Diamnya Para Pendosa
Oleh Rahmat Setiawan
2011
Tersudut, ruang itu benar-benar tersudut, bukan hanya oleh kenyataan, tetapi firasat. Tak terlalu lebar tetapi tak bisa dikatakan terlalu sempit. Terlihat paling mewah di antara enam kamar lainnya. Dua kipas angin, berkorden terbaik dari kelasnya, Nampak teristimewahkan oleh pemilik kos. Hijau tak sehijau keadaan, begitu merah pada tiap hati penghuninya. Empat belas bukan jumlah sedikit untuk seukuran hunian yang berlantai dua ini. Budiman nampak selalu diam, tak ada sebab karena tak ada yang tahu. Raut tampannya memang selalu menghiasi, di balut tubuh semampainya. Tak seperti kenyataan itu, terlahir dia dari keluarga yang serba penuh kekurangan, dan sangat beruntunglah baginya mampu menikmati meja kuliah. Terdampar dia di kamar tersudut itu ditemani oleh Surya. Mahasiswa luar pulau yang terlihat congkak, dan berapi-api. Mereka seperti tertelan oleh celoteh-celoteh tetangganya, tetangga yang mungkin sangat berisik baginya, dan hanya sedikit orang yang menyadari ketidakwarasannya. Badrun sangatlah menggebu-gebu, sehingga apapun yang tak sesuai dengan etikanya akan terdamprat, Budiman dan Surya hanya sepucuk cecunguk dari santapan pemuda tak jauh dari kamarnya itu. Terlihat pula Sariban, terlihat santai dan menikmati buku yang sudah menjadi makanan kesehariannya. Dia begitu damai bersama Badrun. Disamping lagi, dua penghuni baru kamar terangker. Sesuai dengan kabar angin, setiap penghuni di kamar itu selalu melihat sosok yang tak mampu tergambar secara mutlak. Fahmi terlihat nyaman bersanding dengan Galih, tergeletak, menikmati tiap iklan di TV. Tak jauh sebelahnya, tergeletak kamar yang jarang dihuni oleh Tomi dan Yani. Lantai teratas, penghuni-penghuni yang penuh warna. Menuruni tangga, terdasar tiga kamar. Sudut, Aji dan Bagus mendiami. Dengan sebelah kabar yang jarang memiliki pasangan, Dannis. Di samping lagi, terakhir, tetapi selalu menjadi awal dalam suatu masalah, tak terikat dan penuh terbuka. Ternama di depan pintu, Junet dan Idris.
Senin bukan hari yang ramah, ketika semua ada, ketika semua motor terjaga, tertidur mati dalam kesempitan. Saling bersenggol, berdecak satu sama lain, menimbulkan goresan-goresan tak berluka tetapi luka perasaan dari pemilik.
“Selalu!” Penuh jengkel, Dannis mengeser-geser motor, tak tersadarpun kemaluannya tergeser dan sakitlah. Hanya ingin ke kamar mandi saja sudah seperti ini.
“Apa?” Junet menyahut dengan sedikit mengigau, pagi masih malu-malu, matapun tersa tertidur tak terbangun.
Sampailah, saat percekcokan, perdebatan, tetapi terkubur semua dalam hati.
“Mas, ada yang kuliah pagi?”
“Mi, ayo dikeluarkan saja motor di depan.” Fahmi dan dan galih mengoceh di kala penghuni lantai bawah tertidur.
“Walah!” Surya datang menohok.
“Jasik!” Begitupun Badrun.
Datang yang lain, semua berbondong-bondong hendak bersandar meja kuliah. Setiap senin, pagi, terlebih saat Bu. Kos datang, menodong tanpa berucap tetapi bermaksud, penuh harapan.
Akan tetapi suasana berbeda, dan sangat, ada pada saat jum’at malam. Saat-saat yang memang sudah dinanti olehnya tetapi bukan yang satunya. Seperti tak kenal malam, tak kenal siang, apalagi yang namanya sore. Bahkan tak punya sebutan nama untuk fajar. Dia berkelut, berapi-api, menopangkan alat kelaminnya pada selangkangan yang satunya. Begitu terlihat kenikmatan, berkelenjot dengan kepuasannya, sampai semua sudah belepotan. Setiap akhir pekan, selalu dan seperti itu.
“Aku harus membayar kos.”
“Tenang saja, yang penting adalah seperti tadi.” Pembicaraan dihentikan oleh cumbuan.
