ROMAN
YIN UDE
BENTENG
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberiku kelapangan pikiran, perasaan dan waktu untuk berkarya.
Buku roman sederhana ini bertutur tentang determinansi- determinansi dan kekalahan yang dialami manusia menghadapi realitas transisi masyarakat dan psikologinya sendiri.
Semoga diterima oleh para penikmat sastra.
Yin Ude
SINOPSIS
Yar, seorang pemuda dari keluarga miskin di kecamatannya. Ia selalu mengalami kegagalan dalam hubungan asmara, karena ditolak atau ditinggal kawin oleh orang yang ia cintai.
Suatu saat ia berhasil mencapai kegemilangan sebagai sastrawan dan wartawan. Ia gunakan kegemilangannya itu untuk menunjukkan harga diri dan keluarganya kepada masyarakat sekitarnya. Tetapi tanpa disadarinya, sikap dan tindakannya membuat dia tampak sebagai orang yang melawan arus perubahan di kecamatannya. Ia dimusuhi. Orang tuanya pun menentangnya. Yar terlibat konflik dengan warga kecamatan, bapak dan emaknya.
Salah seorang musuhnya adalah anggota dewan bernama Abduh, yang juga bapak Nur, mantan kekasih Yar.
Abduh menuduh Yar telah mempengaruhi Nur, hingga anaknya itu bunuh diri menjelang perhelatan pernikahannya.
Yar dan kakaknya, Sri, tewas di tangan orang suruhan Abduh, yang suatu malam datang menyerang dan membakar tempat tinggal Yar.
BAGIAN 1
Maafkan aku
Aku sadar ini akan sangat menyakitkan
Tapi inilah takdir dan aku tak dapat menolaknya.
Aku telah menerima lamaran seorang lelaki, dan rencananya dua bulan lagi kami menikah.
Bukan, bukan karena kamu tidak pantas menjadi pendamping hidupku. Sekali lagi bukan ! Kamu tahu bagaimana besarnya cintaku. Bahkan kamu tentu ingat pula bagaimana seringnya aku bicara tentang pernikahan, mengajak kamu membayang- bayangkan asyiknya kita membangun keluarga , dengan anak- anak kita yang lucu .
Masalahnya, oh, saat ini aku tidak sanggup mengungkapkannya. Biarlah besok lusa kuterangkan.
Aku tidak bisa berharap banyak kamu akan percaya pada apa yang akan kusampaikan, tidak bisa pula bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa aku akan tahan melihat kau kecewa.
Tapi masih ada keyakinanku bahwa kamu tidak akan selamanya membenci aku setelah tahu aku pun sangat tersiksa.
Sekali lagi, maafkan aku.
Doaku , selalu.
Nur
“Munafik !”
Dugg !
Habis memaki, tinju Yar menghantam dinding kamar. Wajah pemuda itu merah padam. Kemarahan, kekecewaan, kepedihan menumbuk- numbuki batinya.
“Jalang ! Penghianat !” Umpatnya sangar.
Bias kuning pucat matahari senja yang menerobos jendela di hadapan lelaki empat puluhan itu makin mempertegas rona mukanya yang menegang.
Dugg ! Sekali lagi kepalannya menubruk keras dinding tembok itu.
“Yar, suara apa itu ?!”
Yar menoleh ke pintu yang segera terbuka dan menampakkan emaknya yang menatap dengan tanda tanya.
“Surat dari perempuan lagi ? Kecewakan kamu lagi ?” Meluncur pertanyaan dari bibir perempuan tua itu. Tapi di telinga Yar bukan pertanyaan yang mendarat. Si Emak mengejeknya !
“Emak keluar saja.” Sahut Yar, datar.
Kertas surat yang ia genggam kini diremas- remasnya. Sesaat kemudian sebentuk gumpalan melayang ke genangan bekas hujan di halaman samping.
Emak terkekeh. Sinis.
“Kalau bapakmu masih hidup, dia akan akan kecewa sekali melihat turunannya banci.”
“Emak keluar saja.” Balas Yar agak keras.
“Memalukan. Tiap ada masalah dengan perempuan selalu mengurung diri, selalu meninju- ninju tembok kamar, selalu meratapi nasib …”
“Tolong Emak biarkan saya sendiri !” Sentak Yar lebih keras, menegaskan ketidaksenangannya pada kalimat- kalimat yang dilontarkan emaknya.
“Lalu kau maki tiap perempuan yang mengecewakan itu. Kau salahkan Sumi, Zubaedah, Nur ! Kau pikir tak ada kesalahan pada dirimu sendiri. Kau itu terlena dengan kebesaran diri sendiri, lalu kau angkuh, lalu seenaknya menghukum orang lain yang tanpa kau sadari memunculkan kebencian orang- orang padamu.
Tidak ada orang tua yang akan membiarkan anak gadisnya tersisih dari masyarakat karena menjadikan kamu suami ! ”
Tangan Yar gemetar. Mengepal.
“Kau tinjulah dirimu sendiri ! Tinju keangkuhanmu!”
Tajam mata Yar menyorot emaknya. Tapi perempuan itu berbalik dan meninggalkan pintu kamar.
Yar menghempaskan tubuh kurus pendeknya ke dipan. Tapi sebentar, ia bangkit dan berdiri lagi, membuka lemari, mengambil tas besar, memasukkan beberapa potong pakaian, buku- buku, setumpuk kertas, balpoin, laptop dan topi.
Pandangannya terhenti sejenak pada tulisan bordir di kening topi itu. AKHYAR. Di bawahnya, KOMUNITAS SATRAWAN KIRI.
Selanjutnya dengan langkah bergegas ia tinggalkan rumah.
*
Dering keras hp di atas dipan di samping Yar memecah keheningan kamar rumah panggung kecil itu, keheningan malam bukit tempat berdiri.
Yar menjangkaunya tanpa melepaskan tatapan ke layar laptop yang sudah dua jam lebih ia hadapi di lantai.
“Tunggu saja aku di situ !” Serunya gusar begitu hp ia genggam dan dispeaker. Tanpa salam terlebih dahulu.
“Sorry, Bos. Tinggal Mas Yar yang belum datang sampai saat ini.” Sahut lawan bicaranya. “Sudah kuat indikasi pemkab menyisihkan anak- anak komunitas dari daftar utusan Lomba Sastra Kayu Tanam. Teman- teman pengurus sepakat akan mengambil sikap keras. ”
Yar diam. Sinar lampu balon menyorot bibirnya yang menyunggingkan senyum sinis.
“Tahu ndak ? Opini bahwa kita kiri sekiri- kirinya sudah dikembangkan betul oleh petinggi- petinggi daerah yang sok cemas itu. Orang- orang pemerintahan, keamanan, kebudayaan dan elit- elit LSM mulai saling angguk.”
Yar masih dengan diamnya, dengan sinisnya.
“Gimana ini ? Tinggalkan kota kecamatan sehari dua hari, datang ke kota kabupaten, biar kita bisa bahas masalah ini !” Desak suara di seberang.
Yar justeru matikan hp dan meletakkannya kembali di dipan.
Alat komunikasi itu berdering lagi. Berulang- ulang. Yar tidak peduli, sampai berhenti sendiri.
Lolong anjing dari arah hutan belakang rumah dan ting tong jam di dinding hampir bersamaan mengisi sepi. Pukul tiga lebih.
Yar bangkit, membuka jendela. Udara dingin segera menyergap tubuhnya.
Pandangan Yar melayang ke angkasa. Kosong, beradu gelap citra langit. Pelan- pelan gerimis menegas dalam kabut. Tempias disapu angin musim penghujan yang menderas. Tempias ke wajah wajah pemuda itu. Guruh dalam batinnya.
Digeleng- gelengkan kepalanya, mencoba mengusir kehampaan yang memuncak. Tapi seperti sudah- sudah, kehampaan itu tetap tinggal dan mendera batinnya. Ujungnya ia cuma bisa mendesah.
Yar merasa jiwa dan tubuhnya begitu lemah sejak menerima surat putus dari Nur, empat hari lalu.
Gadis itu, yang begitu ia yakini kesetiaannya, pada akhirnya menambah pula daftar kekalahan buatnya. Kekalahan dalam meraih cinta sungguh- sungguh, kekalahan dalam perjuangannya menunjukkan diri sebagai lelaki yang dianggap oleh perempuan, dari saat ia bukan apa- apa di mata orang hingga setelah ia menjadi penyair dan wartawan ternama.
“Semua sama munafiknya.” Sentak hati Yar.
Semuanya menilai hubungan sebatas enaknya di pikiran dan perasaan mereka sendiri….
Aku dinilai angkuh ? Apa definisi angkuh itu ? Tampilan kesombongan, ketidakramahan, ketidakakraban, ketidakpedulian pada pikiran, perasaan dan keinginan orang lain, berdasar kebesaran diri, keakuan, egosentrisme ? Baik, aku iyakan saja. Aku yang hari ini telah menjadi penyair ternama dan wartawan disegani, melangkah dengan muka tegak lurus ke depan di tengah- tengah alam kota kecamatan ini dan manusia- manusianya, membanggakan bayang- bayang diriku sendiri yang menguasai penjuru. Kenapa tidak ? Bukankah wajah- wajar saja aku ingin menunjukkan kegemilangan diri kepada kecamatan ini dan manusia- manusianya yang dulu merendahkan aku dan keluargaku?
Kebesaranku, keangkuhanku telah membuat aku menghukum orang seenakku sendiri ? Orang- orang membenci aku ? Ya, ya, aku sadari itu. Aku sadari kebencian orang-orang sok berkuasa kecamatan, pejabat –pejabat kecamatan, pejabat- pejabat kabupaten yang terus- terusan dan akan selalu aku tikam dengan belati sajak dan beritaku. Bukankah itu yang seharusnya kulakukan ? Inilah perlawananku, perlawanan yang mestinya juga dilakukan penyair lain, wartawan lain , orang- orang lain dengan apa yang ada pada mereka, terhadap suasana – suasana busuk negeri ini, terhadap siapa pun, apakah itu warga biasa yang menekan warga lain karena kelebihan pada dirinya maupun pejabat- pejabat yang memunculkan kebusukan dengan tingkah pola mereka yang keranjingan bermain di balik aturan, perda, undang- undang ! Tak terasakah oleh Emak, betapa lembaga- lembaga pemerintah telah menjadi kandang serigala, yang pernah juga memburu beliau dan Bapak di ladangnya hingga harus berkali- kali berpindah, membuka kembali lahan baru di atas kenangan menyakitkan ladang lamanya yang siap panen tapi diratakan eskavator kontraktor pertambakan ? Rasa keadilan orang- orang tak berdaya, orang- orang miskin, pedagang kaki lima, kaum buruh, para petani kecil yang dicabik- cabik dalam ketidakberdayaan dengan kekuatan cakar serta aturan rimba yang dibuat- buat dalam lembaga itu ! Hei, inilah semangat pemberontakan, yang memang kubiarkan berkembang, agar mereka, orang- orang yang kulawan itu sadar bahwa di tengah rimba yang mereka cipta telah muncul kupu- kupu mutan, yang kecil, yang dipandang tak berdaya, namun berurat daging baja, dengan sayap- sayap yang dapat menjelma pedang- pedang tajam, yang mampu mengiris hati sombong mereka dan mencacah jantung- jantung keserigalaan mereka.
Duh, tidakkah pacar- pacarku, orang tua dan keluarga mereka mengamini dan menghargai ketidakangkuhanku terhadap mereka ! Aku penurut, lebih banyak mengalah pada mereka, dan mereka katakan sendiri aku lelaki yang pandai memanjakan perempuan sekaligus pintar mengambil hati orang tua dan keluarga mereka !
Mereka takut akan dijauhi orang- orang karena menjadikan aku suami, menantu seorang pemberontak ? Nampaknya baru namaku yang digurat angin sebagai mujahid di bentang padang jihad sosial negeri ini.
Ah, keangkuhanku, siapa pun tak tahu riwayatnya, bagaimana kelahirannya, bagaimana ia telah berjasa besar membuat aku merasa berharga di hadapan segala yang membuat aku dan keluargaku kalah di masa lalu. Termasuk di hadapan Ani, orang yang dulu pertama kali menendang aku masuk kubangan tinja !-
**
BAGIAN 2
Suryani, Ani, gadis tetangga. Orangnya hampir sebaya dengan Yar, lumayan cantik, lembut, santun dan penurut. Pas sekali untuk pemula seperti Yar yang baru berusia sembilan belasan, baru belajar pacaran dan tentu saja belum kenal banyak strategi untuk mengurus kecerewetan, tuntutan- tuntutan dan seribu satu wujud ego perempuan.
Dua tahun begitu indah bagi Yar. Ia mendapatkan kepatuhan dan timbal balik manis dari buaian hatinya itu. Yar puas. Sampai muncul niat Sang pecinta mengawininya.
Takdir menggariskan lain. Tanpa pernah ia duga, orang tua Ani menolak dirinya dan Ani masuk ke lingkaran pernikahan.
“Selama ini kedekatan kamu dan Ani kami anggap kedekatan kakak dan adik. Dan itu pengakuan Ani sendiri.” Kata Sleman, bapaknya Ani ketika dengan gemetaran Yar mengungkapkan hasrat melamar gadis itu.
Rasanya Yar tak percaya dengan pendengarannya sendiri.
Ani bilang hubungan kami cuma kedekatan kakak dan adik ?!
“Benar kau bilang begitu pada bapakmu ?!” Sentak Yar ketika bertemu Ani.
“Ya, memangnya salah ?”
Merah padam muka pemuda itu menerima jawaban Ani. Jawaban yang menegaskan sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya.
Kelu kerongkongan Yar. Tak bisa berkata- kata.
“Saya tidak pernah menganggap Kakak sebagai pacar. Kakak menunjukkan kebaikan kepada saya. Saya pikir itu sekedar balasan Kakak atas kebaikan saya juga. Saya bantu orang tua Kakak di sawah tanpa mau dibayar, saya bantu emak Kakak kerja di dapur. Saat penyakit bapak Kakak kambuh, saya yang diandalkan emak Kakak untuk ikut merawat. Ya, wajar- wajar saja karena kita tetangga ! Lantas Kakak mengajak saya makan bakso, membelikan kebutuhan kosmetik, menolong Bapak di sawah. Saya terima saja, apa salahnya ?!
Saya tidak berperasaan lebih ketika kita jalan- jalan atau nonton bioskop. Pernahkan kita berduaan dan mesra- mesraan, yang berlebihan ? Tidak, kan? Selalu ada teman perempuan saya yang ikut. Lagi pula apa Kakak lupa bahwa Kakak tidak pernah mengucapkan kata cinta pada saya ?!”
Itu deretan kalimat pembelaan diri Ani yang lebih sebagai ledakan bom di telinga Yar.
Yar tidak mampu memperpanjang pembicaraan. Kecewa, malu, marah mencengkeram dadanya. Apalagi ketika beberapa temannya mengetahui persoalan itu. Sindiran, simpati yang mengejek, tiap hari mendera telinganya. Ujungnya sumpah serapah pada diri sendirilah yang menggelora dalam batin Yar, atas ketololannya sekian lama, yang terlena dalam cinta sepihak, dalam keyakinan bahwa sikapnya telah menjatuhkan hati gadis itu tanpa harus diawali dengan kalimat ’i love you’, plus berkeranjang- keranjang bunganya.
Ani kemudian akan menikah dengan sepupunya.
Habis harapan Yar. Ia berjuang memangkas dan mengubur bunga- bunga duri kegagalan. Pada akhirnya berhasil juga. Ia maafkan Ani dengan berpegang pada prinsip ‘bukan jodoh’, ‘menjaga persaudaraan dan ukhuwah’.
Sayangnya Ani kembali menikamkan belatinya ke luka orang yang tulus mencintainya itu.
Selembar kertas yang dilipat kecil ia lemparkan ketika Yar lewat depan rumahnya.
Salam buat emakmu. Jangan datang lagi ke rumahku seperti kemarin jika cuma hendak menyesali aku yang mengkhianati kamu, yang telah mengecewakan kamu. Calon suamiku mengancam tidak akan jadi menikahi aku, sebab ia tidak senang emakku masih meladeni pembicaraan tentang kamu dalam hari- hari persiapan pernikahan kami.
Aku sadari bahwa memang benar aku mengkhianati kamu, sebab selama ini aku pun memiliki perasaan sama seperti yang kau rasakan. Aku juga telah menganggap kamu pacarku. Tapi apakah salah jika aku berubah pikiran, jika akhirnya aku mengikuti keinginan orang tuaku yang lebih memilih sepupuku sebagai suamiku ? Mereka menginginkan agar harta kakek kami yang banyak tidak berbagi ke rumpun lain, Yar. Aku rasa itu masuk akal. Makanya aku pun setuju.
Maaf, aku harus jujur, Yar, aku pun tidak punya keberanian untuk bersuamikan lelaki yang tidak mapan. Aku tak ingin rumah tanggaku tersisih dalam pandangan masyarakat karena kemelaratan.
Tak akan dilupakan seumur hidup oleh Yar bagaimana emaknya menangis ketika membaca kata- kata itu.
“Maafkan emak. Kemarin emak tidak bisa menahan hati atas sikap Ani dan orang tuanya yang emak tahu pasti mempermainkan kamu ….” Rintih perempuan itu.
Kepercayaan diri Yar jatuh. Terlebih ketika beberapa hari kemudian Ani melangsungkan pernikahan. Ia trauma dan memutuskan tak berhubungan dengan perempuan. Ia pun jarang di rumah. Waktunya lebih sering dihabiskan di ladang, menyembunyikan kegalauan, mengalihkan perhatian dengan merawat tanaman sayur- sayuran.-
*
BAGIAN 3
Yar terus larut dalam alun jiwanya di ambang jendela rumah bukit itu. Belum ada niatnya untuk tidur kendati ting tong jam dinding kembali menumbuk telinganya, memberitakan pukul setengah lima dinihari. Penyakit biasanya, susah ngantuk.
Matanya menyorot ke timur. Agak jauh, berbatasan dengan sungai, ada sebuah rumah yang tingkat duanya menyembul di antara bangunan sekitarnya. Samar- samar nyala lampu.
Darahnya berdesir.
Nur, gadis yang ia kutuk, ada di salah satu kamar tingkat dua itu.
“Sedang apa perempuan jalang itu di kamarnya ?” Tanya batinnya.
Sedang tidur ? Mimpi malam pertama yang indah ? Sedang mematut- matut diri di depan cermin, mempersiapkan wajah dan tubuhnya untuk hari pernikahan ? Atau, sedang tertawa sendiri, menertawai aku yang begitu mudah ia putuskan, begitu mudah ia kadali demi mengejar cinta seorang pemuda, teman gurunya ?
Benar- benar munafik ! Ia tendang pendiriannya sendiri demi laki- laki itu !
Terbentang suasana lampau dalam ingatan Yar. Suasana ketika ia dan Nur sama- sama siswa kelas dua SMA. Nur memaksanya ikut bolos sekolah dan bersembunyi di kebun jambu samping rumah gadis itu.
“Nanti kalau sudah waktunya, kamu mau kawin dengan perempuan macam mana, Yar ?” Tanya Nur sambil menatap lekat Yar yang sedang membersihkan telapak sepatunya yang dipenuhi lempung.
Yang ditanya menghentikan kegiatannya. Raut wajahnya menampakkan keterkejutan menerima pertanyaan itu. Tak sekali pun ia memikirkan masa depannya dari segi itu. Pacaran pun ia tidak pernah. Tapi sejenak saja, ia yakin Nur cuma sedang keluar asal- asalannya untuk mengisi suasana yang memang sesaat kosong obrolan. Nur orangnya ceplas ceplos, bicaranya kadang sekenanya.
“Aku serius !” Seru gadis itu. Mukanya menegaskan apa yang ia ucapkan.
Yar diam, tak tahu bagaimana menjawab.
“Kalau aku, aku mau kawin dengan lelaki aktivis, lelaki yang punya jiwa pemberontak.”
Dahi Yar berkerut mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari bibir tipis temannya itu. “Jiwa pemberontak ?” Tanyanya. Tidak mengerti.
“Ya, lelaki yang berani berontak terhadap tingkah pola dan aturan pemerintah yang busuk, yang membuat rakyat tertekan, tertindas, jadi sapi perah.” Ucapnya kemudian, sungguh- sungguh.
Yar tertawa. Ia menganggap Nur mengada- ada.
“Kenapa ?” Sentak Nur, tersinggung.
“Memang ada pemuda sini yang bisa seperti itu ?” Balas Yar masih dengan ketawanya.
Nur diam. Dia sedikit terpojok.
“Kalau tidak pemuda sini, pemuda dari luar, kenapa tidak ?” Jawabnya tak mau kalah.
Yar menggeleng- geleng. “Kamu berlebihan.” Ujarnya pelan. “Tidak mudah melawan tingkah pola dan aturan pemerintah yang berkuasa. Ujung- ujungnya bukan tingkah pola dan aturan itu yang kalah, melainkan yang melawan itu yang musnah.”
“Pikiran begini, pikiran apatis seperti pikiran kamu ini yang menjadikan tingkah pola dan aturan buruk pemerintah berkembang terus, mengabaikan rasa keadilan rakyat selamanya!” Sambar Nur dengan emosi yang tiba- tiba meledak.
“Lihat sekitar kamu, lihat bagaimana pemerintah menggusur para pedagang kecil di sepanjang jalur pasar tanpa ada ganti rugi dan kejelasan pemindahan cuma karena mau menata kota. Perhatikan bagaimana ladang- ladang pesisir yang sudah puluhan tahun digarap rakyat, diambil alih semaunya oleh pemerintah untuk proyek besar pertambakan. SPPT tak dianggap, kesepakatan uang pembebasan dibuat menguntungkan pemerintah. Dibayarkan dengan cara berbelit- belit, diecer- ecer pula. Janji pemberdayaan tenaga kerja lokal hanya janji !” Sambungnya berapi- api.
“He,Yar, bukankah salah satu ladang yang dirampok itu adalah ladang bapakmu juga? Takkah kau rasa susahnya orang tuamu kehilangan sumber penghidupan ?”
Yar tidak menampakkan reaksi apa pun. Mukanya ditolehkan ke arah lain. Nur merasa dilecehkan.
“Kalau kamu mau jujur, kamu akan memaki- maki polisi dan petugas kehutanan yang menangkap Pak Hamid gara- gara membeli tiga belas batang usuk untuk bangunan rumah, sementara aparat itu meloloskan enam truk pengangkut kayu yang di dalamnya ada sisipan kayu tanpa surat, setelah masing- masing aparat diberi jatah lima ratus ribu oleh pengusaha pemilik kayu itu. Bapakku dan dua temannya dituduh mencemarkan nama baik aparat karena mengungkit persoalan ini. Bukti dan saksi tidak dianggap kuat oleh pejabat- pejabat kabupaten.” Cecarnya. “Mungkin termasuk kamu juga di antara warga kota kecamatan ini yang memperhatikan semua kebusukan itu dengan tanpa perasaan. Tapi aku tidak. Aku ingin mengajarkan diriku untuk mau mencerca.”
Hening sesaat. Kedua remaja itu tenggelam dalam pikirannya masing- masing.
“Kalau kamu memberi kesempatan sedikit pada hati nurani, kamu akan lebih banyak menemukan tingkah pola dan aturan pemerintah serta aparat- aparatnya yang akan membuat batinmu menjerit gelisah. Aku yakin kamu bisa, sebab kamu temanku yang cerdas.” Ucap Nur memecah suasana.
“Siapa yang ajari kamu ?” Sambut Yar melunak.
“Bapakku, setiap saat. Kamu tahu kan, beliau orang LSM ? Cuma sayang sedikit sekali warga yang mendukung beliau. Orang- orang sini mengangggap bapakku cari- cari kerjaan, ingin populer, dan sadisnya memfitnah beliau cari jalan untuk dapat jatah dari proyek pemerintah. ”
Usai menjawab gadis itu bangkit, menepuk- nepuk pantatnya yang dilekati daunan kering. Tatapannya lekat ke muka Yar.
“Cobalah latih diri untuk peduli pada keburukan- keburukan di sekitar. Paling tidak itu akan bikin kamu lebih bisa memberi harga pada dirimu sendiri.” Sarannya.
Yar masih tidak berucap sepatah kata pun.
“Dan siapa tahu kamu bisa masuk dalam daftar calon suami yang kumau.”
“Sialan !” Seru Yar merasa diejek.
Nur tertawa tergelak- gelak.
“Jangan ketawa keras begitu. Tidak baik sebagai perempuan.” Sela Yar, serius.
“Siapa peduli.” Sungut Nur.
“Ayo ke rumah. Cepat sedikit, aku lapar.” Ajaknya seraya menarik tangan Yar.
Yar bangun dari duduknya.
“Banyak tanah di pantatmu.” Seru Nur. Sejurus ia tepuk- tepuk pantat temannya itu.
Yar berusaha mengelak karena risih.
“Alaa, pakai malu segala !”
Yar mengambil sikap tidak peduli dan mencoba melepaskan tangannya yang digenggam gadis itu. Tapi Si gadis ingin menggoda. Ia balas mempererat pegangannnya.
“Lepaskan. Malu dilihat orang.” Pinta Yar.
“Ndak.” Balas Nur.
“Lepaskan !”
“Aku cium kamu !”
Yar mendelik, pura- pura marah, sebab ia tahu itu cuma ancaman main- main Nur yang biasa ia terima kalau gadis itu sedang ingin menggodanya.
“Ndak percaya kalau aku akan cium kamu ?”
“Coba saja kalau berani !” Tantang Yar.
Tapi kali ini Nur tidak cuma main- main. Sebelum Yar bisa menghindar, kecupan gadis itu sudah mendarat di pipinya. Dua kali.
Kontan saja muka Yar memerah.
Nur tertawa, tergelak- tergelak lagi sambil menarik tangan Yar untuk meninggalkan kebun itu ....
Yar tersentak. Terawangannya buyar oleh hp yang berdering lagi.
Yar balikkan badan, melangkah ke dipan. Jari telunjuknya menekan tombol pemutus panggilan.
Ketika ia kembali berdiri di jendela, ia putuskan untuk mengusir sudah bayang- bayang Nur. Ia berusaha mengalihkan perhatian ke arah lain, pada hamparan lampu, hamparan atap rumah samar- samar di bawah bukit.
Kota kecamatan. Kota yang luas, atau lebih tepatnya hamparan desa luas yang telah disergap perubahan- perubahan berciri kota. Rumah dan aneka bangunan bergaya modern memadat, menjulang berselisih dengan gugusan pertokoan, deretan kantor, sebuah pusat perbelanjaan, gedung- gedung hiburan, menara- menara transmisi ponsel, pabrik- pabrik. Blok- blok jalan lengang penuh lampion warna- warni dan dipagari papan- papan baliho raksasa. Baliho para caleg. Di dalam rumah, di dalam bangunan- bangunan itu, sedang lelap tentunya manusia- manusia, pada penduduk yang ribuan jiwa mengistirahatkan diri sebentar dari tingkah pola hidup seharian.
Pikiran Yar mencoba memetakan letak rumahnya. Dapat. Sebuah rumah batu lumayan besar di tengah kota, langkah tujuh rumah ke arah utara menara ponsel berkonstruksi segi tiga, dekat kantor camat, dekat lapangan bola yang sedang diubah oleh pemerintah kecamatan menjadi taman kota.
”Wuih, taman kota ....” Gumamnya dengan hati melecehkan.
Siapa yang akan menikmati keindahannya ? Siapa yang akan duduk santai dan bercengkerama melepas kepenatan ? Bukankah orang- orang lagi keasyikan berenang dalam arus transisinya dari masyarakat tradisional agraris ke masyarakat mapan yang kapitalistis ? Bukahkah sungai kapitalisme sedang hangat- hangatnya dan tiap jiwa nyaman di sana ? Atau, berharap bunga- bunga diciumi, teduh pepohonan dinikmati 40% warga miskin ? Mereka tak butuh hiburan. Mereka risih pula memperjelas diri mencari hiburan. Mereka perlu makan dan jaminan kesejahteraan, jaminan minyak tanah tidak langka dan harganya stabil, jaminan BLT merata serta para ketua RT tidak seenaknya memilah milih penerima sesuai kemauan hatinya, jaminan anak- anak sekolah dengan perasaan tak dikucilkan. Daerah ini sudah jadi kota dimana penghidupan kian berat dalam persaingan ! Anak TK saja sudah pandai membanding- bandingkan besarnya deposito bapaknya di bank, bahkan sampai mahalnya harga kerudung emaknya !
“Emak belum tidur, paling sedang tahajud.” Terka batin Yar saat tatapannya terhenti di atap rumahnya.
Sejak kematian suaminya dua tahun silam perempuan itu selalu bangun larut malam untuk tahajud. Setelah itu duduk sendiri di serambi tanpa kerjaan menentu. Kadang menyulam, kadang sekedar membaca buku agama, kadang pula cuma termenung. Yar bisa menangkap bahwa pekerjaan menyulam atau membaca itu hanya tipuan emaknya agar terhindar dari pertanyaan kenapa lama tidur atau desakan Yar supaya jangan keseringan ‘begadang’. Yar tahu emaknya tertekan.
“Sudah, jangan urus aku ?! Kamu urus saja dirimu sendiri !” Begitu bantahan Emak, selalu.
Emak telah berubah menjadi tertutup dan keras.
Yar menghela nafas, menekan aliran kepedihan yang menjalari dadanya. Tapi kepedihan itu justeru semakin kuat menjalar, membelit- belit perasaannya.
