Dari rahim serumpun dilahirkan anak-anak suku bangsa
Mendiam di gugusan pulau-pulau. Beranak pinak
tak serupa warna dan menyebar. Membentuk komunitas
untuk kemudian dalam keseharian ragam-ragam dialek
mengalir meninggalkan jejak protobahasa. Kau dengar juga
langgam tanah kelahirannya tercipta kadang rancak mengajak
kaki-kaki enggan untuk diam. Seperti tersihir kau cipta gerak
piawai mengikuti irama. Keringat mengalir membentuk anak kali
menggelantung pada dagu sarang lebahmu. Terlihat eksotis
perempuan katistiwa begitu ingin kau dipanggil. Tak pelak
dalam tubuhmu mengalir Mahakam, Musi, Serayu. Riak-riak
liarnya begitu rupa kau jinakan dalam gerak tetarian. Taksu
menguar pada setiap porimu. Dan, kau sadar. Dalam hening samadi
ribuan kunang-kunang turun dari puncak Merapi. Mengitarimu
dalam formasi memberi restu. Kau terkesima. Takjub pada diri sendiri
: dari rahim serumpun kau terlahir, bisik semesta. Besar dan disapih
dari getah karet, yang memberimu kelenturan dalam gerak tersulit
sekalipun. Dan kini, terbaca biografi itu. Bentang waktu beringsut
membuka jarak. Kaleidoskop menampakkan silsilah. Di tanganku
segalanya mengembun kabut tipis. Mengerucut dalam samar bayang
Menuntun langkahku untuk bergerak; mencipta pola gerakan lantai
dalam darahmu mengalir Mahakam, Musi, Serayu. Airnya dari puncak
tertinggi gunung-gunung dikeramatkan! dalam genderang telinga suara itu
bertahta. Aku gemetar, tak kuasa menyimpan dengar. Perempuan katistiwa
serupa Sinta menyimpul dalam tatapku. Enggan berpaling sebelum angguk
tak sadar menggerakkan kepala. O, langit yang menyimpan rahasia
keagungan apakah yang kau titipkan padaku? Duh, kerlingnya membungkan
menyimpan kembali pertanyaan bersemburat. Kecemasanku bertumpuk
aroma tubuhnya menyesap dalam penciumanku. Gerak tetari, fatwanya
melambangkan kegagahan garuda. Tak kau temui burung seperkasa itu
menarilah untuknya. Rayakan warna-warni pelangi yang memijar
dari cakar yang mencengkeram mantra Tantular. Seperti berhenti berputar
bumi diam pada porosnya. Menyimpan patahan-patahan gema suaranya
Napasku menaiki tangga-tangga kesadaran. Kecemasanku lindap dalam jiwa
Seratus tahun dari masa silam yang berserakan perempuan katistiwa itu
berkelana; merayakan warna-warni leluhur dalam gerak tetarian tubuhnya
Kuikuti pantulan-pantulan silhuet kemashuran itu. Napaktilas ke masa lalu
menyusuri lorong waktu yang pernah dilewatinya. Gemerlap tahun-tahun
menyimpan sosoknya dalam bait-bait puisi ini. Pada saat mataku terpejam
perempuan katistiwa itu menitis. Ragaku dingin. Terbelah!
Setelah dikatupkan kembali, seluruh kehidupan di depanku berkobar
:
Aku ingin jadi penari sebelum tubuhku lampai dimakan usia!
***
Komentar
Tulis komentar baru