AYAM JANTAN SI MBAH
Oleh Rahmat Setiawan
2012
Sore ini aku kembali ke desa yang tak ingin aku sebutkan namanya, terpencil seperti sebuah kelereng di antara intan, belek di antara indah mata yang menatap senyuman pagi. Rumah itu sudah berubah, bukan hanya kondisi, genteng yang belepotan seperti bayi yang menerima suapan dari suapan ibunya, jaring bambu yang tak lagi tegak berdiri sekarang sempoyongan sejompo nenek yang kuingat dulu. Pintu bersolek dengan angin berbunyi seperti kayu peyok tak bersemangat. Kecil sekali rumah itu, tak sebesar apa yang aku lihat 20 tahun yang lalu. Tak ada tetangga yang ingin bersebelahan dengan rumah yang atau boleh ku sebut gubuk ringkih itu. Sudahlah, itu sudah berlama-lama berlalu, tak ada yang perlu diingat. Mendadak ada seekor ayam seronok melewatiku, tak tahu jantan ataukah bukan, lewat begitu saja, membuatku menoleh lagi kearah gubuk itu, menunda kepulanganku ke rumah, menengok ke sebelah kiri, tepat di persimpangan ini aku bertemu dengan wanita itu, selalu tersenyum dan menebarkan ramah tamah.
***
Ini malam yang kesekian yang tahu keberapa, ini tempat baru yang asing, jauh dari keramaian kota, kendaraan berpolusi super. Hanya melihat tanaman sekitar pemukiman, pohon tinggi menyeruak bersama suara celoteh hewan-hewan malam, bernyanyi kodok-kodok, bersautan bersama jangkrik-jangkrik diiringi dengan tokek, serta sesekali diimprofisasi oleh burung hantu. Sepi sekali jika malam, dan hampir sama dengan siangnya, mati sepertinya orang-orang disini. Itu malam, apalagi siang, hanya bertani, beternak, berkebun, dan aktifitas ibu-ibu seperti kebanyakan ibu-ibu di dunia ini. Jengkel mengapa ibu memilih tempat seperti ini, padahal menjadi guru di kota lebih menyenangkan dari pada hidup di daerah terpencil seperti ini, tak beraspal, tanah liat di sana-sini, kaki tak beralas.
Lama, hari berlalu-lalang, akhirnya aku mengenal sedikit teman, bermain, seperti anak-anak pada umumnya. Mencari ikan di kali, mencari belut, bermain permainan yang tak bisa aku ingat apa namanya, di kebun pak RT. Sutadji, dia sangat lihai memainkan jarinya menangkap belut yang sangat keterlaluan licinnya itu. Parman yang selalu pulang lebih awal hanya untuk menghindari auman bapaknya yang mewajibkannya bergelut dengan padi-padi di sawah, dan Sobikan yang selalu taat beribadah lima waktu, berlarian terbirit-birit ke langgar karena tak merelakan anak atau orang lain mendahuluinya untuk mengingatkan waktu sholat.
Sore itu, seperti kehabisan tenaga, pulang sempoyongan bersama keringat-keringat. Tertinggal aku oleh teman-teman, sampai di persimpangan itu, nenek itu lewat, memberikan teh manisnya, tersenyum dia, gigi ompongnya nampak, mata sayunya terurai, pipi keriput itu tak bisa menyembunyikan senyumnya. Hanya ucapan terima kasih yang bisa aku utarakan padanya, setelahnya pergi, dn nenek itu pulang.
