Cinta yang terbentur di dinding nalar menggelinding
menggigil pasi tak punya arti,
lalu aku pungut kembali,
lemparkan lagi,
sampai 1000 kali, sampai 1000 kali,
Laki-laki paroh baya menari telanjang dada dengan mata terpejam,
dibawah cahaya pucat mercury keringatnya berkilau memijar,
melepas gairah jantan menggeram
Di salah satu dinding kota
yang berpagar reklame,
plakat dan baliho
di jalan beribu kaki,
berkumpul keluarga jelata.
Kerontang bibir mereka
Memandang dari jendela kaca berdebu,
berderet perempuan dan anak di bawah matahari
risau tertatih mereka,
injak kerikil,
bertelanjang kaki,
Bila pagi membawa berkah
dari api matahari aku datang
merah jadi aku sari darah,
melalang ke ujung kampung
dan selusur kota-kota suram.
Tercerahkan dalam pantun,
selisik namamu lembut menikam.
Kalbu yang lemah,
mengambang berirama,
melahirkan kata tertata
dan aku tak ambil peduli
Datang diantar angin selatan
berselubung gaib kulit belantara
Pattakolea penuhi janji Putra Penguasa Jin
bertarung mengoyak siang dan malam
Serambi langit sebentar lagi gelap
mega lembayung, memayung barat
Aku memaku pandang
di pucuk bukit nun jauh,
dan pada kabut sana aku lukis wajahmu
Lepas tawa ordelia penuhi pagisambut ceria pijar mentari beri syair terindah bagi kembang di ladang ilalang Langkah kecilmu sedikit tergesa
Di ubun hari tercekat
aku diantara orang miskin merangkak menjelepak.
Di balik bayang gedung-gedung
kala matahari tajam menghujam.
Komentar Terbaru