Yar terhempas kembali di kaki bayang- bayang masa lalu, di muram suasana malam saat sendirian di dangau ladang, saat kehampaan menyergap jiwanya, saat ia cuma bisa menghayal, merenungi riwayat cintanya, hidupnya.
Ia dengan latar orang tua yang cuma peladang miskin bukanlah tipe cowok idaman, cowok rebutan di tengah dunia muda mudi yang sudah semakin menguatkan sahihnya kriteria mapan, tajir, minimal bermotor kren, sederet kriteria yang dipelajari dari sinetron, yang diamini dari promosi iklan dan berjuta ribu tayangan televisi. Dia, walau pun tidak terang- terangan disebut para muda- mudi, layaknya ‘jadi umpan hiu, di laut !’
Ia tak punya peluang mendapatkan pacar.
Dalam kemalangan yang disaksikan bulan, bintang dan mungkin ditertawai angin ladang, ia menemukan pelampiasan ; menulis. Menulis kalimat- kalimat apa saja. Pokoknya kalimat yang bisa mengencerkan gumpalan- gumpalan yang menyesaki dadanya. Untuk itu sengaja ia siapkan beberapa buah buku tulis kosong di bawah bantalnya.
Berhasil. Ada ketenangan yang ia rasakan tiap kali menulis.
Ia keranjingan.
Ia suka berulang- ulang membaca rangkaian- rangkaian kalimat yang ditulisnya, yang kerap ia alami jadi berkembang indah.
Lalu kembang- kembang itu kian banyak, kian menumpuk dan memenuhi bukunya.
Lalu kembang- kembang itu kian berkembang- kembang warnanya, dari sekedar kekecewaan, anti Ani, anti Nur, anti perempuan, anti televisi, anti sinetron, sampai protes pada kelahirannya, balas dendam pada dunia, keangkuhan, keakuan, dan semangat hidup.
Yar terbuai.
Pelahan ia arahkan pikiran dan perasaannya untuk mengurung kata- kata yang terangkai ke dalam satu bentuk teratur. Bentuk sajak.
Dua tiga bulan, sejalan dengan usia tanaman tanaman sayur- sayurannya, puluhan sajak pelampiasan mampu ia jelmakan, mampu mewakilkan secara sempurna segala apa yang meriak, berombak dan mengguruh dalam otak dan hatinya.
Yar temukan dirinya sedang berada dalam suatu suasana baru, suasana puitis, suasana terpuaskan dengan puisi. Dipermainkan jiwanya oleh khayalan lahirnya beribu- ribu sajak indah dari tangannya.
Dia girang, teramat sangat girang. Dikipas- kipasi oleh kesadaran adanya sesuatu yang manis, yang bisa ia perbuat untuk mengisi kekosongan rasa. Ia kian bersemangat, teramat sangat bersemangat, dicambuk- cambuki kesadaran tentang sesuatu yang terpendam pula dalam dirinya ; bakat, dan bakat itu sedang berseru tak henti mendesaknya untuk membuka jalan muncul lebar- lebar.
Suatu ketika Yar mulai berpikir tentang membanggakan karya dan dirinya sebagai orang yang hebat menulis sajak pada orang lain. Tapi pada siapa ? Bapak dan emaknya ? Teman- temannya ? Bapaknya, emaknya, teman- temannya, sekalian orang kecamatan tak ada yang bisa diharapkan untuk mau diajak berepot- repot membaca sajak, bicara tentang sajak. Paling bapak dan emaknya akan berkata, “Sajak ? Sudah berapa kali sayuranmu dipupuk bulan ini ?” Teman- temannya dan orang- orang akan sekedar mengangguk- angguk tidak jelas atau fatalnya mengejek, “Wah sekarang ada penyair di kota kita, ya ?” Bikin sakit hati saja, begitu kesimpulannya.
Mungkin lewat koran, pikir lelaki itu. Tetapi kecemasan menyeruak pula, menanyainya tentang kelayakan.
Demikianlah akhirnya kecemasan itu mendorong Yar untuk mencari puisi- puisi pembanding, mempelajari cara- cara berkarya penyair ternama. Ia jadi tertarik membaca, membaca apa saja, majalah, koran, yang ada puisi, yang ada ulasan sastra, yang ada riwayat berkarya penyair dan sastrawan. Bapak dan emaknya ngomel- ngomel ketika empat buku antologi puisi dan satu buku teknik menulis sastra ia beli dari hasil penjualan cabe dan terong.
“Seorang penyair, jika ingin karyanya menonjol dan sekaligus diterima oleh pembaca sastra, ia harus terus menerus meningkatkan kualitas karya dengan sungguh- sungguh mendalami teknik penulisan sastra, yang diterapkan dalam latihan yang tak henti.” Kata salah seorang penyair dalam buku yang ia baca.
“Sajak yang baik dan penyair yang baik untuk jaman kini, jaman penindasan dan kesewenang- wenangan, era homo homini lupus dalam berbagai bentuk, dimana setiap manusia yang jadi korban haus pembelaan, adalah sajak dan penyair yang bisa menjelmakan dirinya sebagai cermin dunia dan kehidupan, tempat semua orang bisa menemukan dirinya terutama, orang lain dan apa saja dalam setiap keadaan di seluruh penjuru mereka. Tempat teriakan- teriakan mereka, jeritan- jeritan mereka, tangisan- tangisan mereka, pertengkaran, peperangan, cengkerama, tawa dan kebahagiaan mereka terefleksi secara utuh dan jujur. Sebelum pada akhirnya, sajak dan penyair itu menyeka air mata dan darah yang meleleh dengan empati paling tulus, sekalian maju ke depan menghunus pedang untuk memimpin pemberontakan, ikut menari ketika meraup kemenangan dan merasai kelucuan mengejek pihak- pihak yang kehilangan bendera dan kursi kemaharajaan ….” Ujar seorang penyair lagi.
Ini kalimat- kalimat nasehat yang ia tulis besar- besar di dinding dangau dengan arang perapian, yang membuat ia sangat terkesan, hingga dijadikannya tetapan belajar, berlatih dan berkarya lebih serius. Tetapan yang kemudian melarutkan Yar dalam perhatian khusus pada keluhan petani tentang harga pupuk, penggusuran pedagang kecil untuk tujuan keindahan kota, tengkulak yang menyita sepetak sawah karena pemiliknya tak mampu melunasi hutang, seorang siswa SMA ditangguhkan keikutsertaannya dalam ulangan semester karena bapaknya belum membayar uang komite, gemericik air pancuran dikitari burung- burung, bunga- bunga liar di pematang ..., hal- hal lain di sekitarnya yang menempatkan orang lain dan apa saja dalam setiap keadaan di seluruh penjuru mereka untuk masuk dalam ‘cermin’ yang ia cipta.
“Satu lagi, jangan takut karya Anda ditolak penerbit !” Pesan penyair lain.
Yar memberanikan diri mengirim karya ke penerbitan. Buahnya, nyaris tak pernah ditolak, sajak- sajaknya bermunculan di berbagai koran lokal. Yar tak peduli kendati tak pernah menerima imbalan, sebab ia paham juga dengan keadaan media lokal kabupaten yang tidak bisa bicara apa pun tentang penghargaan material bagi tulisan yang masuk. Yang penting sajak dan nama, kata batinnya saat itu, tak ingin terpengaruh bayang- bayang uang.
Empat tahun berjalan, semakin sering Yar mempublikasikan sajak- sajaknya di berbagai media cetak. Semakin ia yakini bahwa torehan balpoinnya berhasil dan akan selalu berhasil.
Lima enam tahun kemudian namanya mulai berkibar di majalah- majalah sastra luar daerah. Bersamaan dengan keberhasilannya menjadi pemenang dalam dua tiga lomba penulisan sastra yang diselenggarakan komunitas sastra propinsi dan nasional.
Lima puluh sajak terbaiknya tentang penderitaan dan keluhan kaum tani diterbitkan dalam bentuk buku, dengan catatan khusus kritisi : sebuah buku yang menjadi wadah air mata petani yang kelaparan di lahan miliknya sendiri.
Dua tahun berikutnya Yar termasuk penyumbang lima belas judul sajak dalam buku antologi bersama dengan beberapa penyair Indonesia yang bertajuk ’Pergerakan Kata- kata’. Pada tahun itu juga dia dinobatkan sebagai salah satu Penyair Indonesia Angkatan 2000. Efeknya Yar bolak balik ke luar daerah, ke kota- kota besar dalam negeri bahkan Kuala Lumpur dan Singapur untuk memenuhi undangan pembacaan sajak, musyawarah atau kongres sastra dan berbagai kegiatan kesusasteraan lainnya. Penulis muda itu pun pernah dihadiahi kesempatan ikut serta dalam Lawatan Sastrawan Dunia yang bertema Perdamaian Barat dan Timur dalam Sastra ke berbagai negara ; Arab, Libanon, Pakistan, Inggris, Perancis, Jerman, Italia. Di akhir lawatan ia ikut kemah seminggu bersama di Lereng Gunung Matternhorn- Swiss, sebagai penghargaan ekstra panitia yang mendapat tiket gratis promosi ’Wisata Musim Panas Gunung Matterhorn’ dari Pemerintah Swiss.-
*
BAGIAN 4
Riuh lenguh sapi dari peternakan membangunkan Yar yang masih belum rela melepaskan balutan selimut. Matanya yang baru dibuka spontan dipejamkan kembali karena silau disorot larik matahari pagi musim panas yang menerobos lubang angin kemah. Pelan- pelan ia melek kembali, mencoba menentang sorotan itu. Tapi ia terpaksa membuang pandangan karena belum sanggup juga.
Yar bangkit, duduk, menguap berulang- ulang.
Disibaknya selimut, merayap untuk membuka penutup ’pintu’ kemah, dan keluar. Angin semilir menyambut tubuhnya.
“Good morning, Matternhorn !” Serunya pelan seraya membentangkan kedua lengan, membusungkan dada, menghirup dalam- dalam udara segar pegunungan.
Sejurus pemuda itu memperhatikan sekitar. Kesepuluh kemah ‘tetangga’-nya tertutup. Sepi. Ia tersenyum menatap tiga perapian yang masih berasap. Berulang kembali seperti kemarin dan kemarinnya, tiga hari yang sudah dijalani dalam perkemahan, teman- teman sastrawannya bangun pagi sekali, memasak, sarapan, lalu meninggalkannya masuk ke desa.
“Kita sengaja tak membangunkan kamu Indonesian. Biar jadi pelajaran dan mau bangun sendiri.” Dalih Vincent, utusan Belanda lewat bibir Hank, penerjemah, setiap kali Yar protes tidak dibangunkan, diajak serta masak, sarapan dan keluyuran.
Ahmad, Lee, Grace, Natalie, Vikram dan keempat belas peserta kemah lainnya akan tertawa melihatnya senyam- senyum malu.
Tapi biar pun tak ikut bangun pagi- pagi, teman- temannya itu selalu meninggalkan berlembar- lembar roti tawar, keju plus susu hangat di dalam kemah logistik.
Ingat itu Yar bersegera berkumur, menggelar alas di rumput yang masih basah oleh embun, mengeluarkan nampan jatahnya. Siap makan pagi ala Barat. Sesuatu yang pada awalnya ditentang keras perutnya akibat terbiasa pagi- pagi dijejali dengan nasi putih atau kerak basah.
Kicau burung di cabang- cabang pohon cedar yang menguasai tepi hutan tempatnya berada menjadi hiburan pembuka hari yang mengesankan bagi pemuda itu.
Yar mengunyah roti dengan wajah setengah tengadah untuk mengimbangi ketinggian Gunung Matternhorn. Tatapannya lekat merayapi bentangan kabut yang menyelimuti puncak, yang belum pupus juga kendati matahari sudah merangkak meninggi. Matahari yang menyinari lekak- lekuk reliefnya yang dibentuk hamparan pepohonan hijau, pepohonan meranggas.
Sayup- sayup dentang lonceng gereja berulang kali dari arah desa. Tanda panggilan kebaktian hari minggu.
Roti dan susu tuntas. Yar berpikir untuk lekas mandi.
*
Yar menuruni tebing sungai yang mengalir membelah tepi hutan yang tidak jauh dari lokasi perkemahan itu. Airnya jernih sebatas lutut, dengan batu- batu hitam mengkilat menghampar di dalamnya. Nampak jelas gerombolan ikan yang entah apa namanya berenang riang. Ia geli sendiri mengingat joran bambunya di desa, yang mata kailnya pernah ’disergap’ kutang berwarna ungu belang- belang, entah milik siapa. Tapi setelah itu sering benar jorannya memberi hasil.
Sungai ini tempat semua sastrawan peserta perkemahan membasuh diri.
Dingin mengaliri tubuh Yar ketika ia melangkah masuk dengan telanjang penuh ke dalamnya. Tapi ia senang dan merasakan sensasi tersendiri.
‘Soft’. Yar membaca label sabun yang di bungkusnya ada gambar gadis cantik. Sabun itu harum, busanya banyak dan lembut. Asli buatan industri rumah tangga Desa Matternhorn. Ia kembali tersenyum sendiri ketika benaknya terisi bayangan saat mandi di sungai desanya. Sabunnya sabun cuci pakaian, super padat dan jika agak keras digosok bikin kulit perih. Cocoknya untuk mengikis panu.
Mendadak Yar tercenung. Batinnya dikuasai sejenak oleh kerawanan mengingat teman- temannya yang sering berlebihan, membuat kesenangan dengan menendang atau melemparkan sabun miliknya ke dalam sungai.
Pernah waktu SMP, seekor induk biawak menjilati tangan Yar yang menggerayangi liangnya untuk mencari sabunnya yang dijadikan ‘batu’ penyambit tekukur oleh Dayat.
Memerah wajah pemuda itu. Sepotong kayu tergenggam di tangannya. Lalu, byurr ! Kayu itu melesat jauh dan jatuh menimpa air. Menimpa bayangan teman- temannya.
“Aku tak akan bisa lagi kalian hina !” Teriaknya memecah sunyi sekitar. “Aku, Yar, sekarang di Swiss ! Di Eropa ! Kalian, apa ?! Kalian yang menganggap diri kaya hanya budak- budaknya desa yang bisanya menghamba dan terpenjara pada keangkuhan desa ! Lihat ! Tatap baik- baik ! Aku, Yar, sastrawan dunia ! Melenggang ke seluruh penjuru dunia !”
Ketika sadar dengan tingkahnya lutut Yar lunglai dan jatuh terbenam sebatas dada.
Sejenak saja, ia tak ingin terbawa- bawa arus perasaan terlalu jauh. Lekas dibasuhnya kepala dan seluruh tubuh. Kesegaran segera menenangkan dirinya.
Baru saja selesai mengenakan pakaian, mata Yar menangkap kelebatan sosok orang berlindung di balik pepohonan cedar di tebing sungai. Yar penasaran. Pelan- pelan ia menanjak dengan maksud menyergap. Baru sampai di atas, sosok itu memperlihatkan diri.
Rasa penasaran Yar buyar dan ia harus tersenyum ketika di hadapannya berdiri Maria, putri Jose pemilik peternakan sapi yang paling dekat dengan lokasi perkemahan.
Sesaat Yar memperhatikan gadis jangkung, berambut pirang tergerai, berwajah cantik tapi bisu itu. Memperhatikan gaun yurk-nya yang memanjang sampai pergelangan kaki, dengan krah bulat berenda. Berwarna putih terang, bergaya pertengahan. Topinya juga, putih, berjaring- jaring dan dihiasi bordir bunga.
Maria dan bapaknya dikenali Yar dan lekas akrab ketika ia mengunjungi peternakan. Jose orangnya pendek gemuk, bermuka kemerahan seperti isi semangka masak tapi ramah dan senang memberi susu atau keju pada Yar. Malam- malam bila peserta kemah menikmati hangat api unggun usai membahas sastra dan berdebat tentang Barat- Timur, Jose datang dengan sekaleng besar keju leleh dan roti kering. Ia mengajak berpesta.
Penerjemah menjelaskan bahwa Jose sudah duda, ditinggal mati isterinya beberapa tahun silam. Ia turunan eksodus Jerman yang menolak masuk militer Hitler dan mengganyang Yahudi. Kakeknya lah yang merintis peternakan dan memulai pembangunan rumah, yang kini dikelola dan ditempatinya berdua bersama anak gadis satu- satunya itu.
Vikram, penulis muda asal India, peraih Asian Poems Award pernah nakal dengan menanyakan Jose apakah tidak berpikir untuk kawin lagi.
Jose menjawab dalam bahasa Arya yang diterjemahkan Natalie, penulis Jerman, bahwa sebenarnya ia ingin kawin lagi, tapi sudah lebih cinta pada sapi- sapinya dan sayang sekali pada anaknya. Ia takut sapi- sapi piaraan dan Maria cemburu.
Grace, novelis senior asal Inggris yang dalam curiculum vitae-nya tercatat single memberenggut ketika Ahmad dan Lee, Raja Cerpen Pakistan- Cina membisikinya, “Tidakkah hati Anda tersentuh dengan kesendirian teman kita ?”
Ahmad dan Lee memang paling senang menggoda Grace, sampai tentang hal- hal yang menyentuh pribadi. Padahal mereka punya juga keyakinan bahwa orang Barat peka dan mudah tersinggung dihadapkan dengan pertanyaan atau pembicaraan yang menyangkut privacy-nya.
Yar mulai mengajak berkomunikasi Si gadis yang tersipu- sipu itu.
Mulanya dengan anggukan kepala, tanda sapaan.
Maria membalas mengangguk.
Kemudian telunjuk Yar menunjuk padanya, berputar menunjuk mata sendiri, lalu menunjuk tubuh sendiri, lalu kedua tangannya mengisyaratkan gerakan membuka baju dan celana, yang diakhiri anggukan berkesan pertanyaan.
Maria tertunduk. Wajahnya yang putih pucat menjadi merona merah.
Yar menggeleng- geleng, meyakini bahwa Maria telah melihat sekujur badannya ketika dirinya dalam keadaan telanjang.
Gadis itu menggerakkan tangan dan menegas- negaskan semacam ekspresi lewat raut wajahnya, yang ditafsirkan Yar sebagai permohonan maaf.
“Minta maaf ? Menyesal ?” Tanya Yar dalam bahasa Indonesia. Kelepasan.
Gadis itu bingung.
Yar mengerti bahwa Maria bingung.
“Aku juga bingung, Mar.” Katanya tanpa peduli pada Si dara yang kian bingung. “Sudah tak bisa bahasa Inggris, apalagi bahasa kamu, aku harus pula meladeni kamu dalam bahasa bisu. Baiknya tak usah komunikasi. Ayo jalan !”
Digenggamnya lengan mulus Maria, dituntunnya meninggalkan tebing sungai. Maria menurut. Si cantik itu memang semakin akrab saja dengan Yar. Apalagi Jose tidak melarang mereka berteman, bahkan menunjukkan ‘rasa syukur’ karena Yar dan para sastrawan peduli pada putrinya. Kadang pula Jose mengantar anaknya itu untuk bermalam di kemah Natalie.
Seperti hari- hari sebelumnya Maria mengajak Yar main- main ke desa. Maria akan terlihat bangga sekali punya sahabat baru, orang jauh. Dan itu dapat ditangkap Yar dari bunga- bunga di raut wajahnya saat gadis itu memperkenalkan Yar pada orang- orang.
**
Desa Matternhorn, demikian Yar dan teman- temannya menyebut. Sebuah pemukiman penduduk yang menempati kawasan perbukitan cukup luas di lereng Gunung Matternhorn. Sama dengan luas kawasan untuk satu desa di kecamatannya Yar.
Desa Matternhorn adalah desa yang ditetapkan oleh pemerintah Swiss sebagai desa wisata. Penerapan semacam culture tourism- lah dalam pemahaman Yar. Sebab memang suasana alam dan kebudayaan serta tingkah pola warga lah yang mencolok daya pikatnya di desa ini.
Rumah- rumah dan segala bangunan sederhana bergaya gothic, dalam balutan nuansa natural-nya gunung, bukit , ranch, dairy, dengan cemara, pinus, cedar, bunga- bunga liar, serta rerumputan di sana- sini di sekujur desa. Sesuatu yang hendak dilestarikan oleh warganya sendiri. Pekerjaan sehari- hari pun tidak beranjak jauh dari peternakan sapi, kuda, penjual souvenir, pembuat keju dan coklat dalam industri kecil rumah tangga. Peralatan hidup ikut konservatif. Di sini kereta kuda, yang sering dilihat Yar di film- film Barat tempo dulu masih dijadikan kendaraan pengangkut. Kuda- kudanya yang tinggi tegap dihela sais berkostum abad pertengahan. Tak ada kendaraan bermotor. Tak ada trem atau sepur. Anak- anak bermain dengan sepeda dayung yang bermodel kuno.
Yar terhenyak ketika pertama kali memasuki desa itu. Sebuah desa di negara maju, modern, negara kaya yang terkenal sebagai sentral tujuan investasi dan tabungan orang- orang kaya dari berbagai negara, kenapa bertahan dengan ciri konservatifnya ? Takkah penduduknya ingin merubah diri menjadi masyarakat kota juga, dengan segala kondisi ‘wah’ dan menterengnya ?
Dengan kemampuan negaranya mereka tak akan perlu bersusah payah. ’Sekali sulap’ perikehidupan mereka mengembang, tak melulu bergelut dengan sapi, dengan susu, dengan keju, dengan coklat di depan mesin- mesin sederhana.
Atau semuanya tinggalkan desa itu, urban di pusat kota- kota Swiss ?
Yar lebih terhenyak dengan hasil wawancara lewat penerjemah, para penduduk menghadapkannya pada kesimpulan bahwa orang- orang sini cinta alam dan budaya, cinta warisan nenek moyang mereka dan merasa cukup dengan alam dan pola penghidupan mereka ! Cukup sebagai peternak, cukup dengan dairy, cukup dengan ranch, cukup dengan memerah susu, memeramnya jadi keju, mengadon anugerah- anugerah alam menjadi coklat, yang diperjualbelikan terutama dengan wisatawan ! Tak ada birahi persaingan untuk merebut kegemilangan industri, dengan pengorbanan mencabut diri dari akar budaya ! Tak ada penguasa kapital yang masuk menggagahi hutan- hutan, menekan orang- orang kecil untuk perkembangan- perkembangan menyakitkan.
“Kasihan negeriku ....” Keluh batin pemuda itu.
Di sana, di sebuah kecamatan, di sebuah negara berkembang, yang pemerintahnya kelimpungan mengatur keuangan negara, orang- orang desa begitu tertarik dengan kata kemapaman, perubahan dari hidup tradisional dan agraris menjadi kehidupan yang penuh kemajuan di segala segi dan bergelimang fasilitas yang mensejahterakan.
Lantas mereka beramai- ramai menelan pemikiran- pemikiran baru tentang sumber uang yang baru dan lebih berlimpah. Mereka leburkan konservatifitas mereka, alam dan adat budaya dengan apa saja, siapa saja yang mau masuk membawa janji- janji kemapanan.
Lahan- lahan pertanian, ladang, dan hutan ‘digadaikan’ kepada para pemilik modal yang dengan bernafsu membangun pabrik, tambak dan memonopoli hasil- hasil rimba. Adat istiadat dan segala norma budaya suku yang menekankan kemesraan antar manusia, manusia dengan alam, termasuk ketakutan manusia akan kemarahan Tuhan dan bumi dipinggirkan.
Lalu pemikiran- pemikiran baru, tekonologi baru dan sumber- sumber kapital baru itu membentuk medan pertempuran antar manusia sedesa, sekecamatan, antara yang pintar dengan yang lebih pintar, antar yang berpengaruh dengan yang terus hendak menimbun pengaruh, antara yang kaya dengan yang ingin semakin kaya. Antara Si dungu, Si miskin, yang tidak sanggup bersaing dengan yang tegak berkuasa. Antara kenyataan diri dan alam mereka hancur dengan keangkuhan kapital yang terlanjur mengakarkan diri dan tak mau tahu. Antara romantisme manusia- alam dengan pilihan birahi kejayaan. Antara kepedihan kalangan- kalangan yang prihatin dengan ketidakpedulian sebagian besar warga. Antara tujuan, perbuatan dan akibat.
Pemerintah atas bertepuk tangan, memberi aplaus, menganugerahi pujian bagi orang- orang kecamatan yang berpikiran jauh ke depan, yang cerdas berpikir dan bertindak, cepat melakukan alih teknologi, pintar menjemput investasi, yang bisa memberikan contoh perubahan bagi kecamatan- kecamatan lain, seraya mengingatkan, “Pendapatan asli kecamatan, pajak bumi dan bangunan, segala retribusi, diatur dengan baik dan seyogianya disetorkan tepat waktu.“
Pemerintah membangunkan mereka fasilitas- fasilitas baru dan bantuan- bantuan dana yang lebih mendukung dinamika pemikiran, dinamika teknologi, dinamika kapital. Bagi rakyat miskin dikucurkan aneka macam subsidi sosial. Semuanya sebagai imbal jasa atas kontribusi kecamatan dalam peningkatan kekayaan dan dana pembangunan kabupaten, propinsi, juga negara.
Orang kecamatan kian terbuai. Mereka kawal barisan investor luar yang sengaja dihadirkan pemerintah untuk memacu eksploitasi sumber daya manusia dan alam kecamatan. Investor- investor itu perlu lahan, perlu bahan baku, perlu tenaga handal. Tanah- tanah pertanian dibeli, minimal disewa, hutan diratakan, kuli- kuli setempat direkrut.
Muncul lah tuan- tuan tanah, pialang- pialang pembebasan tanah, penimbun sumber alam, yang bersaing membeli tanah warga dengan harga menjanjikan, yang berebutan memetakan hutan dan menumpuk hasilnya untuk dijual kepada para investor dengan harga lebih menguntungkan. Muncul pula koordinator- koordinator buruh yang menggiring warga masuk dalam kelompok- kelompok buruh yang bernaung di bawah kekuasaan perusahaan- perusahaan, yang menjadikan warga bersekat- sekat dalam semangat mengabdi pada perusahaan penguasanya masing- masing. Berdatangan pula aparat- aparat bersenjata yang diperintahkan mengamankan aktifitas investasi, terlebih- lebih proses pembebasan tanah bermasalah.
Kapitalis kecil desa, kapitalis kecil kecamatan lahir banyak bak anak tikus. Mereka mencari laba dan tidak terhindarkan bergelut kebiasaan tipu menipu serta membenarkan penghisapan di atas merapuhnya ’tanah air’. Di atas ironi para petani dan peladang yang bekerja sebagai kuli pembangun pabrik, penanam bibit dan penjaga kebun- kebun tanaman industri yang berkembang di bekas tanah garapan mereka.
Pemerintah menutup mata dari ironi itu.
Bahkan pemerintah menulikan telinga ketika pada gilirannya muncul berbagai persoalan. Gejolak kapitalis desa dan kecamatan yang mendemo investor karena menerapkan harga beli tanah dan bahan baku yang terlalu rendah, kemarahan petani atau peladang terhadap kapitalis dan pialang yang molor membayarkan uang pembeli atau pembebas tanah. Konfrontasi antar kelompok buruh untuk membela kepentingan perusahaan masing- masing. Pertikaian petani- peladang dengan aparat demi mempertahankan sawah dan ladang yang telah turun temurun digarap. Keluhan masyarakat terhadap limbah- limbah pabrik yang mengotori kejernihan kali, sungai serta kualitas air irigasi pertanian. Merebaknya penyakit akibat shock-nya tubuh warga dicekoki polusi debu dan asap kendaraan atau pabrik yang kian membengkak jumlahnya ….
Yar berdiri sendiri dinaungi rimbun cemara pinggir jalan di luar pagar halaman gereja. Pandangannya terpikat pada tingkah pola jemaat yang berdatangan menghadiri kebaktian.
Seorang ibu bergaun ungu dengan renda- renda bunga di pinggang menuntun anak lelakinya yang berumur kira- kira tujuh tahun yang tangan kanannya menggenggam setangkai bunga segar padang rumput. Si anak berlari ke arah pastor muda yang sedang berbicara dengan dua orang bapak- bapak di tangga.
Ditariknya ujung lengan jas Sang pastor. Disodorkannya bunga itu.
Pastor menerima dengan senyum manis seraya membelai rambut pirang jemaat kecilnya. Ada yang ia ucapkan pula.
Bocah itu pun berlari kembali ke arah ibunya yang berdiri menunggu di halaman. Wajah kanak- kanaknya sumringah. Ibunya menyongsong, memeluknya dengan muka diliputi kebahagiaan.
Yar memastikan bahwa bocah pemberi bunga itu senang sekali karena mendapat pemberkatan dari pastor.
“Inspirasi untuk sajak.” Gumamnya.
Makin banyak warga datang. Anak- anak dan remaja juga, manis- manis, tampan dan cantik, mendekap Alkitab.
Annie, gadis seumur Maria, anak pemilik cafe yang suka didatangi Yar terlihat berdiri sendiri di pintu halaman. Tatapannya tak lepas dari jalan, mukanya gelisah, seperti menunggu seseorang. Cantik benar dia dengan rambut blonde-nya yang digelung. Lehernya yang jenjang putih jadi kelihatan penuh.
Yar berniat mendekat, tapi terpaksa menahan diri karena sesaat kemudian seorang pemuda menghampiri Si gadis.
Edward, pacarnya.
Annie tersenyum lebar merengkuh tangan Sang pemuda. Keduanya bergandengan mengikuti warga yang masuk ke dalam rumah ibadah mereka tersebut.
Yar tercenung. Ada ’sesuatu’ yang tiba- tiba menjalari dadanya. ’Sesuatu’ yang dipicu tingkah mesra Annie dan Edward !
