Di telaga pelangi yang dihimpit megahnya istal langit, tempat para bidadari melepas sayapnya tuk menanggalkan sisa luruh nafas yang tercengang, dari sana lah aku berasal. Dari para bidadari itu aku banyak mendengar cerita-cerita dan kisah hidup di dunia, bahkan seringkali aku mendengar cerita yang tak sempat ku lihat dalam mimpi burukku dan juga tak sempat hadir dalam ketakutanku. “Tak mungkin ada hal sebegitu menakutkan seperti ini,” pikirku. Karena keraguanku itu mereka pun mengajakku tuk terbang menelusur bayang-bayang jurang arang. Melintas lah kami di atas kota Abadi, ku lihat begitu banyak setan yang berjalan beriringan bersama langkah para pemuka agama yang terus membabi buta melawan hukum alam, padahal tlah begitu lama kami berperang melawan setan terkutuk itu, tapi kini mereka malah menjadi sahabat karibnya. Anak-anak monyet itu terlihat memegang gunting dan jam besar di tangannya, entah apa yang dipikirkan anak monyet itu, mungkin mereka menyangka dapat memangkas sang waktu. Semakin lama, semakin kesal saja aku melihat celoteh anak-anak monyet terkutk itu, lalu aku pun turun dan bertanya kepada mereka, “apa yang kalian lakukan wahai musuh pengetahuan?”. Anak monyet menjawab, “kami tengah mengejar impian,” lalu aku pun tersenyum benci dan berkata kepada mereka, “apakah ada sebuah impian yang tercapai setelah engkau mencoba lari dari sang waktu, tempat di mana impian itu bersemayam?”. Mereka menjawab, “lantas apakah kami harus pasrah dengan derita yang mendera setiap detak jam di tangan kami ini?” aku berkata, “lalu apakah yang kalian lakukan dapat mengobati semua pedih itu? Tidak!!!”. Lalu anak-anak monyet itu berjalan meninggalkan kami di persimpangan kota, dan kembali menuju tempat asalnya sambil terus mengacung-acung gunting dan jam itu dengan kaki mereka. Para bidadari pun membawaku pulang ke rumah sambil terus bersenandung memenuhi angkasa dengan kata-kata mereka yang menggetarkan langit, “mengalirlah bagai air kehidupan, karena sungai ini akan membawamu ke air terjun, mengajakmu ke lautan lepas, menurunkanmu bersama rintik hujan, sejenak bermalam bersama embun, dan membawamu kembali ke sungai tadi”. Lalu aku kembali ke rumahku di kaki langit megah ini, dan aku berkata kepada jiwaku, “betapa indahnya sang waktu untuk dinikmati, dalam setiap bahagia yang memenuhi perutmu, dalam setiap pedih yang menikam ubun-ubunmu, dalam setiap helaan nafas yang kau buang untuk merasakan kerinduan ini, entah apa yang dilakukan para anak monyet terkutuk itu?!!?”
My Creation, Ridwan (daeryu)
- Bandung, Senin, 15, Juni, 2009
Komentar
Tulis komentar baru