Keesokan harinya aku bertemu lagi, sering sekali, membantunya menggiring kambing-kambingnya yang gemuk-gemuk. Menyapaku dan selalu memberikan minuman yang melegakan, sering aku ke gubuknya, dia mengajarkan banyak hal. Seperti inikah nenek? Aku memanggilnya Mbah. Dalam hati aku merasakan hal-hal yang lucu, dari ompongnya, dari jamuannya, celotehnya, dan semua teman-teman tahu memang Mbah seperti itu, dengan gurauannya. Tak ada kakek, tak pernah dia menceritakan kemana, dimana, seperti apa kakek kakek, yang ada hanya seekor ayam, jantan sepertinya. Dia merawatnya dengan baik, gemuk, segar, dan tiap pagi menggelegar dengan suara khas sambutan paginya. Sebelum matahari tenggelam Mbah selalu memintaku dan teman-temanku pulang, mengatakan banyak hantu berkeliaran jika malam menjemput, memergoki dan menikam dengan pelan-pelan, senjatanya tak tajam, lebih terasa tumpul. Hantu-hantu itu akan berceloteh, membuatmu semakin merasa sendiri dalam kegelapan. Menertawakan seperti lidah-lidah ular, berbisa dan meracuni jantung hingga mati. Ya mati. Mati memang sudah di harapkan oleh semua, bahkan Tuhan. Mbah, menceritakan itu, mengerikan, tak seperti tadi pagi, atau siang, dan bahkan beberapa menit yang lalu. Hal seperti itu, sudah, sudah cukup, sudah pasti membuat kita segera pulang.
Memang jika dibayangkan saja sudah seperti ini, apalagi di lalui begitu saja. Desa ini benar-benar keterlaluan sepinya, tak habis pikir. Bagaimana seorang nenek tua, sendiri, di gubuk, hanya ditemani seekor ayam. Sudahlah, Mbah juga seperti menikmati sisa-sisa hidupnya.
Hari berganti, berangkat sekolah, semua warga saling bergotong royong, seperti membuat jalan. Nampak jalan sudah seperti mendua, tak lagi menggunakan jalan yang biasanya menuju kebun, sawah warga. Jalan yang lama selalu melewati rumah Mbah, tetapi ini tak melewati. pulang sekolah, seperti biasanya, mampir ke rumah Mbah, sekedar minta teh, dan bercanda. Tetapi nampak beda seperti biasanya, pintu ringkih itu tak terbuka, tak ada orang, dimana Mbah? Aku tak tahu, dan pulanglah. Sejak itu tak lagi aku melihat Mbah.
***
Pikiranku akan ayam itu terganggu, teman-teman sudah tak seperti dulu, lusuh, belepotan, dan yang pasti apa adanya. Sekarang mereka sudah ada yang menggantikan pak RT yang tua dulu, yang memang bapak tercintanya, yang selalu mengoceh, berceramah kesana kemari yang membuatku selalu tertawa melihat kumisnya yang berdansa tiap berbicara. Dialah Sutadji, tangkas menangkap belut dan sekarang saya harus memanggilnya Pak Sutadji seperti aku memanggil bapaknya dulu. Sangat tidak pantas di awal tetapi dengan melihat kumisnya yang rapi, berbaju batik dan sangat rapi sepertinya aku memang harus membumbui namanya dengan kata Pak. Tak lama kita mengobrol, dia sudah harus ke kelurahan setempat, sibuk seperti serbuk berkeliaran, bertaburan memberi cita rasa pedesaan yang mati ini. Lama tak berjumpa, bapak-bapak yang membawa cangkul, bergegas dan hanya sekejab aku menyapa, menolehlah dia, menghampiriku, memnitaku mampir di sawah yang sudah diwariskan padanya. Dialah Parmin, berbadan kekar, hitam berotot, beringas dan berkebalikan dengan seorang wanita cantik yang menjemput, menghampirinya dari kejahuan. Khas pedesaan, mempunyai sawah, sudah seperti orang mapan, dan sudah pasti istri cantik seperti inilah yang didapat. Tak lama bercuap-cuap, dia harus kembali ke sawah bersama istri cantiknya. Lama memandangi gubuk tua itu lagi yang hampir tak nampak karena sudah terhalang pagar yang di makan tanaman, tak terasa matahari bak kompor yang meludahkan panasnya di tepat atas kepala, berjalan dengan tergopoh-gopoh, sarung yang membalut kedua kakinya sedikit harus diangkat agar tak menghalangi langkahnya, baju putih panjang, dan penutup kepala hitam, tak salah lagi. Dialah Sobikan, maaf sepertinya aku harus memanggilnya Ustadz Sobikan. Tak berani aku menyapanya, aku tahu betul seperti apa dia jika sudah memperebutkan mikrofon langgar demi sebuah kemulyaan. Luar biasa dia, tak pernah berubah kepercayaannya dan semangatnya, semua sudah jadi orang. Ternyata sudah lama juga aku meninggalkan tempat ini, rumah yang dulu aku tinggali tetap tak berubah, hanya pesan ibu yang aku ingat sebelum kepergiannya, agar tak pernah menjual rumah itu. Ya harus, dan harus kesini, kembali ke desa ini. Melihat rumahku yang di kontrakkan, Sudah 20 tahun, menagih lagi.
