“GIMANA tadi ngobrol ama Arifin. Asyik, ya, keliatannya ada sesuatu yang mengikat kalian saat berpandangan. Sekarang jujur saja, bagaimana perasaanmu pada Arifin?” tanya Gleztia menyerang Maysaroh yang sampai saat itu belum mengakui perasaannya sendiri.
“Gle, aku belum bisa menyebut aku suka sama Arifin, karena tirai itu masih belum tersibak. Siapa aku? Siapa dia? Semua masih tanya yang belum jelas kapan terjawab. Jadi, aku pengen kamu menghentikan pertanyaan hal itu. Pertanyaan itu mengisyaratkan kamu telah beralih pada prinsip cinta yang kita pegang selama ini. Santai aja! Biarkan waktu yang menjelaskan semua.” balas Maysaroh.
“Oh, ya? Oke…oke…!”
“Tapi, May…,” tiba-tiba Gleztia bersuara lagi memecah kebisuan mereka. “… dari raut wajahmu aku liat kamu memang suka ama Arifin.”
Maysaroh menatap Gleztia tanpa berkedip. Gleztia menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Hal itu membuat Maysaroh tersenyum.
“Kok, malah senyum? Apa ada yang lucu?”
“Setelah ngobrol ama Fathir tadi kamu jadi bawel, ya. Perubahan yang drastis. Cinta memang aneh! Tapi masih banyak aja yang suka ama cinta dan gak nolak kalau udah datang dan menyapa.” balas Maysaroh.
“Ih…, apaan sih kamu? Sok tau, deh. Kek udah pernah pacaran aja.”
“Lha, kamu sendiri?”
“Ya, justru ini yang pertama.”
“Trus, kalo yang pertama?”
“Ya…, gimana gitu?”
“Ya elah, norak tau. Nyantai aja, ntar malem baru dinikmati.”
“Kamu sendiri?”
“Tadi, dia memang nembak aku, tapi gak mungkin aku langsung terima. Apalagi dia anak baru.”
“Kami juga memang belum jadian dan dia juga belum nembak aku.” balas Gleztia. “Aku sih setuju ama prinsip kamu, soalnya aku pernah dengar sebuah paradigma di televisi, yang bilang semakin susah cowok ngedapatin cinta kita semakin mikir seribu kali dia untuk nyakiti kita.” kata Gleztia sambil ngentiin laju mobil di depan gang menuju rumah Maysaroh.
Gleztia memarkir mobilnya di tempat biasa dan mereka keluar dari mobil. Setelah basa basi ama pemilik bengkel itu, keduanya masuk ke gang.
“Assalmu ‘alaikum, Abah!” ucap Maysaroh pada abahnya ketika melihat abahnya duduk di depan rumah.
“Wa ‘alaikum salam!” balas abah dengan lesu, seakan memiliki beban berat katika ia menatap putri semata wayangnya. Nafasnya dihembuskannya dengan berat.
“Ada apa, Bah? Keliatannya lesu sekali. Abah gak kerja?”
“Tidak ada apa-apa, May. Abah hanya….”
“Abah dan karyawan yang lain di PHK, May.” Uminya membalas dengan wajah sedih. Ia tahu putrinya lebih senang dengan keterusterangan.
“Perusahaan tempat abah kamu gulung tikar dan seluruh karyawan di PHK tanpa sedikitpun pesangon selain upah dari apa yang telah mereka kerjakan.”
“Abah yang sabar, ya. Allah mungkin punya rencana lain. abah tidak perlu terlalu memikirkan biaya sekolah May, May bisa menulis lebih banyak lagi, kok, Bah.” balas Maysaroh. “Senyumlah, Bah!”
“Tidak apa-apa, kok, May. Abah ikhlas.” balas laki-laki tua itu menenangkan hati putrinya. Sementara di hatinya telah menetes air mata ketika mengingat putrinya sekarang telah kelas XII dan tidak berapa lama lagi akan butuh biaya banyak untuk menyelesaikan sekolahnya. Apa yang nanti bisa diperbuatnya?
“Bah, senyumlah!” kata Maysaroh mengerti jalan pikiran abahnya. “May masih punya tabungan, kok. Selama ini, May selalu menyisakan uang untuk ditabung.” kata May mengeluarkan buku tabungannya.
