“Meskipun kita semua tahu Harun orang yang pandai, baik dan rajin beribadah, siapa tahu dia juga melakukan hal-hal yang dilarang. Seperti mencuri misalnya, atau malah pesugihan.”
Kata-kata Pak Jono memulai pembicaraan di pos ronda. Saat itu memang belum terlalu dingin, senja baru saja diselimuti malam. Kehangatan matahari sore masih terasa dalam kulit-kulit katak, pohon dan aspal di jalan masuk kampung. Apalagi di depan kami telah tersedia minuman-minuman hangat. Ada wedang ronde, teh dan kopi. Semua telah disediakan untuk para peronda.
“Ah masak, Pak Jon. Tapi bisa juga ya. Kan selama ini dia orang yang, amit-amit, miskin pak. Untuk sekolah saja dia harus mencari biaya sendiri. Orang tuanya kan sudah tua, jadi sudah tidak mungkin untuk mencarikan nafkah,” imbuh Paklek Sugeng, yang saat itu juga ikut meronda.
“Iya juga Paklek, kemarin waktu dia masih miskin, saya sering menjemput dia untuk berangkat ke sekolah bersama dengan naik motor saya. Sekarang bisa-bisa kebalik, Paklek. Malah saya nanti yang dijemput dengan mobil barunya itu,” akupun ikut bicara.
Mbah Slamet menyeruput kopi didepannya. Dahinya mengernyit dan segera ikut bicara, “Wah.. wah.. ini tidak bisa dibiarkan. Kalau dia benar-benar melakukan hal-hal yang dilarang, bisa tercemar nama kampung kita nanti.”
“Iya, Mbah. Kita harus cari tahu tentang semua ini,” Pak Joko menyetujui.
“Saya setuju. Bagaimana kalau saat ini juga kita kerumahnya. Mumpung belum terlalu malam,“ kata Paklek Sugeng yang juga sebagai ketua RT di kampungku.
***
Memang tak ada yang menyangka, mengapa Harun tiba-tiba menjadi orang kaya. Rumah bertingkat dengan tempat parkir dibawah tanah, mobil mewah, semua dibelinya. Perasaanku bercampur aduk. Sebagai teman sekolahnya, aku merasa bangga temanku tiba-tiba kaya, tapi jujur, aku juga merasa iri.
Malam itu juga, aku dan petugas penjaga ronda kampungku sepakat untuk pergi ke rumah Harun. Kebetulan sekarang malam minggu, jadi karena besok sekolah libur, mungkin Harun tidak keberatan untuk diajak berbincang-bincang.
Sampai di rumah Harun, kami langsung diterima ramah olehnya. Aku memperhatikan seisi rumah yang serba baru. Aku mencoba membayangkan keadaan Harun dua minggu yang lalu––ketika Harun masih tinggal dirumahnya yang lama, jauh berbeda dengan keadaan yang sekarang. Tak bisa dibayangkan, seorang Harun dengan kedua orang tuanya yang dulu tingal di rumah tua dengan sedikit pancaran matahari yang masuk ketika siang dan remangnya lampu ketika malam, sekarang berubah drastis. Semua itu berganti dengan rumah baru yang serba bersih dan peralatan yang hampir semuanya baru. Sungguh!
Setelah sedikit berbasa-basi, Lek Sugeng selaku ketua RT langsung membuka pembicaraan pokok yang menyebabkan kami datang ke rumah ini.
“Begini, Dik Harun. Maksud kami datang kemari sebenarnya kami itu heran dengan dengan keadaan Dik Harun yang tiba-tiba jadi orang berduit begini. Nah, dari pada timbul prasangka yang jelek-jelek, kami bermaksud menanyakan langsung kepada Dik Harun. Sebenarnya, dari mana sih Dik Harun mendapatkan ini semua? Jujur, kami semua merasa heran dengan keadaan dik harun kok tiba-tiba jadi kaya begini.”
“Iya, Run. Padahal kamu itu kan masih muda. Masih sama denganku. Sebenarnya, semua ini dapat dari mana?” tambahku penasaran.
Tampak olehku muka Harun yang tersenyum dan mulai menjawab dengan santai.
“Oh, begitu ya. Jadi maksud Lek Sugeng, Pak Joko, Mbah Slamet dan kamu Kim, datang ke mari didasari rasa heran, mengapa saya tiba-tiba jadi kaya begini. Oh, iya iya. Jadi begini ceritanya:
Kira-kira dua minggu yang lalu, saya kedatangan tamu dari negeri seberang. Setelah berbincang-bincang ternyata dia meminta saya mengisi sebuah acara pelatihan yang akan dilaksanakan di negerinya. Kalian tahu saya disuruh mengisi pelatihan apa? Pelatihan bagaimana cara menebang pohon dengan baik! Kata tamu itu, orang-orang di negerinya tidak ada yang tahu bagaimana cara menebang pohon dengan baik.” Sementara kami hanya mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya, Harun terus melanjutkan ceritanya.
“Mendengar ajakan itu, awalnya saya masih ragu-ragu. Bisa-bisanya tamu itu mengundang saya yang masih sekolah ini, masih muda lagi. Kan masih banyak orang yang lebih pintar, lebih berpengalaman. Lagipula saya masih tidak percaya orang-orang di negerinya masih belum tahu cara menebang pohon dengan baik! Tapi, dengan niat ingin membantu, saya iyakan saja ajakan itu. Lama saya memikirkan apa yang harus saya sampaikan dalam acara pelatihan itu. Saya khawatir kalau penjelasan saya tidak bermutu. Karena, selain orang-orang desa, acara itu juga dihadiri oleh orang-orang cendikiawan. Bahkan kata tamu yang menemuiku itu, acara ini juga dihadiri oleh para pejabat negerinya. Karena, hampir semua penduduk di negeri itu memang tidak tahu cara menebang pohon dengan baik!
Dua hari setelah kedatangannya yang pertama, tamu utusan itu datang lagi. ‘Mari mas. Sekarang kita berangkat ke bandara untuk kemudian langsung terbang menuju negeri kami,’ ajaknya. Kamipun berangkat.
Sampai di bandara, ternyata kami terbang dengan pesawat khusus, pesawat kecil pribadi!. Entah karena melihat aku heran atau mungkin takjub, utusan itu berkata ‘Mas akan lebih merasa enak menaiki ini. Nanti mas bisa melihat dengan jelas keindahan negeri kami.’”
“Haha.. Masak dia bilang begitu? Memang seperti apa negerinya? Paling tidak ada apa-apanya dibandingkan negeri kita,” aku menyela. Lucu sekali rasanya mendengar perkataan utusan itu.
“Santai, Kim. Waktu itu aku juga penasaran seperti apa negerinya. Sampai dia berani ingin menunjukkan keindahan negerinya padaku. Ya sudah, aku lanjutkan saja ceritanya, Kim. Kamu ikut mendengar saja dulu,” jawab Harun yang rupanya kurang suka ceritanya kusela.
“Perjalanan menuju negeri itu ternyata tidak lama. Dari kejauhan tampak sebuah daratan dengan garis-garis putih yang membatasinya dengan laut. ‘Nah, sekarang mas sudah mulai memasuki negeri kami,’ kata utusan itu pada saya. ‘Pak, terbangnya agak rendah ya,’ perintahnya kepada sang pilot. Setelah laju ketingian pesawat itu direndahkan, saya terpana, kagum. Benar-benar kagum. Saya melihat air laut yang bening. Saking beningnya, saya bisa menyaksikan ikan-ikan kecil sedang bermain-main di sela batu karang. Melaju terus, saya melihat kedangkalan air laut berakhir dengan garis pantai berpasir putih. Putih, putih sekali. Ingin rasanya berbaring di pasir itu sambil menciumi aroma kemurniannya. Lenggak-lenggok pohon kelapa disepanjang pantai, menambah elok pemandangan tempat itu. Ah, beruntung sekali rasanya saya bisa melihat tempat itu.
