Tumbal Imajinasi
Bait-bait nyanyian serangga mengalun di tengah malam yang begitu pekat. Sunyi senyap terpecah oleh hiruk-pikuk bahasa alam yang mulai keluar dari mulut-mulut kesunyian.
Jiwa yang letih kembali mengingat kekeliruan yang berkali-kali datang seperti terkatung-katung di atas langit, sebagai bintang-bintang tak bercahaya, namun noda-noda hitam menyelubungi kerajaan yang semakin lemah tak berdaya.
Ikram melihat ke atas menatap awan-awan yang berarak melewati kepalanya. Sambil duduk dan memainkan batu-batu kerikil di tangan dan melemparkannya ke hamparan sawah yang membentang luas.
Tiba-tiba dari belakang terasa telapak tangan menempel di pundaknya. Benar, itu adalah telapak tangan seseorang yang sangat dikenalnya. Sekalipun tanpa melihat Ia sudah mengenalnya. Sentuhan telapak tangan itu cukup sebagai penanda.
“Apa yang sedang kau lakukan Sobat? Mengapa kau duduk di tempat sepi begini?” Sosok itu menepuk-nepuk pundak Ikram yang saat itu belum juga menoleh ke belakang.
“Saat ini aku hidup dalam bayang-bayang kehancuran. Aku tak mampu melukiskan suasana hatiku. Jika aku sedih cukuplah hanya sedih, tak lebih dari itu. Adakah sepenggal kata yang mengganti kata sedih? Aku seperti hidup dalam prosa yang diatur menurut kebebasan inspirasi pengarangnya.”
“Aku mengerti maksudmu Ram. Tetapi, jangan kau larut dalam dongeng kesedihanmu itu. Ubahlah suasana hatimu menjadi bahagia, meskipun kau pura-pura bahagia.”
Sosok itu berusaha menenangkan hati Ikram. Ikram pun terdiam sesaat kemudian kembali berbicara.
“Bagiku saat ini kau seperti pujangga yang kehabisan kata untuk merangkum gejolak hidupku. Nasihat-nasihatmu tidak lagi menyentuh jiwaku. Dahulu kau memang banyak menciptakan puisi agung yang menggetarkan nadiku dan bersedia memutuskan aliran darah setiap orang yang mendengarnya. Tetapi sekarang kurasa tidak. Maafkan aku!”
Suasana menjadi hening. Daun-daun berjatuhan menimpa tubuh Ikram. Namun ia seakan tidak peduli dengan semua itu.
“Sudahlah Ram. Jangan terlalu larut. Itu akan menjadi beban berat bagimu jika terus kau pikirkan.”
“Memang saat ini tak ada yang mengerti perasaanku. Hanya Tuhan yang maha tahu bisik-bisik dalam jiwaku. Segalanya membisu terpaku dalam dongeng-dongeng kelabu, menyerupai peristiwa tragis, bengis, dan kasar. Aku tak pernah hidup kecuali bersama kekecewaan. Duniaku sempit. Tak ada hasrat lain, kecuali berontak dalam jiwa.”
“Jangan merasa paling menderita, Ram. Semua orang pernah merasakan apa yang kau rasakan. Mungkin kadar dan bentuknya aja yang berbeda. Ada yang sedih karena kehilangan sesuatu yang dicintai, ada yang sedih karena…..”
“Cukup! Aku sudah mengerti semua itu dan aku pernah mengalami semuanya. Sekarang semua itu sudah menjadi hal yang biasa. Tetapi untuk yang satu ini………Ah, aku tidak ingin kau tahu. Sudahlah!”
“Jujurlah Ram, mungkin aku bisa mencari jalan keluar dari masalahmu ini.”
“Kau, kau menginginkan kejujuranku. Memangnya selama ini aku pernah berbohong padamu?”
“Jangan begitu Sobat. Tesenyumlah! Agar duniamu menjadi tenang.”
“Apa arti sebuah senyum yang mengembang dan merekah namun hanya sebagai tameng hati yang berulang kali mengatakan tidak. Apa arti sebuah kata yang tidak terbungkus dengan kejujuran dan ketulusan. Namun hanya omong kosong yang tidak pernah bisa dipercaya. Hidup ini memang penuh dengan kepura-puraan. Pura-pura jujur, pura-pura baik, bahkan ada yang pura-pura hidup padahal sudah mati.”
“Apa yang kau katakan itu Sobat?”
“Tidak. Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya berpura-pura berkata. Karena aku sendiri adalah pelakon kepura-puraan di dunia ini. Aku adalah tumbal imajinasi penyair-penyair kolokan dari inspirasinya yang tak tertata rapi. Namun pergi. Pergi ke ujung abstraksiannya yang semakin mengecil, menjauh ke dasar ilusi yang tak pernah bisa tersentuh oleh tangan-tangan kerinduan.”
“Oh sunyi, betapa kau tak pernah tau apa yang terjadi, yang tersembunyi di balik sanubariku yang rapuh ini…….”
“Suatu keindahan yang sulit kulupakan, menyatu dalam hatiku, dalam sudut-sudut ruang kerinduanku yang semakin membara. Merupakan tempat ruh-ruh yang menyatakan diri sebagai rahasia-rahasia kehidupanku. Sebagai rasa cinta yang berkobar sepanjang waktu. Namun bagiku tak ada rahasia yang akan tersembunyi selamanya. Pada akhirnya akan menjadi kenyataan dalam lembaran-lembaran hari yang terbagi dalam detik demi detik. Menjadi potret kehidupan yang terbagi ke dalam lembaran hitam atau putih.”
Kini kusimpan segala hasrat untuk memiliki. Ku tahan semua kepedihan yang ku derita. Kusembumyikan seluruh rasa yang menyiksa. Ku pendam setiap rindu yang bergelora. Hingga ku pejamkan mata yang terasa perih dan akhirnya gelap gulita. Ku tak melihat siapa. Ku tahan semua. Ku tahan. Hancur hatiku. Berkeping jiwaku. Hingga ku tak bisa memilih, hidup ataukah mati.
Dan satu lagi kau tak pernah mengerti Sobat. Mmenatap hanya sekedar menatap. Mendengar hanya sekedar mendengar. Tetapi tak mendengar desahan nafasku yang semakin mendekat, dekati sebuah hembusan. Mungkinkah hembusan angina, ataukah hembusan untuk yang terakhir kalinya? Tidak! Tetapi hembusan sebait lagu rindu yang tak bernyawa. Di mana langit dan bumi terhalang oleh atmosfer kah? Tinggallah aku dalam cerita yang berlatar pada masa yang rapuh, pada gerakan waktu yang semakin jenuh…..
Mengapa kau diam saja. Apakah kau sudah bosan deangan kata-kataku?
Ikram menoleh ke belakang. Di situ tak ada siapa. Hanya ada kegelapan yang semakin mencekam. Rupanya orang itu sudah pergi. Entah siapa dia. Sejak tadi Ikram hanya mendengar suaranya saja.
Kesunyian terasa mencekam, menelan malam yang beberapa saat lagi akan disambut oleh kokokan ayam. Sebagai sirine alam yang menyambut kemunculan sang galaksi.
Komentar
Tulis komentar baru