Sajak Koran Mingguan
I/
Ada balita busung lapar dikubur pagi ini!
“Sebab tidak diberi makanan sehat sempurna.
Asi tidak cukup. Tubuhnya kurang gizi. Jelas mati!”
pungkas petugas puskesmas sambil lalu.
Perempuan paruh dari Banten Selatan
dadanya kurus kering. Matanya yang berceruk itu
mamandang langit, ia kehilangan cara berdoa.
Sebelum mati, bayi itu tidak dirawat,
tergeletak berjam-jam di UGD.
Dokter tidak dapat memeriksa
Jamkesmas tidak laku—lama cairnya.
Sekarang pasien dirawat,
bulan depan baru cair.
Puskesmas butuh biaya operasional
mesti pilah-pilih, siapa yang dirawat
siapa yang dilewat
soal hidup mati, serahkan pada Tuhan.
Ibu kurus kering itu gagu ditanya wartawan.
Jiwanya ngambang. Orang-orang berhenti
dan bertanya-tanya sekadar ingin tahu
dengan wajah iba yang kurang meyakinkan.
(Dalam begitu, jangan bertanya, mengapa
orang-orang ringan saja melihat mayat seorang bayi
diboyong ojek—bayarnya pakek kasihan
sedang mobil-mobil plat merah ‘nganggur
di parkiran mall. Jangan ditanya mengapa
duka sendiri-sendiri, sementara manusia sama
hidup di bumi).
Wartawan terus mendesak dengan pertanyaan,
betapa sedih betapa duka.
Perempuan itu jadi membayangkan dua anaknya
yang tidak makan Sekolah Dasar.
Mereka yang buncit perutnya, yang juga
dijangkit busung lapar pasti menantinya
sambil ketakutan digoda kematian.
Merataplah perempuan paruh baya itu:
Leusteuing anak kula pang alit maot
aya dua anak deui nangguan maot
kula gé sakedeng deui maot
leusteuing kabehan maot.
Ia tidak dapat berbahasa Indonesia.
Tidak tahu Indonesia!
II/
Siswa Sekolah Menengah diusir sebab bangku
dan buku kudu dibeli pakai uang
bukan pakai nasib malang yang dikisahkan
sambil menangis.
Kepala Sekolah yang baik hati tidak ambil pusing.
“Kami tidak bisa mempertahankan
siswa yang tidak kontributif!
Sekolah bukan yayasan sosial!” katanya
sambil menyuruh bagian keuangan
menghitung jumlah tunggakan
dan beberapa nama lagi yang ditandai.
Sebelumnya, siswa itu merengek:
“Bulan depan Ujian Nasional, Pak!”
“Ya, saya tahu. Kamu tidak perlu repot ikut ujian!”
“Tidak ada kebijakan untuk saya?”
Kepala sekolah menunjukkan catatannya.
“Tiga tahun kamu menunggak,
apa saya kurang bijak!?”
Kepala Sekolah membanting buku tebal di meja.
Siswa itu terisak.
“Satu bulan lagi, Pak...,”
Tahu sia-sia,
sebuah bogem mendarat di wajah Kepala Sekolah.
Seorang wartawan bodrek datang.
Dia bertanya dan mencatat. Dia kudu hati-hati.
Tidak boleh salah mengajukan pertanyaan,
dan tentu saja, bumbu berita
kalau tidak kepingin sepi amplop
(tanpa amplop, anak bini mau makan koran?)
Soal dusta dalam berita, tidak dosa
yang dosa itu, ‘nyolong sandal di masjid!
“Bapak melaporkan anak itu ke polisi?”
“Ya!”
“Tidak kasihan?”
“Kasihan, tapi keadilan harus ditegakkan!”
“Benar sekali, keadilan harus ditegakkan!”
III/
Dua Pegawai Negeri Sipil tingkat atas ditangkap
Satpol-PP di mal. Merah padam wajah mereka.
Terbayang budget bedak, gincu, parfum
gelang, kalung, dan tas-tas bermerek.
