Arsitek Cinta Milik Luna
“menunggu dia kembali pulang”
Hujan yang mengguyur sejak pagi kini hanya menyisakan rintik-rintik kecil yang halus. Cahaya redup dari lampu di pinggir jalan menerangi sisi taman yang mulai lengang. Duduk seorang gadis di sebuah kursi panjang mengenakan mantel merah jambu. Kepalanya yang tertutup newsboy cap bersandar di atas lengan seorang pria yang duduk tepat di sampingnya.
“Aku pengin ngabisin sisa malem ini berdua sama kamu” sahut gadis itu lirih. Semburat kesedihan melekat di wajah mungilnya.
Pria itu diam, tidak berkata apapun. Hanya anggukan kecil yang dia berikan untuk menggantikan kata “iya”. Sementara tangannya masih memeluk gadis itu. Dia juga membelai lembut rambutnya.
“Kamu beneran jadi pergi?” gadis itu bertanya yang sebenarnya lebih seperti pertanyaan retoris karena dia sudah tahu pasti perihal kepergian Niko. Seketika penglihatannya buram, berkaca-kaca oleh air mata yang tertahan.
Niko tercatat sebagai mahasiswa arsitektur UI. Dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Jerman. Tapi kenyataan ini justru membuatnya sedih. Dia harus meninggalkan gadis yang begitu dia sayangi.
“Aku nggak pengin kamu sedih kalau aku pergi, kamu harus bangga dong punya pacar yang pinter” jawabnya bukan untuk menyombongkan diri tapi lebih untuk menenangkan hati pujaan hatinya. “Kamu udah janji kan, kalau hari ini nggak bakal ada lagi air mata,” Niko melanjutkan, ibu jarinya mengusap air mata gadis itu.
“Iya, aku udah nggak nangis lagi kok,” suaranya masih terdengar parau.
“Walaupun aku pergi jauh, aku bakal tetap hubungin kamu. Jadi, kamu nggak perlu takut kehilangan aku.”
Gadis itu diam. Mendongak untuk melihat pria berwajah blasteran itu. Rahang yang tegas, hidung mancung dan alis tebal di atas mata yang berlekuk tajam, melahirkan satu kata-rupawan. “Hemm..janji?” gadis itu mengacungkan kelingkingnya.
Niko tersenyum dan mengangguk setuju. “Iya, aku janji!” jawabnya singkat sambil mengaitkan kelingkingnya. Gadis itu ikut tersenyum, tampak deret gigi-geliginya yang kecil dan rapi.
Suasana menjadi hening di malam yang semakin larut. Kedua insan itu masih duduk di sana, menatap rembulan yang tampak samar di balik awan. Seperti juga kesedihan yang tampak samar di balik senyum mereka.
* * *
Mereka duduk di antara keramaian sambil berbincang untuk terakhir kali sebelum melepas kepergian Niko. Sampai terdengar suara dari speaker yang mengumumkan bahwa pesawat yang akan menerbangkan Niko ke Jerman telah landing.
Niko bangkit dari posisi duduknya. Diperhatikannya gadis itu dalam-dalam. Telunjuknya menyentuh gadis yang kini tepat berdiri di hadapannya. Mulai dari kening turun ke hidung hingga berhenti sesaat tepat di antara bibir mungil gadis itu, sebelum akhirnya berhenti di ujung dagunya yang sedikit terbelah.
“Niko…” Kedua tangan gadis itu mencengkram kuat pundaknya, mengisyaratkan bahwa dirinya tidak ingin melepas Niko. Nik, dari dulu kamu punya mimpi yang besar seperti mimpimu ini yang sekarang udah jadi nyata. Aku bangga sama kamu Nik. Aku nggak boleh egois. Aku pasti dukung kamu, apapun yang terbaik untuk kita atau mungkin hanya untukmu. Aku pasti bahagia kalau kamu juga bahagia, walau kini hatiku sakit. Tiba-tiba saja bendungan di kedua matanya rubuh, menumpahkan linangan air yang membanjiri pipinya.