Laki-laki tua itu tersenyum menoleh buku tabungan putrinya. Segera ia meraih tubuh putrinya dan mendekapnya. Air matanya akhirnya menetes juga tanpa bisa dibendungnya lagi. Ia tak menyangka, putrinya telah sesiap itu menghadapi masa depannya.
“Abah masih bisa bantu umi kamu jualan, May.” Kata abahnya setelah dekapan mereka merenggang. “Usaha yang kamu rintis dengan bantuan Nak Gleztia banyak peminatnya. Kita bisa sama-sama ngusahain itu dan abah yang menyalurkannya. Biar umi kamu istirahat saja di rumah.”
“Ya, udah. Kalau gitu May masuk dulu, Bah.” kata Maysaroh. “Yuk, Gle!” ajak Maysaroh.
Di dalam, setelah keduanya makan, mereka mulai belajar dan Gleztia pun mengeluarkan laptopnya untuk dipakai Maysaroh menulis cerpennya.
***
ARIFIN melangkah memasuki ruang OSIS, di situ sudah banyak yang hadir mengikuti rapat OSIS dengan agenda membahas beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan dalam rangka menjelang Ulang Tahun Perguruan Nusa Bangsa.
Ketika melihat Maysaroh dan Gleztia juga ada dalam ruangan itu, Arifin segera mendekat dan duduk di bangku kosong yang ada di samping Maysaroh. Sementara Fathir pun memilih duduk di bangku kosong samping Gleztia. Sejenak pasangan mata segera menoleh pada mereka dan menatapnya dengan sinis. Terlebih Dewangga yang telah ditolak oleh Maysaroh ketika ia mencoba memisahkan Maysaroh dan Gleztia. Kebenciannya pada Gleztia semakin besar. Sementara keempatnya santai saja, malahan mereka sempat bercanda ketika rapat OSIS belum dimulai.
Setelah Kepala Sekolah, Pembina OSIS, dan Pemimpin Yayasan hadir, ketua OSIS segera membuka acara dan selanjurnya mempersilakan kepada Kepala Sekolah dan Pemimpin Yayasan memberikan sambutannya secara bergantian. Setelah kata sambutan itu selesai, ketua OSIS segera masuk kepada acara dengan agenda persiapan HUT Perguruan Nusa Bangsa dan melemparkan solusinya kepada seluruh peserta rapat.
Dewangga segera memberikan instruksi dan mengusulkan kepada ketua OSIS untuk mengadakan berbagai perlombaan olahraga, karena hal ini merupakan alternatif yang selalu dijadikan sebagai penyambutan kegiatan rutin di setiap tahunnya, baik itu menjelang perayaan Hari Kemerdekaan, jelang pembagian raport, dan jelang bulan bahasa. Dengan alasan itu segera seluruh peserta menyetujui usul tersebut.
“Bagaimana dengan Kak Arifin, apa ada usul?” tawar ketua OSIS yang cukup dekat dengan Arifin.
“Sedikit, saudara ketua, mengingat visi dan misi yayasan kita ini yang cukup bagus, yakni Membentuk manusia yang kreatif, memiliki daya saing, berilmu dan mandiri maka sejalan dengan visi dan misi ini, bagaimana kalau kita mengadakan perlombaan seni dan sastra, karena mengingat waktunya yang juga tidak terlalu kepepet. Di sini kita bentuk panitia penyeleksi karya yang original dengan cara yang dirahasiakan dan kita bentuk panitia perlombaan. Panitia tidak diizinkan mengikuti perlobaan, tapi terbuka untuk seluruh siswa dan siswi.”
“Bagaimana programnya, Kak? Apa bisa dijelaskan sedikit?”
“Begini, mengingat olahraga kemungkinannya tidak semua yang meminati atau boleh dikatakan kegiatannya hanya pada siang hari saja, ini agaknya akan menjadi ajang yang kompeten, bagi siapa saja yang berminat boleh memasukkan karya originalnya ke redaksi yang mungkin bisa ditangani oleh saudari Maysaroh dan saudari Gleztia. Bagi siswa dan siswi yang mengikuti kegiatan olahraga tidak menutup kemungkinan menyalurkan bakatnya di dunia seni juga. Mereka masih bisa memasukkan hasil karyanya yang berupa puisi, cerpen, dan karya tulis lainnya. Baik yang baru diciptakan maupun yang sudah lama. Sepuluh pemenang karya puisi dan sepuluh karya cerpen bisa kita komersialkan. Kebetulan saya dan saudari Maysaroh aktif di sebuah milis kepenulisan yang sedang merintis pendirian sebuah percetakan.”
