sopan santun ke orang yang lebih tua itu perlu, apalagi menghargai perasaannya.
Seperti biasanya di sore hari Dodi, warkum, Syakur dan juldin dan teman lainnya, mengisi kegiatannya dengan bermain bola. Tempatnya Di samping gedung-gedung kota. Terhimpit dan berdesakan. Memang, Lapangannya tidak sebesar dan seluas stadion GBK. Tapi cukuplah untuk mengadu skill. Demi mencari keringat di tubuh, juga menjaga stamina tetap stabil, untuk kesehatan.
Tapi, sayangnya. Hanya ada dodi dan juldin di lapangan, Syakur dan warkum tidak juga menampakan dirinya disana. Tidak hanya mereka teman lainnya juga tidak ada menongolkan wajah mereka satupun di lapangan.
Dodi merasa bosan menunggu lama di lapangan, Dodi mencoba memikirkan kesibukan sore yang tidak membosankan.
Tidak lama kemudian dan juga tidak dalam-dalam memikirkan Dodi memiliki ide cemerlang yang tidak membosankan.
Dia langsung memberi tahukan idenya ke juldin.
“nahh, jul. aku udah punya ide biar kita ga bosan."
“haa, ide apa? Mau main bola berdua? Enggak lah dod bosan juga.”
“bukan bukan itu, maksud idenya.”
“terus ide apa yang mau kamu usulkan dod?”
“mancing.”
“no, no, aku tidak tertarik mancing, bosan, sungguh sangat membosankan!
“yaudah dod aku balik aja ya, ke rumah. Besok sore aja kita main bolanya, lagian, teman lain di tunggu juga tak datang.”
“yaudah Jul, tapi. Yakin kamu tak mau ikut ?
“tidak pak dod yang ganteng dan lucu.” jawab juldin di bibirnya untuk menghibur Dodi.
Di pertengah perjalanan Dodi dan juldin berpisah, Dodi bergegas lari seperti kelinci agar waktu sorenya tidak sia-sia di telan magrib. Tak terduga, Dodi berhenti berlari, wajahnya terbengong, nafasnya yang tersenga-senga akibat larinya yang terlalu kencang. Ternyata dan ternyata Dodi melihat kawan akrabnya dulu sewaktu Sekolah dasar.
Mudin teman sekampungnya Dodi. Sekampung juga dengan Syakur, juldin dan warkum. Memang, akhir-akhir ini Mudin tak keliatan di pos, tempat kami nongkrong, di kampung, bahkan di rumahnya.
Dodi bergegas mendekati Mudin, sambil teriak-teriak memanggil namanya.
“din, Din, Din!"
Mudin menoleh kebelakang melihat wajahnya Dodi yang ngos-ngosan.
“Kamu kenapa lari-lari dod? Seperti di kejar anjing aja"
“an-nu-nu kamu mau mancing ga di tempat biasa dulu kita mancing disana ada pak mat juga."
“di sungai dekat kampung sebelah ?"
“nah, pinter kamu"
“tapi kita ambil pancing dulu di rumahku.”
“lets go" jawab Mudin
Sampai di jembatan sungai Dodi dan Mudin melihat pak mut tidak terlalu dekat juga tidak terlalu jauh juga. pak mat ada di pinggir sungai di bawah jembatan. jembatan yang di bangun sebagai penghubung antara kampung dan kampung lainnya.
Dodi dan mudin mendekati pak mat. Agar suasana memancing semakin menarik dan menghibur diri supaya tidak bosan. Dodi mempersiapkan umpan yang sudah di beli. Dan mudin sibuk meracik pelapung, mata pancing juga pemberat, agar pelampung tidak terbawa arus sungai.
Mudin terbengong melihat pak mat, umpan di dekatnya tidak ada, hasil tangkapannya juga tak ada, pancingnya hanya dari bambu kuning yang besar: tak ada pelampung, tak ada pemberat. hanya ada mata pancing yang terbawa arus.
Mencoba lebih mendekat ke samping pak mat, Mudin menanyakan kabar pak mat.
“sehat pak mat?"
Pak mat tersentak kaget
“eh, kamu Din Alhamdulillah sehat”
“kemana aja ga kelihatan? Biasanya paling sering duluan muncul kalau kumpul dengan teman-teman kamu, lah ini kok hilang”
“pak mat merhatiin saya ya selama ini"
Pak mat hanya cekikikan
“ya kamu kira saya ini pacar kamu?"
“ya, bukan begitu pak mat, ya masa laki-laki saling suka”
Pak mut masih cekikikan sambil memegang pancing bambunya memukul-mukul air sungai yang mengalir.
“Kamu mau cerita apa Din?”
“lah, pak mat. Kok bi-bisa tau, saya mau cerita?”
“orang wajah dan mata kamu saya perhatikan memandang ke saya terus.” jawab pak mut cekikikan
“aneh kamu ini pak mat”
“nah jadi apa yang buat dirimu ini resah Din?”
“gini loh, pak mat. Kemaren saya ke rumah teman, niatnya mau numpang tidur, paslah di depan rumahnya ada bapaknya, saya tanya ke bapaknya anaknya ada ga di rumah, ehh. Bapaknya malah Tebal muka sama saya.”
“terus, terus, kamu ada nanya lagi?"
“ada, pak mat. Ehh saya malah di tegur.” “kau ini keknya ga pernah di ajar tata Krama dan sopan santun ya! Kalau mau bertanya itu turun dari motormu!”
“iya saya yang salah, karena lupa turun dari motor. Kurang sopan memang. Tapi, pak mat. Saya menghargai bapaknya teman saya sebagai orang tua. Lah, nada suara saya juga tidak tinggi dan keras. Sebagaimana saya suara saya menghargai perasaannya agar tidak sakit hati.”
Pak mat hanya cekikikan mendengar cerita sih Mudin.
Lalu suasana cerita yang begitu penuh tawa dan gembira di wajah pak mat berubah menjadi berlinang air mata, pak mat mengeluarkan air hangat di matanya keluar terus-menerus tanpa henti.
“ya, Gusti ampunilah anak muda ini dan ampunilah dia."
“tidak ada yang bisa mencintaimu selain ibumu, tidak ada yang bisa memanfaatkanmu selain ibumu, tidak ada yang paling mulia dan bijaksana selain ibumu.”
Mudin, hanya bisa diam terpelongo. raut wajahnya penuh dengan rasa penyesalan.
“Apa kamu sudah pulang ke rumah Din, ibumu tadi malam jatuh dari kamar mandi, sekarang tubuhnya terbaring lemah sendiri di tempat tidur.”
“pulanglah Din, pulang. Tuangkanlah rasa penyesalanmu itu, ya Gusti ampunilah ia."
Mudin tanpa sepatah kata pun langsung berlari meninggalkan pinggiran sungai juga dengan wajah yang tak sanggup menahan air mata di pipinya yang mengalir seperti sungai dengan penyesalan yang tiada henti di wajahnya.
Komentar
Tulis komentar baru