Marabahan, Kabupaten Batola, 23 September 1989. Bermukim di Sungai Habaya, Desa Sinar Baru RT 05, Kecamatan Rantau Badauh, Marabahan. Saat kuliah di IAIN Antasari Banjarmasin, bergabung dengan Teater Awan (2007-2009). Karyanya dimuat di Tabloid Serambi UmmaH dan Cinta Rakyat, Antologi Puisi Sastrawan Kabupaten Batola (2007).
Miranda Seftiana, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 16 September 1996. Siswa SMA Negeri 2 Kandangan. Bermukim di Jalan Singakarsa Nomor 46 RT 1 RW 1, Kandangan, Kabupaten HSS.
Misbah Munir Akhdy, lahir di Kecamatan Haruyan, Kabupaten HST, 3 Desember 1963. Pustakawan di SMP Negeri 6, Barabai, Kabupaten HST. Puisinya dipublikasikan di acara puisi UMSIS RRI Banjarmasin. Karyanya terdapat dalam Mutiara ’89 (UMSIS, 1990), Tamu Malam (1986), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006) dan Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008).
M. Amin Mustika Muda, lahir di Kotabaru, 9 April 1979. Bermukim di Marabahan, Kabupaten Batola. Puisinya dipublikasikan di acara puisi UMSIS RRI Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Media Kalimantan, juga dalam Cinta Rakyat, Antologi Puisi Sastrawan Kabupaten Batola (2007), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), serta Nyanyian Akar Rumput, Pengakuan Ikhlas Pulang Ziarah, Bianglala Pemenang Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009).
M. Aini Asmuni, lahir di Desa Telaga Langsat, Kabupaten HSS, 15 Juli 1970. Guru pendidikan seni di SMA Negeri 1 Marabahan, Kabupaten Batola. Pengurus pelbagai organisasi sosial, seni dan budaya, wakil sekretaris Dewan Kesenian Daerah (DKD) Batola. Menulis puisi, naskah drama, pelaku aktif dalam seni teater, tari dan musik tradisi. Karyanya terdapat dalam Sandi Citra (2007), Baturai Pantun Urang Banua (2000), Cerita Rakyat Barito Kuala (2005), Upacara Adat Masyarakat Barito Kuala (2005), Cinta Rakyat, Antologi Puisi Sastrawan Kabupaten Batola (2007), Ije Jela Bersyair di Tahun Emas (2009); Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Menerima penghargaan Bupati Batola sebagai seniman tari dan teater tradisional (2009) dan Hadiah Seni (Tari) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
M. Hasbi Salim, lahir di Desa Rumpiang, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar, 26 Juli 1963. Guru di SMA Negeri 1 Amuntai, Kabupaten HSU. Menulis puisi, cerpen, artikel umum dan karya ilmiah, dipublikasikan di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Tabloid Serambi UmmaH, Majalah Kartini, Al Kisah, Sahabat Pena, Mentari dan Asuh. Bukunya yang telah terbit: Beternak Itik Alabio (2004), Kambang Barenteng (2004), Misteri Pohon Kasturi (2007), Dunia Sahabat (cerita anak, 2007) dan Bunga Rampai Haji dan Umrah (Menggelitik dan Penuh Hikmah) [2008]. Puisinya juga terdapat dalam Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Mahligai Junjung Buih, Antologi Puisi dan Cerpen Sastrawan Kabupaten HSU untuk Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV, Kabupaten HSU (2007), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
M. Nahdiansyah Abdi, lahir di Barabai, Kabupaten HST, 29 Juni 1979. Bermukim di Kota Banjarbaru. Puisinya dipublikasikan di media cetak lokal dan antologi bersama: Bumi Menggerutu (2005), Melayat Langit (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab, Antologi Pemenang Lomba Penulisan Puisi dan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Jejak-Jejak Angin (bersama Hajriansyah, 2007); Darah Penanda, Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Kalimantan Selatan (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008), Malaikat Hutan Bakau (2008), Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, (2008), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Konser Kecemasan (2010), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010), dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Pistol Air (2008) dan Pewaris Tunggal Istana Pasir (2009) adalah dua antologi puisi tunggalnya. Puisi bahasa Banjarnya, Sapanjadi, Juara Harapan III Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, dibukukan dalam Manyanggar Banua, Bunga Rampai Puisi dan Cerpen Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
M. Sulaiman Najam, lahir dan bermukim di Kotabaru, Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Ketua Majelis Pertimbangan Seniman (MPS) Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dan Penasihat KSI Kabupaten Kotabaru. Pernah menjadi anggota DPRD Kotabaru (1992-1997). Penyusun buku cerita rakyat Kotabaru Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak (bersama M. Syukri Munas dan Eko Suryadi WS, 2008). Puisinya dimuat dalam Kasidah Kota (2000), Jembatan (2000), Reportase (2004), Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh lima (2005), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Menerima Penghargaan Tokoh Budayawan dari Bupati Kotabaru (2001), Penghargaan Tokoh Seniman dan Pendidikan Kabupaten Kotabaru dari PT Pelindo III Kotabaru (2004), dan Penghargaan Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kotabaru (2006). Sebatung, Melukis Dalam Kaca (2009) adalah antologi puisi tunggalnya.