“Kedengarannya ini ada muatan bisnisnya.” sela Dewangga. “Kita berharap, di sini tidak dijadikan lahan bisnis.” lanjut Dewangga.
“Oh, maaf! Jika ini kedengarannya bermuatan bisnis apalagi menyangkut milis kepenulisan yang kami rintis. Tapi jika hal yang sama ditawarkan pada percetakan lainpun tidak masalah. Saya secara pribadi hanya ingin memberi penghargaan yang setinggi-tingginya atas apa yang nantinya diusahakan dan diciptakan oleh saudara-saudara kita.” jelas Arifin.
“Oke, kalau sudah begitu baru bisa diterima dengan baik oleh seluruh peserta. Jangan ada kiranya setiap program di sekolah kita ini diadakan dengan memberikan keuntungan untuk pihak-pihak tertentu. Saya juga setuju dengan usul saudara Arifin, karena dengan perlombaan ini, kita membuka peluang tumbuhnya bibit baru di khazanah kesusastraan Indonesia kelak.” sambut Dewangga. “Namun satu hal kiranya yang menjadi pengganjal pikiran saya. Bagaimana kalau kepanitiaannya kita sesuaikan dengan dan mengacu pada konsep ikrar pengarang di Indonesia.”
Arifin segera menangkap nada ketidaksukaan Dewangga pada Gleztia karena ia tahu benar, ikrar pengarang Indonesia itu berhaluan Pancasila dan UUD 1945. Secara tidak langsung Dewangga telah menafsirkan Gleztia adalah seorang komunis. Hal yang sama telah dipahami oleh Maysaroh. Maysaroh mengingat bagaimana sejarah persiteruan antara LEKRA yang berhaluan komunis perang urat saraf dengan Manifes Kebudayaan yang berhaluan Pancasila merebut simpatik Presiden Soekarno yang pada akhirnya Manifes Kebudayaan dibubarkan.
“Sejenak saudara ketua!” Maysaroh buka bicara. “Agaknya saudara Dewangga telah mencampur adukkan urusan pribadi di sini. Jelas maksudnya tadi telah menyatakan saudari Gleztia sebagai komunis yang anti Pancasila dan UUD 1945. Saudara salah. Dia memang berpaham atheis yang diwariskan orang tuanya. Dia berpaham atheis karena juga orangtuanya atheis. Tapi, perlu saudara garis bawahi, paham atheis yang dianut oleh saudari kita ini tidak sama dengan atheisnya komunis tahun 1965 yang hampir merongrong keutuhan NKRI.”
“Bagaimana bisa, saudari seyakin itu? Saudari tersebut tidak memiliki agama, lho. Sementara Pancasila pada sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menghendaki setiap warga negara memiliki agama. Apa itu bukan anti Pancasila, namanya? Pada sila pertama saja sudah terdapat pengingkaran. Lantas bagaimana dengan empat sila lainnya. Patut diragukan, agaknya!” tantang Dewangga dengan sedikit senyum, senyum sinis.
Maysaroh merasa tersudut mendengar perkataan Dewangga. Ia terdiam dan tak mampu menatap wajah Dewangga. Melihat hal itu Dewangga malah semakin bangga. Diedarkan pandangannya kepada seluruh peserta rapat dan kelihatan mendukung apa yang baru diuraikannya. Perasaan bangganya semakin besar ketika ia menoleh pada Kepala Sekolah dan Ketua Yayasan yang mengangguk-angguk dengan apa yang baru diuraikannya.
“Saudara ini lucu.” kata Arifin tiba-tiba dengan tertawa kegelian mendengar uraian Dewangga. Puluhan mata tertuju padanya. Begitu juga dengan kepala sekolah dan ketua yayasan yang disertai kernyitan dahi di keningnya.
“Apa maksud saudara? Apanya yang lucu?” tanya Dewangga dengan geram.
“Ya, yang lucu itu ya, argumen saudara itu. Coba saudara resapi apa yang baru saudara uraikan itu! Muatan apa kira-kira dari apa yang saudara uraikan tadi? Muatan Pancasilais, bukan? Tapi coba resapi secara subjektif! Kalau saudara meresapi secara objektif, tanggapan saya memang saudara seorang nasionalis yang Pancasilais, bahkan menurut banyak orang di ruangan ini mungkin sangat… sangat nasionalis. Bahkan Pak kepala sekolah dan ketua yayasan juga mungkin ikut dengan uraian Anda, tapi jika secara subjektif tidak dengan saya. Pikiran seperti itu bagi saya malah amat picik, kolot dan terbelakang.” vonis Arifin.
