Sudah lewat tengah malam. Aroma rusa guling bakar menyeruak hidungku. Air liurku menetes, demi menyaksikan Yeremias yang ligat membolak balik hasil buruan kami di atas api unggun. Kami sama-sama lapar berat, karena sudah hampir setengah hari-an berburu rusa di rimba Papua. Untung saja, Yeremias berhasil membidik seekor rusa malang yang sedang lengah.
Mata rusa itu mengerlip seperti lampu. Yeremias mengarahkan dengan hati-hati senapan laras panjang jenis Mauser kearah buruan. Ia tak ingin menimbulkan gaduh . Ah. Seekor rusa dewasa.
Aku menunggu di belakang dengan senter di tangan. Aku kurang mahir berburu. Tapi kalau temanku yang berkulit hitam nan bertubuh tegap ini, jangan ditanya. Berburu rusa adalah sumber hidupnya, sebagai orang asli Papua. Selain babi, tentunya.
Yeremias memberiku aba-aba untuk mengarahkan senter tepat kearah rusa itu. Mendadak rusa itu diam mematung, terpaku melihat sinar. Dalam hitungan detik, suara senapan meletus, memekakkan telinga.
Bidikan Yeremias yang jitu, berhasil melumpuhkan buruan kami seketika. Dengan cekatan Yeremias menyembelih dan membuang isi perutnya. Aku terkekeh-kekeh senang melihatnya. Akhirnya kami bisa makan malam.
Aku dan Yeremias pernah menjelajahi pegunungan Tamrau dan Arfak untuk berburu rusa. Namun, lokasi favorit kami masih di sepanjang pantai Kepala Burung. Sayang, kini semakin susah saja untuk menemukan rusa dewasa. Hewan itu kian langka. Banyak tangan yang tidak bertanggungjawab melakukan pembantaian besar-besaran di rimba Papua.
Yeremias menyobek rusa bakar dengan gigi geliginya yang putih. Demikian juga aku, yang sedari tadi melahap hasil buruan kami dengan rakusnya. Kujejali mulutku penuh-penuh. Walau tanpa bumbu, santapan ini terasa lezat sekali. Sampai-sampai, kujilat jari jemariku yang menyisakan aroma daging.
Daging rusa guling bakar yang tersisa disayat tipis dan dimasukkan ke dalam wadah kedap udara. Yeremias hendak memberikan buah tangan ini kepada dua saudaranya, Silvana, kakak perempuan, dan Edo, adik lelakinya. Mereka berdiam di teluk Bintuni yang memerlukan waktu tempuh sekitar 6 jam lagi dari tengah rimba ini.
Kupacu jeep Wilisku dengan kecepatan sedang. Rasa kantuk kadang menyergap, sehingga aku dan Yeremias harus bergantian mengemudi. Melihat fisikku yang sedemikian lelah, Yeremias memaksaku untuk tidur saja. Tapi aku tak sampai hati. Untuk menepis kantuk, kuajak ia ngobrol sekenanya.
‘ Sudah berapa lama kau tidak menjenguk mereka? ‘
‘ Hampir..setahun , mungkin. ‘ jawabnya tak bisa memastikan.
‘ Aku belum pernah bertemu mereka. Bagaimana kehidupan mereka di sana? ‘ tanyaku lagi.
‘ Ya.. seperti pada umumnya penduduk Bintuni, adikku Edo, bekerja sebagai penjual kepiting. Kalau kakakku, Silvana, punya kedai ikan bakar. ‘ tukasnya.
‘ Hebat! Aku suka perempuan mandiri. Sudah bersuami? ‘ pujiku sambil berseloroh.
‘ Hahaha..belum. Ya, aku bangga akan Silvana. Dia perempuan tangguh. Meski, hanya sebatas kedai kecil-kecilan saja. Sedangkan adikku, Edo, ah. Dia juga lelaki kecil yang kuat. ‘ seraut kebanggaan terpancar dari raut wajah Yeremias. Kentara sekali kalau ia sangat merindukan kedua saudaranya itu.
‘ Mengapa kau baru sekarang memutuskan untuk pulang? Menurutku kau terlalu sibuk dengan masalah OPM itu. ‘ ujarku.
Yeremias terdiam. Ia paling tak senang kalau perjuangannya diusik orang. Apalagi olehku, sebagai warga luar Papua.
‘ Kami ingin merdeka. Merdeka dari kebodohan dan kemiskinan. Bukan semata-mata untuk berpisah dengan Negara. Andaikan pertambangan itu tak mengisap daya hidup kami.. ‘ Sorot matanya selalu nyalang saat membicarakan tentang perjuangan.
‘ Apalagi aparat pemerintah yang bertugas di daerah kami bersikap sewenang-wenang. ‘ tukasnya, menambahkan.
‘ Oknum. ‘ ujarku, menyanggah. Tak semua aparat pemerintah berlaku demikian.
Langit Papua bersemburat merah lembayung bercahaya. Fajar telah merekah. Aku menggosok-gosok mataku yang pedih karena kurang tidur. Kasihan, Yeremias menyetir berjam-jam lamanya, membiarkan aku terlelap dengan pulasnya. Kami telah sampai di teluk Bintuni, dan tepatnya sudah berada di depan sebuah kedai. Tampaknya inilah kedai ikan bakar milik Silvana.
Yeremias dengan wajah bersinar-sinar memanggil nama kedua saudaranya. Tapi tak ada satu orang pun yang muncul dari balik kedai.
‘ Mungkin adikmu sedang berjualan kepiting, Yer. ‘ ujarku.
Yeremias menepuk dahinya, sambil berkata, ah. Tapi kemana Silvana, gerutunya.
Sesosok wanita hitam manis keluar dari balik kedai, menyambut kami dengan gamang. Yeremias terbelalak menatap perut wanita itu yang tampak membusung!
‘ Siapa yang melakukannya, Silvana ! ‘ Bentakan Yeremias menggelegar. Sontak kulihat amarah membakar sekujur tubuhnya. Matanya nyalang melotot merah.
Wanita yang bernama Silvana itu terduduk di para-para, menangis tergugu. Bahunya digoncang-goncang oleh Yeremias. Seketika aku merasa dalam situasi yang salah.
‘ Le..lelaki itu.. ia bilang mau mengawiniku..ta..tapi..ia pergi. ‘ Terbata-bata Silvana berusaha menjelaskan keadaannya.
‘ Pergi?! Pergi kemana? Siapa, lelaki itu?! ‘ desak Yeremias, siap untuk mencincang lelaki yang tega menghamili saudara perempuannya ini.
Silvana terdiam sambil masih terisak perlahan.
‘ Katakan Silvana!! Katakan sesuatu ! Siapa bajingan itu !? ‘ Bentaknya lagi.
Aku menahan napas, tenggorokanku tercekat.
Lantas, selang beberapa detik berlalu, Silvana berujar lirih.
‘ Lelaki itu..seorang aparat keamanan yang sedang bertugas di sini 6 bulan yang lalu.. Tapi aku sudah tak tahu sekarang dia berada dimana..‘
Yeremias terkesiap. Darahnya mendidih. Ia menoleh ke arahku.
‘ Kita menghadap kepala suku, sekarang. Ini artinya perang ! ‘ Suara Yeremias sambar menyambar bagai petir di telingaku. Aku menuju kemudi jeep sambil menggigil kengerian.
Written by Leil Fataya
Komentar
Tulis komentar baru