Aku cemburu ...?
Lekas- lekas ia usir ’sesuatu’ itu, yang pelahan hendak menyeretnya ke dalam kerawanan.
Aku jatuh cinta pada Annie ...? Tidak, tidak mungkin. Ia telah punya Edward, tunangannya.
Yar sadarkan diri bahwa kebaikan Annie selama mereka akrab adalah sekedar kebaikan seorang teman, seorang tuan rumah untuk tamunya, tamu desanya. Biar pun beberapa kali Annie merangkulnya, menciumnya ....
Yar tak ingin membawa- bawa perasaan udiknya yang sempit, yang bisa membuat ia bersikap norak , yang bakal melenakannya dalam ke-geer-an.
Lengang.
Dari dalam terdengar orasi. Lalu denting piano dan nyanyian- nyanyian.
Khidmat di telinga Yar, dan ia ingat masjid kecamatannya.
Sampai sekarang, masjid itu tak rampung- rampung pemugarannya. Bertahun- tahun, beratus- ratus juta dana dikeluarkan pemerintah dan masyarakat, belum jelas bagaimana bentuk akhir yang akan ditampakkan. Ujung- ujungnya warga bersyak wasangka ; perencanaan terburu- buru dan asal- asalan, teknis tidak maksimal, anggaran tidak efisien digunakan, ada permainan keuntungan di dalamnya, dan sebagainya, dan sebagainya ....
Ah, segala sarana lain yang lebih besar dan lebih rumit pembangunannya bisa selesai sekejapan mata. Rumah Tuhan tersia- siakan !
”Masjid itu baru rampung kalau yang tangani orang Barat atau pengusaha Cina !” Kata seorang warga yang pernah didengar Yar.
Duh !
Sudah lama sekali ia tidak sholat dan i’tikaf di sana.
Sholat, i’tikaf, sesuatu yang selalu rajin ia kerjakan saat kecil hingga beranjak remaja sudah menjadi sesuatu yang mencemaskan pula baginya.
Ia cemas ibadat itu justeru akan membuat ia semakin sering memprotes Tuhan, memprotes ketidakjelasan tanggapan-Nya atas doa- doa, atas rintihan- rintihannya meminta Maha Penguasa itu menyudahi sedikit kepahitan hidup diri dan keluarganya.
Baginya Tuhan telah terlalu lama mempermainkan dirinya, menempatkan ia di tengah- tengah pentas kelam, sebagai titik tuju pandangan mengejek dan beribu- ribu lemparan batu tajam ketidakadilan dunia. Ketidakadilan Sang Pemilik Dunia itu !
“Tawakkal ? Sabar ? Mau Kau jadikan aku makhluk semulia apa hingga diuji sedemikian berat ?!” Serunya selalu dalam sujud terakhir.
Dan dari takbiratul ihram hingga salam penghabisan, semangat ketakwaannya diterjanghempaskan keragu- raguan apakah Tuhan itu masih menghadap padanya, apakah kegamangannya tak semakin menjadikan Dia membelakanginya ?!
Di mana Maria ?
Hampir saja ia memukul keningnya sendiri karena masih sempat- sempatnya lupa. Beberapa saat lalu gadis itu pamit masuk ke dalam gereja.
“Gadis yang malang.” Batinnya.
Maria yang berumur dua puluhan tahun tidak bisu sedari kecil, kata Jose pada orang- orang perkemahan. Ia peroleh musibah itu akibat shock yang teramat parah menyaksikan ibunya, Emma dibantai beruang delapan tahun lampau saat mengumpulkan bunga lavender di hutan yang tak jauh dari peternakan mereka.
“Di samping membantu mengelola peternakan, jelang sore biasanya Emma ke hutan, mengumpulkan bunga- bunga lavender liar, untuk dijadikan souvenir bagi wisatawan yang datang ke desa kami. Ia dapat uang cukup banyak untuk membelikan keperluan Maria.
Hari itu kami pergi bersama karena Maria ingin merayakan hari ulang tahunnya di hutan.
Saat pesta kecil- kecilan, Emma melihat serumpun lavender di balik pohon yang sebenarnya tidak jauh dari tempat kami berkumpul.
Sudah aku larang karena khawatir, sebab bisa saja ada beruang yang nyasar mencari makan.
Emma bersikeras.
Dan benar.
Begitu cepat beruang itu muncul menerkam isteriku.
Aku tak sanggup mengatasi sebab beruangnya begitu besar dan kuat. Mau aku tembak, takut yang terkena justeru Emma.
Sebisaku saja dengan kekalutan menolong Emma melepaskan diri dari keganasan hewan terkutuk itu.
Aku memukulinya dengan senapan, tapi sia- sia. Aku juga diserang. Aku terluka parah.
Aku kehilangan banyak darah dan kekuatanku melemah.
Selamatkan Maria, itu jeritan Emma yang diulang- ulanginya dalam perlawanannya yang sama sekali tidak berarti.
Tubuhnya tercabik- cabik.
Kedua lengannya… mukanya, oh… dia terkapar menemui ajal di bawah selangkangan beruang itu dengan mata terbelalak ke arah aku dan Maria.
Dengan sisa- sisa tenaga aku menembaki beruang itu.
Aku sempat diterkam lagi, tapi tembakan- tembakanku sudah menimbulkan banyak luka di badannya. Akhirnya beruang itu mati.
Kudapati Maria sudah jatuh tertelungkup tidak sadarkan diri.
Seminggu ia dirawat di klinik dan tidak sempat mengikuti pemakaman ibunya.
Hampir dua tahun Maria harus menjalani terapi kejiwaan. Bisa pulih dan kuat, tapi … ia tak bisa bicara normal lagi. Ia bisu …!
Aku terus mengusahakan agar Maria kembali seperti dulu. Aku tidak peduli berapa biaya yang sudah kukeluarkan untuk berbagai terapi psikologis dan terapi pita suara lebih lanjut. Sampai sekarang dan sampai kapan pun.
Senang sekali kalian orang- orang baik mau memperhatikan anakku itu. Dia bisa terus bahagia dan tidak merasa sepi. Kata dokter yang menanganinya, itu baik untuk membantu proses terapi ….”
Demikian cerita Jose.
Yar tersenyum dan melambaikan tangan ketika wajah cantik itu muncul dari dalam gereja.
Maria melangkah lincah setengah lari mendatangi.
Tiba di depan Yar ia bentangkan lengan dan tertawa renyah.
Pemuda itu sedikit gelagapan ketika tiba- tiba Maria memeluknya.
***
Kaki Gunung Matternhorn begitu ramai. Wisatawan lokal berbaur dengan pelancong- pelancong dari luar Swiss, menikmati pesona alam dan berbagai fasilitas hiburan dan permainan. Yang paling menarik, mengasyikkan dan banyak diminati adalah menaiki kereta gantung yang tali- temalinya berseliweran melintasi bukit dan hamparan ngarai Matternhorn. Di musim dingin mereka akan dimanjakan oleh salju yang menghampar tebal luas merata, sebagai tempat selancar.
Yar dan para sastrawan peserta kemah mendapat fasilitas khusus dari pihak berwenang Swiss. Mereka bebas menikmati wisata dan mempergunakan segala fasilitas tanpa membayar. Ada pemandu spesial untuk mereka. Bahkan ada cottage khusus disediakan dengan pelayanan ekstra memuaskan ketika istirahat. Ya, khusus mereka saja, tak boleh ada orang lain.
Dengan sedikit merayu penanggung jawab pelayanan Yar bisa mengajak serta Maria.
Gadis itu senang sekali digandeng lalu lalang kesana kemari menghabiskan hari di kawasan plesir. Memang itu yang diinginkan Yar, sebagai tanda perpisahan mereka, sebab waktu kemah tinggal sehari dan ‘gerombolan’ sastrawan akan kembali ke negara asalnya masing- masing.
Sempat pula Yar mengajak Maria naik kereta gantung berduaan.
Itu menjadi bahan godaan teman- temannya. Sebelum naik, Maria mendapat kedipan disertai senyum nakal Vikram. Natalie mengacungkan jempol dan mengisyaratkan pada Yar agar mencium Maria.
Serasa di atas pesawat. Kereta gantung yang tertutup rapat dinding kaca tebal itu menampakkan suasana di bawahnya yang begitu indah. Tak bosan- bosan mata Yar merayapi bentangan hutan, sungai , lembah dan pemukiman Desa Matternhorn.
Dan Maria akan sumringah, menggenggam erat tangan Yar sambil menunjuk- nunjukkan peternakan orang tuanya yang samar- samar di kejauhan. Sapi- sapi terlihat seperti hamparan merah hitam putih di tengah bidang hijau.
Yar harus mendekap Maria yang kadang- kadang menjerit cemas ketika gerakan kereta gantung turun deras mengikuti bentangan menurun tali kawatnya.
Wajah Maria akan tersipu. Ada kebahagiaan tak terhingga di sana.
****
Malam, Yar sedikit telat memasuki kawasan perkemahan.
Ia dari café di dalam desa, menikmati keju leleh dan coklat panas, berbaur untuk terakhir kali dengan perempuan- perempuan desa sebab besok siang dijemput wagon penanggung jawab perjalanan. Beberapa sastrawan pria mendesaknya untuk sedikit agresif. Yar cuma tersenyum menerima desakan itu. Ia bersikukuh tidak mau ikut – ikutan dalam tingkah pola melampaui batas teman- temannya. Ia risih bersentuhan lebih dengan perempuan. Ia masih cemas untuk berbuat maksiat. Lima jam ia lewatkan dengan berbincang- bincang dan jalan- jalan menikmati taman desa bersama Margareth, gadis yang kelihatannya juga pemalu untuk berhubungan tidak senonoh dengan lelaki.
Teman- teman sastrawannya sudah berkumpul mengelilingi api unggun.
Ahmad dan Vincent senyam- senyum.
Yar menduga kedua pemuda itu merasa puas telah mengerjainya dengan meninggalkan ia sendiri di cafe tanpa memberi tahu.
Semua mata tertuju pada Yar. Penyair itu jadi risih.
Ia dekati Hank, mau meminjam bibirnya untuk bertanya kenapa dipandangi begitu, tapi Grace menunjuk kemah.
Yar terkejut melihat ada sesosok tubuh duduk memeluk lutut di dalam kemahnya yang diterangi lilin.
Ia seperti mengenali sosok itu.
“Maria ?” Tanyanya pada Grace. Grace mengangguk.
“Maria dibawa Grace setelah didapati menangis di depan café. Ia menunjuk- nunjuk kamu yang bercengkerama dan jalan mesra dengan Margareth.” Kata Hank yang menguasai enam bahasa dunia itu.
Yar tertegun.
Ia tidak menduga ada kejadian seperti itu.
Memang ia tidak sempat berpikir menjemput Maria karena sudah janjian dengan Margareth, yang ingin ’kencan’ dengannya sebelum meninggalkan Matternhorn.
“Dekati dia, kasihan.” Sambung Hank.
Yar tidak peduli lagi cekikikan Vikram, Ahmad dan Lee yang kembali mendapatkan bahan untuk menggodanya.
Wajah lembut gadis itu masih memperlihatkan lelehan air mata. Yar duduk di sampingnya, rapat sekali, hingga keduanya bisa saling merasakan kehangatan tubuh.
Yar menyeka basah di pipi Maria.
Maria mengangkat muka, menatap sejenak, lalu menangis, menenggelamkan wajahnya di balik lutut.
Si pemuda tidak tahu bagaimana harus bertanya. Betul- betul bingung !
Hank datang. Jongkok di depan ‘pintu’ kemah.
“Maaf, aku rasa Tuan Yar butuh bantuan.” Katanya serius. “ Tadi Maria bicara dengan Natalie. Ia berterus terang bahwa ia mencintai Tuan Yar. Ketika melihat Tuan dekat dengan gadis lain, dengan Margareth terlebih- lebih, ia cemburu dan terpukul. Maria bilang dirinya memang tidak pantas untuk bersikap begitu sebab bukan kekasihnya Tuan. Cuma ia tidak bisa mengendalikan diri yang sudah terlanjur berangan- angan mendapat cinta Tuan ….”
Bergantian muka Hank dan Maria ditatap Yar. Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Selama dekat dengan gadis itu Yar tidak pernah berpikir macam- macam. Ia menganggap Maria hanyalah teman yang memang ingin selalu ia beri perhatian sebab prihatin pada keadaannya.
Grace dan Natalie mendekat pula. Keduanya mengangguk pada Yar seperti meminta pemuda itu untuk percaya.
Sang penyair Indonesia menghela nafas.
Pedih hatinya melihat Maria terisak.
Didekapnya tubuh gadis itu. Didekapnya erat- erat.
Hank, Grace dan Natalie beringsut menjauh.
Masih di tempatnya semula, Vikram, Ahmad dan Lee senyam- senyum.
Natalie menjambak rambut ketiga penulis usil itu ….
*****
Sampai larut malam, Maria bersikukuh tak mau pindah ke kemah Natalie. Berulang- ulang ia menggeleng ketika berkali- kali Yar mengisyaratkan permintaan untuk itu.
Yar putus asa. Tak tahu harus berbuat apa untuk membuat gadis itu mengerti bahwa ia risih ‘ditemani’.
Sampai Sang dara tak bisa menahan kantuk dan dengan bahasa bisunya meminta ijin berbaring di alas tidur Yar.
Sampai Yar terpaksa mengabulkan dan mau tidak mau tidur pula di sampingnya.
Sampai Yar memenuhi isyarat pengharapan gadis itu agar dibelai- belai rambutnya.
Sampai sama- sama terlelap dalam satu selimut. Sampai pagi.
Ketika terjaga Yar merasa bersalah mendapati dirinya memeluk Maria.
******
Pagi dengan suasana berbeda. Pertama, peserta kemah tidak menghilang lagi. Mereka sibuk mengemasi barang- barang bawaan. Ahmad dan Lee seperti anak kecil, berdebat tentang sebuah panci, yang dipertahankan masing- masing sebagai miliknya. Natalie dan Grace geram. Perdebatan baru reda setelah Grace masuk ke kemah Lee dan mendapatkan panci lain yang serupa, yang dilemparkannya kepada Cina itu.
Kedua, Yar tidak keluar kemah bukan disebabkan masih tidur, melainkan sedang memandangi Maria yang masih meringkuk lelap.
Kian keras rasa iba menjalari dadanya demi memperhatikan gadis itu, demi mengingat kejadian semalam.
“Gadis bisu ini ada hati padaku ?” Tanyanya pada diri sendiri.
Apa iya ?
Apa bukan cetusan- cetusan spontan ingin dimanja- manja saja ? Bawaan kecemasan akan aku tinggal, akan kehilangan teman ?
Tapi ia menangis setelah melihat aku berduaan dengan Margareth ? Ia cemburu !
Yar menarik nafas, menghembuskannya pelan- pelan untuk mengatasi perasaannya yang sesaat ia sadari terlalu serius.
Maria …, Maria. Bagaimana mungkin aku menerima kau yang cacat ?!
Andai kau normal dan memenuhi kriteria gadis pilihanku, bukan kau yang lebih dulu menyatakan cinta. Aku, aku yang akan mengejar- ngejar kamu ….
Aku, kini, ah ... Maria tak perlu tahu bahwa ada sudah ukuran- ukuran perempuan yang kudambakan. Yang pasti lebih berkualitas dari sebelum- sebelumnya. Lebih berkualitas dari Ani, dari gadis- gadis umumnya di kecamatanku yang sekedar cantik tapi tak punya otak dan potensi untuk mengimbangi pemikiran, idealisme dan semangat- semangat besarku. Gadis- gadis yang dulu sempat membuat aku tertarik tanpa syarat ....
Penulis itu tersenyum kecut, dipukul pikirannya sendiri yang mengejek, “Sudah nasibmu tak pernah beruntung dalam urusan cinta. Dulu terkoyak- koyak ditikam Ani, sekarang ditaksir perempuan bisu ! Hahh, kasihan …!”
”Sialan !”
Maria bangkit tiba- tiba dan duduk dengan muka gelagapan. Yar terkejut. Lekas disadarinya gadis itu pasti terbangun akibat kerasnya ia berseru ‘sialan’ barusan.
Segera Yar mengisyaratkan permohonan maaf.
Maria tersenyum. Lumayan manis walau tidak sempurna karena ekspresinya itu masih dibaluri ketegangan.
Ia gerakkan jemarinya, dipaskan dengan mimik, ‘mengucapkan’ good morning.
Yar mengangguk- angguk.
Maria merangkak ke ‘pintu’ kemah, menyembulkan kepalanya ke luar.
Berubahlah raut mukanya melihat tumpukan tas dan segala macam perlengkapan kemah yang siap diangkut.
Maria duduk, menghadap Yar dengan mata berkaca- kaca.
Yar kikuk. Tak tahu harus mengisyaratkan apa karena memang belum menemukan penjelasan apa untuk Putri peternakan itu.
Maria tertunduk. Rambut panjangnya jatuh bergerai menutupi sebagian wajahnya.
Beberapa menit ia tenggelam dalam isakan.
Ketika kepalanya tegak kembali, dengan pandang sedih kedua lengannya dibentangkan.
Yar paham.
Perasaan kasihan mendorong tubuhnya untuk beringsut maju, mendekap gadis itu erat- erat.
Beberapa menit kembali sepasang muda mudi itu berpagutan dengan rasa berbeda. Yang laki dengan ibanya, yang perempuan dengan cinta sepenuh jiwanya.
Saat sama- sama melepas diri, Maria berlari mendekati Natalie.
Sebentuk isyarat ia sampaikan pada ‘inang pengasuhnya’ itu.
Natalie masuk kemah. Keluar membawa Injil.
Maria menerima dan berlutut menghadap Yar yang menyusul dan berdiri terpaku dalam jarak setengah meter.
Tangan kanan Bisu itu menekan Injil ke dadanya. Tangan kirinya menjangkau jemari Yar, memintanya berlutut.
Yar bingung. Sastrawan lain diam, tertegun memandang tingkah Maria.
“Ia meminta Tuan Yar menyatakan cinta dan bersumpah di depan Injil bahwa Tuan sungguh- sungguh.” Terang Hank yang juga tak melepaskan tatapan pada gadis yang lagi- lagi berurai air mata itu.
“Tuan tak mungkin bersumpah dengan Injil sebab Tuan seorang muslim. Cobalah buat cara lain untuk meyakinkan dia.” Imbuh Hank.
Kacau pikiran Yar.
“Bagaimana bisa aku meyakinkan dia tentang kesungguhan sementara cinta pun tidak ?” Seru hatinya.
Yar walau pun sudah berlutut tetap terpaku dan membisu.
Air mata Maria meleleh menjadi- jadi melihat sikap Yar yang tidak sesuai dengan harapannya.
“Oh ..., inikah cinta sepenuh jiwa yang kukejar- kejar selama ini ?” Keluh pemuda itu tak terkatakan.
Inikah perempuan yang ditakdirkan Tuhan untukku, setelah bukan Ani ? Jawaban Tuhan atas keinginanku yang mendambakan seorang kekasih yang tulus ? Kenapa mesti orang cacat ?!
Lihat, Maria hendak mengikatku dengan Injil !
Duh ...!
Rintihannya tetap terkurung dalam batin.
Mendadak wajah Ani melintas- lintas di mata pemuda itu. Kalimat- kalimat berbisa dalam kertas yang dilemparkan perempuan pembohong itu menggerayangi batinnya.
Aku ditolak karena aku turunan orang miskin, ada yang dianggap tak layak dariku oleh manusia lain !
Apakah aku harus menjadi Ani, untuk Maria ?! Apakah aku harus menolaknya karena ia tak kuanggap layak menjadi kekasihku ...?!
Baik, aku terima dia. Tapi mampukah aku bertahan selamanya melawan tuntutan hatiku sendiri yang mendambakan wanita pendamping yang lebih baik ?
Aku tidak mau mendustai orang yang berharap padaku !
Melintas pula bayangan Annie di benaknya yang kusut.
Paling tidak, kenapa bukan Annie yang meminta cintaku ...?!
Ia mendesah, melawan kekacauan hatinya.
Ia terus terpaku.
Bibirnya terkatup, tak bisa menegaskan jawaban ya atau tidak.
Wajah Maria kecut. Gadis itu putus asa ....
Para sastrawan pun ’melayari’ suasana itu dengan mata dan muka tegang.
*******
Kereta api listrik yang membawa Yar dan para sastrawan menuju bandara berangkat amat sangat tepat waktu. Yar yang agak lama di wc perhentian hampir saja ditinggal. Ya, itulah Swiss, tak ada kata ngaret seperti kereta api Jawa Ekspress yang pernah ditumpangi Yar saat di Jakarta.
Yar tidak bernafsu meladeni ocehan- ocehan Vikram yang duduk berdampingan dengannya. Pikirannya tertuju pada Maria. Sendu sekali wajah gadis itu ketika menggenggam tangannya di peron. Bahkan Maria terisak lagi menerima rangkulan lelaki buaian hatinya itu.
Lekat di benak Yar bagaimana lemahnya lambaian tangan dara itu saat kereta pelan- pelan bergerak pergi.
Yar cuek saja pada Vikram yang berdehem saat ia mengeluarkan potret Maria dari dalam tasnya. Lebih cuek mendengar Si India membaca tulisan tangan Si bisu yang manis, lucu dan malang itu di sudut potret : You Are My Breath. Pasti diajari Natalie.
Perih batin Yar meyakini bahwa putri Arya itu tak akan terhibur dan tak akan menemukan harapan apa pun dengan kalimat dalam secarik kertas yang ia titip lewat Natalie : Aku sayang kamu, Maria. Teramat sangat sayang. Dan karena rasa sayangku ini, aku ingin kau bahagia dengan orang lain, yang pasti akan kau dapatkan. Ia lebih baik dari aku, bahkan lebih tampan dari aku. Jangan bersedih. Kita akan tetap berhubungan lewat surat. Kalau ada waktu, kunjungi Indonesia. – Plus alamat lengkap sang Pemuda. Dalam bahasa Inggris garapan Hank, tentunya.
“Duh, klise sekali !” Seru batin Yar.
Ia menggeleng- geleng, mengatasi rasa berat di kepalanya.
Oh, Swiss ! Ironis benar romantika yang kau berikan !
Tiba- tiba wajah Nur melintasi benaknya. Teman sejatinya itu, ia tahu masih bergumul dengan kekangan kota kecamatan dan belum juga memperlihatkan gerakan untuk memenuhi pendirian- pendiriannya tentang perubahan yang dulu sering ia lontarkan.
BAGIAN 5
Jiwa Yar bisa berseru sombong ke angkasa dan ke wajah- wajah orang kecamatan yang perlahan harus berbagi hati untuk membangun kekaguman buatnya. Kerap ia dengar para orang tua yang objektif berucap pada anak- anak mereka, “Contohi Kak Yar !” Siswa- siswa sekolah lanjutan mendatangi rumahnya. “Kak, guru kami memberi tugas rumah mengkaji sajak Kakak, yang ada di buku pelajaran kami.” Kata mereka seraya menunjukkan halaman buku bahasa dan sastra Indonesia yang berisi profil Yar dan sajak- sajaknya.
Pada tahun selanjutnya Yar banyak bergelut dengan para penyair muda kabupaten yang concern pada perjuangan menuntut keluasan ruang perhatian pemerintah terhadap sastra modern, sekaligus syiar perlawanan terhadap penyimpangan- penyimpangan masyarakat dan pemerintah. Ia dan para penyair itu mendirikan KOMUNITAS SASTRAWAN KIRI.
Ia dan teman- temannya secara teratur berbagi kelompok menggilir wilayah- wilayah kabupaten dan propinsi untuk menyelenggarakan pentas- pentas pembacaan sajak dan diskusi sastra. Tak bisa dibilang mulus, sebab kadang ijin tak diberi oleh penguasa, kadang pula di tengah acara, petugas keamanan memerintahkan bubar. Dalihnya seniman- seniman itu memprovokasi, menyebarluaskan perlawanan pada aturan, mendidik masyarakat ke arah negatif. Dikembang- kembangkan pula oleh penguasa itu kecurigaan terkait label ’kiri’ –nya komunitas .
Sering Yar menggeleng- geleng menyimak situasi begitu terpasaknya pikiran para penguasa memaknai label ‘kiri’, begitu cemasnya ketika berhadapan dengan organisasi yang namanya berembel- embel ‘kiri’. Bagi penguasa itu, ‘kiri’ tak bisa tidak berarti pemberontakan, radikal, makar, subversif, sosialis komunis, PKI ! Sebentuk kondisi yang membuat Yar dan teman- temannya tertawa terpingkal- pingkal dan puas pula sebab memang kekonyolan tanggapan semacam ini yang mereka harapkan muncul, untuk jadi bahan ejekan mereka. Kendati diam- diam, tak dipungkiri juga, ada tujuan reformasi yang dihasratkan dalam frame kiri itu.
Ya, tujuan reformasi, bagaimana sastrawan dengan karya sastranya tidak sekedar menjadi pribadi- pribadi yang mengurung diri, mengagungkan diri dalam bangunan seni mereka, yang meresapi keadaan di luar lewat kaca jendela, lalu mereflesikannya dalam berjuta ribu kata sajak, cerpen, novel dan roman, yang dilemparkan dengan bangga ke jalan- jalan, dipungut dan dibaca oleh orang- orang susah, orang- orang miskin, orang- orang teraniaya, tapi kemudian dicampakkan kembali dengan wajah lusuh, dengan wajah tawar karena tak mendapat apa- apa di dalamnya. Orang- orang yang turun sombong dari mobil mewah meliriknya sejenak, lalu terkekeh sinis, meludah pula.
Sastrawan harus keluar dari bangunan seni mereka, turun berpeluh- peluh ke jalan, menghunus sajak, cerpen, novel dan roman mereka dalam rupa kelewang, dalam rupa pestol, dalam rupa granat, dalam rupa bom ! Dijelaskan artinya pada orang- orang susah, orang- orang miskin, orang- orang teraniaya. Lalu bersama- sama bergerak mengancungkannya ke rumah- rumah mewah, ke kantor- kantor pemerintah, ke kumpulan para pejabat dan kaki tangannya. Mati matilah kapitalis serakah, luluh lantaklah para pejabat berjiwa serigala ! Sastrawan dan sastranya menjadi senjata perubahan, alat perjuangan keadilan, andalan alternatif perjuangannya orang- orang terkirikan !
Lalu Yar dan para penyair muda digelandang ke kantor polisi. Empat lima kali idealisme anak komunitas dipertaruhkan dalam penjara. Dua tiga bulan mendekam. Yar sendiri sudah pernah merasakannya sekali, biar sekedar tahanan kota. Beberapa orang temannya menyerah dan tak lagi aktif di komunitas. Akhirnya, dari dua puluh orang anggota, tinggal dua belas yang terus membandel.
*
Yar mendapat tawaran pekerjaan wartawan dari pemred Warta Kota, sebuah media lokal di kota kabupaten. Paduan yang sempurna baginya, sebab antara jurnalistik dan bersajak ia rasakan sangat sejalan, saling mendukung untuk pemenuhan kedahagaan tak berujungnya pada kegiatan menulis, pada pewakilan tulisannya atas penderitaan rakyat kecil -dimana riwayat kepedihan emak dan bapaknya melintas- lintas di dalamnya- dan semangat besarnya memprotes carut marut di tengah masyarakat yang diakibatkan sikap orang- orang yang hidup di dalamnya dan terutama penyimpangan- penyimpangan pejabat pemerintah. Sesuatu yang telah menjadi mainstream tulisannya.
Menekuni profesi kewartawanan membuat Yar semakin dan semakin disegani masyarakat dan pemerintah. Ia nikmati betul situasi itu. Menjadi- jadi sikap tak berakrab, keras dan sedikit sombongnya terhadap para tokoh masyarakat, para pengusaha dan pejabat yang tak ia sukai pola tingkah serta retorikanya yang bertameng aturan- aturan biadab. Banyak persoalan di kalangan masyarakat dan pejabat yang berakhir sebagai kasus besar, menyeret mereka ke kursi pesakitan , berawal dari kejelian dan kegigihan Yar menggali berita. Beberapa warga dan pejabat terang- terangan menunjukkan rasa gerah dan ada pula yang menggerakkan kampanye hitam atas dirinya. Yar ingat, empat kali dia menjadi tersangka pencemaran nama baik oknum pejabat kecamatan mau pun kabupaten. Dengan tiadanya bukti kuat serta mantapnya dukungan persatuan wartawan, Yar lolos. Pelampiasan mereka, Yar diintimidasi. Tapi gak ngaruh, sesumbarnya.
Datang juga masa dimana musuh- musuhnya menari girang. Suatu hari, ia didaulat membacakan sebuah sajak oleh Himpunan Buruh Independen Kecamatan yang berunjuk rasa di depan kantor camat menuntut hengkangnya Camat Ismail karena memajukan rekomendasi rapat para pengusaha kepada bupati perihal penurunan upah angkat barang tanpa ada komunikasi dengan himpunan buruh.
Unjuk rasa itu ricuh. Para pengunjuk rasa anarkis dan melempari kantor camat. Semua ditangkap polisi, termasuk Yar.
Yar, dengan sajak yang ia bacakan dinilai telah ikut mengompori, ada andil memprovokasi pengunjuk rasa. Ujungnya, dia diadili. Vonis jatuh, empat bulan Sang penyair di balik terali besi LP.
Banyak warga dan pejabat kecamatan mau pun kabupaten yang menyambut hukuman itu dengan kepuasan. Ada pula segelintir yang menyatakan ketidaksetujuan, protes, tapi kebanyakan tak berani terang- terangan. Pihak simpati itu mengaku terus terang tak punya kekuatan lebih atas hukum.
