Skip to Content

Langgam Bumi Lahir 2

Foto mahyut z.a. dawari

Dari rahim serumpun dilahirkan anak-anak suku bangsa

Mendiam di gugusan pulau-pulau. Beranak pinak

tak serupa warna dan menyebar. Membentuk komunitas

 

untuk kemudian dalam keseharian ragam-ragam  dialek

mengalir meninggalkan jejak protobahasa. Kau dengar juga

langgam tanah kelahirannya tercipta kadang rancak mengajak

kaki-kaki enggan untuk diam. Seperti tersihir kau cipta gerak

piawai mengikuti irama. Keringat mengalir membentuk anak kali

 

menggelantung pada dagu sarang lebahmu. Terlihat eksotis

perempuan katistiwa begitu ingin kau dipanggil. Tak pelak

dalam tubuhmu mengalir Mahakam, Musi, Serayu. Riak-riak

liarnya  begitu rupa kau jinakan dalam gerak tetarian. Taksu

menguar pada setiap porimu. Dan, kau sadar. Dalam hening samadi

ribuan kunang-kunang turun dari puncak Merapi. Mengitarimu

 

dalam formasi memberi restu. Kau terkesima. Takjub pada diri sendiri

: dari rahim serumpun kau terlahir, bisik semesta. Besar dan disapih

dari getah karet, yang memberimu kelenturan dalam gerak tersulit 

sekalipun. Dan kini, terbaca biografi itu. Bentang waktu beringsut

membuka jarak. Kaleidoskop menampakkan silsilah. Di tanganku

 

segalanya mengembun kabut tipis. Mengerucut dalam samar bayang

Menuntun langkahku untuk bergerak; mencipta pola gerakan lantai

dalam darahmu mengalir Mahakam, Musi, Serayu. Airnya dari puncak

tertinggi gunung-gunung dikeramatkan! dalam genderang telinga suara itu

bertahta. Aku gemetar, tak kuasa menyimpan dengar. Perempuan katistiwa

 

serupa Sinta menyimpul dalam tatapku. Enggan berpaling sebelum angguk

tak sadar menggerakkan kepala. O, langit yang menyimpan rahasia

keagungan apakah yang kau titipkan padaku? Duh, kerlingnya membungkan

menyimpan kembali pertanyaan bersemburat. Kecemasanku bertumpuk

aroma tubuhnya menyesap dalam penciumanku. Gerak tetari, fatwanya

 

melambangkan kegagahan garuda.  Tak kau temui burung seperkasa itu

menarilah untuknya. Rayakan warna-warni pelangi yang memijar

dari cakar yang mencengkeram mantra Tantular. Seperti berhenti berputar

bumi diam pada porosnya. Menyimpan patahan-patahan gema suaranya

 

Napasku menaiki tangga-tangga kesadaran. Kecemasanku lindap dalam jiwa

Seratus tahun dari masa silam yang berserakan perempuan katistiwa itu

berkelana; merayakan warna-warni leluhur dalam gerak tetarian tubuhnya

Kuikuti pantulan-pantulan silhuet kemashuran itu. Napaktilas ke masa lalu

 

menyusuri lorong waktu yang pernah dilewatinya. Gemerlap tahun-tahun

menyimpan sosoknya dalam bait-bait puisi ini. Pada saat mataku terpejam

perempuan katistiwa itu menitis. Ragaku dingin. Terbelah!

Setelah dikatupkan kembali, seluruh kehidupan di depanku berkobar

:

Aku ingin jadi penari sebelum tubuhku lampai dimakan usia!

***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler