Sepasang mata
Terbuka kala fajar tiba
Surya mengintai di balik mega
Cahayanya siap menyerbu duniaSemakin tinggi ia
Semakin terik pula
Bumi mandi cahaya
Dahaga kian menerpaHari sengangar
Mawar tiada mekar
Bumi pun nanar
Seisinya mulai berkoarSeraya mereka bertanya
Seraya mereka berdo’a
“Di mana engkau wahai tirta?
Hujamkanlah butiran berkah-Nya”
Mungkin itulah yang terlukis saat ini. Terik matahari tiada henti menyengat bumi. Entah azab atau cobaan, yang jelas kemarau tahun ini amatlah menyusahkan.
Pernah terbesit di benakku atau sering kali aku menggerutu kala hujan menghujam bumi?
“Ah, kenapa hujan turun?”
“Sial, gara-gara hujan scheduleku berantakan!”
“Sial, gara-gara hujan terus banjir dah!”
Ya, perumahanku adalah daerah langganan banjir. Tercatat, pada Bulan Januari hingga April 2014 saja 13 kali rumahku terendam banjir. Bahkan paling tinggi mencapai 3 meter. Televisiku rusak, meja dan kursi pun hanyut entah kemana. Kemudian hujan yang aku salahkan, aku caci, aku maki, sehingga kala hujan turun hanya rasa benci di hati.
Tiada terasa, lima bulan sudah kemarau melanda. Kututup buku diaryku kemudian kunyalakan televisi. Tersiar berita bahwa di berbagai daerah, kekeringan mulai melanda. Banyak sawah gagal panen dan petani merugi.
Sejenak hatiku bertanya,
“Hingga kapan kemarau melanda?”
“Di manakah hujan?”
Lalu aku teringat akan cacianku terhadapnya. Aku merenung.
“Seharusnya bukan hujan yang kucaci. Seharusnya aku tidak berkata “sial” kepadanya karena hujan tidak berakal. Seharusnya aku berkata sial pada mereka yang memiliki akal namun urung menggunakan akal”.
Mereka yang membabat habis hutan-hutan, mendirikan bangunan di atas daerah resapan, atau mereka yang membuang sampah ke sungai. Ya, mereka itulah yang harusnya disalahkan. Kini baru kusadari bahwa hujan itu nikmat. Lalu aku teringat akan sebuah ayat
“La insyakartum laa adziidannakum, wa la inkafartum innaa ‘adzaabi lasyadiid”
Aku telah mengingkari nikmat Allah. Sembari menghela nafas aku beristighfar.
Mungkin kemarau kali ini adalah teguran dari Allah bagiku dan orang-orang sepertiku, agar aku dan mereka yang sepertiku selalu bersyukur atas rahmat yang telah diberikan. Lagi pula bumi kian menua, tiada lagi bisa teratur dalam cuaca. Siapa lagi kalau bukan ulah manusia?
Tiba-tiba aku tersentak.
“Astaga, sudah pukul 1 siang. Aku harus segera berangkat kerja” Kembali, akan kurasakan mandi cahaya bercampur bulir keringat serta sensasi dahaga di perjalanan.
Sebagai penutup renungan, aku berdo’a
“Astaghfirullaah. Ya Allah, jadikanlah aku hamba yang senantiasa bersyukur kepada-Mu”
“Maafkan aku Ya Allah dan maafkan aku, hujan”
Komentar
Tulis komentar baru