Nur, yang telah menjadi seorang pemimpin pondok pesantren –keadaan yang aneh bin mustahil bagi Yar saat itu tapi tak pernah mau dijelaskan oleh Si gadis- adalah salah satu dari warga kecamatan yang simpati padanya.
“Aku dan banyak teman yang mengerti hukum menilai diseretnya kamu hingga sampai penjara pada dasarnya sebentuk pelampiasan pihak- pihak yang tidak menyenangi kamu. Ada persekongkolan antara orang- orang besar kabupaten dengan jaksa dan termasuk hakim. Banyak peluang kamu bebas, atau paling tidak cuma divonis sebulan dua bulan berdasarkan analisa kasus itu. Tapi, yah … mereka telah mengatur semuanya.” Keluh Nur saat ia datang membesuk.
Yar tersenyum, santai, sebab ia memang tidak terlalu ambil peduli dengan simpati, seperti juga tidak pedulinya terhadap antipati yang telah menjerumuskan dirinya ke bui. Pada Nur pun, yang datang dengan simpatinya, Yar lebih tertarik menatapi wajahnya yang terlindung jilbab dan tubuhnya yang dibalut pakaian muslim tertutup rapat. Cantik, berisi, dan nampak dewasa, nilai Yar. Ia dapati pula kedewasaan Nur dari gaya bicaranya yang lebih tenang dan penuh pertimbangan, berbeda dengan saat SMA dulu.
Yar jatuh hati !
“Jangan tatap aku begitu, malu dilihat orang.” Rajuk Nur begitu menyadari kelakuan pemuda itu.
“Alaa, pakai malu segala !” Balas Yar menggoda.
“Kamu cantik, dan dewasa.” Puji Yar dengan senyum terus menggantung di bibir.
Nur menunduk, risih. Mukanya memerah.
“Suatu saat nanti, kalau aku keluar dari penjara, aku ingin mencari pacar yang cantik dan penuh kedewasaan seperti kamu.” Cecar Yar, semakin nakal. Bahkan tangannya menggenggam jemari gadis itu.
Jemari Nur dingin, bergetar. Ia beringsut menjauh dari samping Yar hingga hampir berada di ujung bangku panjang tempat mereka duduk. Tatapannya merayapi sekitar ruang besuk itu, yang sepi karena baru ia saja yang datang berkunjung. Sipir yang berdiri agak jauh tersenyum- senyum.
“Jangan begitu, dong. Malu dilihat sipir.” Rengeknya, serius.
“Aku cium kamu !” Ancam Yar seraya beringsut mendekat dengan kenakalannya yang berlanjut.
Nur gelagapan. Berusaha menarik tangannya. Tapi pegangan temannya terlalu kuat untuk ia lawan.
Nur tertunduk lagi. Rona merah pipinya semakin kentara.
“Coba kalau berani.” Ucapnya pelan tapi tegas.
Sebelum sempat gadis itu berkelit, dua kecupan Yar sudah mendarat di keningnya.
Nur menatapi Si pemuda dengan tatapan kemarahan, yang serius. Sejurus ada genangan pula di matanya.
“Kamu keterlaluan, Yar. Kamu berubah !” Sentaknya.
“Memang.” Jawab hati Yar. “Aku sudah berubah, dan bukankah dulu kau inginkan aku berubah ?”
“Kamu marah padaku ?” Tanyanya tetap dengan senyam senyum santai.
Tak ada jawaban.
“Kamu marah padaku ?” Yar mengulang pertanyaan.
Tetap tak ada jawaban.
“Maafkan aku, Nur.” Kali ini Yar menunjukkan penyesalan. Ya, sekedar ‘menunjukkan’, sebab tidak datang secara penuh dari dalam hati .
“Bukannya aku marah. Cuma tidak seharusnya kamu begini. Apa kata sipir melihat aku diciumi begitu.” Ucap Nur lemah.
“Seandainya aku ingin jadi pacar kamu, kamu mau ?”
Perlahan Nur mengangkat wajah, memandang Yar dengan pandangan tidak percaya pada kata- katanya.
“Aku serius.” Lekas Yar menyambung dengan sorot mata tajam melekati wajah Sang gadis.
Bibir Nur bergerak- gerak pelan, seakan ada yang hendak diucapkan tapi tertahan.
“Aku serius.” Yar mengulang lagi, menegaskan sesuatu yang sungguh- sungguh dalam hatinya.
Nur menutup wajah dengan kedua tangannya, dan terisak.
“Aku rasa kriteria pendamping yang kau inginkan sudah cukup ada padaku. Aku sudah bisa masuk daftar calon suami yang kau mau.” Yar berusaha meyakinkan.
Nur kian terisak.
Lelaki muda itu menghela nafas berat karena kecewa tidak dijawab.
“Waktu besuk habis !”
Sampai teriakan sipir memecah ruang itu, tak ada kepastian.
“Sabar, namanya juga berharap ….” Saran sipir saat jalan mengawal Yar ke sel. “Tadi kamu kuberi kesempatan mesra- mesraan tanpa kuganggu. Tentunya itu kau mengerti, Napi Dua Kosong Dua ?!”
Napi Dua Kosong Dua menghentikan langkah. “Saya mengerti, Pak.” Jawabnya dingin. “Tapi saya tidak akan memberi suap pada Bapak. Yah, Bapak sabarlah, namanya juga berharap ….”
Entah apa maksud isakan Nur, Yar tidak mengerti. Yang jelas, setelah ia keluar dari penjara, Nur membalas juga harapan cintanya. Mereka pun menjalin keintiman. Ia rasakan Nur begitu sempurna memberi kebahagiaan padanya. Dan dara solehah itu memberi dukungan pada kegiatan Yar, kendati tak mendampingi secara langsung, kendati tak semaksimal yang Yar harapkan karena kesibukannya di pesantren. Kedua orang tua Nur, terutama Abduh yang saat itu sedang bersiap- siap mencalonkan diri sebagai anggota dewan juga merestui karena mengaku antara dirinya dengan Yar ada keseragaman paham dan sikap ; keseragaman paham mencap merajalelanya kebusukan dan pembusukan moral masyarakat, keseragaman sikap menentang segala bentuk kebusukan dalam tatanan sosial mau pun pemerintahan kecamatan dan kabupaten.
Mereka, ‘calon mertua’ dan ‘calon menantu’, muncul sebagai tokoh pemberontakan di mata warga dan pemerintah. Orang kecil yang tertindas memuji- muji dan menyandarkan keluhan serta harapan perjuangan nasib pada Abduh dan Yar. Orang besar, yang kepentingannya kerap terganjal, tentu saja mengutuk, walau pun tentu pula dengan diam- diam ….
Adzan subuh memecah keheningan. Tak mempengaruhi suasana batin Yar.
Yar sadari bahwa tak kepada seorang pun ia terangkan tentang riwayat kelahiran keangkuhannya. Sebab memang tak dirasakannya perlu. Termasuk pada bapak atau emaknya.
“Hei, bukankah keangkuhanku ada manfaatnya, bahkan bagi gadis- gadis munafik itu dan keluarga mereka ?” Seru hatinya.
Sumi dara berwajah Cina, tamatan sekolah perawat, pacar yang kugaet sepulang dari Swiss, sepupunya ditelikung pengusaha PJTKI, dimintai uang sekian juta dengan janji akan langsung diberangkatkan ke Taiwan. Berbulan- bulan ia di penampungan, tanpa kejelasan nasib. Orang tuanya sudah mengadu berulang kali ke Dinas Tenaga Kerja, tak ada kepastian penanganan. Ketika orang yang tangani masalah itu di dinas tahu ia sepupu pacarku dan aku datangi orang lalai itu, ia melongo dan lekas- lekas menunjukkan empati. Oh, akan segera kami urus, katanya. Tidak lama, Sumi kembali ke desanya bersama seperdua uangnya. Bagaimana tidak, sebelumnya dua kali kasus sama terjadi di kecamatan ini, aku beritakan habis- habisan, orang dinas kelimpungan dan kepalanya dipanggil bupati.
Abidin, bapaknya Zubaedah, kekasihku selepas Sumi, yang bunga desa, yang guru honorer, bersedu sedan padaku ketika sertifikat tanahnya disita Munawir, seorang tuan tanah, hanya karena belum mampu membayar hutang yang sesungguhnya terlalu kecil nilainya dibanding nilai tanah tersebut. Munawir orang yang keras dan punya backing orang- orang besar. Aku datangi Munawir. Kuwawancarai ia perihal SPPT fiktif yang ia buat untuk menguasai lahan tak bertuan di tepi hutan di lereng sebuah bukit. Munawir terkejut, tak menyangka kelakuannya kuketahui. Kukait- kaitkan pula dengan tingkah polanya yang sewenang- wenang mencaplok lahan orang lain dalam urusan hutang piutang. Ia ketakutan. Beberapa hari kemudian sertifikat Abidin dan beberapa warga lain yang jadi korbannya ia kembalikan. Tapi tak urung tindakan melawan hukumnya kuangkat. Ia diadili ...
**
BAGIAN 6
Gegas langkah Yar menyusuri jalan. Masih pagi, matahari baru bertengger di punggung bukit dengan sinar mudanya. Hilir mudik kendaraan dan orang melintasi jalan dan trotoar yang masih menyisakan basah bekas hujan dini hari.
Pemuda itu sedang menuju kantor polisi. Beberapa saat lalu temannya, tetangganya Nur menelepon, menginformasikan bahwa semalam Drs. Abduh –yang berencana mencalonkan diri kembali pada pilcaleg yang tidak lama lagi- ditahan terkait laporan beberapa tokoh masyarakat yang menyatakan Sang wakil rakyat terlibat kasus kongkalikong. Ia bersama sejumlah pejabat kabupaten bekerjasama dan menerima suap masing- masing puluhan juta dari sebuah perusahaan kontraktor untuk mengatur penunjukan langsung perusahaan tersebut dalam pengerjaan proyek sebuah bendungan. Sementara aturannya proyek tersebut adalah proyek tender. Lebih- lebih perusahaan kontraktor yang ditunjuk merupakan perusahaan bermasalah.
Yar senang. Ia mendapat makanan besar dan memuaskan. Besar karena bakal bisa membuat berita besar dengan objek besar. Memuaskan sebab ada jalan melampiaskan sakit hatinya kepada bapak itu, sekaligus –terlebih- lebih- kepada anaknya.
Dua tikungan lagi Yar merasa nafasnya sedikit tersengal karena tak sadar telah berjalan dengan terlalu terburu- buru. Sempat ia kutuki motornya yang sejak kemarin masuk bengkel dan belum kelar.
“Jenguk calon mertua, Yar ?!”
Yar tersengat, menoleh ke arah datangnya seruan itu. Husain, teman wartawannya menyeringai di atas motornya di depan sebuah warung. Ia sedikit sibuk mencungkil- cungkil sisa makanan di giginya. Habis sarapan rupanya.
“Sialan !” Maki Yar sedikit tersinggung karena merasa diejek.
Husain terkekeh. “Naik !” Perintahnya.
Terlalu sayang membangkang pada perintah itu. Yar memilih menurut dibonceng kendati dalam hatinya menyumpahi Husain yang dari kemarin mengejeknya.
“Perhatikan saja kendaraan di depanmu ! Mau tabrakan ?!” Sentak Yar melampiaskan kekesalannya pada temannya itu yang sambil mengendara terus menyinggung- nyinggung perihal akan kawinnya Nur. Entah bagaimana ia tahu.
Di kursi teras kantor polisi, Nur duduk lesu. Wajahnya kusut.
Dada Yar gemuruh saat bersitatap dengan gadis itu. Tapi segera ia mengambil sikap acuh. Tak ia jawab sapaan lirih Nur yang sempat terlontar ketika ia lewati masuk ke dalam kantor.
“Mati kamu !” Serapahnya dalam hati.
Di ruang interogasi, Yar mengambil tempat duduk di samping petugas pemeriksa. Ia tunjukkan betul keseriusan merekam tanya jawab interogasi kepada Abduh. Ada kepuasan ia menatap bapaknya Nur yang terlihat sangat tertekan dengan kasus yang menderanya. Ada pengharapan besar dalam batinnya bahwa segala bukti dan saksi- saksi akan sahih untuk menyeret lelaki tua itu ke siksaan panjang pengadilan serta berakhir pada penderitaan dalam penjara. Ada kemenangan saat pandangannya bertemu pandangan Abduh yang menyorotkan kerapuhan. Terlebih ketika terdengar hiruk pikuk di luar. Puluhan warga sudah datang berunjuk rasa menuntut keseriusan polisi menangangi kasus kongkalikong itu.
ADILI DAN PENJARA SEUMUR HIDUP WAKIL RAKYAT YANG TIDAK AMANAH !
Yar geli membaca tulisan di spanduk- spanduk yang dibawa pengunjuk rasa. ”Konyol !” Seru hatinya.
Spanduk dengan tulisan semacam itu seharusnya tidak digelar di depan kantor polisi, tetapi tepatnya dibentangkan di depan pengadilan, nanti kalau Si Abduh sudah duduk di kursi pesakitan !
Ah, pantas saja spanduk berbunyi begitu dihadirkan di depan kantor polisi. Yang memimpin demo ini khan Marzuki, S.Sos., juragan gabah yang waktu SD- SMP- SMA-nya sering tidak naik kelas karena bebal, yang dapat gelar sarjana lewat PKMD2, Program Kuliah Mandiri Dijamin Diwisuda.
Oh, wajar saja Si Marzuki maju memimpin. Warga kota kecamatan yang kecanduan ditokohkan itu dapat kesempatan melampiaskan kecemburuannya pada Abduh yang sudah berhasil duduk di dewan. Sementara sejak dulu bagi Marzuki, Abduh adalah seteru, yang selalu ingin ia saingi reputasi ketokohannya di tengah masyarakat, termasuk ketokohan sebagai wakil rakyat.
Berapa duit yang akan dihabiskan Marzuki untuk beli suara pada pilcaleg mendatang ? Tiga ratus juta lagi ?
Yar tersenyum sendiri membayangkan sejarah perolehan suara Marzuki akan berulang. Enam puluh lima pas untuk seluruh TPS se-dapil.
Yar lebih geli memperhatikan gaya Marzuki saat berorasi. Lantang, emosional, tapi terputus- putus karena matanya harus berbagi pada kapolsek yang berdiri menghadapinya dengan naskah di tangannya.
Siapa yang telah berbaik hati menyusun teks orasi aktivis malang itu ?
Sesekali pandangan Marzuki juga tertuju pada Yar. Yang dipandang mengerti bahwa pandangan orang itu berkata, “Jepret aku wartawan. Wawancarai juga.”
Yar mendekat. Tepat di depan Marzuki yang ‘kian buas’. Klik ! Tapi kamera digital Yar telah disetting berbunyi klik tanpa merekam gambar. Sebentar, kalau Sang aktivis telah capek, Yar juga akan mewawancarainya. Besok di depan lembaran Harian Umum Warta Kota Marzuki pasti berulang kali membolak- balik seluruh halaman, mencari dirinya dan pernyataannya yang tidak akan pernah ia temukan. Saat dikomplain Yar akan menjawab serius, “Pemimpin redaksi menilai pernyataan Bapak sangat tajam dan multisasaran. Untuk itu perlu kehati- hatian mengangkatnya. Beliau memutuskan konfirmasi lebih jauh ke berbagai pihak di kabupaten, yang terkena pedang pernyataan Bapak. Pada saat yang tepat, akan diberitakan sebagai headline.” Marzuki bakal melayang. Bila bosan menunggu, biarlah ia menghubungi pemred sampai kiamat. Pemred tak akan menjawab kalau di layar hp-nya terpampang nama ’Zuki Stress’, sebutan pemred kepada orang itu.
Berdosanya aku.
Yar tertawa dalam hati.
Orang sok memang boleh dipermainkan. Toh gak ngaruh sama sekali dengan reputasi kewartawananku atau kredibilitas media. Terlalu jauh.
“Yar ….”
Tidak harus dua kali panggilan pelan Nur mendarat di telinga Yar. Pemuda itu menoleh cepat ke teras.
Kuyu betul wajah gadis itu. Tekanan yang dialami bapaknya nampak telah tersalin sempurna ke dalam dirinya.
“Boleh aku bicara sebentar ?”
Yar duduk di sampingnya.
“Ada apa ?”
Tawar nada suara Yar, hendak mempertegas keangkuhan dan sikap tidak empati sama sekali pada Nur. Tatapannya pun terus diarahkan ke gerombolan pengunjuk rasa.
“Bagaimana hasil pemeriksaan ?” Tanya gadis itu lirih.
“Nampaknya polisi tidak terlalu sulit menyusun berkas perkara. Bukti- bukti cukup.” Jawab Yar cepat, dengan tegas, meyakinkan dan sinis.
Nur diam. Tertunduk. Sesaat kemudian terisak.
Kepuasan teramat sangat bagi Yar.
“Ada yang ditanyakan lagi ?” Tanyanya santai.
Nur masih terisak.
“Aku tidak punya waktu banyak.” Desak Yar seraya berdiri membelakangi.
“Tak maukah kau menghadap aku, menatap aku ?”
Yar terkekeh mendengar kalimat memelas mantan kekasihnya itu.
“Maaf, aku harus pergi.” Sambut Yar sambil melangkah. Tak ia pedulikan lagi Nur memanggil.
Di kerumunan pengunjuk rasa Husain mencegat.
“Bagi hasil pemeriksaan, dong !” Pintanya.
“Wawancarai anaknya Abduh. Frame tekanan psikologis anak pejabat menghadapi kenyataan hidup enak selama ini ternyata dari hasil penyelewengan bapaknya. “ Balas Yar serius.
“Sadis sekali kau ! Jelek- jelek Nur itu mantan kekasihmu !”
Tapi Yar sudah asyik menulis di depan Marzuki yang berbusa- busa memberi keterangan.
*
Sebelum mendaki Yar tegak menengadah, memperhatikan rumah panggung mungilnya yang berdiri anggun di atas bukit kecil, yang berjarak sekilo dari desa. Sebuah rumah yang teramat membanggakan baginya. Ia bangun setahun yang lalu dengan uang penghargaan Dewan Sastra Propinsi atas kiprah kepenyairannya yang menonjol. Sebuah rumah sederhana, berkonstruksi kayu kebun kering peninggalan kakeknya , berdinding gedek, dengan peladang, serambi, yang cukup luas, hampir setengah dari ukuran induk. Diapit pohon- pohon liar yang besar rimbun, yang berusia puluhan tahun dan sengaja ia biarkan terus hidup. Dilatari hutan dan bentangan langit biru. Diapit dan dilatari nuansa alam dan kebebasan- kebebasannya yang begitu ia senangi.
Yar menamainya “Istana Penyair”. Ya, ‘istana’ tempat ia merasa berkuasa tanpa batas atas segala suasana dan peristiwa dari seluruh penjuru alam, atas manusia, hewan, tumbuh- tumbuhan, batu, tanah, angin, air, udara, bumi serta langit. Menghimpunnya, mengaturnya, mengerahkannya sebagai abdi di ladang- ladang imajinasi, di pabrik- pabrik gagasan, di medan- medan pertarungan cita- cita estetika dan humanismenya melawan carut marut serta kerusakan dunia, untuk terus mendukung ambisi kejayaannya sebagai penyair.
Yar meyakini rumah inilah harta terbaiknya. Dan keyakinan ini sanggup ia pertahankan di depan siapa saja, di depan kecenderungan orang- orang kecamatan yang cerewet pada hal- hal yang mereka anggap lain dari kebiasaan, dengan kadang- kadang sinisme, menganggap ia manusia yang terlena dengan kebanggaan diri sebagai seniman mumpuni lalu sok mengasing- asingkan diri dari masyarakat. Bahkan di hadapan emaknya yang mengaku gusar mendengar ocehan tetangga.
“Apa perlu begini caranya kau hidup dengan kepenyairanmu ?”
Pertanyaan macam ini yang kerap keluar dari mulut perempuan itu.
“Ya, Emak. Saya damai dengan bersunyi di bukit.”
Jawaban macam ini pula yang selalu terlontar dari bibir Yar.
Dan Emak, untuk mencari kemenangan dengan cara lain, menghubungkannya dengan kegagalan- kegagalan cinta Yar.
“Apa bukan bawaan stress karena kamu tidak juga mampu menggunakan nama besar untuk menaklukkan perempuan ?”
Dan Yar merasa Emak menelanjanginya, berkelit dengan menyanggah tegas.
“Bukan. Yar tidak ambil pusing dengan masalah itu.”
Lalu Emak akan tertawa mengejek. Yar pun akan tenggelam dalam kerawanan perasaan. Bagaimana pun ia menunjuk- nunjukkan bahwa ia menganggap remeh ditinggal gadis- gadisnya, ia tidak bisa menghalangi wajah dan sikapnya menampakkan rasa dilecehkan yang tidak ringan.
Sumi, Zubaedah, Nur, yang begitu mudah ia jatuhkan, yang ia anggap kecil, yang menurut keyakinannya sudah harus terikat kuat oleh temali gengsi pacaran dengan dirinya yang hebat, pada kenyataannya masih juga mampu melepaskan diri, menerima tawaran cinta pemuda lain yang tak ada apa- apanya !
Ramai kicau tekukur mengejutkan Yar yang kini berdiri di peladang. Sejenak ia keasyikan mengikuti gerak- gerik lima enam burung liar itu, yang melompat ke sana ke mari, menyelinap di rumpun- rumpun belukar, beterbangan saling kejar. Di dahan salah satu pohon bertengger sepasang tekukur lain, nampaknya ’suami isteri’, saling menyisir bulu dengan paruhnya. Sebentar keduanya menyatukan muka, layaknya berciuman.
Begitu mesra suasana alam.
Lantai papan ‘istana’ berderit dari dalam, menunjukkan ada orang yang berjalan.
Dahi Yar berkerut.
Siapa ? Maling ?
Bergegas ia dekati pintu, mengintip lewat sela- sela papan daunnya.
Yar kaget. Di dalam, sesosok tubuh yang ia kenal betul sedang berdiri menghadap pintu. Mungkin mau keluar tapi mengurungkan niat menyadari Si pemilik rumah akan masuk.
“Ada apa datang lagi ?!” Sentak Yar bersamaan dengan dorongannya pada daun pintu yang tidak lagi terkunci.
Nur menatap kuyu. Matanya sembab, habis menangis.
Keduanya berhadap- hadapan.
“Maaf, aku masuk tanpa ijin. Aku masih punya duplikat anak kunci yang dulu kau beri …”
“Untuk apa kamu datang ?!” Ulang Yar bengis. “Untuk menertawai aku yang sudah kau kadali ?! Untuk menceritakan kebahagiaanmu mendapatkan lelaki pilihanmu ?!”
Nur terisak. Ia jatuhkan pantatnya ke karpet, sebelum kemudian menyembunyikan wajahnya di balik lutut.
“Cukup, Nur. Aku sedang berusaha menghapus perasaanku padamu. Aku lagi mencoba meninggalkan semua, apa saja riwayat tentang kita. Aku sudah mulai berhasil. Aku juga tidak berminat lagi mencari kejelasan kenapa kamu tinggalkan aku. Kamu sudah dapatkan pendamping yang pantas, kamu akan kawin, itulah alasan yang terang sekali.”
Yar membuka lemari, mengeluarkan laptop dan menyalakannya. Mukanya tawar, bersikap seolah- olah tak ada Nur di dekatnya.
“Aku terpaksa.”
Kalimat itu meluncur tiba- tiba dari bibir Nur, lirih, dengan geletar.
Yar mendengar, tapi tak bereaksi.
“Aku terpaksa menerima lamaran lelaki itu ….”
“Wow ! Jaman sekarang, di sini, yang tabiat manusianya sudah modern- modernan masih hidup seorang Siti Nurbaya ?!” Seru Yar memecah sepi rumah, memecah sepi alam bukit.
Ia tatap Nur dengan ekspresi muak.
Nur menunduk.
“Sudah, aku tidak punya waktu membahas hal konyol macam ini. Aku masih harus merampungkan tulisan!” Sentak Yar tegas ketika ada gelagat Nur mau bicara lagi.
Nur berdiri. Sejenak terpaku memandang bekas pacarnya yang sudah mulai asyik mengetik. Kelihatan acuh sekali.
“Baiklah kalau kamu tidak lagi mau mendengar kata- kataku ….”
Kalimat yang hampir tidak terdengar karena dikuasai isakan, menjadi penanda pamit gadis itu. Ia melangkah gontai meninggalkan Yar.
Yar tersenyum, pahit.
Ditekannya kerawanan yang menyeruak dalam batinnya. Dipusatkan perhatiannya pada layar laptop, ke tulisan yang belum juga ia rampungkan akibat tidak bisa konsentrasi penuh, akibat didera kegalauan menghadapi putusan Nur.
“Yar, Emak mau bicara.”
Yar terkejut. Tak ia sadari emaknya sudah berdiri di belakangnya. Nampaknya –seperti biasa- perempuan itu masuk lewat pintu dapur setelah mengumpulkan daun kelor dan buah pare dari hutan.
Yar mendesah, menunjukkan ketidaksenangan diganggu. Dibalikkan badannya, menghadap Emak yang sudah duduk memangku seikat daun kelor dan buah pare.
“Dua jam sudah Emak dan Nur menunggu kamu. Begitu aku tahu kamu pulang, aku menghindar ke belakang, supaya kalian bisa bicara leluasa. Tapi kenapa ia pamit kepada Emak dengan tangisan ? Kau apakan dia ?”
“Jadi perempuan itu datang atas ajakan Emak ? Disuruh Emak untuk menemui saya ?” Sambut Yar dengan nada suara sedikit meledak- ledak.
“Memang.” Jawab Emak. “Ia datang ke rumah, mengeluhkan rencana perkawinannya. Ia terpaksa, dan ingin menjelaskannya padamu, sebab ia merasa sangat bersalah telah memutuskan hubungan secara sepihak.”
Yar menggeleng- geleng.
“Tidak perlu. Tidak ada yang harus dijelaskan, dan tidak ada yang mesti kudengar lagi dari orang munafik macam dia.” Balasnya tawar.
“Hati- hati dengan bicaramu !” Sambut Sang ibu. “Jangan keenakan mencap orang lain munafik ! Salah- salah cap itu justeru berbalik kena pada dirimu sendiri ! ”
“Apakah bukan munafik namanya dengan menghianati kepercayaan orang lain ? Mendustai pendiriannya sendiri yang terang- terangan ia ucapkan pada saya ?” Tentang Yar emosi.
“Ada syarat, ada alasan ! Sudah kau tahu alasannya Nur berkhianat, mendustasi pendiriannya seperti katamu ?!” Sangkal Emak sengit. “Kau terlalu terperangkap pada keangkuhanmu sendiri, yang tak pernah peduli pada alasan, pada keadaan orang lain ! Kau pikir kebenaran hanya ada pada kamu saja ?!”
Hening.
Yar bersikap tak peduli. Tatapannya kembali tertuju pada layar laptop.
“Kamu masih mau mendengarkan emak ?”
Yar menggeleng cepat.
“Cukup sudah Emak bicara atau menasihati aku tentang Nur atau tentang keangkuhanku.” Sentaknya dengan mata yang tak lagi beralih dari memandang laptop, walau pun sesaat kemudian batinnya mencerca dirinya telah bersikap tak sepantasnya pada wanita yang melahirkannya itu, yang terperangah.
“Apa emak tak salah dengar ?”
Lirih suara Si emak.
Yar memilih diam.
Emak bangkit, melangkah menuju pintu depan dan pergi tanpa bicara sepatah kata pun.
Sejenak Yar menatapi punggung wanita itu. Menatapinya lekat- lekat dengan rasa bersalah. Tapi tak ada keinginannya untuk menyusul, melarang meninggalkan ‘istana’-nya.-
**
BAGIAN 7
Usai sholat Ashar, masih memakai mukenah, Maryam, emaknya Yar duduk di serambi rumahnya. Pandangan mata rentanya yang sudah semakin lamur melekat ke bong, periuk besar tempat mengisi air wudhu yang ‘duduk’ di tengah- tengah halaman, di bawah pohon kelapa hibrida berbuah lebat, di tengah- tengah taman bunga rancangan Yar.
Bong itu sudah berusia lima puluhan tahun, seumur Sri, kakak satu- satunya Yar yang sudah lama berlepas diri dari akar keluarga karena kawin dengan lelaki tak seiman. Dulu Emak tempatkan di atas papan tebal berkaki kayu, dengan harapan menjadi alat peringatan dirinya, suami dan anaknya kepada sholat. Dan ketika Yar kanak- kanak, ia senang sekali mandi di bawahnya. “Enak mandi di pancuran.” Serunya riang.
Sri sering mencubit Yar karena habis mandi selalu tidak menusukkan kembali potongan karet penutup lubang jalan keluarnya air di pantat bong.
“Kalau airnya habis, kita semua tidak bisa sholat. Yar akan dihukum Tuhan !” Katanya menakut- nakuti adiknya.
Yar takut sekali, dan menangis.
Pernah ketika rumah mereka masih berbentuk panggung -sebelum dipugar Yar dua tahun lalu- Yar kecil jatuh dari tangga dan kepalanya terluka. Di pelukan Maryam, ia menjerit- jerit melihat darah menetes ke bajunya. “Emak, bilang sama Tuhan jangan hukum Yar. Yar tidak akan buang- buang air bong lagi …!” Teriaknya.