Sayang pemandangan menakjubkan di negeri itu tak bisa kunikmati lebih lama, karena tidak jauh dari pantai, perjalanan harus berhenti. Kata utusan yang membawa saya itu, disinilah pelatihan itu akan dilaksanakan. Padahal jauh dalam hati saya, terbendung keinginan yang kuat untuk terus melanjutkan perjalanan lebih ke dalam, terus ke dalam. Teruuuuuuus..., sampai saya bisa melihat lebatnya pohon hutan tropis, melihat banyak burung berwarna-warni yang akan menyapa, melihat gunung-gunung berapi yang gagah mematok bumi. Saya yakin itu semua ada dalam negeri itu!. ‘Pantainya saja sudah membuat orang kesemsem, bagaimana dengan isi dalamnya,’ pikir saya waktu itu.
Setelah saya sampai di tempat pelatihan itu dilaksanakan, tidak ada peristiwa menarik yang perlu saya ceritakan. Tapi yang perlu diketahui, seminar saya itu berlangsung hidmat. Semua orang memperhatikan. Entah mengapa orang-orang di negeri itu sangat antusias mendengarkan. Apa karena di negerinya memang tidak pernah ada pelatian semacam ini?
Setelah saya berkemas dan bersiap untuk pulang, saya ditemui sesepuh yang hadir dalam acara itu. ‘Mas, beribu terima kasih kami sampaikan untuk mas karena telah sudi datang ke negeri kami. Sebagai rasa terima kasih, ini ada sedikit kunyit sebagai persembahan dari kami,’ kata sesepuh itu seraya memberiku bungkusan yang katanya berisi kunyit.”
“Hahahahahaha....” semua tamu yang ada di rumah Harun tertawa terbahak-bahak, termasuk aku. “Apa gunanya kunyit?” pikirku.
“Coba bayangkan, jauh-jauh saya datang cuma dikasih kunyit. Wahh, bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya waktu itu; merasa tidak dihargai; disepelekan; dihina! Apa orang-orang di negeri itu tidak berpikir bagaimana susahnya saya mempersiapkan segalanya untuk kesuksesan acara itu. Gitu cuma dikasi kunyit! Apa orang-orang di negeri itu tidak tahu cara menghargai orang, atau memang negeri itu terlalu miskin untuk memberikan saya imbalan yang pantas? ‘Di negeri kami, tidak susah untuk mencari kunyit. Bahkan sering terbuang-buang. Sampai-sampai kami bosan negeri kami dimana-mana cuma ditumbuhi kunyit. Tapi, hanya di negeri kami kunyit melimpah. Mungkin di negeri-negeri lain akan susah untuk menemukannya,’ tambah sesepuh itu. Akupun hanya diam, dan tanpa menoleh sedikitpun kumasukkan hadiah itu ke dalam tas. Setelah kejadian itu saya pulang dengan hati panas, panas sekali, seakan jika orang di seluruh negeri itu mengumpulkan banyak air lautnya, kemudian disiram ke dada saya, itu semua tak akan membuat hati ini dingin.”
“Terus bagaimana cara kamu punya uang banyak kalau hanya dapat kunyit? Dapat dari mana semua kekayaan ini?” Lek Sugeng bertanya terheran dengan cerita Harun yang katanya hanya dikasi kunyit.
“Nah itu... Percaya atau tidak, setelah saya sampai di rumah iseng-iseng saya buka bungkusan yang katanya berisi kuyit itu. Ternyata, setelah saya buka, kunyit-kunyit yang diberikan sesepuh itu berubah menjadi emas. Emas, iya emas! Emas yang saya gunakan untuk membeli rumah, emas yang membuat saya kaya.”
“Emas katamu, Run?” aku bertanya penasaran.
“Iya emas, kunyit yang katanya melimpah negeri itu ternyata berubah menjadi emas!” jawab Harun.
“Wahhh..... Betapa melimpahnya ya negeri itu. Sampai-sampai sesuatu yang katanya-dibuang-buang itu, bisa berubah menjadi emas,” kataku dan tamu yang lainnya serempak.
Mendengar wajah kami meamcarkan kekaguman pada negeri itu, tiba-tiba muka Harun menegang dan berkata, “Masalahnya, Kim, bapak-bapak, apakah orang-orang di negeri itu tahu, kalau kunyit yang tumbuh di tanahnya bisa berubah menjadi emas?”
Yogyakarta, (Tanpa tanggal)
Untuk orang-orang bangsaku yang lupa bahwa “kita kaya”.
Komentar
Tulis komentar baru