Kehidupan dan penghidupan sehari-hari;
gaji bulan tiga belas; rutinitas salon dan arisan
dengan ibu-ibu pejabat. Semua akan lenyap.
Di luar mal orang-orang membunyikan klakson
panjang-panjang. Angkutan kota dan sepeda motor
ledekan-ledekan para calo, ibu-ibu kelontongan
dan ledakan balon dari tangan anak-anak TK.
Suara-suara itu tidak dapat dibungkam!
IV
Ada walikota demen masuk tipi.
Sumbangan kerudung sajadah
untuk ibu-ibu pengajian
sumbangan pembangunan masjid
dan tetek bengek dikoar-koarkan,
sementara dana membangun
hotel-hotel megah dana kampanye
turun temurun disembunyikan.
Dia menggadang-gadang program:
dari Rakyat untuk Rakyat.
Segala gipang, segapa gembleng,
segala emping, segala awug-awug
dikumpulkan di lapangan terbuka.
“Pesta dimulai!” seru seorang ajudan
setelah terompet pertama ditiup
(teromptet bukan tanda pesta, Tuan,
tapi tanda kiamat telah tiba!).
Orang-orang datang dengan senang
dikasih makan, dikasih mainan.
Di lapangan terbuka itu
berjamaah mereka mengucap puji-pujian.
Syukur, kata mereka, sebab rakyat
hidup makmur. Rakyat makmur!
Tampak juga para seniman duduk manis
menunggu piala penghargaan.
Seniman-seniman mabuk piala memang gemar
mengangguk-angguk di depan kekuasaan.
Sebuah baliho raksasa kemudian dibuka,
“Hadirin mohon membaca dengan lantang
secara bersama-sama,” ujar staf protokoler.
“Terima Kasih
Walikota yang Amanah
dan Pro Rakyat!”
Acara ditutup dengan doa.
Amplop tipis-tipis dibagikan koordinator lapangan.
Bingkisan kecil, dan piala-piala palsu
dari penghargaan dan harapan-harapan palsu
dibawa pulang dengan senyuman
dan kebanggaan yang palsu.
Lapangan jadi sepi. Tinggal sampah
berbicara dengan bahasa yang lugu.
V/
Ada halaman sastra memuat karya para penyair.
Puisi? Ya ya ya oblada obladi
si Murni tukang cicil panci,
rentenir berwajah koperasi berkeliaran di pasar.
Rakyat susah, senang makan uang riba.
O la la . oblada obladi tiga biji Kakao
bikin Nenek Minah diseret ke pengadilan.
Duka Marsinah jadi kenangan berdarah-darah.
Darahnya dikenang-kenang setiap tahun
dalam renungan seremonial yang gagal.
Orba telah tiada. Orla telah sirna.
Penyair tinggal duduk manis menatap kata.
Menyusun bunga. Berangan-angan
tentang kekasih yang berpeluk waktu hujan.
Bumi goyang, bumi terbakar, bumi banjir,
tidak ambil pusing.
Ha ha ha.
Tidak tua tidak muda demen embun.
Tidak tua tidak muda demen melamun.
Sini taman melati, sana taman mawar
123 indah semua.
Ha ha ha.
VI/
Pada halaman terakhir, iklan berjejeran.
Sebuah kolom berisi begitu banyak kalimat
berbedak tebal, bergincu menor, dan berminyak.
Wajah seorang dukun terpampang di sana.
“Tidak punya anak? Datang saja
ke Padepokan Nganaki.
Dijamin langsung punya anak!
Tidak berhasil, uang Anda kembali.”
Ya elaah, koran mingguan.
Kabar duka dan lelucon bertubrukan
seperti laron pada jam pemadaman listrik.
Dunia dalam koran mingguan
adalah kursi berjungkalan di dalam kelas,
seorang anak SD
menyandera gurunya di sana.
Hu ha!
Kramat, 2011
Sumber: Terlepas Karya Muhammad Rois Rinaldi. Cetakan ke-II, Pustaka Senja Publishing 2017.
Komentar
Tulis komentar baru