Sejak kejadian itu Yar tak lagi berani mandi di bawah bong. Tapi imbasnya ditanggung Sri. Sang kakak terpaksa mengambil air mandi khusus untuk Yar yang ditampung dalam baskom.
Yar keenakan. Sampai umur sepuluh tahun.
Lama- lama Sri jengkel juga karena Si adik menolak suruhan Emak untuk mandi jika baskom kosong. Sri menolak mengisinya. Emak mengambil jalan tengah. Beliau yang turun tangan.
”Kamu akan akan jadi anak durhaka kalau tidak patuh pada Emak dan membuat beliau susah !” Ancam Sri.
Yar lari mengadu kepada bapaknya.
Baco memangkunya dan dengan lembut menguatkan ucapan Sri.
”Yar anak laki- laki Bapak, jagoan Bapak.” Katanya. ”Yar harus sayang pada Emak. Yar tidak boleh memaksa Emak yang mengambilkan air untuk mandi Yar. Bapak percaya betul bahwa mulai besok Yar sendiri yang akan mengisi baskom itu. Bukankah Yar juga punya ember kecil, yang warnanya merah, yang bagus itu ? Sayang kan, kalau tidak dipakai ?”
Keesokan harinya Yar pun dengan susah payah mengangkut air untuk mandinya. Emak, Bapak dan Sri mengulum senyum melihatnya.
Maryam menyeka air mata, menyeka kenangan yang sesaat menguasai perasaannya.
Ya, itu kenangan, ketika Yar masih polos, masih manis- manisnya.
Sekarang Yar telah jadi pemuda, telah jauh sekali dari perilaku masa itu.
Bahkan sekarang, dengan kebesarannya, dengan kegemilangannya, Yar banyak membantah, menentang dan bersikap tidak peduli pada petuah- petuah emaknya. Seperti ketika akan dinasehati perihal sikapnya pada Nur.
Perempuan tua itu mengerti, sungguh– sungguh mengerti bagaimana kecewanya Yar pada Nur, yang sudah ia cintai dan harapkan sepenuh hati akan bisa menjadi pendamping hidupnya. Harapan Yar yang telah ia perjuangkan berkali- kali pula dengan pacar- pacar sebelumnya, yang akhirnya sama, kandas. Seperti juga mengertinya Maryam mengapa Yar kemudian bersikap angkuh, memupuk rasa benci dan tak hentinya melakukan perlawanan pada setiap orang yang ia nilai busuk. Sampai penjara pun seakan tak ia takuti ! Sesungguhnya Maryam terpukul dan malu sekali anaknya jadi narapidana. Seumur- umur ia dan Baco tak pernah berpikir untuk bertentangan dengan hukum dan polisi. Kesadaran pada siapa diri mereka, bagaimana kemampuan pikiran dan kehidupan mereka telah membuat mereka dicekam rasa takut melawan aparat. Tapi Yar acuh dengan keluhan Sang emak tentang malu luar biasanya beliau berada di tengah orang- orang ketika Yar dalam kurungan.
Menurut pikiran tua Maryam yang terlatih oleh perjalanan hidup, kendati Yar sendiri menyembunyikannya, itu adalah cara Si bungsu meninggikan diri, meninggikan nama keluarga yang dulu dipandang sebelah mata oleh orang- orang. Ada pelampiasan dendam bercampur di dalamnya.
Kadang Maryam menangis mengeluhkan kemiskinannya yang telah membuat Yar ikut menanggung dampaknya.
Takdir. Ya, riwayat takdir keluarganya dari kakek nenek sampai Maryam dewasa, sampai berumah tangga dengan Baco, almarhum bapaknya Yar, selalu tercatat susah. Kakek neneknya Maryam peladang, Baco pun peladang.
Di antara sekian banyak rumah sekitar, dari awal pernihakan Maryam hingga anak- anaknya beranjak dewasa, hingga desa berubah menjadi kota, cuma rumah Maryam yang tak pernah berubah. Panggung kecil, berdinding gedek yang sebagian lapuk, beratap santek yang terbuat dari bilah –bilah bambu, perabotan seadanya, tanpa listrik. Mencolok buruknya diapit hunian- hunian tetangga yang bergaya modern dan mewah. Sering kali Sri dan Yar risih mengajak datang teman- temannya. Rasa risih yang pernah suatu ketika memuncak dan begitu hebat mengiris rasa tersisih keluarganya.
Saat itu kota kecamatan mengikuti Lomba Kota se- Kabupaten. Pemerintah kecamatan dan aparat- aparatnya sampai tingkat RT sibuk melakukan pembenahan lingkungan. Penduduk ‘diultimatum’ menata rumah dan halamannya masing- masing.
Rumah Maryam jadi sorotan, sebab terletak di pusat kota, wilayah inti penilaian. Aparat pemerintah dan warga menilai rumah itu terlalu buruk dan kumuh untuk dilihat tim penilai. Bisa- bisa menghilangkan arti bagus dan menariknya rumah- rumah lain. Bisa- bisa menjadi penghalang kota meraih juara.
Baco dan Maryam didesak untuk berusaha memperbaikinya sedikit, agar terlihat lebih layak pandang.
“Kami tidak punya kemampuan, Pak. Bapak lihat sendiri keadaan kami orang miskin ….” Keluh Baco kepada Pak Camat yang memanggilnya ke kantor kecamatan.
“Kami mengerti.” Jawab Camat. “Saya tidak meminta rumah Bapak dipugar total. Saya anjurkan sekedar diganti gedek- gedeknya, diusahakan atapnya genteng, dikasih lampu. Sekarang ada pemasangan listrik oleh PLN. Saya akan berusaha melobi pimpinan PLN agar Bapak membayar cicil dua kali. Terus halaman juga diaturlah sedemikian rupa biar menarik terlihat. Bantu saya untuk meninggikan nama kecamatan ...!”
Mengganti gedek ? Membeli genteng ? Cicil listrik dua kali ?!
Melintas- lintas di mata Maryam bagaimana gelisahnya Baco saat itu. Di satu sisi ia malu pada Pak Camat dan tetangga karena akan dicap tidak membantu meninggikan nama kota kecamatan, namun di sisi lain, tanpa ia ukur pun, sudah jelas- jemelas pendapatannya tidak akan bisa memenuhi semua yang dianjurkan Pak Camat !
Baco sekeluarga penghuni ‘rumah bermasalah’ itu terpaksa membangkang hingga tiba waktunya tim penilai datang.
Kota kecamatan tak mendapat juara.
Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RW, Ketua RT, sekalian warga sekitar menatap Baco, Maryam, Sri dan Yar dengan tatapan yang sangat tidak mengenakkan hati mereka.
Kesusahan hidup keluarga Maryam sepertinya tak tertanggungkan lagi ketika beberapa kali ladang dan kebun mereka dirampas pemerintah dengan alasan tidak punya ijin, melanggar aturan kehutanan, berbahaya bagi kelestarian hutan dan sebagainya. Maryam, Baco tidak paham semua itu. Yang mereka tahu, bumi langit adalah milik Tuhan, dan sebagai turunan makhluk yang dikirimkan ke bumi, sudah sewajarnya mereka menuai apa yang ada di dalamnya. Kalau tidak, bagaimana hidup ? Bagaimana pertanggungjawaban Tuhan atas apa yang Ia perbuat terhadap Sang moyang, Adam dan Hawa ? Perda, undang- undang dan segala tetek bengek aturan tidak pernah menjelaskan hal ini kepada Maryam dan keluarganya. Yang jelas, sangat jelas, beberapa waktu setelah terusir dari ladang dan kebun, mereka melihat arak- arakan eskavator dan alat berat lainnya mendekati bekas lahan penghidupan itu. Beberapa waktu selanjutnya, seperti disulap telah menjadi kebun jati, atau tambak untuk lahan yang berdekatan dengan laut.
Sebenarnya Baco bisa juga mencari nafkah sampingan dengan membuat kursi rotan. Tapi seiring semakin langkanya rotan di gunung- gunung dan berlakunya HPH bagi beberapa pengusaha, Baco kehilangan sumber bahan baku. Usahanya lumpuh.
Ketika Yar berumur delapan belas tahun, Baco sakit- sakitan. TBC-nya semakin parah. Tentu saja kemampuan bekerjanya menurun. Ia tidak bisa seperkasa dulu mengolah ladang dan kebun. Bila penyakitnya kambuh, hasil ladang dan kebun akan berkurang sebab Maryam dan kedua anaknya, terutama Yar yang fisiknya kecil tak sanggup mengikuti kekuatan Baco menggarap. Sering pula hasil yang sudah berkurang itu semakin berkurang karena ‘dipajak’ pengusaha sarana pertanian untuk pembayar bibit dan herbisida. Sementara harga jual padi , kacang dan sayuran pun bisa dibilang tidak sepadan dengan biaya penanaman yang telah dikeluarkan.
Maryam dan suaminya tidak bisa pula membiayai Sri dan dan Yar untuk sekolah lebih tinggi. Keduanya hanya sampai SMA, itu pun berkat kegigihan Si anak yang mencari uang sendiri dengan membantu- bantu orang bekerja apa saja. Sementara teman- teman seangkatan kedua anak itu banyak yang telah menjadi sarjana.
Masih lekat dalam ingatan Sang emak bagaimana di dalam kamar, suatu malam dirinya menangis setelah sebelumnya melihat ijazah SMA dan piagam Yar sebagai peraih NEM tertinggi dan mendengarkan hasrat Yar ikut Amin, temannya mendaftar ke sebuah universitas di kota propinsi.
“Kasihan Yar, ia pintar tapi tak bisa kita penuhi keinginannya melanjut. Apa yang bisa kita perbuat ?” Keluhnya pada Baco.
Maryam tak menemukan jalan keluar. Menjual harta benda ? Harta apa ? Ladang ? Kebun ? Lantas bagaimana caranya dapur mereka berasap ?
Tengah malam, Maryam meratap dalam sujud tahajjudnya, mengeluhkan keadaannya pada Tuhan. Cuma itu ikhtiar yang bisa ia lakukan.
Kiranya Sang Khalik mendengar dan menunjukkan sebuah jalan. Pagi sekali, Sri membangunkan Maryam.
“Emak, saya kepikiran dengan keinginannya Adik, dan ingin membantu.” Katanya serius.
“Dengan cara bagaimana ?” Sambut Maryam.
“Minggu lalu Marni, anaknya Bi Odah bercerita bahwa sepupunya yang bekerja di toko seorang pengusaha Cina di kota kabupaten mengajak dia bekerja sebagai pelayan. Cuma harus ada satu perempuan lagi, sebab yang dibutuhkan dua orang. Dia minta saya ikut. Tapi waktu itu kurang saya tanggapi karena tidak mungkin meninggalkan Emak bekerja sendiri. Apalagi harus merawat Bapak.”
“Maksudmu, sekarang kamu mau menerima tawaran itu?”
“Ya, setelah dengar keinginan Yar.” Jawab Sri mantap. “Gajinya lumayan. Perhitungan Sri, bisa cukup bagi tiga, untuk biaya hidup saya, untuk tambahan belanja Emak dan biaya kuliah Yar.”
Akhirnya, Sri meninggalkan kota kecamatan. Dia telah mengukur pula bahwa sebulan bekerja, gaji pertamanya bisa digunakan untuk biaya keberangkatan Yar mendaftar.
Tapi, ternyata jalan yang diberikan Sang Khalik tersebut masih hendak Ia pupuskan kembali. Entah sebagai adzab, entah apa.
Sri terlalu cepat terlena begitu merasai keluar dari situasi rumahnya yang susah. Ia yang numpang di salah satu kamar rumah pengusaha Cina itu, dengan jaminan kesejahteraan berlebih, terperangkap oleh perlakuan keliwat baik anak majikannya yang seusia dengannya, yang ternyata jatuh cinta pada Sri karena kakak Yar itu memang cantik, tinggi semampai, berkulit putih bersih mirip Cina, salinan Emak. Tidak seperti Yar yang banyak ikut bapaknya.
Sri tak kuasa berkelit disuap dengan uang, dengan perhiasan oleh Tuan Muda- nya yang tanpa disadari mama papanya kerap berduaan dengan Sri di berbagai tempat plesir saat toko tutup.
Sri meminggirkan sebagian besar kesadarannya bahwa yang ia hadapi orang tak seiman, setinggi apa pun kebaikannya. Ia pun serta merta jatuh hati.
Sri berhubungan keliwatan dengan kekasihnya itu dan merasa keperempuanannya sudah tak berarti. Ia pasrah dikawini.
Marni membawa kabar. Gunjingan warga kecamatan pun menjadikan kabar itu meluas.
Maryam tertampar. Baco terpukul. TBC- nya kambuh.
“Kuberi ia wali, sebab ia anakku. Semoga Allah mengampuninya.” Inilah ucapan yang terlontar dari bibir pucat Baco ketika utusan pengadilan negeri datang meminta wali atas anaknya yang tak bisa tidak, dengan kondisinya, harus murtad, ikut agama calon suaminya.
Hampir seluruh sanak famili memutuskan Sri terhapus namanya dari rumpun keluarga. Mereka mendesak Baco bersuara tegas. Tapi lelaki itu hanya diam. Kalau pun bibirnya bergerak, yang keluar adalah istighfar.
Yar tak pernah jadi berangkat kuliah.
Maryam mau pun Baco hanya bisa tercenung bila melihat Yar lesu. Rasa bersalah dalam batin keduanya demikian besar, demikian menyesakkan dada mereka. Rasa bersalah sebagai orang tua yang tak punya kemampuan untuk melakukan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab kepada anaknya.
Ia bersyukur sekali ketika sikap Yar yang demikian hanya berlangsung beberapa waktu. Si emak menduga mungkin dalam sholatnya, Yar menemukan ketabahan.
Maryam sempat tidak percaya pada pendengarannya ketika usai sholat dhuhur Yar duduk di sampingnya dan berkata, “Yar paham dengan keadaan kita, jadi Emak dan Bapak tidak usah merasa bersalah. Yar akan tetap di sini, bantu menggarap ladang saja.”
Tak sadar Maryam memeluknya, dengan keharuan.
Yar berkelit.
“Yar sudah besar, jangan bikin Yar manja seperti dulu- dulu.” Ucapnya. “Mungkin esok lusa Yar pun kawin.”
“Kawin ? Kamu sudah berpikir pula untuk kawin ?” Tanya Emak yang sedikit terkejut atas kalimat Yar yang terakhir itu.
“Sembilan belas tahun, Yar masih muda, ya ? Sebenarnya belum pantas bicara tentang kawin. Tapi Yar punya alasan. Yar ingin segera memberikan menantu yang bisa membantu Emak bekerja, membantu berpikir tentang hidup, sekalian ikut merawat Bapak. Sejak kepergian Kak Sri, Emak sangat kelelahan untuk itu sendirian.”
Serius. Itu yang dirasakan Maryam dari jawaban Yar. Dan ia tidak bisa membantahnya ketika hari- hari selanjutnya Yar banyak bergaul dengan teman- teman mudanya, melenggang berkelompok ke sana kemari bersama gadis- gadis.
Pernah secara diam- diam Maryam berniat menyatukan Yar dengan putri kedua Azizah, misannya. Tapi Sang misan menolak secara halus.
“Kita perluas rumpun sedikit, Maryam. Biarlah kemenakanmu kawin dengan pilihannya, orang luar.” Demikian alasan Azizah, yang jauh dalam keyakinan Maryam sebenarnya merupakan selubung dari ketidaksetujuan. Buktinya, Azizah mengawinkan anaknya dengan seorang pengusaha ayam potong sukses, ponakan suaminya.
Orang kecamatan ini sudah semakin materialis ! Begitu kadang- kadang Maryam mengumpat, menyimak dan merasai sikap orang- orang sekitarnya bahkan sanak familinya yang tidak seperti zaman dulu, mengutamakan penguatan tali keluarga lewat pernikahan serumpun tanpa memperdulikan satu pihak kaya dan pihak lain miskin. Yang penting rumpun tetap utuh ! Kalau pun masih ada, dasarnya harus sama- sama kaya.
“Oh, tak usah dilihat kepada urusan perkawinan yang memang berkaitan dengan kehidupan selamanya yang tentu butuh kesiapan harta benda. Antar tetangga satu tirisan atap saja, sekarang sangat sulit saling meminta sebiji kemiri. Kita risih, sebab besar kemungkinan akan dijawab tidak ada.” Keluhnya pada suaminya saat membicarakan kandasnya rencana penyatuan Yar dengan sepupunya.
“Namanya juga zaman sudah berubah. Segala hal ada harga. Ingat, tempat kita hidup ini bukan desa lagi seperti waktu kita kecil. Sekarang sudah jadi kota !” Sambut Baco.
“Ya, orang– orang jadi nafsi- nafsi.” Sambung Maryam. “Yang berkuasa makin kuasa. Yang berada makin ada. Yang miskin seperti kita semakin di belakang. Parahnya, diinjak- injak pula.”
“Sabar ....”
Sabar, itulah petuah Baco, selalu. Dan memang itulah yang membuat Maryam kuat menjalani kehidupan bersama lelaki pilihannya tersebut sejak lama.
“Jika kita tidak sabar kita akan kufur, bisa jadi syirik. Paling tidak kita akan lekas memutuskan ukhuwah dengan orang lain sebab terlalu mudah mencap salah dan benci ketika kita rasa orang itu menyakiti kita.”
Ini nasehat lainnya, yang kadang- kadang sulit diterima Maryam.
“Bagaimana kita bisa menerima disakiti ? Itu kepasrahan yang salah menurutku. Bukankah Tuhan memerintahkan kita melawan kezaliman ?” Sanggah Si isteri , selalu.
Baco akan terkekeh jika Maryam sudah menyanggahnya seperti itu.
“Tuhan tidak menyuruh kita serta merta melawan kezaliman dengan kezaliman. Harus ada usaha mengingatkan dengan lemah lembut. Kalau tidak berhasil juga dan kita tetap dizalimi, serahkan semuanya pada Allah. Kita doakan orang yang menzalimi kita lekas sadar akan kehilafannya.“ Balasnya.
Bukan sekedar ucapan. Pendirian Baco yang demikian sedikit banyak kentara dalam sikap dan perbuatannya. Ia ramah dan tak pernah menyimpan dendam pada siapa pun yang berlaku tidak baik padanya. Bahkan, satu contoh, ketika ia diusir oleh polisi hutan dari ladang, ia membungkus barang- barang yang ada di dangau sambil tersenyum, tak menampakkan kemarahan sama sekali. Bahkan dengan polos ia tawarkan kelapa muda kepada petugas itu. Sang polhut yang nampaknya kehausan pula, menerimanya.
Kepada Yar, Baco juga menekankan pendirian yang sama. Satu sabar, dua jangan mudah menyalahkan orang, jangan mudah benci, ketiga jangan mudah memutuskan tali ukhuwah. Pemuda itu patuh melaksanakannya. Di tengah pergaulan, ia dikenal sopan, penurut, senang menolong siapa saja, sedikit lucu dan pandai menyenangkan hati teman- temannya. Maryam dan Baco pun bangga, ketika para tetangga memuji kesantunan Yar.
“Alhamdulillah, tolong ajari Yar kalau ada sikapnya yang salah.” Balas Sang bapak menanggapi pujian itu.
Namun Yar kemudian berubah. Segala sifat yang membanggakan orang tuanya pupus tak berbekas dari dirinya. Ia tiba- tiba menjadi keras hati, hidup semaunya, kasar, angkuh ! Yar yang dulu disukai , terbalik menjadi musuh banyak orang.
“Bapak sesali kamu bertingkah berlebihan seperti itu.” Cecar Baco ketika ‘menyidangkan’ Yar sepulang pentas sajak di sebuah kecamatan, yang kabarnya ‘mencaci maki’ penguasa setempat atas kebijakannya yang tidak berpihak pada nelayan. “Selama ini kau masih saja membuat dan membaca sajak- sajak yang membuka aib orang lain, membuat orang lain malu, terhina. Bukankah sudah kukatakan itu menzalimi namanya ! Bukankah kau sudah kularang ?!”
Yar diam. Maryam yang saat itu duduk di samping suaminya paham anaknya sedang berpikir, mencari kalimat yang paling gampang dimengerti bapaknya yang sering ia keluhkan berpikiran keliwat sederhana.
“Bukankah Yar sudah menjelaskan juga kepada Bapak dan Emak bahwa apa yang saya lakukan adalah usaha untuk membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah dan tidak boleh dibiarkan berlanjut, sebab merugikan banyak orang ?” Meluncur kemudian kalimat- kalimat pembelaan diri dari mulut Yar. “Bukankah kita juga sudah sering merasakan akibat dari tingkah pola para penguasa yang tidak bijak seperti itu ? Bukankah kita juga ingin ada orang yang membela kita ? Demikian juga para nelayan atau rakyat lain yang bernasib sama, Pak. Mereka butuh pembelaan. Dan Yar bersama teman- teman, dengan sajak- sajak, melakukan itu.”
“Hei, setiap manusia itu punya hati yang di dalamnya ada kebaikan dan keburukan. Sekali mereka bisa berbuat baik, sekali bisa salah. Ketika kebetulan yang muncul adalah kesalahan, itu kekhilafan, yang mungkin karena mereka kurang paham bahwa itu salah, atau tidak sengaja. Kalau pun paham dan sengaja, harus dikaji dulu kenapa sampai begitu. Bisa saja karena orang itu terpaksa hingga tidak bisa menghindar dari berbuat salah. Di sinilah tujuan kita hidup bermasyarakat, beragama satu, bersanak famili, saling mengingatkan dengan lemah lembut, dengan hikmah, saling menjaga kesabaran, saling memperhatikan apa masalah yang dihadapi, saling membantu mengatasi, dan menjaga untuk berpegang teguh pada persaudaraan, pada agama. Bukannya saling menyalahkan, saling menghina, saling menyerang ! Bukannya memupuk keangkuhan dan hasrat pelampiasan dendam serta kebencian seperti yang kamu lakukan !” Serang lelaki bertubuh kerempeng itu.
“Tuhan akan melaknat negeri ini kalau kau dan orang- orang seperti kau terus bertingkah begitu ! Kamu tahu, kenapa ? Silaturrahim putus. Allah paling benci pada muslim yang memutuskan silaturrahim dan ukhuwah !” Sambungnya sengit.
Yar terdiam lagi. Maryam tahu anaknya itu hendak membalas dengan keyakinannya berdasarkan keluasan pemahaman dan pengalamannya pada kebobrokan sekitar, namun masih terhadang rasa segan pada bapaknya.
Yar yang tak lagi mau terlibat debat, tetap saja dengan kegiatannya, yang semakin parah setelah ia mendapat pekerjaan wartawan. Yar memang tak lagi bisa dihentikan.
Maryam sadari betul api perbedaan paham makin membara antara anak itu yang terbelit- belit rantai hitam masa lampau dan masa sekarang dengan bapaknya yang memandang hidup hanya untuk berbaik- baik dengan orang lain. Puncaknya dua tahun lalu.
Baco, dan Maryam sendiri, merasakan sekali bagaimana tidak bersahabatnya pandangan dan sikap orang- orang, termasuk beberapa tetangga pada mereka.
“Orang- orang sudah membenci keluarga kita akibat ulah Yar. Kita telah disisihkan dari persaudaraan !” Seru Baco dengan muka dipenuhi amarah.
Lalu ia menampar Yar.
Keluarlah sumpahnya, “Sampai mati aku tidak sudi hidup dengan hasil pekerjaanmu yang biadab itu ! Maryam, haram kau makan dari usahanya menjual sajak dan beritanya ”
Kemudian Baco mengasingkan diri ke ladang, tinggal di sana.
Maryam menderita di tengah- tengah. Di satu sisi ia harus ikut patuh pada keputusan suaminya. Tapi di sisi lain, ia pun tak akan mungkin membuang Yar. Terlebih ia tak temukan jalan lain untuk mengangkat kehidupan agar lebih baik, agar bisa mengikuti tetangga dan sekalian warga kota kecamatan yang mapan, agar tak terus- terusan tertinggal, bila tak bergantung pada materi yang diberikan Yar dari honor tulisan, hasil penjualan buku, penghargaan berbagai pihak terhadap kepenyairannya dan gaji kewartawanannya. Ia bahkan tak mampu berkata tidak saat Yar memutuskan memugar rumah mereka yang hampir rubuh dimakan cuaca bermasa- masa setelah mendapat uang cukup banyak dari sebuah penerbitan.
Baco yang dalam sakitnya sendiri di ladang, marah besar pada isterinya itu.
“Tak sadarkah kau kalau kelemahanmu itu telah ikut mendorong anakmu dalam jurang kezaliman ?!” Cercanya seraya memegangi dada. Sejurus kemudian terbatuk- batuk.
“Jika aku mati besok, aku tidak akan bisa istirahat dengan tenang. Aku akan jadi orang tua yang merugi di neraka karena gagal meluruskan anaknya. Oh, Sri, oh … Yar ….” Ratapnya kemudian dengan air mata meleleh di pipinya yang cekung dan dikuasai gurat- gurat mengering usia.
Maryam terpukul, merasakan dirinya benar- benar tak berdaya.
Ia terjerembab sendiri dalam rasa salah melangit ketika sebulan kemudian, di dangau dalam deras hujan, suaminya yang tak kuat lagi melawan penyakitnya berbisik di sisa ajalnya, “Luruskan Yar … luruskan Yar ….”
Wanita tua itu menjerit sejadi- jadinya seraya memeluk jasad dingin suaminya. Menjerit dan terus menjerit dalam desau angin dan gemuruh petir, sampai tak sadarkan diri ….
“Apa yang bisa kulakukan … ? Bantu hamba-Mu, ya Allah …!”
Inilah ratapan Maryam berulang- ulang dalam sujud terakhirnya, dalam kesunyian sepertiga malam ketika ia memasrahkan dirinya di kaki Penciptanya.
“Yar, carilah pekerjaan lain. Emak lihat banyak teman SMA-mu yang bekerja di berbagai perusahaan. Biarlah pendapatan kecil tapi berkah dan kita tak dikucilkan orang seperti ini ….”
Itulah permintaan Maryam pada Yar, selalu, sebagai usahanya memenuhi wasiat Baco agar anaknya itu ‘lurus’.
Tapi Yar menyambut dengan kemarahan, selalu. Marah yang sungguh- sungguh !
“Separah inikah kekerasan hatimu, Yar ?!” Teriak Maryam tak bisa mengendalikan diri. “Kau lebih meninggikan keyakinanmu daripada taat padaku ! Tak pedulikah kau akan nasib bapakmu di alam barzakh yang terus tersiksa sebelum kau meluruskan jalanmu ?!”
Seperti sudah- sudah, tak ada perubahan sama sekali pada diri Yar.
Tersayat batin Sang emak yang merasa tak dianggap itu. Sayatan yang kemudian memicu rasa tersinggungnya yang berlarut pada tingkah Yar.
Rasa tersinggung itu kadang melahirkan sikap acuh tak acuh dan sinis.
Maryam tak peduli Yar menyebutnya tertutup dan keras ....
Adzan maghrib dari masjid kecamatan menumbuk pendengaran Maryam.
“Astaghfirullah ….” Ucapnya pelan ketika tersadar dari lamunan.
Lekas ia bangkit.
“Aminah .., Aminah …!” Serunya sambil berjalan masuk ke dalam rumahnya yang gelap.
Seorang gadis dua puluh tahun, pembantu rumah yang digaji Yar muncul dari ruang tengah. “Saya, Emak.” Jawabnya.
“Tolong nyalakan lampu, Nak. Eh, waktu aku tidur siang, Yar datang ? Tak ia bicara tentang gajimu yang besok dibayarkan ?”
Gadis itu –yang berdiri takzim- menjawab dengan tutur penuh kesopanan, “Baik, Emak. Tapi Kak Yar tidak datang, Emak. Permisi Emak, saya kasih nyala lampu.”
Maryam masuk ke kamarnya.-
*
BAGIAN 8
Sudah berjalan dua bulan, ‘istana’ menjadi tempat berkumpul tujuh murid SMA Kecamatan. Mereka hadir tiap malam dan pagi hari minggu , diutus gurunya mengkaji sajak selama setengah semester, sebentuk persiapan untuk keikutsertaan dalam sebuah lomba sastra.
Riuh rendah tawa mereka berkelakar di peladang. Manis betul suasana keremajaan di wajah dan tingkah mereka yang segar dan lincah, sesegar pagi yang sedang merayap naik. Dua perempuan. Sisanya laki- laki semua.
‘Sang raja’ entah apa kerjanya di dalam. Sebentar ia keluar, menenteng spidol. Sejurus ia duduk bersila di depan papan tulis yang tersandar di dinding.
“Kita mulai.” Katanya seraya melirik salah seorang anak binaannya itu, Via.
Semalam gadis belia yang anak Dokter Budi, kepala puskesmas kecamatan itu meneleponnya, mengabarkan bahwa bapaknya meminta Yar, kapan- kapan ada waktu, untuk datang ke rumahnya. Ada yang mau dibicarakan, katanya.
Via tidak bisa menjelaskan ’yang mau dibicarakan’ itu. ”Saya tidak tahu, Kak.” Alasannya.
Tanpa mereka sadari, aktifitas Yar dan para siswa itu diperhatikan dari jarak yang tidak terlalu jauh oleh dua orang lelaki setengah baya yang tersamarkan oleh rapat pepohonan dan rumpun belukar.
Sebentar keduanya menatap lekat suasana serambi itu, saling mengangguk- angguk, untuk kemudian mundur dan menghilang di balik rimbun hutan.
Siang.
Rumah itu sudah sepi setelah kepulangan peserta kajian. Tinggal Yar, sedang memasak mie instan di dapur.