“Sebenarnya Anda berada di pihak mana? Pancasila atau komunis?”
“Ha…ha…ha…, pertanyaan Anda malah meragukan saya, Anda yang komunis atau saudari Gleztia, sih?” balas Arifin.
“Arifin, jangan bermain-main?” tegor kepala sekolah.
“Ah, maaf, Pak!” balas Arifin. “Izinkan saya uraikan sedikit lagi, biar pandangan yang selama ini beredar di tengah-tengah kita sedikit jelas. Memang masalah ini kedengarannya sepele, tapi selama ini kita tidak menyadarinya, bahwa selama ini hati seseorang telah kita jajah secara dzalim. Apakah ini yang dikatakan beragama? Saya rasa tidak.” terang Arifin. “Saudara Dewangga, selama ini saudara telah menganut agama, tapi coba resapi dan sadari, apakah saudara telah beragama secara khaffah, secara totalitas dengan menujukkan sikap seorang yang beragama. Lantas bagaimana sebenarnya sikap orang yang beragama ketika melihat ada orang di sekelilingnya belum menganut agama? Kenapa Anda tidak mengajaknya beragama? Mengapa Anda tidak mengajaknya memilih Islam? Buankah Islam itu cukup solidaritas kepada perbedaan? Lantas yang Anda tunjukkan itu, dengan mengucilkan dan menyisihkannya dalam pergaulan, apakah namanya orang yang beragama? Seharusnya Anda menggandeng tangannya, berada di sampingnya dengan sedikit demi sedikit mengenalkan konsep agama padanya. Tapi Anda merasa seorang yang Pancasilais namun pada pengamalannya nol besarkan? Apa sikap Anda selama ini mencerminkan sikap seorang yang berhaluan Pancasilais? Tidak menghargai perbedaan dan pilihan orang lain…,”
“Seharusnya Anda telusuri kembali butir-butir yang terkandung dalam sila pertama Pancasila itu, baru Anda bicara!”
“Nah Anda malah tambah lucu. Saya mengerti ke arah mana maksud pembicaraan Anda. Tidak boleh menyiarkan agama… tapi harus Anda tuntaskan point itu … kepada orang yang telah beragama. Sayangnya, Anda memeluk Islam tidak secara khaffah, tidak secara totalitas. Agama yang Anda anut itu agama keturunan yang hanya kebetulan saja Anda lahir dari orang tua yang menganut agama Islam, muslim. Bagaimana kalau Anda berada di posisinya? Terlahir dari orang tua yang berfaham atheis.”
“Apa maksud Anda?” tanya Dewangga naik pitam, tapi ia mencoba menahan emosi karena kepala sekolah dan ketua yayasan masih berada di ruangan rapat itu.
“Singkatnya…,” Maysaroh berdiri dari duduknya. “… Anda lah yang tidak memiliki jiwa Pancasila itu. Bagi Anda, agama hanya simbol dan pelengkap penderita untuk menyatakan sikap Pancasilais Anda, sementara pengamalannya sama sekali tidak ada, nol besar. Begitu juga dengan saudara-saudara yang lain, yang selama ini mengucilkan saudari Gleztia dari pergaulan di sekolah ini.”
“Maaf…,” sambung Arifin. “… sepertinya acara kita telah menyimpang dari tujuan semula. Kami hanya ingin membantah pernyataan saudara Dewangga dan saya berharap hal-hal yang berbau SARA tidak lagi terlontar dari tengah-tengah kita karena bukan dengan cara begini kita menunjukkan sikap nasionalis kita.” sambung Arifin. “Baiklah, saudara ketua OSIS, sepertinya rapat sudah bisa kita lanjutkan kembali.” Arifin menyerahkan kembali acara pada ketua OSIS sebagai pemimpin rapat.
“Baiklah saudara-saudari sekalian, dua wacana telah kami terima dan wacana ini kami kembalikan kepada kita semua, terlebih pada saudara yang memberikan usulan tadi untuk menanggungjawabi dan mengkoordinir kegiatan tersebut dan segera membentuk panitia kegiatan dan minggu depan sudah bisa diterima oleh sekretariat OSIS. Sepertinya rapat kita sampai di sini dulu dan apabila ada wacana baru yang diajukan ke sekretariat akan segera kita bicarakan lagi.” kata Ketua OSIS mengakhiri rapat.
