Lebaran kemarin, seperti juga lebaran-lebaran sebelumnya aku sekeluarga, suami dan dua anakku, menghabiskan dua malam dirumah orang tuaku, ayah dan ibu tiriku. Selain untuk mengunjungi ayahku dan bertemu dengan dua kakak dan satu adikku dengan keluarga mereka, niat terbesarku adalah mengajak kedua anakku menikmati tempat tempat bermain yang ada dikota ini setelah setahun penuh mereka hanya bermain di lapangan atau kali dan pematang pematang sawah.
Pada awalnya lebaran kali inipun berjalan biasa biasa saja seperti lebaran lebaran sebelumnnya. Anak anakku selalu kegirangan diberi hadiah mainan dan baju juga uang lebaran oleh paman paman dan bibi mereka. Anak anak saudaraku pun selalu menikmati cemilan kampung yang kubawa yang akhirnya bisa kubuat setelah sekian lama menjadi istri dari lelaki desa bersahaja. Seperti biasa, setelah sungkem dan acara bagi bagi hadiah aku dan suamiku mengajak anak anakku mengunjungi dan menikmati tempat tempat bermain selama sehari penuh, menghabiskan uang yang sengaja sebisaku kutabung untuk keperluan menyenangkan kedua anakku ini.
hari itu kami berempat sengaja pulang lebih malam dari biasanya karena anak keduaku ingin bermain sampai tempat bermain terakhir yang kami datangi tutup. Ibu tiriku yang membukakan pintu karena saudara saudaraku telah pergi melanjutkan acara lebaran, mengunjungi keluarga mertua mereka. Ibu tiriku tidak berkata apa apa dan kami pun segera masuk ke rumah.
Hampir tengah malam aku terbangun dan pergi ke kamar mandi untuk kencing. Di ruang tengah aku melihat ibuku duduk sendirian sambil melihat sebuah acara televisi. Entah dia memang belum ngantuk atau dia memang sengaja menungguku, dia tahu kebiasaanku bangun hampir tengah malam untuk kencing, dulu sebelum aku menikah aku juga tinggal bersamanya di rumah ini, karena saat dia melihatku dia tiba tiba berkata kepadaku “kapan suamimu jadi orang kaya Rasty, kakak kakakmu dan adikmu kalau kesini pake mobil sendiri, masak kalian kesini selalu pake kereta ekonomi”
Aku hanya terdiam, meneruskan ke kamar mandi dan segera kembali kekamar setelah selesai kencing. Aku tahu ibu tiriku agak kecewa padaku, mungkin juga sedikit benci. Dulu dia sempat menjodohkanku dengan anak koleganya yang sudah bekerja di perusahaan ternama dengan posisi dan gaji yang lumayan. Waktu itu aku tidak mengiyakan atau menolak karena kupikir aku masih ingin menikmati masa mudaku dan masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan. Dan setelah sembilan tahun aku menikah dengan lelaki pilihanku tiba tiba dia berkata seperti itu yang mau tak mau menyeret ingatanku pada awal awal pertemuanku dengan suamiku.
Saat itu aku dan Tomo (yang sekarang menjadi suamiku) bekerja di kantor yang sama. Tidak ada yang istimewa antara aku dan dia waktu itu. Aku melakukan pekerjaanku dan dia melakukan pekerjaannya. Hari ke hari selalu berjalan seperti itu, hingga hal terkutuk itu terjadi padaku. Malam itu sebagian pegawai belum pulang. Aku sedang mengeringkan rambutku ketika atasanku masuk ke kamarku yang belum sempat kukunci (waktu itu aku dan beberapa orang pegawai tinggal di mess perusahaan). Sebenarnya aku sudah memintanya untuk pergi, tapi dia bilang dia hanya ingin ngobrol sejenak karena jenuh setelah seharian bekerja. Sebagai bawahan aku tentu agak segan untuk terlalu memaksanya segera keluar kamarku. Awalnya kami mengobrol tentang pekerjaan sampai pada hal hal di seputar kehidupan lainnya. Mengobrol sambil asik mengeringkan rambut membuatku tak begitu menyadari saat dia sudah berdiri sangat dekat denganku, dan entah kenapa aku membiarkannya memegang tanganku. Singkatnya, dengan sedikit paksaan, malam itu dia memperoleh keinginannya dan aku kehilangan kebanggaanku sebagai wanita.