M.S. Sailillah, lahir di Pelaihari, Kabupaten Tala, 19 Juni 1953. Menulis puisi, penyiar radio, aktor dan sutradara, berperan dalam sejumlah pertunjukan teater Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Sering menjadi juri lomba baca puisi, lomba baca puitisasi Al Quran, lomba bakisah bahasa Banjar dan festival teater. Puisinya dipublikasikan di sejumlah media, antara lain di acara puisi UMSIS RRI Banjarmasin. Mutiara, ’88 (UMSIS, 1989) dan Jendela Tanah Air (1995) adalah antologi yang memuat puisinya. Pernah menjadi sekretaris Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan Selatan, pengurus PARFI Cabang Kalimantan Selatan. Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (1998).
Ninin Susanti, lahir di Malang, Jawa Timur, 6 Januari 1980. Alumni Universitas Negeri Malang (UNM), guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Marabahan, Kabupaten Batola. Pada Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI di Marabahan, Kabupaten Batola, puisinya terpilih sebagai 10 Puisi Nominasi Terbaik dan 30 besar nonkategori Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan, dibukukan dalam Nyanyian Akar Rumput, Pengakuan Ikhlas Pulang Ziarah, Bianglala Pemenang Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009).
Noor Aida, guru di SMA Negeri 1 Marabahan, Kabupaten Batola. Bermukim di Jalan Pahlawan, Gang Dahlia RT 5 RW 01, Marabahan, Kabupaten Batola.
Noor Annisa Fauzana, lahir di Barabai, Kabupaten HST, 9 April 1995. Siswi Madrasah Aliyah Normal Islam Putri Rakha, Amuntai, Kelas XII. Bermukim di Asrama Putri madrasah tersebut.
Nurdin Yahya, lahir di Desa Sirih, Kandangan, Kabupaten HSS, 22 April 1968. Saat bermukim di Kotabaru, puisinya (bersama puisi penyair Kotabaru lainnya) dimuat dalam Nol Kilometer (2003), yang diterbitkan dalam rangka memperingati Hari Jadi Kabupaten Kotabaru. Selain menulis puisi, juga aktor dan sutradara teater. Terkapar/23 Mei 1997, naskah teater monolog karya Hermana (disadur Y.S. Agus Suseno), dimainkannya di Gedung Balairung Sari Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarmasin (2010). Linggangan adalah naskah monolog yang ditulisnya sendiri, digelar Sanggar Lawang Banjarmasin di tempat yang sama (2011). Puisinya dimuat di buku Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
Oka Miharzha S. (Abdul Karim), lahir di Birayang, Kabupaten HST, 16 Desember 1961. Karyanya dimuat di sejumlah bunga rampai, juga dalam Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008).
Puji Rahayu, lahir di Paringin, Kabupaten Balangan, 10 Agustus 1990. Bekerja di Dinas Pemuda Olahraga Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Balangan.
Rahmiyati, lahir di Rantau, Kabupaten Tapin, 8 Juni 1983. Semasa kuliah, alumni program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unlam Banjarmasin ini aktif di komunitas seni mahasiswa, Komunitas Ilalang. Bermukim di Barabai. Mengajar Bahasa Indonesia di SMA Negeri 5, Barabai, Kabupaten HST. Puisinya salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan, dimuat dalam Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab, Antologi Puisi dan Cerpen Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006). Juara III Lomba Penulisan Cerita Rakyat Kalimantan Selatan (Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Selatan, 2007), Sutradara Terbaik Festival Teater Anak Kalimantan Selatan (2008) dan Juara I Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) bagi guru-guru SMA/SMK/MA Indonesia (Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, 2009). Karyanya dimuat dalam Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008) dan Petualang Tanah Kering, Antologi Puisi Penyair Tapin (Penerbit KSI Kabupaten Tapin, Rantau, 2010).