Malam menyapa, sudah cukup sekiranya untuk semua kesibukan. Akhirnya kita semua bertiga bisa berkumpul, saling bercerita sampai akhirnya aku bertanya kisah Mbah yang tak sempat aku tanyakan.
…Malam itu…
Sebagai seorang anak RT, aku dididik bapakku untuk menjadi anak yang tangkas, tak boleh keluyuran malam-malam. Maka dari itu terkadang aku iri dengan Adam, walaupun hanya hidup dengan ibunya, yang seorang guru pegawai negeri hasil mutasi, tapi dia selalu dibebaskan untuk pulang asal tidak kelewat terlalu larut. Tetapi dibandingkan dengan dia, aku sama sekali tak menaruh rasa iri pada Parmin ataupun Sobikan, yang biasa-biasa saja seperti ini mungkin yang paling pas.
Mungkin aku anak yang pertama dari kita berempat yang mendengar kisah Mbah, bapakku sendiri yang menceritakannya setelah aku merengek ingin bermain ke gubuk si Mbah. Bapak benar-benar marah dan menceritakan apa yang sudah di beritakan dari dua penjaga berseragam hijau yang selalu berkeliling desa tiap malam. Malam itu, malam sebelum penduduk membangun jalan dan memasangi pagar dipersimpangan dimana seharusnya jalan utama menuju perkebunan dan persawahan serta melewati gubuk si Mbah. Aku hanya mendengarkannya, celoteh dari bibir berkumis bapak. Ketika penjaga desa berkeliling, dia mendengar suara ayam yang selalu mengoceh tak karua, mungkin hanya sekali tak masalah, akan tetapi para penjaga itu sudah terlalu sering mendengarkannya, maka mereka pada malam itu menoba mengais tahu lewat selah-selah tembok bambu yang tak cukup kokoh dan berlubang. Melihat sesosok nenek tua, rambut putih terurai, memegangi ayam jantannya, memainkan apa yang membuat ayam itu berkokok sepanjang malam, seperti orang yang tak waras, memainkan jari-jarinya seperti itu pada ayam jantannya. Itu adalah ayam peninggalan suaminya yang sudah meninggal setahun lalu, ayam kesayangan suaminya, sekarang menjadi teman malamnya.
…Larut sekali…
Jadi seperti itu kisah si Mbah, aku tak pernah tahu, Sutadji tak pernah menceritakan itu, sampai sekarang. Bahkan semua warga tak ada yang tahu dimana si Mbah, gubuk itu kosong, kosong penghuni, tetapi semua barang tetap duduk rapi di tempatnya. Mungkin sudah berdebu, hancur, dan tak berupa. Tak ada yang ingin mengambil. Membuang, atau bahkan menggusur. Gubuk itu, tak ada yang ingin tahu, terlupakan saja. Bahkan jalan ke gubuk itu sudah tak ada termakan rumput liar, ilalang, dan hewan-hewan malam. Si jantan juga hilang tak tahu, dan tak ada yang tahu, bersama si Mbah.
Komentar
Tulis komentar baru