Secara etimologi, kata “waibelen berasal dari dua kata, yakni wai yang berarti air, dan belen yang berarti besar. Waibelen berarti air yang besar atau air yang luas.
Pada jaman dahulu kala, di bawah kaki gunung (ile) Kuku Nubu Bao Bara,( sebuah gunung tinggi yang terletak di Desa Waibao), berdiamlah penduduk asli Desa Waibao, yakni orang-orang Keka, Tengadei, Riangpuho, dan Lebao Tanjung dengan mata pencaharian utama adalah bercocok tanam/petani. Penduduk asli pada keempat wilayah perkampungan tradisional itu, umumnya berasal dari suku Koten, Kelen, Maran dan Hurit( Nitit).
Dikisahkan bahwa ada dua(2) orang ibu yang tengah menjaga kebun yang digarapnnya di bawah kaki gunung Kuku Nubu Bao Bara. Suatu hari, turunlah hujan dengan lebatnya. Karena hujan lebat, seorang ibu yang mendiami salah satu pondok itu, meminta bantuan kepada ibu pada pondok lainnya untuk memberinya puntung api, yang dalam bahasa daerah/Lamaholot disebut “ape nutok” agar ia bisa menanak nasi. Karena kondisi ibu sedang hamil tua, juga karena ulah sikap manusia yang serakah, ibu itu kemudian mengambil jalan pintas. Ia mengambil sepuntung api lalu mengikatnya pada ekor anjing kemudian ia mengusir anjing tersebut dengan maksud agar anjing tersebut dapat lari dan berlindung pada pondok di sebelahnya. Karena kedinginan, anjing itu pun berlari dengan puntung api yang tetap terikat diekornya dan masuk pada pondok yang lain tadi. Melihat itu, sang ibu tadi dan orang-orang yang sempat menyaksikan kejadian itu menertawai anjing tersebut sekeras-kerasnya. Tak lama berselang, kilat dan petir menyambar kemana-mana, semantara hujan terus mengguyur daerah sekitarnya. Pada saat bersamaan, terjadi guncangan maha dasyat dan terdengarlah gemuruh dari puncak gunung tersebut. Seiring dengan datangnya gemuruh dan guncangan dasyat itu, gunung Kuku Nubu Bao Bara pun roboh dan membentuk sebuah kawah besar . Air hujan yang sedari awal mengguyur wilayah sekitar, menggenangi kawah tersebut hingga menyerupai sebuah Danau. Penduduk asli yang selamat dari malapetaka alam ini, kemudian menamai genangan air pada kawah itu dengan sebutan, wai bele”(yang berarti air yang besar/luas). Air yang menggenangi kawah itu, tidak pernah surut/kering setelah kejadian itu hingga saat ini. Kejadian alam ini, kemudian menjadikan wai bele, sebagai sebuah Danau, dengan nama Danau Waibelen.
Selanjutnya, nama Danau Waibelen, semakin dikenal ketika pada sekitar tahun 1970 (tepatnya pada Bulan Desember 1970), dimana sepasang sejoli yang sedang dimabuk asmara, karena cinta mereka tak direstui kedua orang tua mereka, mereka nekat bunuh diri dengan cara menceburkan diri mereka secara bersama di tengah danau Waibelen. Dengan tangan terikat tali gebang pada masing-masing pergelangan tangan, sepasang sejoli itu mati secara mengenaskan di tepian danau Waibelen.
Nama sepasang sejoli itu adalah Lio(Pemuda) dan Nela(Pemudi), keduanya berasal dari kampung Tengadei dan sama-sama satu suku yaitu suku Kelen. Sejak peristiwa tragis itu( Tahun 1970),danau Waibelen seakan berubah nama menjadi Danau Asmara. Orang-orang sekitarnya bahkan masyarakat Kabupaten Flores Timur, lebih sering menyebut Danau Waibelen dengan sebutan baru yakni Danau Asmara. Dengan demikian, Danau Asmara, dapat penulis katakan sebagai nama lain dari Danau Waibelen.
Suatu hal yang menarik dari Danau Waibelen adalah bahwa di tengah danau tersebut, terdapat pula buaya, yang oleh masyarakat setempat menyapanya dengan sebutan N e n e . Menurut mereka, buaya-buaya tersebut merupakan jelmaan dari raja “ Sabat Tei, Tua Da Lame” penghuni ile Sodo Bera, woka ba Nara. Buaya-buaya tersebut diyakini sebagai jelmaan raja,sehingga oleh masyarakat setempat sering memberikan sesajian .
Buaya-buaya tersebut, diyakini tidak akan pernah memangsa manusia kalau masyarakat setempat tidak saling menyumpahi.( waja ga mo wati). Waja= buaya, ga = makan.
Itulah sebabnya, masyarakat setempat sangat berhati-hati bila mengeluarkan kata-kata sumpah yang bersentuhan/menyebutkan kata waja= buaya. Mereka berkeyakinan bahwa meskipun buaya-buaya tersebut termasuk binatang pemangsa, tapi ia tidak kan pernah memangsa manusia yang tidak punya kesalahan.
(SASTRA LISAN FLORES TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR)
Komentar
Tulis komentar baru