Tubuh gadis itu bergetar, terisak oleh tangis. Niko pun tidak melepas dekapannya. Maafin aku. Setahun kita bersama belum pernah aku melihatmu menangis seperti ini, kamu terlihat begitu rapuh. Aku nggak melihat gadisku yang biasanya begitu tegar. Aku akan kembali, aku janji. Niko memundurkannya, menatap dalam wajah itu sekali lagi tanpa berucap apa-apa.
Gadis itu buru-buru mengusap kedua pipinya, “maaf, aku…” belum selesai gadis itu berkata, Niko menarik kedua tangannya, melekatkannya di dada Niko. Niko sedikit menunduk, sebuah ciuman kecil mendarat di bibir gadis itu.
“Jaga diri ya, suatu saat aku bakal kembali, percayalah.”
“Kamu juga, Nik. Jaga diri ya di sana, jaga matanya juga, apalagi kamu perginya ke luar negeri, pasti di sana banyak cewek-cewek cantik kan, seksi lagi.”
Niko tersenyum geli melihat rautnya cemberut seperti itu. Aku sayang kamu...sayang banget, ucapnya dalam hati, bermaksud agar gadis itu tidak semakin berat melepas kepergiannya.
Kedua wajah mereka beradu pandang. Sejenak melupakan kesedihan yang datang menyelinap di antara mereka.
“Kamu baik-baik di sana, Nik! Inget kepercayaan yang mama dan papa udah kasih ke kamu!” pesan Marko sembari merengkuh punggung adiknya.
“Belajar yang giat ya, Nik. Kejar cita-citamu di sana!” imbuh Eve, pacar Marko.
“You must learn how to be a great Architect there. I am so proud of you, my lovely boy!” sambil menepuk ringan pundak Niko.
“Yes, I’ll…thank you so much, my lovely girl” Niko tersenyum lega.
Anytime, gadis itu menjawab dalam hati seraya membalas senyumnya.
Niko menghela napas, beberapa detik setelah menatap tiga wajah di hadapannya dan memberikan sesuatu kepada gadis itu, bentuknya lebih mirip seperti buku, sebuah diary. Niko pamit setelah merasa tidak ada lagi yang ingin dia lakukan, lalu menarik kopernya berjalan meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi. Sampai bayangannya hilang dalam kerumunan orang.
* * *
“Kringg…Kriiingg…kriiinggg…” bunyi jam weker mengagetkannya. Luna terbangun dan mulai merasakan pegal menjalar di sekujur tubuhnya. Dia tertidur di atas meja dan masih segar dalam ingatannya, semalam dia bermimpi.
Luna meyakinkan diri bahwa dia benar-benar telah terjaga sekarang. Dia mencoba menghimpun bulir-bulir mimpi yang baru saja pupus oleh bunyi alaram. Memejamkan mata, membiarkan dirinya menemukan ingatannya sendiri, melalui proses kerja milyaran neuron yang berhambur dalam otaknya. Akhirnya Luna mendapati mimpi itu, juga mendapati diary yang pernah diberikan oleh Niko padanya, lima tahun yang lalu. Dia membacanya lagi tadi malam. Benda itu masih terbuka, menampakkan sebentuk tulisan di halaman terakhir.
…by Niko
tatap saja bintang yang benderang
atau curahkan pada sang luna yang membayang
lantas dengar mereka bergaung pada semesta
seraya tasbihkan rindu dalam surau kala malam
Sang Hyang akan coba redam
jamahi angin yang datang memeluk, jangan ditepis
walau dingin merasuk, mengikis
lantas ketika hangat dapat kau rasa
seraya detak jantungmu berdegup kencang
Aku akan coba redam
jamahi hati yang dalam dan lengang
walau kau jauh, menunggu
maafkan aku kini harus pergi
tapi aku pasti kembali dimusim yang berganti
untuk meyakinkan kembali rasa ini
yang buatku ingin segera pulang
bukan untukmu, tapi hanya untukku
karena aku hanya ingin kamu
Jakarta, 1 Juni 2001
Luna menyimak untaian sajak itu, dia tersenyum simpul. Aku percaya kamu bakal pulang, Nik.
Niko mengirim email semalam. Pesan yang menjadi tersangka utama sehingga Luna memimpikan Niko. Buruknya mimpi itu adalah detik-detik di mana dia harus berpisah dengan pria itu.
Besok Niko akan kembali ke Indonesia. Begitulah kira-kira inti dari email yang dia terima. Niko akan balik ke Jakarta setelah lima tahun mereka berpisah.
Luna melambung, riuh di dalam kamarnya sampai mengacuhkan ketukan pintu dari adiknya. Namun adiknya juga tidak mau kalah, bunyi ketukan pintu kamarnya malah semakin menjadi-jadi. Aduh, kenapa lagi sih Tari, masih pagi begini ngerecokin aja, gerutunya dalam hati.
“Ada apa Mentari sayang?” tanya Luna halus tapi dengan raut wajah yang masih setengah kesal.
“Kak Luna, ada telepon” jawab anak SD itu dengan sebelah tangannya menunjuk ke arah telepon rumah di lantai bawah.
Begini nih repotnya kalau hape hilang. Luna berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan adik bungsunya itu, “Tari tau nggak dari siapa?”
“Dari siapa ya?” Mentari mengetuk-ngetuk kepalanya seperti sedang mencari ide-ide brilian. Tapi ini bukan, melainkan hanya untuk mengingat nama penelepon yang memang disebutkan kepadanya, “kalau Tari nggak salah namanya Eve, kak.”
“Eve?” tanyanya sekali lagi memastikan.
Mentari tidak menjawabnya. Hanya anggukan kecil dia tunjukkan sebelum berhambur keluar sambil memegang boneka Barbie-figur wanita yang sempurna secara fisik.
Luna mengobrol cukup lama dengan Eve lewat telepon. Mereka membuat janji untuk bertemu sore ini di kedai kopi favorit mereka. Untungnya hari ini adalah hari Minggu. Dia bisa menikmati weekend, bebas dari rutinitasnya sebagai dokter gigi di salah satu rumah sakit swasta.
* * *
Luna, Eve dan Marko sedang duduk di kursi masing-masing dengan bantalan empuk sebagai sandarannya. Di depan mereka sebuah meja yang terbuat dari kayu mahoni, ukurannya tidak terlalu besar, terasa pas untuk tiga orang.
“Mau pesan apa mas, mbak?” seorang waitress berdiri di depan mereka memakai shirt putih yang pas sekali di tubuh jangkungnya, memamerkan lekuk dadanya yang membidang. “Ehem…” waitress itu berdehem menunggu jawaban.
Merasa kedua wanita di sampingnya tidak menunjukkan tanda-tanda akan merespon, Marko mengambil alih peran itu, terlebih dia sudah tahu minuman apa yang ingin Luna dan Eve pesan. “Mas, iced cappuccino 2, vanilla latte 1, sama fried potatos-nya 3 ya!”
“Ada lagi?” tanyanya setelah mencatat pesanan Marko pada notes kecil.
“Mas wajahnya tampan loh, kenapa nggak milih jadi bintang film aja atau bintang iklan?” Eve bertanya penasaran. Di lain sudut, raut kesal mulai muncul di wajah pacarnya.
“Mungkin kurang beruntung kali mbak. Saya juga baru seminggu kerja di sini,” terangnya.
“Iya sudah mas, tolong segera dieksekusi ya pesenan kami!” sahut Marko menunggu jeda yang tepat, bermaksud memotong pembicaraan itu. Marko menunjukkan muka masamnya.
“Kamu jealous ya?” todong Eve sambil tersenyum jahil.
Dengan tegas, “nggak tuh!” padahal dalam hati Marko tahu betul dirinya tidak suka kalau Eve memuji pria lain.
“You’re the one and only one, honey!” Eve sedikit lega melihat seulas senyum di wajah Marko.
“Kak Marko sama kak Eve lucu ya kalau lagi ngambekan kayak gini” Luna ikut tersenyum melihat keduanya.
Tidak lama kemudian pesanan mereka datang.
Luna menyeruput iced cappuccino-nya, lalu melayangkan sebuah pertanyaan yang menjadi inti dari topik pembicaraan mereka. “Jadi besok jam berapa kita ke bandara?”
“Jam 22.00” singkat Marko.
“Hah? kok malem banget sih? Kamu nggak salah kan?” tanya Eve memastikan.
“Nggak, baby…kalaupun pesawatnya delay paling ya tambah malam” Marko mereguk habis vanilla latte miliknya.
Mendengar perkataan Marko, Luna menjadi harap-harap cemas. “Semoga nggak terjadi apa-apa,” kepalanya sedikit tertunduk.
Eve mengunyah beberapa iris kentang goreng, “don’t worry about that!”
Marko mengangguk setuju dan menatap kedua mata Luna.
Luna tersenyum, aku percaya kamu pasti pulang, Nik!
* * *
Pukul 00.10 di Bandara.
Marko dan Eve duduk berdampingan. Sementara Luna berjalan mondar-mandir sambil sesekali menatap pintu kedatangan yang dijaga oleh beberapa satpam berseragam lengkap. Mereka sudah hampir tiga jam menunggu Niko di terminal kedatangan internasional, tapi tanda-tanda kedatangan pria itu belum ada juga. Luna semakin gelisah, dia menggenggam erat tangan Eve berharap sedikit kekuatan dia peroleh dari situ.
Ponsel Marko berdering, ada pesan singkat yang masuk. Antusiasnya meningkat ketika membaca sender itu bernama Niko. Namun seketika berubah setelah membaca isi pesan itu, “Kak, aku batal ke Jakarta, maaf kalau infonya mendadak. Aku diterima disalah satu perusahaan di Berlin. Aku baru bisa pulang tahun depan, Kak!” tolong sampaikan ke Luna permintaan maafku, aku nggak bisa berbuat banyak. Miss you all.” Marko tidak bergeming.
Luna menyabet ponsel itu dari tangan Marko. Gelisahnya berubah hening. Luna tertunduk, dia benar-benar telah kehilangan semangatnya.
Eve dapat merasakan genggaman tangan Luna mengendor. Eve memeluk Luna setelah mengetahui apa yang terjadi. Seakan mampu merasakan batin Luna yang sekarang berontak dengan kenyataan, tapi dia tidak berdaya, dia melemah dalam pelukan Eve.
“Kenapa Niko tega, Kak?” tanyanya rendah pada Eve.
Eve diam, seakan setuju dengan gadis yang masih dalam pelukannya. Eve mengusap ringan punggung Luna.
Tidak berbeda, Marko pun ikut diam.
“Kak Marko, antar Luna pulang sekarang ya” pintanya. Dia ingin sendiri dulu untuk menenangkan diri. Dia tidak ingin berharap lebih lagi pada Niko, hatinya kembali luka.
Sekali lagi Luna menatap pintu kedatangan sebelum mereka beranjak dari bandara. Marko merangkul Luna, berharap besok dia menemukan kebahagiaan yang lain. Sebuah Jazz melesat dari arah parkiran, menyisakan jejak kaki seorang gadis yang penuh harap.
* * *
Dari balik tirai jendela, siluet jingga telah tampak, menyambut matahari kembali ke peraduan. Luna berusaha melupakan kejadian semalam. Bersama adiknya, dia meniup beberapa balon dan menghias birthday cake yang mereka buat.
“Kak Niko bakal datang kan, kak? Setiap kakak ulang tahun kan kak Niko selalu kasi Tari kado,” tanya Mentari padanya sambil memoles cake dengan whipped cream.
“Yang ulang tahun kan kak Luna, kok kamu yang minta kado sih?” sahut Luna tanpa menjawab pertanyaan adiknya.
“Biar adil dong, kak!” Mentari tertawa, memamerkan gigi atasnya yang ompong.
Anak kecil tahu apa sih tentang keadilan, batin Luna seraya memeluk erat Mentari kecilnya.
“Kak Luna!” teriak Mentari di muka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Dia menyodorkan sebuah amplop kecil berwarna biru yang bertuliskan “to Luna”.