Kehidupan, dalam arti ini sangat sempit. Hanya 5 hari, mereka tinggal, terkecuali dua pasangan yang tak akan pulang dengan kegiatan seksualnya. Datang senin lagi dengan biasanya, setiap hari, dua lelaki itu seperti terkurung. Di samping selalu mengurus, kehidupan sebelahnya lagi selalu di depan TV. Tak bergerak, menahan, dan harus ditahan. Di jemput jum’at pada akhirnya, akhir dari penantian mereka.
“Ayo, aku sudah menahan selama seminggu.”
“Apa semua sudah pulang?”
Di sisipkan, dengan perlahan, dari arah belakang dan selalu seperti itu. Daging dan daging, berselaras dengan denyut yang berbaur keringat. Sampai suara gerbang yang bergaungpun tak tersadar.
“Suara apa ini?” Badrun penuh dengan tiba-tiba, dengan penuh lupa kembali mencari buku yang tertinggal. Dihatlah dari atas jendela kamar, tersontak dan hanya diam. Pergi, begitu saja tak ada kebisingan.
Senin menjemput, tak seperti biasanya. Saat semua berkumpul, berbincang dan tersa panas bagi kedua pecinta itu.
“Aku lebih memilih mati dari pada di sodomi.” Sahut salah seorang yang menghina.
“Mati pun tak ada guna.”
“Seberapa besar lubang bekas sodomi?”
“Penisnya mungkin hanya sebesar jempol.”
“Parah!” Semua kata, terucap dan seperti menyindir, lebih dari menyindir dan menyinggung. Tak ada Dannis, dia sangat tertutup dan merasa lebih nyaman tak meninggalkan kamar kesayangannya. Seperti sudah menghantam dan meremukkan. Mereka masuk ke kamar, berbincang.
“Sepertinya aku tak sanggup lagi.”
“Lebih baik kau membantuku, baru kau matilah sendiri.”
Hidup seperti di neraka, tersisihkan, terpinggirkan, dianggap menyimpang karena yang bukan menyimpang beruntung bukan menjadi menyimpang. Mereka setitik hitam yang tinggal di gelonggongan putih, andai mereka ada di kaum hitam tak akan mereka merasa terasingkan apalagi menghina kaumnya.
Setiap tanggal muda, datang sesosok wanita setengah baya, tidak terlalu tua, bahkan cukup matang. Walau janda, tak nampak janda. Datang menagih, berurutan, dari yang terawal terlihat. Membawa catatan, mendekat ke kamar Dannis, tetapi dia terlihat masih tertidur, dengan celana pendek yang tersingkap terlalu ke atas, memukau mata Bu. Kos pada saat itu. Tetapi teralihkan dengan kehadiran Budiman.
“Bud…” Menodongkan tangan, penuh maksud.
“Iya Bu. Akan saya ambilkan di kamar.”
Datang mengikutinya, terlau lama mencari, dan dia pun ikut masuk. Duduk di tepi ranjang, mengobrol banyak, terurai, sampailah penceritaan kisah-kisah.
“Bud, ternyata!” Datang Surya dengan tiba-tiba penuh kekecewaan.
“Bukan Sur.”
“Baiklah, aku mengerti.”
Semakin menjadi keruh air yang sudah terlanjur keruh. Tak banyak bicara, tak ada kata apalagi bahasa. Perbincangan sudah tak terucap, tertanam dalam batin. Seolah-olah semakin panas.
“Bud, kamu sudah siap?” Tanya ibu Kos yang terisyarat.
“Belum.”
“Bulan ini kamu gratis pembayaran kos.”
“Saya mengerti.”
Termenung, merengut setiap ada Badrun yang mengoceh tak mengerti yang sebenarnya. Apa yang terjadi tak Nampak seperti yang sudah terjadi. Surya sudah tak jarang pulang apalagi menyapa Budiman. Sampai dia ingin mengunjungi Dannis.
“Dannis.”
“Masuklah.”
“Aku yakin kamu akan membedakan aku.”
“Tidak.”
“Kamu pasti tahu.”
“Aku mendengar, tetapi lebih dari tak mengerti dan mengingat.”
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Diam saja, mereka tak seperti kita. Kotoran tinggal di tempat suci, seharusnya di toilet dan selesai.”
Terlintas Badrun, melirik. Menunggu perbincangan-perbincangan. Mulai pembicaraaan yang memanas. Dannis yang tak terucap di sana, terucap kali ini. Tertuduh sebagai pasangan baru Surya. Akan tetapi tak ada respon atau pembelaan darinya. Menyadari dunia yang berbeda, lebih baik diam. Mata Budiman mengisyaratkan, sangat dalam, memasuki kamar Dannis.
