1
entah dari mana datangnya jemari-jemari lentikmu itu
hingga mencengkeramku dan menggenggam hatiku
yang kau bawa mengembara melalui sisa hidup
di sepanjang entah yang jauh
bagai gerimis yang mengekori perjalanan
kubaca sebuah taman
meluapkan bunga sepanjang dekap yang ada dalam mimpi
juga hangat tubuhmu dengan aroma itu
duhai, sungguh sewarna puisi yang mekar
dan menggariskan kembara dari ujung lelah yang teramat sangat
ke ujung lelah yang teramat lelah dan pilu
ah, perjalanan ini sungguh hanya sebuah perjalanan
yang didekap kabut perjalanan
yang diselimuti kabut-kabut kerudung rindu
yang menyelubungi seluruh asa laki-laki pemimpi abadi ini
yang bermimpi jadi kuli tinta
yang tak begitu istimewa
junkis dan uring-uringan
2
Aku barangkali seekor binatang jalang
yang terusir dari luka yang begitu amat jauh
dan datang menapaki sunyi dari ketidakpedulianmu
di antara senyum yang terselip di desiran angin yang berhembus
atau yang terselip di retakan hati sang pengembara
Bertemu di mana kita?
Dalam ketidakmengertianmukah?
Dalam ketidakseriusankukah?
Dalam ketidakpedulianmu kah?
Atau sama-sama kita tidak akan mau tau perasaan sesama kah?
Datang dari mana kita?
Dari sepi dan sunyinya hasratkukah?
Dari sepi dan sunyinya kebersahajaanmukah?
Dari sepi dan sunyinya pengembaraanku kah?
Dari sepi dan sunyinya senyummu yang manis itukah?
Dari sepi dan sunyinya dosaku inikah?
Dari deru-deram tatap matamu yang tajam itukah?
Atau dari deru-deramnya hening dan rindu cintakukah?
Serupa kidung dari senyum dan tatap matamu itu
tidakkah kau dengar
peluh dan dosa perjalanan dalam perjalanan di pencarian ini
telah memahat waktu di dadaku
sebab pernah kuketuk semua pintu yang telah ku hampiri
di antara derak batuk
di antara desah nafas
di antara kejaran-kejaran kepongahan hati
tapi kota dan semua peta
adalah penjara bagi laki-laki yang memecah diri ini
jadi belantara sajak
3
Tapi di matamu kutemukan sebuah rumah
yang teduh akan sinar-sinar keagungan
dan dipenuhi dengan binar-binar asa
katakan, haruskah aku kembali terbenam
dalam magma cinta yang dalam itu
haruskah aku tewas tertimbun tanda tanya itu
setelah kau berjanji menjawabnya
dan haruskah aku terkoyak oleh harapan
yang tak pernah aku tau seperti apa harapan itu
seperti kisah-kisah kembara hidupku yang selalu begitu
dan kembali berkelana
dari sudut sepi ke rahang sunyi yang teramat hening pula
Padahal aku ingin singgah di hatimu itu
seperti secangkir kopi yang akan kunikmati
dengan sebatang rokok esok pagi
dan segala yang setia dalam ragaku
– sepasang tanganku sungguh ingin mendekapmu
seutas bibirku sungguh ingin mengecupmu
seonggok jasadku sungguh ingin menghangatkan tubuhmu yang beku
segenggam hatiku benar sungguh telah setia padamu
dan jiwaku ingin benar memilikimu
tanpa sebab apa-apa selain cinta –
hingga fajar esok tak akan padam di keningmu
4
Tapi kecut takdir
yang telah membesarkan setiap kerinduanku
ketika setiap kali memandangmu berubah jadi tanya:
Seberapa lembutkah senyummu itu akan mampu
menyulam kerinduanku menjadi sajadah
tempat keningku bersujud dengan kata taubat?
Seberapa tajamkah tatap matamu hingga mampu
menembus kerinduanku menjadi lebur
hingga cintaku jadi keranda kematianku?
Seberapa bersahajakah wajahmu itu akan mampu
menggali kerinduanku jadi liang kubur
tempat jasadku berbaring menanti azab-Nya?
Seberapa kokohkah tali cintamu itu hingga mampu
menggantung kerinduanku jadi sakratul maut
tempat jasadku melepaskan asa itu melayang jauh?
Aku hanya ingin lelap tertidur
di hamparan permadani cintamu kelak
membaringkan lelah dari pencarian sanubari
yang teramat panjang itu
sambil mendekap do’amu dan do’a buah cinta kita
yang akan mengiringku lewat keranda
yang di tutupi kain bertulis ‘innanillahi wa inna illaihi raji`un’
disertai tetes air mata kehilangan dari sudut matamu
dan mereka – buah cinta kita – yang penuh dengan bunga
Komentar
Tulis komentar baru