“Biar aku yang masak.”
Yar menghentikan gerak tangannya mengiris cabe.
Ia menoleh ke arah datangnya suara, lalu mendesah gusar.
Nur, berjilbab putih, baju terusan putih, di pintu pembatas dapur dan ruang tengah.
Ia mendekati Yar dan berusaha menyingkirkan jari pemuda itu.
Sang pemuda yang wajahnya langsung berubah gelisah akhirnya mengalah, menaruh pisau dan cabe di atas meja, mengambil posisi duduk di kursi plastik, di belakang mantan pacarnya itu.
“Aku sudah memintamu jangan datang- datang lagi ….” Ucapnya lemah. Tidak kentara emosi, namun jelas membawa getar ketidaksenangan.
“Apa pun katamu, apa pun yang nanti terjadi, aku hanya ingin memberi penjelasan.” Jawab Nur, pelan tapi tegas. Suara ketak ketuk pisau di tangannya mengiris cabe mengantara suasana.
“Apa lagi …?”
Suara Yar lebih mengesankan keluhan ketimbang pertanyaan.
Nur menyegerakan pekerjaannya. Diperiksanya air di dalam panci penjerang. Belum mendidih. Ia tarik kursi dan duduk berhadapan dengan Yar yang membuang pandangan ke luar.
“Aku, demi Allah, tidak mencintai pemuda itu.”
Kalimat awal Nur yang disambut Yar dengan senyum sinis.
“Kau boleh sinis dan tak perlu berkomentar.” Sambung Si gadis yang kelihatan tenang sekali. Sepertinya tidak ada beban sedikit pun dalam dirinya, berbeda jauh dengan kesan ketika pertemuan di kantor polsek atau saat ia datang beberapa hari lalu.
“Dengarkan seluruh kata- kataku, baru setelah itu kau mau apa, terserah ….” Imbuhnya.
Sang penyair diam saja.
“Pemuda itu, kamu tahu, Anhar, teman pengurus pesantren. Ia menyatakan cintanya padaku sejak enam bulan lalu. Aku tidak menanggapi. Bagaimana aku terima, sementara aku sudah jadi pacarmu selama bertahun- tahun. Segenap hatiku, kau rasakan sendiri sudah kuberikan dan kugantungkan hanya padamu. Bukankah sering aku sendiri yang mencetuskan pembicaraan tentang pernikahan ?” Nur menghentikan penjelasannya untuk memasukkan mie ke air yang sudah mendidih dan menyiapkan bumbu serta irisan cabe di piring.
“Berulang- ulang ia mencecar dengan hasratnya. Ia pun datang berkunjung ke rumah. Aku terima saja, sebab kupikir apa salahnya menghargai tamu. Tapi tetap kuberi batasan, sekedar teman. Sekalian kuberi ia pengertian bahwa aku sudah punya calon suami. Ia lekas tahu begitu kusebut namamu. Tapi, entah kenapa ia tetap teguh dengan kemauannya.
Aku bertahan.
Aku bertahan, Yar. Kau percaya ? Ah, terserah kau saja.
Aku berusaha menjaga kepercayaan dan segala harapan yang sudah kau sandarkan padaku !
Tapi kemudian, aku dihadapkan Tuhan pada ujian.
Bapak dan Ibu, tanpa kuduga, mendorong aku agar menerima lelaki itu.
Bapak dan Ibu, orang yang tak akan pernah bisa aku tolak keinginannya ! Bukan aku takut, bukan aku tak mampu berontak, tapi sejak kecil hatiku terlalu pedih untuk membuat mereka kecewa ….”
Buih lempuas sampai tutup panci terangkat. Buru- buru Nur menjangkau sendok bertangkai panjang, mengaduk- aduk mie di dalamnya. Ia turunkan sumbu kompor. Ditiriskannya mie itu. Lantas dicampur rata dengan bumbu.
“Tunggu dingin dulu.” Katanya seraya membiarkan piring berisi mie tersebut tergeletak di atas meja.
Yar tak menunjukkan reaksi apa pun. Entah tak sanggup bicara, entah merasa tak berguna lagi bicara, yang jelas ia tetap dengan diamnya.
“Maaf, kalau harus kukatakan terus terang, Bapak dan Ibu memberi alasan bahwa mereka tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa keyakinanmu, sikapmu dan segala bentuk kegiatan kepenyairan dan kewartawananmu telah membuat banyak orang terganggu. Perlahan- lahan mereka berusaha menghentikan gerakan kamu, menghapus kamu dari muka mereka. Perlahan- lahan pula masyarakat umum akan terpengaruh dan ikut- ikutan setelah dipengaruhi oleh orang- orang yang membenci kamu.
Bapak cemas jika harus menjadikan kamu menantu, sebab akan mengganggu usaha beliau membangun dukungan untuk langkah politik beliau ….”
Nur -yang bicara begitu lancar, seakan tidak sedang menghadapkan Yar dengan kejelasan- kejelasan yang menyakitkan- menatap sejenak pemuda itu. Seperti hendak memberi kesempatan menanggapi.
Namun bibir Yar terkatup. Mukanya tawar.
“Walau pun tak pernah aku duga, apa yang menjadi keputusan Bapak atau Ibu tidak lagi membuat aku terkejut.
Aku sadari itu hanya perkara Bapak melisankan pendiriannya, yang kutahu walau pun tak terkatakan, sudah berubah seratus delapan puluh derajad sejak beliau duduk sebagai anggota dewan.
Ya, beliau berubah sekali, Yar.
Beliau tidak lagi seorang yang tulus melakukan pembelaan pada kepentingan rakyat seperti ketika masih di LSM dimana aku ikut serta.
Itu mulai ketika Bapak masuk ke dalam politik praktis. Beliau jadi fungsionaris salah satu parpol. Beliau berdalih bahwa ruang gerak LSM terlalu sempit untuk memperjuangkan aspirasi rakyat kecil di tingkat yang lebih luas, di tataran yang lebih memungkinkan pengawasan maksimal pada tingkah polah pemerintah. Aku yang sudah beliau latih untuk peka, bisa merasakan gelagat beliau akan terjerumus dalam ketidakteguhan pendirian dan ketidakbersihan pula bila berkutat dalam politik. Aku dan beliau sempat berdebat tentang itu. Tapi aku kalah. Aku iyakan, walau pun batinku tetap menentang.
Apa yang kutakutkan menjadi kenyataan.
Bapak yang mulai giat dalam kampanye pilcaleg pada akhirnya merasa tidak mampu bersaing dengan calon lain jika bersikukuh dengan tekadnya main bersih.
Bapak pun ikut menghambur- hamburkan uang, membeli rakyat.
Kata Bapak itu hanya strategi.
Bapak juga tiba- tiba menjadi begitu akrab berhubungan dengan orang- orang yang dulu selalu jadi incaran beliau, orang- orang busuk kecamatan, dari tokoh pemuda, tokoh masyarakat sampai tokoh agama yang sering berkelakuan buruk dan beliau serang.
Kita giring mereka untuk mendukung Bapak, untuk nanti akan bisa Bapak jaring dalam pembersihan moral. Ini alasan Bapak padaku. Duh, idealis sekali ....
Aku terpukul sekali dengan langkah Bapak. Dampaknya, yang kurasakan betul pada diriku, aku jadi malu sendiri untuk berseru- seru lantang seperti dulu.
Rasa malu itu berlarut sejalan dengan larutnya Bapak dengan gayanya.
Pupus semangat aktivis dalam diriku. Apa lagi membayangkan apa yang akan terjadi pada Bapak kalau berhasil duduk di dewan.
Ujungnya, aku tak berminat lagi melanjutkan pendidikan ke Fakultas Sosial, yang saat kami aktif di LSM didorong- dorongkan Bapak kepadaku, sebab katanya fakultas itu cocok untuk mematangkan pengetahuanku dalam hal penataan kehidupan sosial yang baik, untuk membangun masyarakat yang benar- benar madani. Aku pilih kuliah di Perguruan Tinggi Islam, dengan sedikit ketidaksetujuan Bapak tentunya. Setelah tamat, aku langsung dirikan pesantren bersama teman- teman selulusan.
Aku berpikir itulah mungkin caraku mengingatkan Bapak. Mungkin pada suatu saat Bapak akan lebih menjaga akhlaq karena anaknya orang pondok, orang yang mendidik dengan agama, orang yang bersyiar tentang kebaikan dalam kemurnian syari’at.
Kau ingat ketika menyatakan cinta di ruang besuk LP dan aku menangis ? Aku tertampar saat itu, Yar. Tertampar oleh permintaanmu yang tentunya kau cetuskan karena menganggap aku masih Nur yang dulu, Nur yang bersemangat meledak- ledak, yang bahkan mengimpikan bersuami pemberontak. Tertampar oleh keberanianmu melawan apa yang tidak sesuai dengan nuranimu …! Tertampar oleh keyakinan diriku sendiri yang akan pura- pura mendukung kamu, asal mendapatkan kamu yang saat itu sudah membuat aku terpikat, sudah membuat aku jatuh cinta.
Setengah tahun duduk di kursi yang kau pun turut memperjuangkannya, beliau semakin akrab dengan para pejabat, para pengusaha, para penguasa yang dulu beliau lawan. Beliau, di samping dari gaji dewannya, banyak sekali mendapat uang dari berbagai penjuru. Begitu cepat kami punya mobil, punya toko, punya tanah puluhan hektar. Kau pasti tak menyadari buruknya tabiat Bapak saat itu, sebab di depanmu Bapak begitu pandai menyamarkan tingkah polanya. Lagi pula biar pun kita pacaran, kau kau terlalu sibuk, jarang datang ke rumah. Aku pun memilih sembunyikan ini padamu. Aku malu …! Aku malu punya Bapak yang begitu mudah kehilangan idealisme, begitu mudah ditelikung musuh- musuhnya dengan uang ! Aku malu bapakku menghianati rakyat !”
Sejenak gadis itu menahan lidahnya karena Yar menatap.
“Kenapa ? Kaget ? Atau kau tidak yakin dengan ceritaku, karena aku bertutur dengan biasa- biasa saja ?” Tanya Nur seraya tersenyum. ”Seperti saat menulis surat putus kemarin, aku sudah sulit sekali untuk sedih. Kau baca sendiri, bagaimana kalimatnya tak terlalu mengesankan aku berduka. Perasaanku sudah jenuh.”
“Mungkin pula aku sudah bosan dengan tangisan, dengan ratapan, Yar. Aku sudah sering menangis sendiri, meratap sendiri menyaksikan penyelewengan Bapak, dan Ibu pula yang mendukung …!
Aku juga sudah tak berani menyesali bagaimana aku menghianati pendirianku sendiri untuk melawan kebusukan- kebusukan. Bagaimana aku berontak, mengeras- ngeraskan suara, sementara kebusukan itu sendiri adalah bapakku, ibuku, aku ?!
Aku ikut larut, ya ! Aku ikut menikmati hasil kebusukan Bapak, betul ! Aku apatis, itulah aku sekarang, Yar !
Nur yang bicara di depanmu sekarang adalah Nur yang tegak dengan sisa- sisa semangat. Dan sisa- sisa semangat ini ingin kunikmati sebaik- baiknya, tanpa harus menerima kenyataan disakiti oleh kamu, orang yang sangat aku cintai. Kau tak akan sanggup berlama- lama berada di lingkaran kebusukan keluarga kami. Lebih- lebih bila nanti kau sadari juga bagaimana aku yang sebenarnya. Kau akan meninggalkan aku. Tidak, aku tidak sanggup hadapi itu, Yar ! Biarlah orang lain menyakiti aku, asal bukan kau !
Oh, munafiknya aku ! Kenapa aku terima cinta kamu !”
Gadis itu memperbaiki pasangan jilbabnya.
Sesaat ia diam, menghela nafas.
“Sekarang, kau boleh bicara, atau apa pun yang akan kau lakukan padaku ….” Ujarnya kemudian seraya bangkit mengambil sendok di rak.
“Sudah dingin sekali. Makanlah.” Sambungnya menyodorkan piring berisi mie itu dengan senyum. Benar- benar santai.
Yar tak peduli. Ia bangkit, melangkah lesu ke pintu keluar dapur. Pandangannya menerawang hampa ke arah hutan.
“Semakin sempit kiranya ruang gerak perjuanganku di negeri ini ….” Gumamnya lirih seperti bicara pada dirinya sendiri. “Orang- orang yang kuharapkan dukungannya pun sudah meninggalkan aku …!”
Gadis yang ia belakangi tak berucap sepatah kata pun. –
*
BAGIAN 9
Sore itu Maryam dan Yar jadi bahan pembicaraan ibu- ibu tetangga.
“Tetangga kita, orang kaya baru itu makin sombong saja, ya ? Tak pernah keluar- keluar untuk ngobrol seperti ini. Baru punya rumah segitu sudah sok menyendiri ! Kalau pun lewat depan rumah atau ketemu tidak pernah memberi sapaan.” Caci Atiah seraya jarinya sibuk menindas kutu di kepala Laila, di teras rumah gaya Spanyol-nya Hamidah.
“Iya, mentang- mentang anaknya disegani orang juga ….” Sambut Laila yang duduk terkantuk- kantuk di sela paha Atiah.
“Anak yang tak juga dapat isteri. Percuma nama besar, tak ada satu perempuan yang mau dijadikan isteri !” Sambungnya.
”Iya, ndak malu- malu apa dia lihat bekas pacarnya bergandengan mesra dengan suaminya. Apalagi Ani sama Efendi, wuih ... seperti Qais dan Laila. Lebih- lebih sekarang, Ani pasti bahagia betul sama suaminya di kota propinsi. Punya usaha besar, uang banyak ....” Dukung Atiah, yang kemudian terkikik- kikik menambahkan. “Seandainya ia mau sama aku yang janda ini, boleh. Ketimbang jadi bujang lapuk !”
Kedua terkikik- kikik lebih keras.
“Hei, biar janda, maukah kau dapat suami yang tidak peduli adat, yang meniru- niru gaya hidup orang Barat ? Hihh ...!” Sela pemilik rumah yang muncul dari dalam dengan sebakul kecil singkong rebus mengepul uap.
“Hei, betul juga, dia kan pernah ke Barat ! Bisa jadi dia sudah ikut- ikutan gaya bebas orang Barat yang suka maksiat, yang suka kumpul kebo !” Seru Laila menguatkan. “Aku yakin anak itu hanya sok suci, padahal bergelimang kekotoran juga.”
Atiah melepas kepala Laila. Ia kini menghadapi bakul singkong, menyaingi Hamidah yang telah lebih dulu memamah dengan nafsu. Laila tak mau kalah. Ia balikkan badan dan mencomot sepotong.
“Dulu aku dan bapaknya anak- anak suka anak itu, sebab peduli betul pada nasib kita rakyat kecil. Tapi tingkahnya makin lama makin tidak ramah pada siapa pun, makin sombong. Kami jadi benci.” Lontar bibir Hamidah yang dilekati remah makanannya.
“Bapaknya Eko juga begitu.” Sela Laila. “Kemarin dulu Yar mencerca suamiku itu karena menurutnya sebagai ketua RT suamiku tidak jujur mendata warga yang harusnya dapat BLT.”
“Berlebihan, ndak pikir yang diurusi. Got- got yang dibuat kurang benar saja dimasukkan dalam koran !” Tambah Atiah yang kelihatan sangat menikmati gurihnya singkong rebus itu.
“Apa Maryam tidak sadar anaknya keliwatan, ya ?”
Atiah terkekeh mendengar pertanyaan Hamidah. “Sadar sih pasti …! Tapi nenek itu tak bisa mengurus anak ! Ingat kejadian Sri, kan ? Sampai sekarang jadi murtad, salah siapa coba ?”
“Ya emak bapaknya yang gagal mendidik !” Jawab Laila bersemangat. “Kasihan Baco, ia orang sabar, orang baik di desa ini, tapi harus menanggung siksa neraka karena tidak bisa meluruskan anak- anaknya sampai meninggal.”
Tiba- tiba Atiah celingak- celinguk memperhatikan sekitar yang kebetulan sepi.
“Kenapa ?” Tanya Hamidah dan Laila hampir bersamaan. Mereka tahu, kalau sudah bersikap begitu, Atiah pasti punya isyu besar, yang belum boleh disebarluaskan.
“Tapi jangan bilang- bilang orang lain, sebab kalau ada apa- apa bisa- bisa kita dijadikan saksi ….” Bisik Atiah serius.
Nah, nah !
Serempak Hamidah dan Laila merapatkan kepala ke kepala cs-nya itu.
“Tapi jangan bilang- bilang !” Ulang Atiah.
Yang dapat peringatan kompak mengangguk.
“Awas, jangan dibocorkan !”
“Iya ! Cerewet sekali !” Sentak Hamidah sedikit gusar.
“Betul, jangan dibocorkan !” Laila malah latah mengulang peringatan Atiah. Kelepasan rupanya.
Mata Hamidah kontan melotot tajam menghujam muka Laila yang segera sadar dan tersenyum malu.
“Dengar baik- baik.” Kata Atiah, pelan sekali. “Kemarin waktu aku mencari kayu bakar di hutan belakang rumah bukitnya Si Yar, aku melihat dua orang lelaki. Mereka memperhatikan rumah itu. Gerak- geriknya mencurigakan sekali. Yang mengherankan juga, salah satu dari mereka memegang kamera ....”
“Kau kenal orang itu …?” Desak Laila pada ‘Sang reporter’ yang masih harus mengunyah singkong sementara laporannya belum jelas.
Atiah menggeleng- geleng. ”Bukan orang sini, pasti.” Jawabnya.
Hamidah dan Laila saling pandang.
“Yar ada di rumah waktu itu ?” Cecar Hamidah penasaran.
“Rumahnya tertutup ….”
“Siapa ya, kedua orang itu …?” Ujar Laila dengan nada ingin tahu yang besar sekali.
“Mungkin intel, yang dapat laporan kalau Yar ada apa- apa, yang membahayakan negara. Dia kan punya kelompok sastrawan, yang namanya ... ih aku lupa. Pokoknya ada embel- embel kiri- kirinya ! Kiri itu kan komunis !” Sambut Hamidah berspekulasi.
Atiah dan Laila tak berkomentar, sebab daya pikir mereka terlalu rendah untuk mencetuskan kemungkinan- kemungkinan lain yang masuk akal.
Ketika ketiganya larut dalam dugaan masing- masing, suami Hamidah muncul di pintu halaman.
“Hussh, diam !” Bisik Hamidah seraya mengedipkan mata kepada Atiah dan Laila.
“Isyu apa hari ini ?” Tanya suami Hamidah menyindir. Lelaki itu sudah paham dengan situasi. Apabila isterinya berkumpul dengan tetanggga, ada saja hal baru yang digunjingkan.
“Kita sedang bicarakan persiapan arisan besok.” Jawab Hamidah, lekas dan mantap. –
*
Sementara orang- orang menggunjingkan mereka, Yar sedang bertengkar dengan emaknya di ruang tengah.
“Memang kenapa kalau aku terus- terusan mencari sayur di hutan atau berladang ?! Kau malu dikatai orang tak bisa mencukupi kehidupan emaknya ? Hah ?! ”
Terlihat muka keriput Maryam memberenggut saat melontarkan seruan itu.
“Bukan begitu, Emak ! Saya cuma tidak mengerti kenapa Emak masih memetiki kelor di hutan, masih berladang, sementara uang belanja sehari- hari saya berikan. Bukankah sudah berlebih ?” Sanggah Yar gusar.
“Kau tidak mengerti ?! Takkah kau sadari, selama ini semua uang pemberianmu tak pernah aku sentuh ?! Bukankah kau berikan sendiri kepada Aminah ?! Ia belanjakan untuk keperluan makanmu saja ! Untuk makanku dan segala kebutuhanku, aku merasa lebih tenang membelinya dengan hasil jerih payahku !” Balas Maryam sengit.
Yar terperangah, tersinggung.
“Seharam itukah uang pemberian Yar hingga Emak mesti bersikap begitu ?” Tanyanya dengan nada meninggi.
Maryam mendengus.
“Kau pikirlah sendiri !”
Pemuda itu menggeleng- geleng, tidak bisa memahami sikap emaknya.
“Kau tidak sadar juga kalau penghasilan yang kau dapat itu dari kegiatan yang sudah mendera bapakmu dari dunia sampai akherat ? Kau tidak paham juga kalau sampai hari ini aku selalu disiksa oleh mimpi- mimpi buruk tentang keadaan bapakmu di alam barzakh ?! Ia selalu datang padaku, menjerit- jerit meminta diselamatkan dari lumpur panas, merayap masuk rumah ini dengan tubuh telanjang, duduk di serambi, memandang bong sambil menangis ! Kau tidak akan paham itu ! Kau cuma paham bahwa kau harus jadi besar, jadi melangit !”
Maryam terisak- isak menyudahi luncuran kalimat- kalimatnya yang dibaluri emosi, yang hendak ia keraskan sekeras- kerasnya, tapi mengalir sebagai rintihan.
Yar tertunduk, meremas- remas rambutnya.
“Emak berlebihan ….” Katanya lirih. “Emak terlalu terbawa- bawa dengan penyesalan Bapak, yang picik, yang …”
“Ya, kau yang terpintar ! Kau yang tahu segalanya !” Potong perempuan itu sangar. “Tapi kau tidak pernah berusaha untuk tahu bagaimana aku sudah mengabaikan amanat bapakmu ! Kau juga tidak akan pernah bisa tahu kalau esok lusa aku pun mati dengan penderitaan batin seperti Baco !”
Mendadak Yar berdiri dari duduknya. Wajahnya merah padam.
“Kau mau tunjukkan lagi kalau kau tetap dengan keangkuhanmu padaku ?! Pergilah ! Pergilah dan berbangga- bangga lah dengan kebesaranmu ! Tapi dengar kata- kataku yang terakhir kali.
Pernahkah sekali saja kau jujur menilai segala tingkah pola penentangan- penentanganmu selama ini ? Apa benar tak ada kekeliruan sedikit pun ? Apa benar orang- orang yang kau hakimi itu salah ? Apa benar kau saja yang suci dan mereka semua busuk, hah ?!” Teriak Maryam. Kali ini suaranya melengking. Muka uzurnya menegang.
Muka Yar meradang, menampakkan ketidaksenangan yang memuncak. Kalimat seperti itu, ya kalimat seperti yang barusan diucapkan emaknya terlalu sering ia dengar, terlampau sering diulang- ulang oleh perempuan itu.
Yar merasa ditekan. Emosinya meledak.
”Ya, saya benar, dan mereka semua salah. Karena itu saya tentang. Dan Emak tak harus lagi mempertanyakan itu !” Serunya tak terkendali.
”Pikiran Emak, seperti pikiran Bapak, pikiran sempit, tidak bisa menilai sesuatu secara menyeluruh. Saya yang membuat orang- orang tertekan dan hancur dipandang melakukan kezaliman. Emak dan Bapak tidak bisa mengerti bagaimana kezaliman itu saya lakukan untuk melawan kezaliman yang meluas dan akan terus meluas jika tak cepat dihadang. Emak dan Bapak tidak bisa memahami bahwa situasi sosial negeri ini adalah situasi perang, situasi dimana saya melawan penjajah, yang jika didekati dengan kata- kata, dengan himbauan, dengan diplomasi, justeru akan senang dan punya jalan berkelit, punya seribu satu peluang mengibarkan bendera kemenangannya. Hingga satu- satunya cara yang paling tepat adalah menyerang mereka dengan segenap kemampuan yang saya miliki. Mereka boleh kuat, tapi kekuatan saya juga berlipat !
Baik, baiklah, secara kasat mata, Emak atau Bapak boleh menyamakan dengan mereka. Saya penindas, saya penghancur hidup orang lain pula. Tapi, mesti dibedakan letak saya berdiri dengan mereka yang saya tekan, saya tindas dan saya hancurkan itu. Saya berdiri di atas kebenaran dan tujuan mempertahankan harga kemanusiaannya manusia kecamatan, manusia kabupaten. Sementara seteru saya berpijak pada kesalahan yang disengaja dan niat- niat busuk yang meremehkan nilai- nilai kemanusiaan.
Emak dan Bapak akan diazab Tuhan karena tingkah pola saya ? Lalu di mana ruang bagi perjuangan kebenaran dan pembelaan orang- orang kecil yang teraniaya ?! Siapa yang akan peduli pada mereka ?! Berarti Tuhan tidak menghendaki ada kebaikan di bumi ini. Berarti Tuhan tidak adil pada hamba-Nya ! Itu mustahil, bukan ?
Tidak, tidak ! Tuhan tidak akan menghukum Emak dan Bapak karena saya menjadi aktivis, karena saya, anak Emak dan Bapak menghancurkan orang- orang busuk itu ! Bisa jadi, kalau pun diadzab, Emak dan Bapak justeru diadzab karena tidak mendukung perjuangan kebenaran dan pembelaan orang- orang terinjak. Mudah- mudahan Tuhan memberi keringanan karena Emak dan Bapak adalah hamba-Nya yang berpikiran sederhana ....”
Tak terhadang luncuran kalimat deras dan keras dari bibir Yar.
Rasanya ia tak lagi melihat Maryam sebagai ibunya. Nanar tatapannya. Tak sadar pula ia berkacak pinggang.
Mata tua Maryam menyorot garang. Bibirnya bergerak- gerak, tapi tak ada sepatah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Tinggal dadanya saja yang gemuruh perih, menyadari pemuda yang sedang ia hadapi bukan lagi Yar yang darah dagingnya, yang pernah ia didik, yang pernah ia arahkan untuk santun dan taat pada dirinya.
”Kau bukan Yar, kau iblis, kau kerasukan setan keangkuhan !”
Jeritan batin Maryam itu tak pernah terdengar oleh Yar. Sebab Sang anak telah melangkah keluar, meninggalkan Sang ibu yang mendekap dadanya, menekan rasa sakit yang semakin tak tertanggungkan.
**
Tak tahan bertengkar dengan emaknya, Yar ’lari’ ke rumah Dokter Budi.
”Selama dua tahun bertugas di kecamatan ini, baru sekarang saya mendapati kasus semacam ini. Warga terserang infeksi saluran pernafasan, sejumlah empat belas orang, dalam waktu satu bulan. Di antaranya ada tiga balita. Satu balita meninggal.”
Yar tertegun mendengar penuturan dokter itu.
”Sudah diidentifikasi penyebabnya, Pak ...?” Tanyanya sambil memasukkan kembali tape recorder ke dalam tas, sebab dokter muda itu meminta pembicaraan mereka bukan sebagai pembicaraan wawancara dan jangan diangkat ke media.
”Observasi tim puskesmas selama satu minggu menghasilkan kesimpulan bahwa polusi asap dan debu dari empat pabrik pengolahan kapur di sisi utara kecamatan yang menjadi pemicunya. Warga yang terserang itu tinggal di perkampungan dekat areal pabrik.”
”Lantas bagaimana sikap puskesmas ?”
Dokter Jawa itu menghela nafas. Nampak wajahnya digelayuti beban.
”Inilah hal pokok yang hendak saya bicarakan dengan Mas Yar.” Jawabnya pelan.
”Secara medis, tentu saja kami sudah bekerja serius melakukan proses- proses kuratif terhadap penderita. Tapi itu tidak lantas menyelesaikan masalah. Sebab sumber persoalannya belum bisa kami sentuh ....”
”Pabriknya ?”
Bapaknya Via mengangguk.
”Polusi asap dan debu kapur pabrik- pabrik itu sudah jauh melampaui ambang batas toleransi. Kandungannya di udara terus meningkat. Saya dan tim memperkirakan dalam waktu kurang dari dua bulan lagi persebarannya akan mencapai sepertiga wilayah kecamatan.
Bayangkan berapa desa akan dicekoki udara kotor ? Berapa ribu warga yang potensial mengalami gangguan kesehatan, terutama anak- anak ?
Saya sudah berupaya beberapa kali baik secara formal mau pun kekeluargaan meminta bertemu dengan pengusaha pabrik itu. Tapi, sepertinya mereka menghindar, menolak bertemu, bahkan ada yang mengintimidasi saya lewat sms. Mengancam akan melakukan tindakan keras jika saya masih mengurusi persoalan itu. Saya minta bantuannya Mas Yar. Terus terang saya tidak berani terlalu frontal dengan mereka. Mas tahu sendiri saya bukan orang sini.” Jelasnya dengan wajah serius.
Yar menggeleng- geleng.
”Lagi- lagi ....” Umpat batinnya.
Sikap menghindar, menolak bertemu dan mengintimidasi para ’pembuat masalah’ terhadap pihak- pihak yang mereka rasa akan mengganggu atau menentang sudah biasa sekali Yar dengar. Sekarang ’pembuat masalah’ itu adalah para pengusaha pabrik kapur, dan pengganggu atau penentangnya adalah Dokter Budi.
Lagi- lagi pula ’pembuat masalah’ itu akan berhasil ’mengatasi gangguan, mengatasi tentangan !’
Dokter Budi sudah didera kecemasan untuk meneruskan ’gangguan’, melanjutkan ’penentangannya !’
”Saya pahami posisinya Pak Budi. Untuk sementara hentikan saja gerakan dari puskesmas.”
Yar mencoba memberi ketenangan pada lelaki berkaca mata yang tak bisa menyembunyikan kegelisahan di wajahnya itu.
”Saya yang akan mencoba masuk ke pabrik. Mungkin mereka bisa lebih memberi perhatian. Dan seperti permintaannya Bapak, persoalan ini tidak akan saya angkat sebagai berita, melainkan sebagai artikel, hasil investigasi saya sendiri.”