“Apa pacarmu sudah kembali?”
“Pergi, mungkin mati.”
“Ada hasrat yang tertanam. Mungkin dia lebih bahagia dengan selingkuhannya.”
“Mengerti dan memang lebih baik tertanam.”
“Satu pertanyaan, apa kamu memang mampu memuaskannya?”
Budiman pergi dengan banyak jawaban, dari pertanyaan yang tak terjawab. Bu. Kos mengahampiri ke sudut belakang kos yang sudah sepi, tertinggal Dannis seolah saja. Berdua bersama Budiman, berpegangan tangan, mendekat, berhimpitan, tak ada yang tahu, dan di berikanlah uang. Setelah itu, masuk ke dalam kamar Dannis.
Di mulai dari percakapan, penuh kedustaan di awal yang di mulai dari pembicaraan iseng. Mencoba masuk lebih kedalam, melalui sentuhan, dekapan tangan, memaksakan diri Dannis bercerita, masa lalu, kisah percintaan, dan hasrat yang terkecewakan. Samapai akhirnya, pembuktian bahwa dia tak pantas dikecewakan wanita. Percintaan yang tak terduga, hanya kebutuhan dan bukan tuntutan. Mereka bergumul, di tengah sepi, kekosongan, dan tersalurkan.
“Kamu bebas pembayaran kos, asal kamu mampu seperti ini.”
Diam tak ada jawab, seperti mengiyakan tetapi bukan sepertinya. Tersadar, Melihat jam, selalu hari kamis, hanya Budi yang pergi di saat matahari gerah. Budiman tak nampak, hanya di kamar, menyiapkan pisau yang terangkat menulik ke atas, Dannis merangkai. Terdiam di belakang pintu tertutup di kamar mandi pisau itu, sabun sengaja digeletakkan, sangat licin. Turun ke kamar lagi, dari bawah terdengar suara keras meminta.
Tak lama setelah itu, jam sudah hampir menelatkannya ke kampus, alarm berdenyut-denyut di telinganya. Dengan santai Dannis membaca buku, mengerti sepertinya. Dari atas Budi tergopoh-gopoh, hendak ke kamar mandi, tak tersadar, dan terjatuhlah, dengan pisau yang terhunus di dadanya. Mendengar sura berisik seperti itu, berjalan santai Dannis. Menutup pintu kamar mandi rapat-rapat. Menyalakan music sekeras-kerasnya, samapi tak terdengar suara apa-apa lagi dari dalam kamar mandi. Seperti tak ada apa-apa, berangakat, kuliah dan pulang seperti biasa. Sampai polisi ramai, mengahampiri kos, terhamapar, bunuh diri mahasisiwa. Dari sudut sempit, Nampak Surya, penuh dendam, menahan, dan tak terungkap.
Surya, mencari-cari celah. Tak percaya, Budiman bunuh diri. Dia sangat yakin ada seseorang yang sengaja membunuhnya, mata sudah sangat gelap, tak terpikirkan lagi rasa manusiawi. Akhir minggu, di saat semua terlelap pulang, hanya tinggal Badrun yang tertinggal dengan berbagai urusan. Terencana dan sudah dinanti, menghamipri Badrun yang tertidur dengan banyak kerepotannya di depan TV. Dengan bengisnya, dia membantai Badrun. Mencongkelkan semua apa yang mampu dicongkel, mencabik-cabikkan, mengantar nyawanya kembali pada kedamaian. Setelah melihat semua darah, merasa gila, tertawa, tak jelas. Berjalan, pergi, mengunjungi ibu Kos yang tak jauh dari tempat kos. Mengetuk, dan menghunuskan setelahnya, merobek-robekkan, membabi buta, tak terkendali, sangat keji. Melihat sudah selesai semua urusan, sedikit tersadar kan seperti apa akhir dari ini, dia menyayat nadinya sendiri, merasa semua sudah berakhir, hidup setelah ini sudah tak ada arti. Matilah keduanya, dengan darah yang tercecer, dengan merah di hati, membakar emosi, mendorong hasrat naluriah alami.
Dalam buku catatan Dannis tersimapan rapi, apa yang tak terungkap dan apa yang ditulisnya. Bukan ada pada siapa yang salah, mereka hanya dua titik hitam di atas kertas putih.
“Selama ini, diamku hanya sebagian dari apa yang terucap. Diam mereka yang menjawab semua diamku, apa yang aku pikirkan adalah apa yang mereka lakukan. Terima kasih, kebencianku hanya akan terungakap dengan kediamanku.”
…Selesai…
Komentar
Tulis komentar baru