Semua peserta rapat akhirnya bangkit meninggalkan ruangan OSIS satu persatu, begitu juga dengan kepala sekolah dan ketua yayasan. Namun Maysaroh dengan tiga temannya masih duduk sambil ngobrol. Begitu juga dengan ketua OSIS dan perangkatnya.
“Kak Arifin, uraikan kakak tadi sepertinya benar-benar menampar pipi si Dewangga itu. Aku sempat liat, bagaimana emosinya dia menatap kakak. Mungkin kalau pak kepala sekolah dan ketua yayasan tadi tidak ada, mungkin dia langsung mendatangi kakak.” ketua OSIS membuka pembicaraan. “Kakak hati-hati dengannya, ya, dia sering berbuat onar di sekolah ini, dia selalu sok berkuasa di sekolah ini, entah apa yang dibanggakannya.” ungkap ketua OSIS.
“Gak papa. Biasa aja. Asal gak main keroyok, aku gak takut sama dia, malah itu yang aku nanti. Aku hanya gak mau mulai perkara, tapi kalau dia mau mulai, aku ladeni. Aku tau orang kek dia itu nyalinya kecil.” balas Arifin.
“Ya, udah kalo gitu. Tapi kalo ada apa-apa, kasih tau juga aku, Kak. Aku juga udah selera ngebogem dia, mentang dia mantan ketua OSIS di sini, dia malah ngatur-ngatur program yang kami buat.” cerita ketua OSIS. “Kak Gleztia, kakak gak usah dengerin omongannya. Masih banyak, kok, yang masih mau temenan ama kakak.”
“Ya, biasalah, dia kan dendam karena ditolak oleh May karena aku.”
“Justru itu, jadi laki-laki gak gentlemen banget. Aku sangat setuju kalau Kak May nolak dia. Tampang sih oke tapi pikirannya sempit, picik dan kolot. Dia fikir, dia bisa hidup dengan ngandalin pandangan-pandangan picik kek gitu? Jangan harap!”
“Sepertinya kamu gak suka banget sama dia?”
“Ya, iyalah, Kak. Sejak SMP dia selalu sok berkuasa. Mentang bokap kaya.”
“Jangan emosi gitu, dong! Sebagai pemimpin kamu mesti bisa jaga emosi kamu. Gak baik, lho, kalau cuman ngandalin emosi, sering-sering istighfar.” kata Maysaroh sambil mengulas senyum pada ketua OSIS itu. “Eh, kita cabut dulu, ya. Soal panitia seni itu segera nyusul.”
“Ok, Kak. Kita keluar bareng aja. Kami harap kalian bisa bekerja sama dengan OSIS, soalnya kalian yang bisa kami andalin soal seni dan ini bakal jadi penerus kalian di tahun-tahun mendatang. Apalagi kalian udah kelas XII dan entar lagi selesai.” balas ketua OSIS sambil menyalami seniornya satu persatu. Selanjutnya mereka keluar dari ruangan OSIS tersebut.
***
MAYSAROH dan Gleztia berjalan ke areal parkir setelah keluar dari ruangan OSIS tadi. Begitu juga dengan Arifin dan Fathir yang tidak bicara sedikitpun saat rapat OSIS tadi. Hampir pukul 15.00 WIB dan keduanya segera masuk ke dalam mobil Gleztia setalah basa basi dengan Arifin dan Fathir. Mobil Gleztia akhirnya meninggalkan areal parkir sekolah yang sudah sepi dan masuk ke badan jalan.
“May…,” kata Gleztia seketika ketika Maysaroh sedang asyik menikmati perjalanan mereka. “…sepertinya Arifin benar-benar mencintai kamu, soalnya setengah dari janjinya udah ia buktiin dan aku gak nyangka kalau ia senekat itu untuk nantang Dewangga.”
“Aku malah curiga, Gle.”
“Lho, kok curiga? Curiga apa?”
“Aku pikir, Arifin gak tulus sama aku. Malah feeling aku dia naksir sama kamu.”
“Maksudnya?”
“Ya, dia ngelakuin ini semua buat narik simpati kamu dan saatnya nanti dia nge-dor kamu.” balas Maysaroh, kali ini sambil mengintip ekspresi wajah Gleztia dengan ekor matanya.
“Trus, kamu?”