”Bantu saya, Mas ....” Sambut Dokter Budi dengan muka mengharap.
Yar mengangguk saja. Senyumnya mengembang tapi batinnya mengeluh.
Kapan orang- orang yang mempunyai keinginan untuk melakukan perbaikan bisa bergerak leluasa di kecamatan ini ? Sampai kapan kesalahan bisa menunjukkan kekuasaan dengan kekerasan, dengan intimidasi ?!
Pemuda itu sedikit bahagia karena ia rasakan masih ada orang yang menghendaki bantuannya, masih memberikan kepercayaan kepadanya sebagai seorang aktivis perlawanan. Artinya, ia masih punya eksistensi !
BAGIAN 10
Jam setengah sepuluh malam, Yar baru kembali dari keliarannya memburu berita. Ia tertegun heran di depan ‘istana’ ketika mendapati Aminah, pembantunya berdiri di bawah lampu peladang. Gadis manis bertubuh semampai padat itu tersenyum.
Sesaat Yar terpesona dengan senyum itu. Dadanya gemuruh.
Oh, sudah berapa lama aku suka melihat gadis ini ...?
Yar sedikit salah tingkah ketika orang yang ia ’nikmati’ berdehem.
“Ada apa datang malam- malam begini, Aminah ? Disuruh Emak ?” Tanyanya menutupi rasa canggung seraya duduk dan meletakkan tas ransel serta kamera digitalnya di lantai.
Aminah menggeleng. Ia duduk pula semeter di depan Yar dengan punggung disandarkan ke dinding.
“Maaf, Kak.” Katanya membuka suara. “Saya putuskan datang malam- malam karena yakin tak mungkin dapati Kak Yar kalau siang.”
“Ada yang penting rupanya ?”
Aminah mengangguk, serius.
Yar jadi penasaran.
Aminah menghela nafas sebentar, memandang tuannya, lalu tertunduk.
Yar kian penasaran.
“Ada apa ?” Desaknya.
“Sebelumnya saya minta maaf, kalau dirasa mencampuri urusan Kakak dengan Emak..” Jawab perempuan muda itu.
“Saya prihatin dengan keadaan Emak ….”
Yar mendesah. Urusan emak lagi. Ia sedang tidak ingin mendengar apa pun tentang ibunya itu.
“Mulai maghrib tadi Emak lemas lagi.” Sambung Aminah seraya memandang Yar, mengukur responnya. Tapi Yar menunjukkan raut wajah biasa- biasa saja.
“Sudah agak reda setelah saya beri obat sisa minggu lalu. Untuk persiapan saya disuruh beli lagi ke apotiknya Pak Din. Kesempatan, untuk datang ke sini.” Lanjut Si pembantu seolah tak mau peduli dengan tanggapan Yar. Ditariknya lembar- lembar kemasan obat dari kantong dasternya, ditunjukkannya, hendak meyakinkan.
”Emak sepertinya semakin mudah saja sakit- sakitan. Apalagi, maaf, jika habis bertengkar dengan Kakak. Kakak tidak tahu itu ?”
Batin Yar sedikit tesentak menerima pertanyaan itu. Ia sadari dirinya jarang pulang ke rumah lamanya itu, sehingga tidak begitu tahu dengan keadaan emaknya. Ia menggeleng pelan.
Aminah mengangguk- angguk.
Sesaat keduanya diam, sama- sama memperhatikan lalu lalang kendaraan roda dua di jalan raya di bawah bukit. Ramai sekali. Riuh rendah derunya bercampur sorakan- sorakan. Anak- anak muda yang melabeli dirinya ’Anak Motor’. Di suatu tempat mereka akan beradu cepat ngebut dengan taruhan.
”Tadi setelah Kak Yar pergi, Emak memanggil saya, meminta ditemani. Beliau cerita banyak tentang kesedihannya akan nasib Bapak, tentang keinginan beliau agar Kak Yar mencari pekerjaan lain, tentang rasa risih beliau yang merasa semakin dikucilkan tetangga ….” Ucap Aminah menyela suasana.
“Intinya, Emak mengutuk aku, kan ?!” Sentak Yar emosi.
Gadis di dekatnya berhenti bicara. Ada kecemasan di wajahnya. Cemas Yar memarahinya.
“Aku tidak sesali kamu.” Lekas- lekas Yar meyakinkan Aminah ketika melihat perubahan mimik dara itu. “Aku sesali Emak yang terus saja menekanku tanpa mau mempertimbangkan lebih banyak segi. Emak ikut- ikutan dengan kepolosan Bapak yang cuma berpendirian bahwa keharusan manusia di dunia adalah berbaik- baik dengan manusia lain, yang takut benar dibenci orang lain. Sementara beliau tidak pernah mau menyelami bagaimana kehidupan dunia jaman sekarang, dengan keadaan kota kecamatan yang semacam ini, yang begitu kasar, yang tidak memberi ruang hidup bagi kepolosan- kepolosan seperti itu ....”
Aminah belum berani bicara. Atau tepatnya belum tahu harus bicara apa. Pikirannya sedang mengkaji ucapan Yar.
Akhirnya ia mengangguk.
”Ya, saya juga sependapat dengan Kakak.” Akunya. ”Kita tidak lagi hidup di masa buyut kita yang berpikiran sederhana, yang sebatas mencari sumber hidup dengan tujuan- tujuan sederhana, untuk cukup makan, untuk bisa punya tempat bernaung. Mereka dengan kesederhanaan macam itu jadi tak baku saing. Mereka jadi mudah saling mendukung, saling memberi dan menerima tanpa ada curiga mencurigai, saling tindas menindas ....”
Ada kepuasan di hati Yar mendengar tanggapan Aminah yang bisa paham kendati dengan kesederhanaan.
”Nah, kau sendiri tentunya bisa mengiyakan kalau aku berkeras- keras, kan ?” Tanyanya.
Aminah tak menjawab. Ia kembali menatap Yar.
”Kau setuju dengan aku ?” Cecar Yar mencari ketegasan.
”Saya tidak berani mengatakan setuju atau tidak dulu.” Jawab Aminah. ”Saya ingin bertanya dulu kepada Kakak. Apakah kegiatan Kakak adalah satu- satunya cara yang bisa dijalankan untuk menghadapi kekasaran dunia ?”
Yar tersengat oleh pertanyaan itu. Pertanyaan yang sederhana tapi salah- salah bisa menghujam balik dirinya.
Yar merasa Aminah hendak secara halus memojokkannya.
Tapi Yar tidak mau terlihat bodoh dan tersinggung.
”Bukan, bukan cuma jadi penyair kritis atau wartawan keras seperti aku. ” Terangnya dengan nada tegas. ”Banyak kegiatan atau pekerjaan lain. Banyak sekali. Jadi guru, polisi, jadi advokat, jadi anggota DPR, bahkan jadi petani, dengan syarat semua kegiatan atau pekerjaan itu dijalankan dengan kekuatan moral. Moral sebagai manusia yang menjalankan kegiatan atau pekerjaan dengan niat baik, niat untuk mendapatkan kesejahteraan, kekayaan dan kekuasaan bagi diri sendiri sekaligus untuk membuat orang lain juga sejahtera dan kuat berkat kesejahteraan, kekayaan dan kekuasaan kita. Paling tidak, kegiatan atau pekerjaan itu tidak membuat orang lain merasa dirugikan. Moral untuk tidak suka pada orang- orang yang dengan kegiatan, pekerjaan, kesejahteraan, kekayaan dan kekuasaannya berusaha menekan, menindas dan menghancurkan orang lain. Moral yang menumbuhkan semangat tidak ikut- ikutan sekalian melawan apa yang tidak kita sukai itu. ”
Aminah tertegun.
Yar tersenyum tipis, mencoba mengatasi ketegangan suasana.
”Sudahlah ..., kamu tidak usah terlalu terpengaruh dan ikut- ikutan cengeng dengan Emak.” Pintanya. ”Aku meminta kamu bekerja di rumah dengan tujuan membantu Emak, bukan untuk merasai kesengsaraan Emak yang menjadi- jadi karena melebih- lebihkan segala sesuatu dengan kepolosan. Mungkin suatu saat beliau akan mengerti juga.”
”Bagaimana kalau Emak tidak bisa juga mengerti, lalu beliau terus- terusan sedih, terus- terusan sakit karena memikirkan sikap Kakak dan nasib Bapak ? Sampai akhirnya ..., maafkan saya, Emak akan ....” Sanggah perempuan itu, tidak tuntas.
Mulut Yar terkunci. Wajahnya berubah kecut.
”Ohh ….” Keluh batinnya.
Bagaimana aku bisa membiarkan Emak meninggal karena menanggung deraan jiwa atas kelakuanku …?!
Haruskah aku menekan, menindas dan menghancurkan pendirian- pendirianku, membunuh semangatku sendiri sebagai tumbal ketaatan pada orang tua …?!
Haruskah aku seperti Nur, yang terpaku pada ketidaksanggupan menyakiti orang tua, lalu menganggap gampang tekanan batin diri sendiri, sementara selamanya batin itu akan dicekoki peperangan ?
Apakah kehendak dan segala yang baik bagi seorang anak harus berdasarkan ukuran baik dari orang tua ? Lalu dimana kebebasan pribadi di dunia ini ? Anak adalah pribadi, orang tua adalah pribadi !
Tak berpikirkah orang tua bahwa dunia mereka tak akan pernah bisa menguasai dunia anak- anak mereka ?!
Inilah pikiran picik orang- orang tua yang memanipulasi wahyu Tuhan dan hadits Rasul untuk melapangkan ego mereka !
”Maafkan saya ….” Lirih bercampur kekhawatiran ucapan Aminah.
Yar menatapnya.
“Pulanglah ….” Perintahnya pelan.
Aminah tak beranjak. Sorot matanya mengesankan ada sesuatu yang masih mengganjal di dadanya.
Yar tanggap. “Ada apa lagi, Dik ?” Tanyanya.
Pembantu itu merogoh lagi kantong dasternya. Seikat amplop dan surat warna- warni dikeluarkan dan disodorkan kepada Yar.
”Maria ...?!” Seru Sang wartawan dengan wajah dibaluri keterkejutan demi membaca nama pengirim surat- surat itu.
Mulutnya sedikit ternganga ketika mengalihkan tatapan ke arah Aminah yang tertunduk.
”Jadi selama ini Emak, kamu, selalu menerima surat dari Maria ?! Kenapa tak pernah diserahkan padaku ?!” Sentaknya emosi.
Aminah memberanikan diri mengangkat muka. Ia tak mau disalahkan.
”Bukan saya yang menerima.” Sangkalnya. ”Tapi Emak. Emak yang selalu menerima. Beliau pernah berpesan kepada petugas pos agar tiap surat dari seseorang bernama Maria diserahkan langsung kepada beliau dan tidak boleh diketahui oleh Kakak. Saya juga diingatkan untuk tidak membocorkan.”
“Kenapa ?!” Sentak Yar.
”Emak tidak mau membiarkan Kakak berhubungan lebih dekat dengan orang Barat, yang kata beliau tidak seiman. Emak takut jangan- jangan Kakak akan ... seperti Kak Sri .... Emak malu pada orang- orang ....”
Dugg !
Tinju Yar menumbuk lantai.
”Emak kelewatan ! Emak sudah benar- benar picik ! Picik Sekali ! Apa pun dihadapinya dengan kepicikan, dikait- kaitkan dengan masa lalu tanpa sedikit pun mau merasa kalau aku jadi korban ! ” Teriaknya memecah sunyi.
Dara di depannya beringsut sejengkal. Jerih rupanya.
”Saya merasa berdosa karena ikut- ikutan tidak menyampaikan amanat orang, yang pasti juga penting bagi Kak Yar. Makanya saya curi surat- surat itu dari bawah kasur Emak. Saya sudah pasrah kalau Emak tahu dan memarahi, atau sekalian mengusir saya ....
Saya kasihan pada Maria, juga pada Kakak ....”
Yar mengurut- urut keningnya. Matanya terpejam. Mukanya lesu sekali.
”Sudahlah .... Terima kasih kau simpati padaku.” Ujarnya hampir tak terdengar. ”Biar kubilang ke Emak bahwa aku yang temukan surat- surat ini. Sekarang kamu pulang saja.”
Hampa pandangan Yar melekati tubuh Aminah yang bergerak menuruni tanjakan, menghidupkan ‘motor dinas’ pembantunya.-
*
Alinea tengah surat Maria yang dikirim terakhir :
... Ini yang ke enam kali aku bersurat. Pertanyaannya sama, kenapa tak satu pun kuterima balasanmu ?
Aku tak percaya surat- suratku tidak sampai, sebab alamatnya jelas, dan seperti kusebutkan di dalamnya, aku tulis dan aku kirim di Jakarta ! Ada orang sekabupaten denganmu di sini, staff kementerian pemuda dan olahraga, kenalanku yang tahu siapa kamu serta dimana alamat rumah kamu, baik rumah orang tua mau pun rumah yang di atas bukit itu.
Oh, mungkin kembali harus kuberitahukan bahwa saat ini aku jadi Konsultan Pengembangan Kualitas Sosial Remaja Dunia Berkembang PBB. Kau pasti terkejut sebab kau Cuma tahu kalau aku bisu.
Ayahku telah berjuang terus menerus untuk mengusahakan agar pita suaraku dan mentalku kembali normal. Beberapa tahun, akhirnya berhasil. Aku hidup sebagai manusia sempurna kembali. Aku lanjutkan sekolah, sampai menyelesaikan studi program sosial di Universitas Nasional Swiss. Oleh almamater aku direkomendasikan untuk masuk dalam tim lembaga dunia itu. Aku dikirim ke berbagai negara termasuk negara Asia. Ketika kantor kami dibangun di Jakarta, aku ditetapkan sebagai direktur perwakilan. Aku menetap. Hei, sudah hampir dua tahun aku di ibukota negaramu ! Akibatnya, aku juga semakin lancar berbahasa Indonesia. Surat- suratku, yang sia- sia itu, semuanya tertulis dengan bahasa Indonesia.
Aku rindu sekali padamu. Ingin lihat bagaimana wajahmu, posturmu sekarang. Aku tidak puas dan semakin tersiksa hanya dengan memandangi potretmu di belakang buku- buku sajakmu yang beredar di sini, yang jumlahnya, wow, fantastis, dua belas judul ! Yang kubeli semua, kujejerkan di rak, tepat di ujung tempat tidur kamarku, sehingga malam sebelum tidur dan bangun pagi- pagi senantiasa kau di mataku.
Yar, masihkah kau pertahankan rasa sayangmu padaku ? Masihkah ada diriku dalam hatimu ?
Demi Tuhan, aku tidak bisa meyakinkan diri tentang itu. Aku putus asa, sebab sebagai orang besar, kau pasti dipuja- puji gadis- gadis. Yang membuat aku masih sedikit berharap, ada kabar dari kenalanku itu yang pulang waktu lebaran, bahwa kau belum menikah.
Aku menangis, Yar. Selalu menangis jika ingat kamu.
Aku masih dan tetap menganggap diriku kekasih kamu biar pun saat itu kusadari kau tak mau menerima aku !
Kumohon kau percayai aku bahwa selama engkau jauh dariku, selama kita tak berhubungan, tanpa ada secuil pun kabar darimu, tak pernah kubiarkan pemuda lain memasuki hatiku, sebab aku telah bersumpah , bersumpah dengan nama Tuhanku akan menjaga jiwa dan ragaku hanya untuk kamu, orang yang telah mengasihani aku selama aku dalam keadaan yang buruk sekali.
Yar, telah kuberitakan dalam surat- surat terdahulu bahwa tidak lama lagi aku akan ke kotamu. Tapi saat pastinya kurahasiakan. Surprise ! Aku ingin memelukmu, mencium keningmu, seperti yang kau lakukan saat hatiku menghiba- hiba, di dalam kemah di lereng Matternhorn waktu itu.
Kalau berkenan, jadikan aku isterimu .... Kumohon ....
Untuk penerimaan penuhmu, aku sudah berpikir matang. Kamu percaya tidak, kalau aku rela masuk Islam asal dapatkan kamu ?
Yar terpaku.
Rasa tertampar mengetahui keadaan Maria sekarang menyeruakkan penyesalan di dadanya.
Yar tercenung. Ada sesuatu yang melintas di benaknya.
”Sesuatu ..., tapi apa ...?”
Yar terhenyak, tiba- tiba, ketika ’sesuatu’ itu berhasil ia temukan ; kesadaran, kesadaran yang menghujam perasaannya sendiri !
Begitu sulit memaksakan cinta ....
Begitu sulit menerima seseorang untuk tinggal di hati, ketika orang itu tak terasa sebagai padanan yang tepat ...!
Terlebih ketika ada orang lain, ada nilai- nilai lain, memampangkan diri sebagai pembanding yang lebih baik ...!
Lebih- lebih saat keangkuhan hidup membentangkan diri pula, menyudutkan dengan kelicikannya, mendorong- dorong, menakut- nakuti dengan seribu satu ukurannya yang terlanjur diamini semua manusia .... Seperti yang dialami Ani, Sumi, Zubaedah, Nur ...?!
Tapi sesaat kemudian wajah Yar digelayuti ekspresi sinis.
”Tapi kalau memang benar- benar ikhlas dan tak ada niat membohongi orang lain, tak ada keinginan menyakiti perasaan orang lain, apa pun yang terjadi, cinta itu harus tetap dipertahankan ! Mestinya aku tetap diterima untuk tinggal di hati Ani, Sumi, Zubaedah, Nur !
Ani, Sumi, Zubaedah, Nur cuma perempuan- perempuan yang hendak mengadali aku. Selama berhubungan denganku mereka masih dengan sengaja mencari pembanding- pembanding yang lebih baik dariku. Membiarkan diri mereka secara sadar dicekoki ukuran dan keadaan yang datang dari orang lain, dari segala kegilaan kecamatan ini. Lalu mereka menganggap itu wajar. Lalu mereka membenarkan keputusan sepihak terhadap aku.
”Puihh !”
Aku, aku bukan mereka. Aku tak pernah membohongi Maria. Aku bertahan tak mengatakan cinta pada gadis itu sebab aku tak ingin menipunya. Aku tak ingin menghancurkan perasaannya ketika ia telah berharap banyak padaku !
Ada ketenangan menjalari hati pemuda itu.
**
BAGIAN 11
Pasar Tradisional Kecamatan. Sebuah pasar yang disia- siakan. Sebagian besar los sudah tertutup, sudah tidak terawat, ditinggalkan pedagang yang sejak beberapa tahun lalu ramai- ramai pindah ke pusat perbelanjaan modern di pusat kota. Tak ada penyewa baru seiring semakin berkurangnya warga kecamatan yang mau belanja di tempat jual beli kumuh, kotor dan tidak bonafid itu.
Bisa dihitung, hanya belasan penjual yang masih bertahan menggelar dagangan. Mereka pedagang super kecil, dengan barang- barang kecil, omzet kecil, berupa sayuran, ikan- ikan asin dan barang- barang dapur berbahan tanah liat. Mereka, tentu saja tak mungkin pindah, sebab tak akan imbang pendapatan yang diperoleh dengan ongkos sewa los di pusat perbelanjaan modern. Lagi pula pusat perbelanjaan itu cuma menerima barang- barang dengan kemasan lux, dengan kualitas tinggi, skala besar dan pastinya pedagangnya kelas menengah ke atas.
Hari ini, satu orang pedagang bertambah di pasar tradisional itu.
Maryam, ya Maryam, sejak pagi- pagi sekali sudah duduk bersimpuh menghadap tumpukan ikatan kelor, kangkung dan renteng buah pare. Tak henti- hentinya ia menegur orang- orang yang lalu lalang, para warga yang karena taraf hidup rendah masih setia datang belanja.
”Ayo, Bu, sayur- sayur segar, baru dipetik !
Bu Ijah, ini buah pare kesukaannya saya siapkan !
Mari- mari, boleh ditawar !”
Maryam tak sadari diri sedang menjadi pusat perhatian ibu- ibu pedagang lain.
Berpasang- pasang mata menatapinya dengan sorot heran. Lalu dua tiga orang saling mendekat, berkelompok, membentuk grup gunjingan.
”Apa aku tidak salah lihat ? Itu benar Maryam, ibunya Yar, yang orang hebat, yang orang banyak uang di kota kita ?” Tanya Tenri dengan raut wajah tidak percaya.
Saleha menarik jong, kain penutup kepalanya Tenri.
”Pura- pura kamu !” Serunya. ”Memang itu Maryam ! Aneh dia jualan seperti kita ? Apa maksudnya ?!”
”Ya maksudnya cari uang, untuk apa lagi ?” Sambut Mandira polos.
Tenri memukul lutut Mandira dengan baskom kecil berisi serakan uang receh hasil jualannya. Recehan- recehan itu pun melompat jatuh ke tanah. Mandira dan Saleha berebutan memungutinya.
”He ... he ... hee !” Jerit Tenri cemas melihat uangnya dicaplok kedua rekannya itu. ”Kembalikan uangku ! Aku sudah hitung, lima ribu seratus rupiah semuanya ! Duh, jangan sampai kurang, ya ...! Itu separuhnya untuk bayar cicilan utang !”
Sibuklah Tenri merebut kembali uangnya dari tangan Mandira dan Saleha yang terkikik- kikik karena merasa berhasil menggoda.
”Makanya jangan kasar sama teman !” Seru Mandira.
”Makanya kamu yang serius menjawab orang!” Sambut Tenri gemas.
”Kasihan, Maryam ....” Sela Saleha. ”Berarti kebesaran dan kejayaan anaknya tidak membawa kebahagiaan pula bagi dirinya.”
”Apa tidak malu Si Yar itu tahu emaknya jualan seperti itu ?” Imbuh Tenri dengan tatapan iba.
Mandira dan Saleha mengangguk- angguk dengan tatapan iba pula.
Laila datang.
Perempuan anggota ’Trio Gosip Hamidah- Atiah- Laila’ itu berhenti di depan gelaran barang- barang Maryam.
Wajahnya menampakkan keterkejutan luar biasa melihat siapa yang berjualan itu. Kontan ia jongkok, menghadap Maryam dengan tangan menutup mulutnya yang menganga.
”Aduh, sejak kapan Bu Maryam duduk di pasar seperti ini ? Apa kata dunia, emaknya Yar masih menyusahkan diri jualan kelor, kangkung dan pare ?!” Cerocos Laila tak terkendali.
Kontan muka renta Maryam memerah. Matanya tajam menelan tatap perempuan pengusik itu.
”Mohon Bu Laila tidak usah mengejek seperti itu.” Sentaknya agar kasar. ”Kalau mau membeli silahkan. Kalau tidak jangan ganggu aku !”
”Ihh ..., jangan cepat tersinggung, Bu ! Saya cuma nanya. Wajar, kan ? Sebab selama ini saya tahu Bu Maryam sudah menjadi salah satu warga berada di kota ini. Siapa pun tidak bisa menyangkal kalau Yar seorang yang besar, yang jaya, yang tentunya bisa mensejahterakan emaknya !” Jawab Laila tak mau kalah, dengan nada mengejek yang makin kentara.
Gemetaran Maryam menahan emosi. Ingin dipukulnya Laila dengan keranjang sayur. Namun rasa risih menjadi perhatian orang menghalanginya.
Tapi tak urung. Maryam sudah jadi pusat perhatian. Para pedagang dan pembeli berkumpul melingkari dirinya dan Laila.
Maryam berdiri. Tatapannya nanar merayapi orang- orang yang berkerumun.
”Baik, baik kau dengar Laila. Kalian semua dengarkan kata- kataku, biar jelas, biar kalian puas !” Serunya dengan suara serak bergetar. ”Aku datang ke pasar ini untuk berjualan. Untuk mencari nafkah bagi diriku sendiri !
Aku emaknya Yar, orang yang kalian kenal begitu besar, begitu hebat, begitu jaya di kota ini ! Ya, aku Maryam, emaknya Yar ! Tapi aku tidak peduli dengan kebesarannya, dengan segala kejayaannya ! Aku tak punya hubungan sama sekali dengan kehebatannya mendapatkan uang dengan semua kegiatannya, dengan apa pun pekerjaannya !
Uang dan harta yang dia dapatkan, semua untuk dirinya sendiri. Aku tak pernah lagi sudi menerima sepeser pun. Haram bagiku hidup dengan hasil ia mencaci dan menindas orang lain ! Haram ! Kalian dengar ? Haram !
Aku tahu selama ini kalian menilik- nilik kami, menggunjingkan kami, mencari- cari keburukan dan celah kesalahan kami. Kalian senang kami tertekan, kalian sengaja membuat kami tersisih ! Tapi itu cukup bagiku.
Mulai hari ini, aku berlepas diri dari Yar. Silahkan kalian serang dia semau kalian, tapi jangan coba- coba lagi menyerang aku !”
Hening. Tak ada ucapan sepatah pun terlontar dari mulut orang- orang. Sampai Maryam mengemasi barang- barang dagangannya. Sampai perempuan malang itu hilang dari pandangan mata mereka.
*
”Apa yang sudah kulakukan ya, Allah ...? Apa yang sudah kulakukan ....?!” Rintih Maryam seraya menutupi muka rentanya dengan kedua tangannya yang gemetar.
Runduk tubuhnya bersimpuh di dangau, kelihatan semakin rapuh digerogoti usia dan beban hidup.
Desau angin menampar pelepah- pelepah kelapa sudut kebun. Sekawanan pipit berhamburan ketakutan dari rimbunannya dan hinggap riuh di sela- sela batang ketela.
Wanita tua itu menatapnya dengan sorot mata kosong.
Batinnya dikuasai bayang- bayang tingkahnya barusan di pasar. Tingkah yang tiba- tiba saja membuatnya malu sendiri, membuatnya merasa semakin terhina, semakin menempatkannya di ruang gelap dunia.
Tingkah yang memicu kesedihannya memikirkan Yar.
Bagaimana pun ia berseru, berteriak, menjerit- jerit berlepas diri dari Yar, ia tak bisa mengingkari diri bahwa ia tak punya kekuatan lebih untuk membuang anaknya itu. Seburuk apa pun perilakunya, sebejad apa pun Si bungsu di mata orang.
Ia teramat menyayangi Yar, dan telah terlanjur mendambakan putranya itu bisa memberinya harapan- harapan baru tentang kedamaian, kebahagiaan, arti hari tua, setelah Sri hilang dari hidupnya.
Ia menjadi teramat kecewa ketika semua harapan itu sirna, terlindas kekerasan dan keangkuhan Yar.
”Apa artinya kemarahanku, umpatanku, kutukanku pada Yar, ya Rabbi ...?” Seru batinnya. ”Apa artinya sementara hatiku yang jujur sesungguhnya tak ingin memarahi dia, mengumpat, mengutuk dia ?! Lalu apa lagi yang bisa kulakukan, sedang nasihatku tak sedikit pun ia dengar ...?! Aku ingin ia baik, ya, Allah ..., aku ingin ia lurus ...!”
Pipi janda itu mulai dibaluri air mata. Ia terisak.
Wajah Aminah, pembantunya melintas- lintas di benaknya.
Gadis itu, disadari benar oleh Maryam telah menjadi pusat perhatian Yar beberapa minggu belakangan.
Kentara sekali dalam pandangan pekanya bahwa bungsunya terpikat pada kemolekan Aminah, biar pun Yar berlagak acuh di depannya, biar pun Yar mencoba menyembunyikannya !
Pada awalnya Maryam senang menyadari hal itu. Senang karena pikiran sederhananya menerka Yar sudah menetapkan Aminah sebagai pilihannya. Pilihan untuk dijadikan isteri, untuk mengakhiri sudah masa lajangnya yang berkepanjangan, untuk memenuhi gelora cintanya pada perempuan yang tak pernah kesampaian dan menumpuk- numpuk kesumat di hati anak itu.
Tapi kesadaran lain menyentak jiwa wanita itu. Jelas baginya bahwa tak mungkin, tak mungkin Yar yang begitu merasa besar akan mau menerima Aminah sebagai isteri !
Maryam didera kecemasan. Kecemasan anaknya itu sekedar akan menjadikan Aminah sebagai pelarian. Kecemasan yang berulang kali ingin ia bicarakan dengan Yar, tapi terhadang oleh rasa jerih membayangkan Si kepala batu itu tersinggung, marah, yang hanya akan menjadi pangkal pertengkaran.
Wanita itu malu, malu sekali bertikai dengan anaknya sendiri !
Sang emak menyeka air mata dengan ujung jong.
Sekumpulan tikus melintas di antara tanaman sayurannya. Diangkatnya lengannya untuk melemparkan sepotong kayu. Tapi lemparannya terlampau lemah. Kayu itu jatuh beberapa jengkal saja dari dirinya. Ia pasrah, memandangi saja tingkah pola merusak tikus itu dengan hati hampa.
Suara langkah kaki di luar pagar kebun.
Maryam mengintip lewat lubang gedek dangau.
Dadanya berdesir.
Sekawanan polisi !
”Ada apa ini ...!” Seru batinnya cemas.
Polisi itu, ada lima orang, dengan senapan, berhenti di pintu kebun yang terbuka. Sejurus kemudian mereka masuk dan berhenti di depan dangau, di depan Maryam yang menyambut dengan wajah pucat.
”Permisi, Bu. Jalan ke lokasi penambangan kapur tinggal berapa watasan lagi ?” Tanya salah seorang yang terdepan, yang nampaknya pemimpin kawanan itu.
Maryam tergagap. Tak bisa menjawab karena kerongkongannya tercekat.
”Bu, maaf, kami menanyai Ibu. Ibu dengar ?” Kata Si pemimpin itu kembali dengan suara yang lebih dikeraskan.