Rahman Rizani, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 1 Oktober 1987. Bergiat di Teater Kantawan dan CPA Meratus Hijau, Kandangan. Puisinya terdapat dalam Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Puisinya salah satu dari 19 Puisi Nominasi Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, dibukukan bersama karya lainnya dalam Manyanggar Banua, Bunga Rampai Puisi dan Cerpen Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Ratih Ayuningrum, lahir di Kotabaru, Kabupaten Kotabaru, 17 Juli 1984. Bekerja sebagai pendidik di kampung halamannya. Puisi, cerpen dan esai sastranya dipublikasikan di Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Tabloid Serambi UmmaH. Saat kuliah, sempat menjadi wartawan Bisnis Tablomagazine. Puisi dan cerpennya banyak memenangkan lomba, di antaranya dibukukan dalam Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab, Antologi Pemenang Lomba Penulisan Puisi dan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006). Dongeng Kesetiaan (2008) adalah kumpulan cerpennya yang pertama. Bersama delapan cerpenis lain, cerpennya terdapat di buku Nyanyian Tanpa Nyanyian, Kumpulan Cerita Pendek Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan (Y.S. Agus Suseno, editor, Penerbit Tahura Media, 2008). Puisinya dimuat dalam Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Reni Eka Winarti, lahir di Banjarmasin, 3 April 1965. Guru di SMA Negeri 2, Tanjung, Kabupaten Tabalong, dosen STKIP PGRI di Tanjung, Paringin dan Barabai. Bermukim di Tanjung Putri RT 07 Nomor 30, Pembataan, Murung Pudak, Kabupaten Tabalong.
Redha Adharyan Ansyari, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 1 Juni 1993. Siswa SMK Negeri 2 Kandangan, jurusan Tekhnik Gambar Bangunan. Bermukim di Sungai Kali RT 3 Nomor 17, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten HSS. Puisinya dimuat dalam Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Rudi Karno, lahir di Kota Banjarmasin. Menghimpun anak muda dalam grup “Thar” (1981). 1983 mendirikan Padepokan Seni Sesaji (sekarang Sanggar Sesaji Banjarmasin). Sering memenangkan lomba cipta dan baca puisi, musik, teater, lokal maupun nasional. Menggarap beragam seni pertunjukan. Seorang terapis (konsep teaternya kini: “teater terapi”). Memberikan workshop dan ceramah teater di Kota Banjarmasin, Solo, Yogyakarta, Jakarta. Karyanya berupa puisi, cerpen, naskah teater, esai sastra dan musik. Puisinya terdapat di sejumlah bunga rampai, antara lain Wasi, Antologi Puisi Pekan Temu Budaya Nasional III Taman Budaya se-Indonesia di Kota Banjarmasin (1999).
R. Syamsuri Sabri (Rock Syamsuri Saberi), lahir di Kota Banjarmasin, 11 Juni 1949. Ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Batola. Bermukim di Marabahan. Menulis puisi, cerita humor, naskah drama, aktor dan sutradara teater tradisional. Puisinya dimuat dalam Banjarbaru Kotaku (1997), Riak-Riak Barito (1997), 7 Penyair Marabahan (1984), Gardu (1998), Rimbun Tulang (1994), Pelabuhan (1996), Nyanyian Kuala (2003), puisi-puisi mantra Jajarat dan Kariau (2003); Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Konser Kecemasan (2010), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (1997).
Sri Normuliati, lahir di Amuntai, Kabupaten HSU, 30 Juni 1987. Menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tanah Habang Kiri (1999), Madrasah Tsanawiyah Al Ukhuwwah (2002), Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Amuntai (2002) dan program studi PBSID FKIP Unlam Banjarmasin (2009). Cerpennya, Senandungku dan Kenangan Tentang Haur Kuning, menjadi salah satu cerpen terbaik, dimuat dalam Darah Penanda, Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Kalimantan Selatan (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008). Cerpennya, Perempuan di Ujung Jalan, dapat dibaca di Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Bermukim di Desa Tanah Habang Kiri RT 02 RW 01 Nomor 44, Kecamatan Lampihong, Kabupaten Balangan.