“Kalau ama aku nyantai aja kali. Lagian aku malah senang. Soalnya aku gak pengen secepat ini pacaran dan dalam Islam itu gak ada istilah pacaran yang ada malah munakahat.” jelas Maysaroh.
“Munakahat? Apaan lagi tuh?” tanya Gleztia.
“Munakahat itu sama ama pernikahan dan dalam Islam lebih baik pacaran setelah munakahat karena lebih asyik dan gak perlu batasan asal gak di depan umum dan gak ada dosanya. Malahan itu suatu kewajiban bagi suami istri, saling memberi dan melengkapi.”
“Ya, udah.”
“Udah apaan?”
“Menikah saja?”
“Ama?”
“Siapa lagi kalau bukan Arifin?”
“Enak aja. Kamu aja kali yang menikah. Aku mah masih mau berkarya sebebas-bebasnya. Lagian kayaknya Arifin hanya pengen narik simpati kamu.”
“Hmmm…, kamu. Ntar beneran aku ambil baru tau rasa kamu.” balas Gleztia sambil menoleh pada Maysaroh yang senyum-senyum. “Eh, ternyata kamu lagi menggoda aku, ya. Dasar kamu! Orang serius ngomong.”
“Trus, kamu benar-benar suka sama Fathir? Sebesar apa, sih, impian kamu ke dia.”
“Jujur, aku sih suka ama dia. Orangnya gak kalah baik dari Arifin. Kalau impian, sih, kayaknya terlalu cepat ngomong ke arah sana. Aku pengen jalanin aja dulu yang keliatan.”
“Tapi, soal Arifin, ya, kalau dia memang baik, sepatutnya kita gak ngecewain dia. Aku bersyukur banget, Gle, karena kamu aku terhindar dari kepicikan si Dewa itu. Aku gak bisa bayangin gimana kalau kamu gak ada, pasti aku udah terjebak dengan kebaikannya. Gak nyangka dia kek gitu.”
“Ya, sebagai cewek jangan kelewat lugu, May. Garang dikit. Meski pake jilbab, orang gak nganggap kita lemah. Jilbab yang kamu pake bukan simbol orang lemah, tapi pelambang kamu itu orang yang kokoh dalam segala hal.”
“Gle, entah dengan apa aku bisa ngebalas semua kebaikan kamu. Kehadiran kamu udah membuat aku jadi diriku sendiri. Andai kamu minta aku balas dengan nyawa sekalipun, sepertinya aku gak bakal nolak.”
“Emang aku sepicik itu, apa? Gak lah. Kita udah lama bersahabat, May. Bagi aku, kamu juga sangat berarti, bukan hanya sebatas apa yang kadang aku berikan yang sebenarnya belum apa-apa dibanding ketika kamu nyelamatin aku dari kematian. Jadi, kamu jangan selalu ngomong gitu. Anggap saja semua ini adalah bentuk persahabatan kita yang akan kita jaga sampai nanti. Terus terang, aku gak pengen kamu ngulangi kalimat seperti tadi lagi.”
“Sory, deh.” Balas Maysaroh sambil membuka pintu mobil dan keluar. Gleztia juga ikut turun.
Saat bersamaan Arifin dan Fathir pun menghampiri mereka di depan bengkel itu.
“May, boleh gak kita main ke rumah kamu?” tanya Arifin.
“Iya, nih, May. Pulang juga gak ada kerjaan.” sambung Fathir.
“Eh, kebetulan dong. Boleh…boleh.” sambut Gleztia tanpa minta persetujuan Maysaroh. “Abah ama Umi baik banget, kok. Sekalian ntar kita bicarakan soal kepanitiaan perlombaan seni yang bakal dibentuk.”
“Tapi…, jangan kaget ya, liat gubuk kami!” kata Maysaroh sedih.
“Kok sesedih itu, May. Emang kami orangnya kek Dewa, apa? Santai aja! Seperti apapun keadaan kamu, yang pasti kita tetap mau kok jadi teman kamu.” jawab Fathir. “Apalagi Arifin, ku cintai kau apa adanya.”
“Ce… ileeeee…, yang lagi kasmaran!” goda Gleztia.
Wajah Maysaroh segera bersemu merah mendengar godaan Fathir dan Gleztia. Ia merapat pada Gleztia dan segera menggamit lengan Gleztia dan….
“Aw…, sakit tau.”
“Biarin!” gerutu Maysaroh.
***
Komentar
Tulis komentar baru