; Aixa Paramitha
Adakah risau menyapaku
Di pucuk daun pintu yang terketuk
Adakah ruang
Pada lantun sunyi kejauhan jarak pandang
Sejenak aku berpikir
Andaisaja di sana rumah kita sejalan
Sepetak dan tak perlu susah menyebrang
Saling lempar kabar tanpa pesan singkat
Akan kita nikmati
Cangkir demi cangkir kopi hitam
Beradu tawa dan gelisah
“Ahh…aku sedang tidak baik malam ini,” ucapmu membunuh purnama
Pada ritual mega
Aku tadi melepas raga
Menari menerjemahkan sunyi
Berkejaran dan mimpi
Hingga akhirnya menyerah
Memenggal mimpi
Ri, maafkan jika ternyata
Mata ini tak sanggup melihat aslimu
Tapi biarlah beradu dengan bayanganmu di pelupuk mata
Tentangmu
Dan pula ingin kuukir puisi
Di tubuhmu dengan tinta bukan belati
Menancap di hati
Adalah puisi kutulis
Dari tinta sepi, dengan diksi miris
Hasil mematai dunia liris
Cinta tentunya teramat tinggi
Untuk musafir sepertiku
Yang hingar di padang pasir
Dan hampir buta soal perhentian musim
Padahal tak kuperlukan musim agar cinta itu tumbuh
“Jejak ini akan menjadi awal
dan bagaimana musim tak kauperlukan
sedang aku hanya hidup di musim tertentu”
Pena dan tinta menjadi buram
Serupa malam yang abu-abu
Di lengkung alis matamu
Cikole, 7-8 Juli 2012
Dialog Jiwa Semusim
- 1372 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru