Cilegon, 2018
Kita Takkan Berpisah
Sudah kutinggalkan kotak
kelereng di pojok gudang belakang!
Kita tak perlu menghitung
beberapa butir dan kembali meluncurkannya
di teraso merah.
Biar saja hari bergerak dan bermilyar
badan berpindah. Semuanya
takkan kuasa memastikan apa-apa.
Perpisahan-perpisahan di dunia
bagiku, dibangun dari teori sains yang runtuh, Mak.
Karena itu, kita takkan benar-benar berpisah.
Meski tahun-tahun berkelana
memungut jasad musafir yang tergeletak
di gua, kita takkan berpisah.
Cilegon, 2012
Hingga di Lembah Gelap Hening Ini
… hingga di lembah gelap hening ini
mengertilah aku. Gemerisik angin di lorong dekat
kamar pada puncak malam mengirim tanda
dari masa depan.Tapi jauh sekali
jarak yang harus kutempuh untuk belajar
mengampuni. Kaki-kaki yang bergerak pergi
di bawah hujan—di mana aku mendengar
pekik batinku di dedaunan dan gigil lampu.
Mereka tak mungkin mengingat
apa yang membawaku pergi sampai di sini.
Karena itu, aku ingin pulang tanpa ingatan.
Menghapus beberapa puisi dengan lembut
di dinding dan muka pintu, seperti tiupan
Ibu pada nyala lilin sebelum aku tertidur.
Tapi aku tak tahu di mana jalan
yang tak dibayangi ringkik keledai.
Aku Kehilangan Begitu Banyak Hal
Aku kehilangan
begitu banyak hal.
Hujan dan aroma tanah.
Senja keemasan
dan subuh yang putih.
Di rumah megah,
rutinitas yang tak pernah bertanya
bagaimana hatiku itu,
tak ada yang tahu
seperti apa malam-malam
marun kubangun
dalam lembaran HVS
—yang kupinta dari guruku
di sekolah—sementara
tak mungkin ada kisah baru
dari hidup
yang dikelilingi
wajah masam.
Dari usiaku
yang telah di menara,
kusaksikan musim
menguap ke jagat meninggi.
Mereka yang kucari
—yang hendak kuberi ampun—
telah pergi
seperti debu terakhir
di tepi jurang tersapu angin.
Aku sangat mengenali
setiap hal yang hilang itu.
Mengemas, merawat,
dan memilikinya.
Aku dan burdahku
yang terlepas seperti kucing lapar
mengendus lemas
di ujung sebuah jalan,
akan pergi
memeluk setiap yang terampas
ketika malam
dan mimpi menuju ke arah di mana
aku kembali menerima
kehilangan begitu banyak hal.
Cilegon, 2018
Di Bumi Ini
… semua peristiwa membentuk bangunan tua,
jam berkejaran di pematang setelah berburu belalang itu telah lama runtuh. Saya sering
tergoda membayangkan sebuah dapur abadi,
dan usia tidak beranjak, agar hujan yang tipis kekal
menyisir daun dadap di beranda.
Di traso lembab dan dingin, saya ingin terus
telungkup. Biar Ibu duduk di depan televisi,
dan para pelawak tua selamanya tertawa
di layar kaca.
Di bumi ini
semua tangan menggenggam terlalu yakin
meski semua manusia berpengalaman melerai jari.
Saya sering mengingat seorang pengantar surat
dan penjual jamu, mereka mengetuk pintu
lalu berlalu.
Saya membayangkan tidak lagi menerima tamu,
menyambut kedatangan semua orang
yang pada akhirnya pergi.
Musim panas di sini tidak kekal dan saya sekali
waktu ingin cuaca tidak kemana-mana.
Biarkan Abah berteduh di bawah rimbun daun
jambu batu.
Saya mau tidur di ayunan dari lilitan kain
di batang pohon jambu batu itu.
Di bumi ini
semua manusia terhubung dengan bahasa kabung
karena berlebihan menatap setiap hal yang hilang.
Itulah mengapa saya sering dihantui keinginan
menerbangkan layang-layang, meski tahu
bayang sepasang kaki saya makin jauh
dari aroma panen dan keluguan kanak-kanak.
Waktu senja ternyata terlalu singkat. Padahal dahulu
saya kira angin yang berjinjit menemui malam
takkan mendepak saya dari rumah yang saya cintai.
Saya kadang berpikir, andai senja tak kemana-mana
Ibu akan selamanya menenun renda mukena
dan Abah membaca surat An-Nur di dapur.
Saya juga selamanya membuat pesawat kertas di situ.
2018
Kisah Suatu Malam Ketika Kanak-Kanak
I
Sebelum larut, Ibu melepas ikat kelambu.
Abah membaca ayat-ayat Tuhan.
Sorban hijau yang Abah beli di Mekkah
tak pernah dikenakan—sekadar
jadi alas kitab suci.
Abah yang gemar bersongkok hitam
sering tak mendengar protes Nenek.
Kata Nenek, Abah sudah haji
mestinya memakai kopyah putih dan sorban.
Aku seorang anak kecil, hanya mendengarkan
bila Nenek dan Abah bersilang pendapat
di dapur Nenek yang bergaya Belanda
—yang terlihat tua tapi megah itu.
Aku lebih suka pendapat Abah.
Katanya, seorang haji punya tanda pada hati.
Tetapi aku mengerti maksud Nenek,
seorang ibu selalu ingin melihat anaknya
terlihat bermartabat.
II
Aku berbaring lemas. Tangan kananku kuletakkan
di paha Abah, tangan kiriku meraba dingin
pada dinding. Entah aku sangat menyukai suhu
dinding, seperti aku suka meneguk air
dari mulut kendi.
Di langit-langit kamar
ada dua ekor laba-laba yang begitu telaten
menyusun dunianya sendiri.
Sebuah dunia, yang barangkali, semacam kota-
kota besar manusia.
Aku tak tahu, jam berapa
laba-laba tidur.
III
Duniaku yang sekadar sekotak ruang
bernama kamar, di antara ayat-ayat
terasa berbeda: teduh dan tenteram.
Seperti gemericik air di sungai
seberang kampungku;
seperti angin pada gemericik air itu.
Itulah mengapa aku tak suka dongeng
perang. Menakutkan sekali.
Ribuan manusia, bahkan ratusan juta,
mati di ujung pedang, diporak-porandakan bom.
Aku juga membenci Dragon Ball.
Di sana terlalu banyak monster.
Sialnya, aku suka Conan—serial anak-anak
yang setiap episodenya berisi adegan
pencarian seorang pembunuh.
IV
Di bawah lampu lima watt, aku melihat
wajah teman-temanku:
Jejen, Jaelani, Mukmin, Mumtaji, dan Juhron.
Mereka mencurangiku ketika main kelereng
siang hingga petang tadi.
Kecurangan mereka membuatku kehilangan
sekotak kelereng yang kukumpulkan
berminggu-minggu.
Tetapi mungkin mereka tak curang, hanya saja
orang-orang kalah sepertiku
sering merasa dicurangi.
Jejen, Jaelani, Mukmin, Mumtaji, dan Juhron
mungkin sudah menarik sarung
meringkuk di risbang atau mereka masih bermain
di gang tengah.
Pada malam empat belas purnama
orang-orang di kampungku tidur ba’da shubuh.
Besok masih libur. Aku, Jejen, Jaelani,
Mukmin, Mumtaji, dan Juhron
pasti main kelereng lagi.
V
Malam liat makin jauh, mataku makin berat.
Lampu kamar dimatikan. Kitab suci diletakkan
di lembedang. Abah berbaring
membaca shalawat.
Aku yang sudah cukup hafal, mengikutinya.
Suara Abah terasa semakin dalam, suaraku
habis ditelan nyanyian sekumpulan jangkik
di luar. Aku tertidur di sisi Abah,
begitu saja.
Cilegon, 2017
Pada Sebuah Perjalanan
Di dekatmu atau di kejauhan darimu
—di perjalanan menempuh kota-kota—
aku selalu dapat mendengar sabda
berlepasan dari sepasang matamu.
Seperti jutaan burung berterbangan
sesaat setelah cahaya pertama
dari langit pertama
menyentuh pucuk-pucuk daun.
Jakarta Timur, 2018
Pada Malam yang Sama
Di rumah-rumah, beberapa
tukang sihir hadir dalam mimpi
anak-anak yang menonton film
sebelum memeluk bantal.
Anak-anak di kampung masih
tidur bersama ibu dan di kota
anak-anak memiliki kamar
sendiri
sejak lahir. Semua anak memiliki waktu
pada malam yang sama
— hanya aksen langit yang berbeda.
Tetapi malam tidak hadir
merdeka dari perasaan.
Mereka yang tidak menyaksikan
bulan dihalau gorden tebal
akan dewasa dikuntit ingatan,
bagaimana dahulu dipeluk.
Menempati tempat-tempat
yang jauh dari bahasa seorang ibu.
Ada yang menggenggam dendam.
Ada yang memberi maaf.
2017
Segalanya Bermula dari Rumah
Segalanya bermula dari rumah,
kisah-kisah hidup kemudian
adalah kemah dari sebuah parasut
ditopang lima pancang kayu.
Didirikan untuk dibongkar
untuk terus meninggalkan
jejak, kenangan, dan beberapa luka.
Suapan ibu pada pagi hari
—beberapa saat sebelum berangkat sekolah—
adalah satu-satunya alamat yang kutuju
dari semua perjalanan yang kutempuh.
Bukan aku tak mengerti,
sebuah rumah hanya bangunan
yang tegak dalam mimpi-mimpi buta.
Batas-batas ruang tak mampu
memastikan di mana langkah terakhir
akan berhenti.
Udara di sekitar tubuhku
sering menakut-nakuti dengan bisikan
seakan makna lahir adalah fatamorgana
pada pandang mata seorang musafir
yang terperangkap serbuan debu
di batas bias antara hidup dan binasa.
Langkah pertama yang digerakkan amarah
(kau tentu mengerti seorang anak kecil
yang terluka akan menemui kemarahan
semacam dendam ketika dewasa,
ketika punya tenaga dan merasa berdaya)
dan kesadaran yang terlambat
membentuk jutaan garis peta;
nasib yang senantiasa rumit dan rahasia.
Kini tubuhku berbahasa maut.
Bukan aku tak tahu, arah tak pernah
menuju masa lalu, tapi aku telah lama ragu
bahwa aku benar sedang berjalan,
mendirikan dan membongkar kemah.
Segalanya bermula dari rumah. Ibu,
bila rindu kepadaku ia meraba pigura
memainkan bedil-bedilan kayu
yang kubuat suatu ketika dahulu.
Kami sama meraba muka sendiri.
Membayangkan kami masih memiliki
beberapa kesempatan berbagi mimpi.
Tetapi rumah hanya kemah
dari sebuah parasut
ditopang lima pancang kayu.
Kuala Lumpur, 2016
Di Dapur Waktu Larut
Hanya dapur dan keheningan.
Layang-layang lesap di plafon
dan sebuah klereng tergelincir
di jogan, dekat saluran pembuangan air.
Ada yang datang minta direngkuh
Ada yang pergi
sebelum aku sempat menyiapkan
semacam kata perpisahan.
Apakah yang kini belum berubah
belum hilang, belum lebih rusak dari sedia?
Tak ada lagi yang dapat kusentuh
dengan degup dan debar
semenggembirakan waktu dahulu.
Jalanan dan rumah-rumah
yang mengungkungku, ini hidup
bergerak atau sekadar ilusi?
Tak ada kelebat sesiapa
di dapur waktu larut begini.
Hanya hatiku makin jauh
ke kedalaman langit, melampaui
planet, kegelapan, dan jejak-jejak
tersesat yang merintih:
Tuhan, kirim kami pada rahim Hawa.
Kami tak kuasa lagi
mencari jalan yang tak celaka.
Aku tak pernah dapat memastikan
di mana suaraku.
Hangtuah, 2016
Kepada Perempuan yang Kuseru Emak
I
Kalau aku pulang lalu bilang padamu,
rumah akan jadi hening;
kerling dan kening tiba-tiba geming,
sementara malam bersamamu,
belum kuakrabi.
Bantu aku, Mak! Bantu aku
mengambil sorban hijau di lemari Abah
untuk kutangkupkan di pasi wajahku.
Sebelum kurapal mantra,
memesan pelukan kepada…
… angin sakal serakah
yang merampas suara-suara
adalah duka tak terduga, Mak!
II
Aku tahu,
kau sedang menggamit-gamit damar dan doa.
Aku tahu, kau menantiku pada sebuah pintu.
Tetapi, kita terlalu lama kehilangan kata-kata.
Jarak yang durjana membuatku
terlontar sebegini jauh.
Mak, keakuanku ini
adalah kuku-kuku iblis, merobek-robek kulit ari,
daging, dan, merangsek ke belulangku.
Ngilu, Mak. Ngilu!
Tetapi katamu, lelaki yang lahir di tanah Banten
dilarang menangis.
Maka, dalam sendiri dan kepung gigil aku
menyenandungkan shalawat
yang tak khatam kaubacakan di dekat telingaku.
Shalawat yang menikam-tikam jantungku
bila malam saru dan dunia hilang deru.
III
Kutatap genting hitam berbaris,
kamar di kota asing ini mengingatkanku
pada kamar waktu aku kecil, tanpa plafon.
Begitu banyak sarang yang ditinggal
laba-laba. Ada kecoa terperangkap
dilumat rayap dan semua lenyap
sesaat setelah aku terlelap.
Mak, ada senyap tiba-tiba menderap
dan sesuatu memerangkap.
Tubuhku semakin meringkuk ditekuk ketakutan.
Lampu lima watt seperti mata setan
mengabarkan petaka pada musim durna.
Maut dan sebuah rahasia
yang belum sempat kukatakan padamu
menjulurkan lidah.
IV
Dalam lelah dan leleh jiwaku masih tahan,
sebagai orang sakit yang menyaksikan dunia
dibias secerca cahaya dari tungkai jendela
di mana kita dahulu bertatapan
dan bertukar cerita.
Tetapi jasadku terasa ringan, Mak.
Kupandangi langit-langit, lalu kubiarkan
sesuatu berbinar sebelum ia melepaskan diri
dari kungkungnya.
Mak, bukankah engkau pernah berkata
seorang lelaki lahir sebagai ksatria:
menghadapi luka dan derita sebuah dunia.
Lantas, untuk apa air mata itu
terus mengalir, Mak?
Untuk apa?
Cilegon, 2013
Anak-Anak yang Mengetuk Pintu Rumah Ibu
Seorang bocah tak pernah berpikir
Ibu adalah seorang babu,
tapi anak-anak yang telah bekerja
menikah dan punya momongan
meminta dengan sangat sopan agar
Ibu bersedia
menjadi baby sister.
Tentu tak
persis dengan sebutan itu.
Hidup kadung terjebak jam sibuk dan
malam habis tenggelam dalam mimpi.
Itu alasan masuk akal
untuk terus mengetuk pintu kamar
ibu setiap pagi, menitipkan bayi
yang terlelap.
Ibu dari anak-anak yang sibuk
menghitung jam sore
sebab meski bahagia
meladeni celoteh lugu seorang bayi sambil mengenang betapa indah
suatu masa ketika anak-anak
masih di rumah, menciptakan
hari-hari yang selalu berasa istimewa,
lengan dan tulang-tulang pinggangnya
tak sekuat ketika muda.
Di tembok yang terkelupas, jiwa ibu
meraba kamar sepi dan beberapa boneka,
ketapel dan memar di pelipis anak lanang,
dongeng tentang sebuah kutukan
dan seorang kiayi di surau
yang berbicara tentang kemuliaan
setiap perempuan yang dipanggil Ibu.
Seorang bocah tak pernah berpikir
Ibu adalah seorang babu,
tapi anak-anak yang telah bekerja
menikah dan punya momongan
bergantian datang,
menitipkan bayi-bayi.
Seorang ibu tak menolak, karena pesing
ompol bayi seperti mengembalikan
aroma anak-anak yang telah lupa
cara yang benar mengetuk pintu
rumah ibu.
2019
Makna Terbaik
dari Waktu Makan & Rumah
I
Jika telah petang, segera pulang
kata ibuku, setan masuk dari jendela dan pintu.
Tetapi Ibu tak pernah menelantarkanku
di teras, meski aku pulang
setelah bedug surau ditabuh seorang tua.
II
Rumah; pintu dan jendela-jendelanya
bukan soal susunan bata dan kayu
atau siapa yang masuk dan keluar.
Ada Ibu dan itulah makna
terbaik dari semua pengertian rumah.
III
Seorang anak lelaki menikah,
membeli tanah dan membangun rumah.
Seorang anak perempuan menikah,
menempati sebuah rumah.
Belajar memosisikan pintu dan jendela;
mengecat dinding dan beberapa
aksesoris, semacam pigura atau bunga;
meletakkan meja dan menata sofa.
Semua dimulai dari semacam nol
dan tetap menjadi semacam dari nol.
IV
Ibu takkan melepaskan apapun
yang lahir dari perutnya. Ruang dan waktu
—jarak dalam hitungan umum manusia—
dan takdir yang seolah sendiri-sendiri itu
tak sebagai tanda bahwa seorang anak
telah sungguh-sungguh meninggalkan rumah.
Kecuali jika ada yang berpikir bahwa
bumi yang, kata orang-orang Israiliyat
tempat dua malaikat diuji ini
bukan semata-mata tempat senda gurau.
V
Bukan rahasia seorang anak kadang merasa
ingin merdeka dari ketiak ibu.
Itu yang disebut kemandirian dan kadang
jadi bahan para motivator kurang baligh
untuk mengatakan bahwa setiap pribadi
harus merdeka dari ketergantungan.
VI
Ketiak ibu adalah jalan lurus menuju bintang
—jika orang kini masih menjadikan bintang
sebagai simbol harapan-harapan besar.
Mereka harus duduk di bangku sekolah dasar
lagi untuk memahami itu.
Rasa, perasaan, dan merasa tidak sama.
Tetapi di bangku sekolah dasar tak diajarkan
definisi. Anak-anak belajar dari keluguan
sebelum pengetahuan mengacaukan semuanya.
Pengertian hanya untuk menjawab pertanyaan
profan. Setiap diri hanya perlu sesekali
mengingat begitu banyak arti kata
atau sepenuhnya melupakan.
VII
Jika matahari telah tegak di langit, kata ibuku,
segera pulang. Waktu makan telah tiba.
Ibu selalu tepat menghitung jadwal
dan porsi makan anak-anaknya.
Aku pulang jika matahari agak turun
beberapa jengkal. Meski aku terlambat,
Ibu tak membiarkanku
kehilangan kesempatan untuk makan.
VIII
Rumah; dapur, tungku, meja, dan tudung saji
bukan soal nasi, lauk pauk, dan sendawa.
Ada Ibu dan itulah makna
terbaik dari semua pengertian waktu makan.
IX
Seorang gadis SMP makan di kantin;
seorang mahasiswa makan di kafe;
dan seorang komisaris makan di restoran.
Semua anak pada akhirnya memilih tempat
dan menu makan sendiri-sendiri.
Tetapi setiap yang dikunyah dan ditelan
dimulai dari suapan pertama
seorang ibu. Itu tak sama sekali terputus.
X
Jika kokok ayam telah nyaring, segera mandi
kata ibuku, bersiaplah berangkat ke sekolah.
Aku selalu berangkat sekolah setelah mencium
tangan ibu; menatap kedalaman matanya.
XI
Apa makna terbaik dari waktu makan dan rumah
selain yang bermakna “Ibu”?
2019
Pada Senandungmu Malam Ini
… kupulangkan suaraku kepadamu,
seperti senyap alir arus sungai kepada laut.
Rumah kita, biar kunamai lagi
dengan nama yang tak tersusun
dari kata. Sebab sejak dari kata
aku mengenal definisi-definisi waktu;
mendapati beberapa istilah
tentang penciptaan juga menjadi tua itu.
Badan manusia yang rangka
memang akan terus menemui kerusakan,
tapi kita mengenal kelahiran
dan maut sebagai istilah yang semata
menunjukkan ketidakabadian.
Semua yang kulalui, kunamai,
dan kucatat terlalu sementara
untuk dapat sepenuhnya
merangkum cintamu kepadaku.
Takkan ada yang mampu
menyitaku darimu, Ibu.
Pada senandungmu malam ini
biar kutempuh jalan hening
menuju rahim asal lahirku.
Kembali belajar mencintaimu, seperti
ketika aku belum mengenal kata.
2017
Sebelum Sabda
Setiap ibu dan setiap anak memang
selalu dibayangi hari-hari kehilangan,
karena niscayalah setiap tangan
yang terlepas setelah sebuah pelukan mendarat
di bumi yang mulanya tak ada apa-apa ini.
Tetapi Ibu dan semua maknanya,
tak sefana gunung-gunung.
Tak serapuh tebing dan dermaga.
Tahun-tahun adalah bunga pagi buta,
gampang gugur. Ibu terus menata kisah
seperti menata gelas pada lemari kaca.
Musim-musim singkat akan lewat,
udara berkuda pada muka waktu.
Tangan ibu akan berhenti mencatat,
kisah pergi ke jagat tak bertanda
jam matahari.
Aku mesti segera jadi perawi
sebelum sabda dianggit sepi kacapuri.
2018
Pekarangan
Pekarangan adalah semesta tak berbatas.
Puluhan tahun ibuku menernak ayam dan bebek.
Beberapa pohon papaya pernah tumbuh di situ.
Pohon jambu batu pernah tumbuh di situ.
Hujan dan kemarau adalah tamu-tamu agung
yang Ibu jamu dengan shalawat dan rapalan doa.
Anyaman kandang jerami dan rak-rak telur
adalah sekelumit wajah dari gairah cintanya
yang menjaga napas kehidupan.
Cerita-cerita telah lama dibangun di sana.
Sejak Abah menegakkan pagar bambu.
Sejak Ibu membeli anak ayam pada suatu musim
sebelum anak pertama dilahirkan.
2015
Aku Mencintaimu, Ibu
Aku mencintaimu, Ibu. Mungkin karena kau ibuku.
Karena aku anakmu. Karena pada darahku
ada darahmu atau mungkin tanpa karena apapun.
Bukankah cinta tak menyerah pada sebab-sebab?
Atau cinta menyerah pada sebab-sebab?
Sebab Tuhan menyifati kita dengan cinta. Tetapi
kita tak sekali pun punya kesempatan merunut
mula ia tiba. Bagaimana ia terbentuk.
Bagaimana ia mewujud begitu saja dalam diri kita.
Kita tak dapat memastikan di mana letak cinta.
Di hati? Seperti merpati bertengger di dahan
atau seperti bangau di punggung seekor kerbau
pada sebuah penghujung musim rindu?
Segala yang bertengger akan pergi, tapi cinta tak
pernah pergi.
Cinta abadi sejak dimulai. Menyifati pakaian kita.
Menyifati begitu banyak kejadian, kenangan
dan semua yang kita namai cita-cita.
Tetapi yang abadi tak punya permulaan.
Tuhankah cinta itu? Atau Ia menyifati kita
dengan cinta-Nya. Cinta disifatkan kepada kita
agar kita yang fana ada sebagai yang tak sia-sia.
Kita diberi makna dalam ketakbermakaan.
Cinta pada diri kita membentuk makna
untuk semua yang tak punya makna. Dan kau, Ibu
puncak makna cintaku.
Cinta memang kadang kelayaban seperti laron
pada cahaya. Atau kita perlu menyepakati,
sebetulnya cahaya itu cinta dan laron adalah kita
atau laron dan cahaya ada karena keduanya ada.
Menjadi tak ada jika keduanya tak ada.
Aku mencintaimu, Ibu. Sejak aku mengamini
bahwa aku hidup sebagai manusia di bumi
yang apa saja di dalamnya dapat membuat kita
bosan. Atau aku mencintaimu seperti seorang
yang berkata, aku berpikir maka aku ada.
Aku yang ada telah ada sebelum pikiran ada
itu ada. Jadi barangkali, aku mencintaimu
jauh sebelum perasaanku merasai cinta.
Tetapi aku pernah mencintai beberapa manusia,
kemudian aku menjadi tak cinta.
Kubersamai mereka untuk kutinggalkan.
Aku tak tahu mengapa tiba-tiba merasa cinta
dan mengapa tiba-tiba merasa tak cinta.
Cinta barang habis yang dapat diperbarui
Habis cari yang baru, itukah cinta
atau hanya ilusiku tentang cinta
atau cinta memang memiliki sisi-sisi ilusi?
Cinta mesti tak punya sisi ilusi. Tak mungkin
ilusi. Hanya saja prasangka kehadiran
dan ketakhadiran menentukan wujud
mana cinta dan bukan cinta
memang ujian yang terlalu berat.
Cintaku kepadamu
tak pernah menemu bosan. Makin waktu
makin kuat. Berarti cinta dapat melemah?
Itu aneh. Cinta mesti tak melemah tak menguat.
Pada kesadaran dan ketaksadaran
barangkali bersandar menguat dan melemah itu.
Kita pada suatu ketika memang akan kehilangan
kesempatan saling mengunjungi. Tatapan
kita akan sama-sama berhenti, tapi cinta
bukan tentang pertemuan jasad kita.
Sebagaimana api pada tubuh Ibrahim.
Api panas, ketika panas hilang api tak padam.
Api tetap ada ketika panas tak ada.
Apikah panas itu atau sebab ada api panas ada?
Aku mencintaimu, Ibu. Ini sama sekali
tak perlu ditanyakan lagi.
2019
Di Kampung
Ungu kelopak kangkung
di bawah matahari kemerahan
menggelincirkan angin
hingga ke ujung lengkung
pematang.
Merayap malam di genting-genting.
Jendela dan pintu ditutup Ibu.
Aku pulang seperti seorang bocah
telanjang membawa patahan
layang-layang.
2017
Ibu dalam Begitu Banyak Puisi
/1/
Ibu dalam puisi penyair wara’
—dari abad pertama manusia—
adalah kata pada kalimat yang gagal
menyusun metafora dan simile:
mayang siwalan,
goa pertapaan,
kolam
gunung
rumah
tanah
berjejeran
dalam
amsal
yang tak menemukan tubuh ibu.
Kasih buih
kepada laut
rengkuh udara
kepada daun
adalah yang berlaluan
tiba sebagai yang meninggalkan
sementara Ibu
tak pernah pergi
sekalipun ditinggalkan.
/2/
Seorang penyair
menulis kerinduan kepada ibunya
hanya ada kenangan masa kanak.
Mencatat jumlah jejak kaki sendiri
pada pekarangan rumah
beberapa foto
di dinding
almanak
dan pagi terakhir
menerima suapan.
Ibu dikira
hanya tangan
merengkuh
banyi telanjang
waktu malam
dikunjungi badai sawan.
Semacam prasasti
tanda dari mana sebuah kisah
bermula.
/3/
Penyair lain terisak
meminta maaf karena tak sanggup
membayar lunas hutang kasih
dari buaian hingga Ibu berpulang.
Membandingkan
harum
ibu
dengan
bunga.
Laksana bulan di langit,
mutiara di dasar laut.
Harum ibu pada puisi
hanya yang gugur
ketika musim hujan terlambat tiba
atau terlambat pergi.
Di laut mutiara mengendap
di langit bulan tidak punya cahaya.
Ibu tidak begitu.
/4/
Ibu
pada puisi penyair patah hati
hanya curahan kepedihan.
Rumah tua alamat pelarian
seorang muda terluka.
Pada semua tubuh puisi
Ibu adalah benda mati
tanpa denyut
tanpa tanda
ada nyawa.
Ibu semata batu
bagi seseorang yang ingin meratap.
/5/
Ibu pada begitu banyak tangan penyair
tidak dapat disentuh dan puisi telah menyerah
sejak huruf pertama
tapi para penyair
memang pemaksa
yang keras kepala.
Puisi-puisi tentang ibu terus ditulis,
Ibu tetap tidak ditemukan
di dalam puisi.
2018
Muhammad Rois Rinaldi, lahir di Banten 8 Mei 1988. Koordinator Nasional Gabungan Komunitas Sastra ASEAN dan Redaktur Sastra Biem.co. Bersastra sejak 1998. Tulisannya berupa puisi dan esai dimuat di berbagai media massa, baik lokal, Nasional, maupun media massa di beberapa negara ASEAN.
Rois menerima penghargaan Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera, 2014) dan Anugerah Tokoh e-Sastra Asia Tenggara (E-Sastera, 2015 dan 2016). Bukunya yang bertajuk Sastracyber: Makna dan Tanda menjadi buku terbaik terbitan Esastera Enterprise di Malaysia dalam kurun waktu 10 tahun (2006-2016).
Komentar
puisi
apakah puisi ini pantas dibaca oleh anak SD
Pantas
menurut saya, pantas saja. malah ini puisi cocok dibaca oleh semua umur
Tulis komentar baru