Suhaimi, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS. Guru di SMP Negeri 6, Tanjung, Kabupaten Tabalong. Penyair, aktor dan sutradara teater. Melatih tari dan teater di beberapa sekolah menengah di Tanjung. Karyanya, Katarsis, Juara I Festival Teater Kalimantan Selatan di Kandangan, Kabupaten HSS (2009). Sekretaris Sanggar Langit, Tanjung, pengurus Sanggar Tari Bunga Tanjung dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Puisinya dimuat dalam Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Sumarni, lahir di Nusa Indah, 22 November 1987. Bermukim di Jalan A. Yani Km 37, Ujung Baru, RT 003 RW 002, Kecamatan Bati-bati, Kabupaten Tala. Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 1, Kecamatan Sungai Durian, Kabupaten Kotabaru.
Suriansyah, lahir di Amuntai, Kabupaten HSU, 10 Oktober 1951. Pengawas TK/SD di UPT Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Amuntai Tengah. Mengasuh acara basyair di Radio Suryanada, Amuntai. Juara I Lomba Basyair Porseni PGRI Kalimantan Selatan di Kandangan, Kabupaten HSS (1997). Puisinya terdapat dalam Mahligai Junjung Buih, Antologi Puisi dan Cerpen Sastrawan Kabupaten HSU untuk Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV, Kabupaten HSU (2007) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Suriansyah, lahir di Kabupaten HSS, 12 Juli 1964. Guru SMP di Marabahan, Kabupaten Batola. Bergabung dengan komunitas penyair Marabahan (1993). Puisinya dimuat dalam Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Tinggal di Jalan H.M. Ruslan RT 8, Desa Bantuil, Kecamatan Cerbon, Marabahan, Kabupaten Batola.
Surya Achdiat, lahir di Marabahan, Kabupaten Batola, 5 Maret 1960. Mantan ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Batola. Menulis puisi, melukis vignet dan berteater. Sering menjadi ketua Majelis Hakim Musabaqah Khatil Quran tingkat kabupaten. Menerima Hadiah Seni Bupati Batola sebagai penggiat seni budaya Islam (2009).
Syaiful HS (Syaiful Kifli), lahir di Sambaliung, Kalimantan Timur, 1 Mei 1964. Bekerja di Inspektorat Daerah Kabupaten Tabalong di Tanjung. Bermukim di Kompleks Perumahan Flamboyan, Murung Pudak, Kabupaten Tabalong.
Syarkian Noor Hadie, lahir di Kandangan, Kabupaten HSS, 1 September 1952. Sekretaris Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Batola. Bermukim di Marabahan. Puisinya dimuat dalam Riak-Riak Barito (1979), Gardu (1979), Kuala (1984), Menatap Cermin (1988, Bunga Api (1994), Bahalap (1995), Jendela Tanah Air (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998), La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004); Sajak-Sajak Bumi Selidah (2005), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), Cinta Rakyat, Antologi Puisi Sastrawan Kabupaten Batola (2007), Ije Jela Bersastra di Tahun Emas (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2011).
Taberi Lipani SR, lahir di Barabai, Kabupaten HST, 6 September 1971. Juara Lomba Bakisah Bahasa Banjar Piala Museum Lambung Mangkurat, Kota Banjarbaru, dan 16 Besar Sayembara Tulis Puisi Bahasa Banjar (1999). Ketua Bidang Sastra Dewan Kesenian Murakata (DKM), Kabupaten HST, anggota KSI Kabupaten HST. Puisinya terdapat dalam Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Tajuddin Noor Ganie, lahir di Kota Banjarmasin, 1 Juli 1958. Menulis puisi, cerpen, esai sastra dan penelitian sastra, dipublikasikan di media cetak terbitan Banjarmasin, Surabaya, Jakarta, Kuala Lumpur dan Brunei Darussalam. Bukunya yang sudah terbit: Puisi Indonesia ’87 (antologi puisi bersama, Dewan Desenian Jakarta, 1987), Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan (editor, bersama Jarkasi, Penerbit Balai Bahasa Banjarmasin, 2001), Profil Sastrawan Kalimantan Selatan 1930-1999 (2002), Karakteristik Bentuk, Makna, Fungsi dan Nilai Peribahasa Banjar (2005), Kamus Peribahasa Banjar (2010), Tengah Malam di Kuala Lumpur (2010), Kamus Mimpi Orang Banjar (2010) dan Antologi Biografi Sastrawan Kalsel (2010). Puisinya dimuat dalam Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Puisi, cerpen dan esai sastranya juga terdapat di Kalimantan dalam Puisi Indonesia dan Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
Taufiq Ht (Taufiqurrahman), lahir di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 18 Juli 1984. Bermukim di Barabai, Kabupaten HST. Saat kuliah di Jurusan Akidah Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, bergabung dengan Sanggar Teater ESKA (binaan Hamdy Salad). Puisinya salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) V, Kabupaten Balangan (2008). Karyanya dimuat dalam Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Tati Noor Rahmi, lahir di Barabai, Kabupaten HST, 4 November 1979. Mengajar Bahasa Indonesia di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Paringin, Kabupaten Balangan. Bermukim di Perumnas Batu Piring, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan. Puisinya dimuat dalam Dukaku Duka Meratus (2000), Ronce Bunga-Bunga Mekar (2005), Bertahan di Bukit Akhir, Antologi Puisi Penyair HST (Penerbit KSI Kabupaten HST, Barabai, 2008) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Tato A. Setyawan, lahir di Malang, Jawa Timur, 14 Agustus 1974. Bermukim di Jalan Transmigrasi Km 2, Desa Barokah, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu.