Walau bagaimanapun aku menyesali hal yang baru saja terjadi. Ditengah kegalauan dan isakanku Tomo mengetuk pintu kamarku, mungkin dia mendengar tangisanku saat melewati kamarku sepulangnya ke mess entah dari mana. Dengan isak tertahan kubuka pintu kamar dan mempersilakannya masuk. Sambil mencuri pandang kearah noda darah di sprei yang belum sempat kubenahi Tomo bertanya kenapa aku menangis. Dengan agak berat kuceritakan padanya apa yang baru saja menimpaku. Aku tidak menyetujui saran Tomo yang menganjurkan aku meminta tanggung jawab lelaki itu. Dia telah beristri dan aku tak mau menyakiti hati istrinya. Toh belum tentu juga aku hamil setelah kejadian tadi.
Sejak peristiwa malam itu aku dan Tomo sering melewatkan waktu bersama, ngobrol dan saling bertukar pikiran. Aku tidak begitu ingat kapan tepatnya rasa saling menyayangi dan saling membutuhkan itu hinggap di hati kami. Tetapi tiga bulan setelah malam itu dia menyatakan ingin menjadi kekasihku dan tentu aku segera mengiyakannya.
Waktu waktu pacaran itu membuatku semakin mengenalnya, semakin yakin akan ketulusannya. Setahun masa pacaran, Tomo datang kerumah orangtuaku menyampaikan keinginannya untuk memperistriku. Ibu tiruku terang terangan menunjukkan ketaksetujuannya karena memang dia telah menjodohkanku dengan anak teman sekolahnya dulu yang telah mapan itu, sedang Tomo hanyalah pegawai biasa, lelaki desa lulusan SMA . Tapi aku telah membuat keputusanku. Aku siap menghabiskan sisa hidupku bersama Tomo, bukan hanya karena aku mencintainya dan dia mencintaiku, tetapi karena aku yakin aku akan mampu hidup bersamanya berbagi bahagia dan derita, dan Tomo lah yang benar benar mengerti aku.
Akad nikah tidak dilakukan dirumah orangtuaku juga tidak dengan pesta besar tetapi dirumah orangtuanya di kampung dengan pesta ala kadarnya dan aku hanya didampingi ayahku sebagai wali nikahku.
Seminggu waktu cuti yang diberikan kantor sudah selesai. Kami kembali ke kota dan masuk kerja seperti biasa. Sebagai pasangan suami istri baru, waktu selepas kerja lebih banyak kami habiskan di rumah kontrakan, menikmati manisnya masa bulan madu. Tiga bulan setelah menikah kerikil pertama datang. Teror bom bunuh diri menghantui kota ini. Para teroris tidak hanya meruntuhkan gedung dan menghilangkan nyawa sekian manusia, tapi juga melenyapkan salah satu mimpiku untuk tetap tinggal dikota tempat kelahiranku. Perusahaan tempatku bekerja bangkrut karena partner partner bisnis di Amerika menghentikan pesanan mereka.
Hampir sebulan penuh aku dan suamiku menjadi dua orang pengangguran, tidak mudah memperoleh pekerjaan baru dalam situasi keamanan yang kacau seperti itu. Uang tabungan semakin menipis membuat suamiku memutuskan mengajakku pulang ke kampungnya dan menggarap tanah milik orangtuanya. Aku menyetujuinya karena tidak mungkin hidup dikota tanpa punya pekerjaan, dan juga tidak mungkin kami tinggal dirumah orangtuaku dan bergantung kepada mereka.
Malam itu, masih sambil teringat perjalanan rumahtanggaku aku tertidur memeluk si bungsu yang wajahnya masih terbalut senyum kegembiraan setelah menikmati aneka permainan seharian. Dalam tidurku aku bermimpi melihat anak pertama kami mengenakan toga di wisuda sarjananya. Tentu saja aku sangat bahagia, walaupun aku mendampingi suamiku sebagai petani, anakku bisa menjadi sarjana
Pagi sebelum aku dan keluargaku, suami dan dua anakku pulang ke kampung melanjutkan kehidupan, aku sengaja mendekati ibu tiriku sejenak, berbicara dengannya “ma, Rasty tidak pernah menyesal dengan pilihan Rasty. Rasty dan Tomo juga telah menyemai mimpi dan sedang berusaha mewujudkannya. Rasty mohon mama merestui Rasty dan Tomo ma”. Kutatap matanya yang sedikit berkaca, kukecup pipinya, dan kucium tangannya lalu berjalan ke arah becak yang telah siap mengantar kami ke stasiun kereta.
Rangkasbitung, 2013
Komentar
Tulis komentar baru