Sejurus kemudian amplop itu sudah berpindah tangan. “Ini dari siapa?” tanya Luna penasaran sambil mengacungkan amplop itu.
“Nggak tau, Kak, dibaca aja isinya!”
Luna membuka amplopnya. Mengeluarkan selembar kertas yang berwarna senada. Luna membaca tulisan di kertas itu berulang kali, seakan tidak ingin salah mengartikan maksud dari surat yang ditujukan untuknya. “Kakak mau pergi dulu!” serunya singkat setelah mengecup pipi kanan Mentari.
Mentari melambaikan tangan, “hati-hati ya, Kak!”
Luna sudah berdiri di sisi taman, merentangkan kedua tangannya. Sudah lama sekali dia tidak berkunjung ke taman ini. Sekedar untuk menikmati semilir angin yang berhembus, mengamati rasi bintang yang tergambar di langit atau senyum rembulan yang sedang mengamatinya, berdua bersama Niko, nama yang tidak ingin dia ucapkan lagi.
“Plap” seseorang mengganggu nostalgia-nya dari arah belakang. Luna tersentak, langsung memegang kedua tangan yang menutupi kedua matanya. Tangan yang besar tapi lembut. Wangi parfum ini! seakan terhipnotis aroma parfum itu, Luna tidak sadar menahan napasnya. Dia meraba pelan punggung tangan itu.
Posisi mereka kini saling berhadapan. Luna masih menutup mata. Padahal beberapa detik yang lalu kedua tangan itu berganti posisi menggenggam erat tangannya.
“Happy birthday, Luna!” suara itu terdengar berbisik. Seorang pria mengenakan kemeja putih berlengan panjang yang digulung sampai siku, terlihat sangat pas di badannya. Celana kain berwarna abu rokok yang jatuh menyentuh bagian atas pantovel hitamnya yang mengkilap. “Aku pernah janji kalau aku bakal balik dan aku nggak pengin ingkarin itu, Na!”
“Ni..Nik..” Luna tidak cukup kuat untuk menyebut nama itu lagi. Wajahnya memerah, Niko mengangkat jemari tangan Luna dan menciumnya.
Niko memeluk erat Luna, sesekali mengusap ubun-ubunnya dan menyingkap rambut panjang Luna yang dibiarkan terurai. Sudah lama aku pergi. Kali ini aku datang dan aku nggak akan ninggalin kamu lagi!
Seakan mendengar kata hati Niko, Aku tau, Nik, kamu nggak akan ninggalin aku selama-lamanya. Malam ini kamu buktikan itu, kamu udah balik. Aku sayang banget sama kamu!
“Aku sayang banget sama kamu!” ucap Niko lembut.
Luna membalasnya dengan senyum. Dia telah mengucapkan itu lebih duluan, jauh di dalam hatinya.
Mereka duduk berdua di kursi panjang yang masih kokoh di taman, memandang langit di angkasa. Bulan purnama menyaksikan pertemuan mereka.
“Aku kira kamu nggak jadi datang, Nik?”
“Kamu perhatiin deh, kan aku bilang kalau aku baru bisa pulang tahun depan.”
“Maksud kamu?” Luna masih belum mengerti.
“Hari ini hari ulang tahunmu dan usia kamu bertambah kan?”
Luna diam sesaat, terlihat sedang berpikir, “hahaha…jadi itu maksudnya.”
Niko mengangguk, telunjuknya menyentil hidung gadis yang tertawa lepas di sampingnya. Niko ikut tertawa. Akhirnya, dia bisa merasakan lagi momen-momen indah di taman ini, berdua bersama Luna. L-U-N-A dia mengeja nama itu di dalam hatinya, nama yang sangat dia rindukan.
cinta adalah sebuah karya arsitektur Tuhan yang diciptakan begitu indahnya
konstruksinya sangat sederhana, hanya berupa lengkungan yang bertemu di dua titik
tapi yang terpenting, jauh di dalam sana ada keajaiban dari sebuah mahakarya
*end*
Makassar, 14 Juli 2012
Komentar
Tulis komentar baru