Tarman Effendi Tarsyad, lahir di Kota Banjarmasin, 29 Oktober 1961. Puisinya dimuat dalam Siklus 5 Penyair Muda (1983), Puisi Indonesia ’87 (Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Jendela Tanah Air (1995), Perkawinan Batu (Dewan Kesenian Jakarta, 2005), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011). Buku teksnya yang sudah terbit: Bahasa dan Gaya Puisi Sapardi Doko Damono, Analisis Stilistika (2009), Pengkajian Puisi: Teori dan Aplikasi (bersama Endang Sulistyowati, cetakan pertama September 2009, cetakan kedua Oktober 2010), Bahasa Indonesia, Buku Ajar Untuk Mahasiswa (bersama M. Syarkawi, 2010), Aneka Kajian Prosa Fiksi (bersama Endang Sulistyowati, 2011) dan Kajian Stilistika Puisi Sapardi Djoko Damono (2011).
Tri Restu Panie, lahir di Kecamatan Kuripan, Kabupaten Batola, 19 Februari 1988. Menulis, menjadi peserta lomba cipta dan baca puisi, lomba cerpen, dan penggiat teater tradisional mamanda. Puisi bahasa Banjarnya, Papat Pitutur Panglima Wangkang, salah satu dari 19 Puisi Nominasi Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, dimuat dalam Manyanggar Banua, Bunga Rampai Puisi dan Cerpen Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010). Bermukim di Kecamatan Cerbon, Marabahan, Kabupaten Batola.
Wahyu Hidayat (Wahyu Sp), lahir di Kabupaten Tabalong, 1 Juli 1991. Tinggal di Jalan Lapangan 17 Mei RT 1 Nomor 6, Desa Banua Lawas, Kecamatan Banua Lawas, Kabupaten Tabalong.
Zainal Arifin, lahir di Muara Teweh, Kalimantan Tengah, 24 Maret 1961. Guru Bahasa Indonesia di SMKN 2 Kandangan, Kabupaten HSS. Karyanya berupa puisi, naskah drama, buku mata pelajaran Bahasa Indonesia dan seni budaya untuk siswa SMK, telah diterbitkan secara pribadi. Puisinya dimuat di La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (diluncurkan dan dibicarakan D. Zawawi Imron dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan I, Kandangan, Kabupaten HSS, 2004).
Zainal Mursalin, lahir di Muara Teweh, Kalimantan Tengah, 14 Desember 1973. Pendidik di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Aktif berkesenian di Posko La Bastari, Kandangan. Puisinya terdapat di sejumlah antologi bersama.
Zurriyati Rosyidah (Sisy), lahir di Mandiangin, Kabupaten Banjar, 28 Mei 1988. Berdarah campuran Palembang-Banjar, aktif dalam kegiatan sastra di komunitas sastra Kota Banjarbaru. Puisinya dimuat dalam Darah Penanda, Antologi Sastra Pemenang Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Kalimantan Selatan (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008), Malaikat Hutan Bakau (2008), Wajah Deportan (2009), Menggoda Kehidupan (2009); Nyanyian Akar Rumput, Pengakuan Ikhlas Pulang Ziarah, Bianglala Pemenang Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI, Kabupaten Batola (2009), Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010) dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia, Penerbit Panitia Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur (Korrie Layun Rampan, editor, 2011).
[*] dibacakan di malam kedua Dialog Borneo-Kalimantan (DBK) XI di Samarinda, Kalimantan Timur, 13-15 Juli 2011
Komentar
Tulis komentar baru