OJEK PAYUNG
Hujan di ibu kota turun semakin deras dan barangkali sebentar lagi akan mendatangkan banjir. Saluran pengairan yang buruk menjadikan ibukota negara pelangangan setia banjir. Sambil mengembangkan payungnya, Pasto mengigil menunggu sesuatu yang sejak pagi tadi dinanti. Pelangan. Ketinggian air sudah mulai naik. Membuat rang-orang malas keluar. Seseorang laki-laki memakai jas baru saja keluar gedung perkantoran. Wajahnya pucat dan gelisah sambil melirik jam ditangan. Mobilnya terpakir jauh dari tempatnya berdiri. Itu kesempatan bagus untuk Pasto sebelum laki-laki itu nekad menerobos hujan. Ia segera berlari menghampirinya. Laki-laki itu sedikit kaget dengan kehadiranya. Dia memang sedang terburu-buru. Seseorang sedang menunggunya. Berharap lebih cepat bertemu. Laki-lakit itu tak punya waktu sebelum banjir membuat mengakhiri segala yang terjadi hari ini. Susah Pasto masih kecil untuk memayungi tingggi seorang pria dewasa. Begitu sampai di mobilnya laki-laki itu memberikan upahnya. Membanting pintu dengan keras dan pergi begitu saja. Sekuat tenaga pasto berusaha mengejarnya. Sayangnya, sejak kecil Pasto tidak dapat berbicara. Kembali dia memandangi lembaran uang yang baginya ini terlalu banyak.
Pasto menyimpan uang itu secepat mungkin. Sebelum anak jalanan yang nakal mengambilnya. Besok uang ini harus dikembalikan kepada pemiliknya. sepulangya ke rumah Pasto hanya membawa sedikit uang dan sebungkus nasi. Hari tidak ada satupun yang butuh jasanya. Air sudah meninggi mengenangi hingga bahu jalanan. Merangkat menuju atap genteng menemui ibunya yang sudah beberapa hari ini hanya bisa terbaring lemah. Pasto delapan tahun usianya, tidak punya saudara dan hanya ibunya satu-satu keluarga yang ia miliki. Selesai menyuapi ibunya Pasto memandangi seragam sekolah yang dia temui ditempat pembuangan. Baju itu sudah lusuh. Meski dicuci beberapa kali baju itu tetap tidak bisa kembali putih seperti dulu lagi. Pasto tersenyum seolah seragam itu menyapanya ramah. Pasto ingin bersekolah. Itu cita-citanya yang sampai saat ini terus ia bawa dalam tidurnya.
Pasto dan ibunya tinggal diatas rumah dekat bentaran kali. Malam ini dia berdoa agar banjir tidak membuat air sungai meluap besar. Sementara dibawah, air sudah masuk. Air juga masuk lewat genteng yang bocor. Menampung dengan seadanya. Barang-barang sudah dipindahkan semua ke atas atap. Tidak terlalu banyak barang-barang yang harus diselamatkan .
Pagi hujan sudah mereda. Pasto tetap tidak bertemu dengan laki-laki itu. Banjir belum surut dan kantor itu masih sepi, hanya ada petugas kebersihan dan penjaga. Tidak ada tanda-tanda dari orang yang ingin ia temui. Seharian menunggu laki-laki itu belum juga menampakan diri. Pasto pulang sebelum sore dan menemukan sakit ibunya bertambah parah. Dari mulutnya mengeluarkan darah yang sangat banyak. Pasto panik begitu sampai rumah melihat keadaan ibunya semakin parah. Susah payah membawanya keluar rumah. Beruntung teriakan beberapa warga yang sedang santai menunggu air surut melihatnya.
Ibunya juga harus dirawat karena bukan hanya satu penyakit. Komplikasi parah. Sepeninggal suaminya segala kebutuhan hidup harus dia tanggung dengan kerja keras tanpa memperdulikan kesehatanya.
“ Ini yang harus dibayar ya ” petugas memberikan tanggihan rumah sakit. Pasto memandangnya pasrah. Jumlahnya sangat banyak sementara penghasilanya tidak banyak . Para tetangga yang tadi menolongnya juga tidak dapat berbuat banyak.
Pasto patah-patah dan berat hati mengeluarkan uang sertus ribu milik laki-laki di parkiran toko. Ibunya harus sembuh begitu pikirnya.
Pasto kembali kemeja petugas pelayanan, Mengeluarkan selembaran uang dan menyerahkannya.
“Kau anak yang kemarin itu kan??” Laki-laki itu sudah berdiri disampingnya. Pasto tidak bisa mendengar dan laki-laki itu menyentuh lembut bahunya. Betapa kagetnya pasto mendapati seseorang yang dia cari kini berada didepannya. Uang yang ingin dia kembalikan sudah berpindah tangan. Pasto merasa bersalah karena itu dan dia tidak bisa menyembunyikan kesedihanya. Laki-laki itu memandangnya tidak mengerti. Pasto tidak bisa bicara. Maka tanpa sadar dia mengukapkan permohonannya dengan bahasanya sendiri. Memang laki-laki itu tidak bisa menerjemahkan perkataanya tetapi dia paham apa yang dimaksud. Laki-laki itu tersenyum sambil memeluk hangat tubunhya dan berkata betapa dia bererimakasih sebab kalau saja dia tidak cepat datang menemui istrinya yang sedang sekarat, mungkin dia tidak pernah menyaksikan detik-detik terakhir orang yang paling dia sayangai. Beberapa hari kemudian laki-laki itu membiayai pengobatan ibunya hingga sembuh. Pasto juga diizinkan untuk tinggal dirumahnya dan bersekolah bersama putrinya yang cantik.
Komentar
Tulis komentar baru