Memburu pesan yang berlalu, tatapku pada daun mulai membiru. Meneduhkan rintik dan beberapa pekik. Hujan meradang lebih dari senampan. Menyejukan memang, tapi epitafku kedinginan, menerjang, tidak juga menemukan.
Ketika senja bermakna reda, gerimis turun di luar jendela. Seperti pada sebuah masa, menembus kaca merindu suara. Aku mencarimu diantara cahaya senja. Kusaksikan beberapa keajaiban, tapi kenangan mu tidak kutemukan. Kepada air di ruas daun berbuku, kueja embun yang ranum, tapi ternyata bahasanya apa. Dan, tidak ada pesan yang disampaikan. Aku pungguk yang merindukan bulan.
Akankah dikirimkan jika kupesan kenangan? Kepada hujan atau mungkin kepada awan. Siapa yang bisa menyampaikan kerinduan? Sedangkan angin tak tau arah pulang.
Ketika nama terhapus dari daftar menu, para pengunjung jemu. Sesederhana itu, kah? Kalah. Karena aku nama yang menjemukan. Tidak ada kenangan yang mengesankan. Hanya impian yang tak terwujudkan
Imajinasiku berakhir pada altar kayu. Seperti pemukiman terakhir sebuah suku. Tak bernama marga, dan tak berkeluarga. Hidupnya kepada kesendirian. Impianya kepada kedamaian. Kenanganya kepada kematian. Aku tak berteman. Aku tak berdamai. Aku tak hidup disini.
Empat tahun lalu kau hidupku, sudah.
Komentar
1 again..
mencoba untuk menemukan,..
AFM
Tulis komentar baru