”Tiga, ke sana ....” Jawab Maryam dengan suara dilatari getaran.
”Terima kasih, Bu. Permisi.”
Perempuan renta itu mengelus dada setelah para polisi itu pergi dan menghilang di balik pohon kawasan persawahan. Mereka adalah petugas yang mengawal penambangan setelah beberapa warga pemilik areal persawahan sekitar melakukan pengrusakan truk pengangkut batu kapur dua hari lalu. Truk itu melindas sebagian areal padi yang sedang menjelang panen.
Ia istigfar berulang kali untuk menenangkan diri.
Ia takut polisi. Sangat takut ! Ketakutan yang selalu mengungkungnya sejak kerap ’diburu’ ketika berladang dulu. Yang semakin menjadi saat Yar mulai dengan gerakan- gerakan perlawanannya, yang sempat mengakibatkan dua kali anak itu diciduk aparat di rumah, di depan mata Maryam.
Yar tak pernah peduli dengan ketakutan, dengan shock-nya emaknya, seperti tidak pedulinya Si anak pada ancaman- ancaman yang terus ia terima dari orang- orang yang tidak menyukainya.
Kecemasan terhadap nasib- nasib buruk yang terus membayangi Yar kadang membuat Maryam menangis.
Maryam melihat Yar sebagai seorang yang telah terlanjur dilenakan oleh perasaan besar sendiri. Sampai- sampai tak memperhitungkan lagi kekuatan- kekuatan di luar dia yang bisa saja menderanya tanpa ia duga.
”Saya benar, saya melakukan perjuangan dengan kesucian itikad, dan tidak perlu takut karena itu.”
Demikian kalimat angkuh anak itu yang selalu membuat Maryam tak bisa bicara lagi.
Sang ibu tak pernah mampu mencetuskan pikiran- pikiran sederhananya tentang terbatasnya kebenaran, kesucian dan kemampuan mempertahankan kebenaran serta kesucian diri seorang manusia.
”Rasulullah saja, manusia pilihan yang dijamin kebenaran perjuangan dan kesucian jiwanya pernah ditegur Allah karena keliru, karena ada sikapnya yang salah yang ternyata di luar pengetahuannya, di luar kesadarannya. Apalagi kamu manusia biasa !
Benar, dalam penilaianmu, dalam pandangan manusia, hari ini kau melakukan perlawanan- perlawanan membela mereka yang teraniaya, yang tertindas. Benar para lawanmu adalah pengusaha dan pejabat- pejabat yang melakukan penyelewengan. Tapi siapa yang bisa memberikan jaminan bahwa penilaianmu itu, bahwa pandangan- pandangan manusia itu benar secara mutlak ? Ingat, penilaianmu dan pandangan manusia terbatas ! Yang berhak menjamin kebenaran dan kesucian itikadmu secara mutlak hanyalah Allah !
Baiklah, penilaianmu atau pandangan orang- orang terhadapmu benar. Tak ada lagi kesalahan pada perjuanganmu itu. Tak ada jalan musuh- musuhmu untuk menyerangmu.
Tapi sadarkah kau bahwa musuh paling besar seorang pejuang adalah dirinya sendiri ?
Emak yakin, dengan pengalaman begitu luas, kau sudah menemukan contoh- contoh orang besar sepertimu, yang awalnya begitu benar, begitu suci, dan disanjung- sanjung orang lain, tapi suatu ketika terbalik menjadi orang yang disalahkan, dinilai kotor, bahkan hancur hanya karena tidak mampu melawan dirinya sendiri.
Dan kau, Yar, kau tahu bahwa kau pun sedang menghadapi itu ?
Kau sedang tidak mampu melawan dirimu sendiri untuk menahan diri dari godaan perempuan !
Kau sedang berada dalam jalan kehancuran dengan kemungkinan gelap mata, dengan kemungkinan melakukan tindakan zalim pada Aminah. Kau sangat ingin melampiaskan hasrat kelakianmu yang sekian lama terbendung kepada Aminah, sementara kau tidak mungkin mencintainya. Kau tidak mungkin berpikir untuk menikahi Aminah ! Ia akan kau bohongi, kau ninabobokan dengan kepintaran- kepintaran dan kekuasaanmu sebagai tuannya !
Aminah berontak, ia mengadu pada orang- orang. Aminah hamil, diketahui warga sekecamatan sebagai hasil kumpul kebo denganmu.
Atau jika ia pasrah, jika ia tidak sampai hamil, perbuatanmu tidak tercium orang lain, tetap saja kau telah hancur !
Kau hancur sendiri dalam peperangan batinmu yang tak akan berhenti, mempertanyakan di mana kau buang semangat menjaga moral yang kau agung- agungkan, yang kau gembar- gemborkan selama ini ...!
Jika kau masih sanggup membesar- besarkan diri dengan kekotoran itu, kau telah menjadi lebih buruk dari Abduh, dari Marzuki, dari orang- orang yang kau teriaki serigala sekian lama ....”
Kalimat- kalimat ini hanya terpendam di dalam hati luka Maryam.
Yar telah benar- benar menunjukkan pendiriannya untuk tidak peduli lagi pada nasihat Sang emak.
Bahkan ketika ancaman ’kuwalat’ diucapkan Maryam yang suatu ketika tak mampu membendung amarah, ditanggapi anak itu dengan ketawa sinis.
”Ya, Allah ... ampuni hamba-Mu yang tak mampu menjalankan amanah dari-Mu ...!” Jerit batin rapuh Maryam. ”Hanya pada-Mu, hanya pada-Mu aku memohon hidayah untuk anakku Yar ...., agar aku, Emaknya bisa lebih ridho dengan apa yang ia kerjakan, agar kau pun ridho padanya ....”
Ia menekan dada. Rasa sakit merayap lagi. Penyakit lamanya yang selalu kambuh jika pikirannya terbebani. Pernah sekali Yar membawanya ke dokter. Diagnosanya, jantung koroner.
**
BAGIAN 12
Kemarin, Dokter Budi dinonaktifkan sebagai Kepala Puskesmas Kecamatan !
Kening Yar berkerut saat membaca halaman depan Warta Kota yang memuat berita buruk itu.
”Keputusan ini kami ambil berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja yang bersangkutan terkait terjadinya KLB infeksi saluran pernafasan di wilayah tugasnya. Kami berkesimpulan yang bersangkutan telah gagal mengatasinya, yang mengakibatkan peningkatan jumlah penderita hingga dua puluh lima orang warga dalam waktu satu bulan dan meninggal tiga orang ....” Demikian pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten yang membuat Yar menggeleng- geleng.
”Pak Budi gagal ? Ya, benar dia gagal. Tapi tidakkah pihak kabupaten memahami latar kegagalannya hingga semudah ini mengeluarkan keputusan non aktif terhadap dokter itu ?!” Seru batinnya.
Hp berdering. Pemred.
Yar lekas mengangkatnya.
”Sesuai permintaan Mas Yar, saya sudah melakukan pengecekan ke dinas kesehatan.” Ujar Pemred. ”Dari sumber yang bisa dipercaya, hari Senin minggu lalu, setelah artikel Mas Yar tentang persoalan amdal pabrik kapur itu dimuat di koran kita, ada dua orang pengusahanya mendatangi kadis. Mereka melakukan pembicaraan tertutup. Sehari kemudian kadis dan beberapa kabid rapat. Tertutup pula. Muncul bocoran bahwa hasil rapat itu adalah rencana penonaktifan Dokter Budi ....”
”Sialan !” Teriak Yar kesal. Perkiraannya tidak salah. Ada permainan di balik keputusan ’pembantaian’ dokter itu.
”Sudah, serahkan saja persoalan ini kepadaku.” Sambut pimpinannya itu. ”Sekarang ada pe-er baru bagi Mas Yar. Ndak lihat Abduh di situ ?”
”Ada, memang ada saya lihat kemarin pagi !” Jawab Sang wartawan dengan ekspresi makin kesal. ”Bisa beri saya penjelasan kenapa Abduh sudah muncul di sini sementara baru beberapa minggu ia berada dalam tahanan kejaksaan ?”
”Saya dan teman- teman di sini masih berusaha mencari kejelasan. Sudah berulang kali kami turun ke kejari dan kepolisian untuk menelusuri proses kasus Abduh. Tapi pihak yang berwenang di kejari mau pun kepolisian tidak pernah berhasil kutemui. Mereka terkesan menghindar dari media. Abduh juga. Coba kau kejar dia. Kalau mungkin pagi ini, agar hasilnya bisa saya terima siang nanti !” Demikian kalimat di hp yang memerahkan telinga Yar.
*
Pagi, di tengah gerimis, Yar melarikan motornya di jalan dengan kecepatan delapan puluh. Abduh ada di rumah.
Makin megah saja rumah itu. Halaman kiri kanannya telah melebar dan dibangunkan taman di atasnya. Bahkan kebun jambu tempat ia dan Nur sering bersembunyi telah diratakan dan berubah menjadi garasi besar. Dua buah mobil mewah dan tiga motor diparkir di dalamnya.
Dada Yar berdesir menatap teras. Di situ, dulu, ia dan Nur suka duduk- duduk, bercengkerama, menikmati hangatnya suasana percintaan.
Ditepiskannya segera bayang- bayang romantika itu.
Tak sadar tangannya menekan bel gerbang dengan keras.
Pintu terbuka. Seorang perempuan keluar dan memandang ke luar, ke tempat Yar berdiri.
Maimunah, isteri Abduh ! Mukanya masam. Mungkin karena bel yang berdering hebat.
”Kau !” Serunya dengan muka bertambah masam demi mengetahui yang datang adalah Yar.
”Ada apa lagi kau kemari ?! Mau mewawancarai suamiku lagi ?! Mau memaksa ia masuk penjara ?!”
Pedas sekali nada kalimatnya.
Hampir saja Yar terpancing untuk membalas dengan kasar pula. Tapi profesionalisme kewartawanannya memberinya kesadaran untuk mengendalikan emosi.
”Maaf, Bu, boleh saya masuk ?” Pintanya penuh hormat pada tuan rumah. ”Saya minta ijin mewawancari Bapak sebentar .... ”
Perempuan tua namun bergaya itu mendekat.
Yar siap- siap menerima cercaan.
”Jujur saja, suamiku ada di dalam ! Tapi ia tidak akan bersedia meladeni Saudara untuk urusan apa pun ! Jika Saudara tidak senang, silahkan tulis besar- besar dan beritakan !” Sentaknya. Ketidaksenangan dan kemarahannya kentara sekali menjadi- jadi.
Panas dada wartawan itu. Tapi sekali lagi dorongan mendapat berita menekan ketersinggungannya, mendesaknya untuk bersabar mengusahakan kompromi dengan Maimunah.
Bibirnya bergerak hendak membuka suara kembali.
”Sudah ! Aku tidak butuh dalih- dalih kamu ! Pergi, atau kulaporkan polisi. Kau memaksa sumber untuk memberi keterangan !” Pungkas Maimunah sebelum kemudian membalikkan badan meninggalkan Yar yang memandanginya dengan geram memuncak.
**
Jelang senja di peladang ’istana’. Angin dingin menyergap tubuh Yar yang tertegun di depan laptop. Seperempat jam sudah, tak ada satu pun kata yang ia ketik. Pikirannya kacau, perasaannya tak enak. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang buruk akan terjadi.
”Emak, mungkin sesuatu terjadi pada Emak .... Apa beliau sakit lagi di kebun ?” Bisik hatinya resah.
Sejak berjualan di pasar, Maryam pindah ke kebun kecil sisa masa lalunya yang tak pernah ingin ia jual. Perempuan tua itu sudah tak sudi tinggal di rumah yang dibuatkan Yar.
Konsentrasi pemuda itu buyar. Kicau burung di dahan jambu hutan yang biasanya begitu merdu ditangkap hatinya kini tak bermakna apa- apa. Tatapannya sayu ditentang citra merah tembaga di langit barat.
” Kenapa hati Emak begitu tertutup ?” Keluh batinnya pedih.
Emak sudah sungguh- sungguh serupa dengan Bapak ! Emak sudah mulai tidak mengakui diriku pula !
Apa yang salah dari kegiatan- kegiatanku, dari pekerjaanku, dari perjuangan- perjuanganku ? Apa yang salah ?!
Sudah sangat jelas, sudah sangat sering aku sampaikan alasan- alasanku, tapi kenapa Emak, seperti Bapak, seperti orang- orang di kecamatan ini, tak pernah bisa paham juga ?!
Yar cemas emaknya akan bernasib seperti bapaknya, meninggal dunia dengan membawa beban pikiran salah, pikiran sebagai orang tua yang merasa tak bisa meluruskan anaknya.
Pemuda itu meremas- remas rambutnya, membayangkan tubuh renta emaknya tergolek sendiri di dangau.
Ponsel Sang sastrawan berdering nyaring.
Panggilan. Aminah !
”Jantung Emak kambuh lagi di kebun. Badannya lemah sekali. Tadi sempat pingsan ! Sekarang ada di puskesmas ....”
Tidak harus dua kali Aminah menyampaikan berita buruk itu lewat ponsel. Tergesa ia bangkit. Laptop tak ia pedulikan. Tangga rumah pun tak ia injak. Ia melompat ke tanah. Nyaris motornya menabrak gerobak bakso di ujung turunan bukit.
Yar ngebut menuju puskesmas. Tak ia gubris ramainya kendaraan dan tercengangnya orang- orang melihat dirinya ’menggila’.
”Di ruang ICU, sedang ditangani mantri. Infus sudah habis setengah.” Jelas Aminah yang menyongsong kedatangannya.
Seorang perawat yang keluar dari ruang darurat itu hampir kena tabrak akibat tergesa- gesanya Yar.
”Tenang, Pak Yar. Kondisi Ibu cukup lemah. Detak jantungnya juga tidak teratur. Kami sedang berusaha. Jika lima belas menit lagi tidak kembali normal, minta ijin dirujuk ke rumah sakit kabupaten.” Bisik Mantri Amran –pengganti sementara Dokter Budi- seraya mencermati ampul yang isinya akan ia suntikkan ke tubuh Maryam.
Yar mengangguk sekenanya.
Tatapannya tak lepas melekati tubuh emaknya yang terbujur lemas dengan mata terpejam.
Perih batinnya.
Pikiran- pikiran buruk menyergapnya pula.
”Selamatkan Ibu saya ....” Bisiknya lirih kepada mantri ketika memperhatikan layar alat indikator detak jantung. Garis- garis grafiknya naik turun tidak beraturan, berjalan ditingkah suara denyutan yang menumbuk- numbuk perasaan Yar. Dan matanya berkaca- kaca. Dan tubuhnya bergetar.
Mantri Amran dan dua wanita perawat tak lagi peduli pada Yar. Mereka memusatkan perhatian penuh pada langkah- langkah penanganan nenek yang terus tak sadarkan diri itu. Cepat, cermat dan penuh kehati- hatian.
Tingkah pola tim medis itu yang serius malah semakin menumpuk kecemasan di hati Yar. Memicu tungkai- tungkainya melemas.
Yar tak kuat berdiri. Ia sandarkan badannya ke dinding.
Salah seorang perawat mendekatinya, hendak menuntunnya untuk menenangkan diri di bangku luar ruang ICU.
Yar menepis tangan perawat itu, tak ingin mengalihkan pandangan sedetik pun dari layar indikator.
”Emak ..., Emak ....” Serunya hampir tak terdengar.
Pelan- pelan mata Maryam terbuka.
”Emak ....” Panggil Yar seraya mendekat dan menggenggam tangan yang tak bertenaga itu.
Tatapan Maryam melekati wajah anaknya. Bibirnya bergerak- gerak melontarkan suara yang teramat lemah.
Yar membungkuk, merapatkan telinga ke bibir pucat itu.
”Kau ... datang ... juga ...?”
Luncuran suara Maryam terbata- bata.
”Ya, ini Yar, Emak ....” Sambut Yar lemah.
”Kau ... akan ... obati aku ...?”
Pemuda itu berusaha mengendalikan diri, berusaha sekuat mungkin melawan kepedihan yang meraja di dadanya.
”Iya, Yar akan buat Emak sehat. Emak kuatkan diri, istighfar. Emak akan sembuh ....” Bisiknya. Disekanya bilur- bilur air mata yang meleleh di pipi orang yang melahirkan dan membesarkannya itu.
Pandangan Maryam mengambang di langit- langit. Dadanya turun naik dengan ritme cepat. Mulutnya megap- megap serupa orang tenggelam.
Yar kalut. Mantri dan perawat maju tapi Maryam tenang kembali.
Matanya menyoroti Yar lagi.
”Tak usah ..., tak usah susah payah ... obati ...aku ....” Ucapnya. ”Baco sudah datang .... Ia ... menjemputku semalam ....”
”Jangan berkata begitu, Emak .... Emak akan sehat ....” Potong Yar. Ia tak sanggup mendengar ucapan itu.
”Kau ... sayang ... Emak ... ?”
Yar mengangguk, kerongkongannya tercekat.
”Turuti permintaan ...Emak ....”
Pelahan pemuda itu mengangkat wajah, menegakkan tubuh, menatapi emaknya.
”Carilah ... kerjaan lain .... Jangan ... biarkan aku ... mendapat azab kubur ....”
Sontak Yar lepaskan genggamannya.
Ia mundur, nanar tatapannya pada Sang ibu.
Ketika punggungnya menumbuk dinding ia menyandar lunglai dengan muka kalut, tengadah, menggeleng- geleng.
Mulut Maryam megap- megap lagi. Dadanya turun naik lebih cepat. Sekujur tubuhnya menggelinjang- gelinjang. Matanya membelalak. Grafik layar indikator kembali tak beraturan. Mantri dan perawat bergerak memberi pertolongan.
Yar jongkok terkulai ketika denyut indikator berubah menjadi lengkingan memanjang, melemah, lalu berhenti, dan layar menampakkan garis rata.
Maryam pergi .
**
Seminggu sudah Maryam di alam kubur.
Yar termenung di serambi rumah peninggalan emaknya itu, duduk memeluk lutut di kursi yang biasa menjadi tempat menyulam atau membaca buku agama almarhumah usai tahajud.
Kesunyian ia rasakan betul merebak, menguasai batinnya.
Bagaimana pun, emaknya adalah sumber air kehidupan baginya. Kasih sayang dan perhatian perempuan itu selalu hendak ia hirup. Kendati kadangkala kekesalan, kemarahan, perbedaan- perbedaan antara ia dan Sang ibu membuatnya berlagak tak butuh, tak mau mengakui bahwa sampai kapan pun tidak bisa berlepas. Teririslah batin Yar mengamini dirinya pendusta !
Yar kehilangan.
Jari- jemari rasa paling jujur pemuda itu menjangkau- jangkau wajah emaknya !
Tapi ia sadar tak mungkin lagi ada sambutan. Tak bakal sempat lagi emaknya melapangkan kesusahan- kesusahan dirinya.
Apakah Emak sedang tergolek lemah menutupi wajah karena malu didatangi malaikat yang menanyakan bagaimana tanggung jawabnya atas diriku ?
Yar menggeleng- gelengkan kepala, meremas- remas rambut dengan wajah lusuh tercampak tekanan.
Terus ia geleng- gelengkan kepalanya, terus pula ia meremas- remas rambutnya.
”Allah ..., Allah ...! Ampuni aku ....Ampuni emak ....” Rintihnya berulang kali.
Ketika rintihan itu melemah dan terhenti ia bangkit berdiri hendak masuk ke dalam rumah.
Baru satu langkah, Aminah muncul di pintu.
Keduanya berhadapan, bertatapan.
Dada Yar berdesir, semakin berdesir ketika menghirup harum parfum dari tubuh gadis itu.
Aminah tertunduk.
”Saya minta ijin ke kios, Kak ....” Ucapnya santun.
Yar mengangguk sambil duduk kembali di kursi. Matanya tak berkedip menatapi tubuh pembantunya hingga terhalang tembok pagar halaman.
Penulis itu menghela nafas, mencoba mengatasi rayapan- rayapan ganjil di dadanya. Rayapan- rayapan rasa kelakiannya yang selalu saja muncul bila melihat Aminah.
Ia tak lagi bisa memungkiri, dan semakin tak bisa memungkiri bahwa hasrat libidonya semakin keras. Detik itu ia sadari lagi usianya, empat puluhan, usia yang sudah sangat mematangkan segi biologisnya, dan kematangan itu membutuhkan penyaluran.
”Tapi haruskah dengan Aminah ?” Jerit batin Yar.
Haruskah aku melampiaskan hasratku dengan pembantuku, kawin dengannya ?! Apa kata orang- orang ?
Aku akan menjadi bahan berita, gunjingan, tertawaan, hinaan !
Oh, apa yang harus kulakukan ? Dulu aku jaya karena dorongan kekalahan dari perempuan. Apakah kini aku harus terhempas pula oleh perempuan ?!
Ia terpekur.
Aminah datang.
”Permisi, Kak ....” Katanya pelan sambil terus melangkah masuk.
Yar memandangnya dengan sorot mata kosong.
Sayup- sayup suara seruan bilal dari masjid. Dhuhur.
Tatapan Yar menumbuk tumpukan serpihan bong di halaman. Benda itu, yang selalu menjadi tempat wudhunya, Sri, Emak dan Bapak ketika ia masih kecil telah pecah kemarin malam, ditabrak anak- anak tetangga yang ikut orang tuanya tahlilan.
Bong itu telah ikut menjadi kenangan pula, mengikuti kenangan pancuran airnya yang menyembur- nyembur di benak Yar.
”Berapa lama aku tidak sembahyang ....?”
Rasa jerih menyergap hatinya saat menerka- nerka.
Berapa lama aku berseteru dengan Tuhan ...?
Kegiatannya, pekerjaannya, kesibukannya, kebenciannya, kemarahannya, semangatnya yang menggebu- gebu ’memamerkan’ kebesaran dan perlawanan- perlawanan sudah menjebaknya dalam pusaran kelalaian pada waktu lima yang berlarut, bertahun- tahun, dan itu datang melayang- layang, hinggap di dahan batinnya, yang ketika ia dalami benar- benar menegaskan bayang – bayang meranggas ....
Sang wartawan memejamkan mata, memusatkan pendengarannya. Tiba- tiba ia ingin menyimak sungguh- sungguh kalimat- kalimat adzan.
Usai.
Ada gemuruh di dadanya. Gemuruh yang mendorongnya untuk bangkit, untuk bergegas mengerjakan sholat !
”Aminah ....” Panggilnya lemah.
”Aminah ...!” Ulangnya lebih keras seraya melangkah masuk ke dalam rumah.
Pintu kamar pembantu itu berderit terkuak.
Kepala Aminah yang masih dibalut mukenah menyembul.
”Di mana Emak menyimpan sajadah ....”
Berubah sedikit raut wajah gadis itu mendengar ucapan Yar. Heran, tak percaya. Tapi lekas- lekas ia keluar menyodorkan sajadah yang hendak ia pakai.
”Pakai sajadah saya saja, Kak. Saya punya dua.” Katanya tulus.
Daun pintu depan diketuk orang.
Yar dan Aminah melihat seorang anak laki- laki memegang kertas bersampul plastik.
”Silahkan masuk, Dik. Undangan siapa ?” Ucap Aminah menyambut.
”Undangan pernikahan sekaligus resepsi Kak Nur ....”
Geletar dada Yar.
Ia duduk lesu di kursi. Sajadah terjuntai di lututnya.
Aminah yang paham keadaan mencoba menengahi suasana hati majikannya itu.
”Sholat dulu, Kak. Keburu habis waktu.” Sarannya hati- hati.
Tapi pemuda itu mengembalikan sajadah pada Aminah, lalu melangkah keluar. Pergi.-
***
BAGIAN 13
Kepala desa Abdurrahman dan dua staffnya, Muslimin- Syarif, mendatangi ’istana’ sore itu. Yar sedang berada di belakang, membantu Aminah mengikat buah pare. Gadis itu sedang ingin membuat lalap pare hutan.
Kepala desa saling pandang dengan staffnya ketika Yar dan Aminah menyongsong di depan rumah.
Adegan itu berulang saat mereka dipersilahkan duduk di peladang.
Yar dan Aminah yang duduk berdampingan jadi penasaran.
”Langsung saja, Pak Yar.” Kata Abdurrahman membuka suara dengan tatapan tajam ke arah Yar. ”Kedatangan kami untuk menyampaikan suatu masalah dan sekaligus mendapatkan keterangan yang sejujurnya dari Pak Yar, sekalian juga Aminah, agar bisa terselesaikan secara baik- baik.”
Yar merasa ada tekanan untuknya dan Aminah. Tapi ia berusaha menahan diri sebab masih ingin menghargai Sang aparat.
”Nampaknya serius. Silahkan, Pak.” Pintanya sopan.
Wajah Aminah nampak mulai digelayuti kekhawatiran.
Abdurrahman berdehem- dehem sesaat.
Yar memakinya dalam hati. Baginya itu gaya pejabat kalau mau bicara sok wibawa. Atau ... kalau akan bohong !
”Kami mendapat laporan dari warga bahwa sampai hari ini Pak Yar dan Aminah masih suka berduaan saja di rumah dalam kampung. Kadang- kadang pula orang melihat Aminah datang ke sini malam- malam ....”
Mata Yar melebar. Tak ia duga kebersamaannya, berduaannya ia dan Aminah semenjak kepergian emaknya menjadi sorotan warga. Ditatapnya gadis pembantunya. Aminah tertunduk.
”Benar.” Sambut Yar mulai gusar karena merasa diintai. ”Saya dan Aminah kadang- kadang berduaan saja serumah. Siang atau malam kalau kebetulan saya menjenguk rumah, saya tidur pula di sana. Betul juga Aminah sering datang ke sini. Tapi kalau ada keperluan. Dan ....”
”O, ya ?!” Potong Muslimin dengan nada sarkastis.
Syarif mengangguk- angguk.
Yar menghela nafas, menahan emosi.
”Dan itu saya pikir bukan masalah.” Sambung Yar tenang. ”Yang tidak harus disorot- sorot, dijadikan bahan kecurigaan ....”
”Jangan tersinggung, Pak.” Balas kades itu sok bijak. ”Warga tidak mencurigai Pak Yar dan Aminah berbuat apa- apa. Warga cuma ingin mendapatkan kejelasan tentang bagaimana pandangan Pak Yar dengan berduaan seperti itu. Mungkin Pak Yar atau Aminah lupa bahwa sepasang laki perempuan kalau berkhalwat tanpa ada orang lain, itu tidak baik menurut syari’at. Saya pikir, justru warga menyoroti dan memberi laporan karena perhatian saja dan ingin menghindarkan pak Yar atau Aminah dari salah sangka orang banyak, yang berkelanjutan, yang meluas ....”
Yar mau angkat bicara. Tapi Abdurrahman mengangkat tangan, memintanya diam dulu.
”Saya sebagai kepala desa, pengayom warga, tidak mau nama baik Pak Yar sebagai penyair dan wartawan akan rusak karena persoalan kecil ini, karena foto- foto tak berarti seperti ini ....” Imbuhnya seraya merogoh saku safari dan mengeluarkan empat lembar foto warna.
Potret Yar dan Aminah sedang duduk berdampingan di peladang ’istana’, lalu saat Yar menuntun Aminah di titian kali hutan belakang.
Ada gambar pembantu itu dipeluk majikannya.
Geletar dada Yar.
Dia lah yang mengajak Aminah duduk berdekatan di peladang, dia juga yang menciptakan suasana mesra di titian kali. Dan Yar sangat bersyukur ketika Aminah terpeleset hingga bisa dipeluknya dengan alasan menolong gadis itu agar tidak jatuh. Yar memang sedang berusaha memancing hasrat Aminah beberapa hari belakangan, sebab ia terpikat dengan kemolekan pembantunya itu ! Ia penasaran dan sudah tidak sabaran karena Aminah ia tahu jelas tidak menampakkan perasaan apa- apa padanya.
Gemeretuk geraham Yar. Mukanya merah padam. Serapahnya menjadi- jadi dalam hati. Kesadaran bahwa dirinya pembuat ulah tak mengurangi egonya untuk mengutuk aparat desa itu dan para warga yang ia nilai usil mencampuri urusan dirinya.
Aminah beringsut memungut potret- potret yang tergeletak di lantai itu.
”Terima kasih, Pak Kades.” Ucapnya lemah, dengan getaran. ”Kami memang lalai. Kami tidak pernah berpikir jauh. Saya dan Kak Yar akan membicarakan hal ini. Yang jelas, apa pun hasilnya, saya janji kami tidak akan membuat warga mendapati lagi hal- hal yang tidak sepantasnya ....”
Kades Abdurrahman dan staffnya mengangguk- angguk, tersenyum.
Di mata Yar, anggukan dan senyuman itu merupakan seruan kemenangan dan ejekan.
Ketiga orang itu pun pergi.
Aminah tercenung.
Yar memandangi gadis itu dengan rasa risih.
*
”Jangan, Aminah ! Kau tidak harus mengambil sikap seperti ini !” Seru Yar. Hp ia rapatkan ke telinganya.
” Saya sudah berpikir matang- matang, Kak.” Jawab Aminah di seberang. ”Selama saya masih ada di rumah Kakak, selama itu pula orang- orang akan menggunjingkan kita berdua. Menyebar- nyebar kecurigaan tentang saya dan Kakak. Saya tidak sanggup ...! Saya tidak sanggup dianggap berzinah, Kak ! Lagi pula saya akan merasa bersalah jika Kakak kehilangan nama baik, menjadi rendah karena dituduh orang berhubungan dengan pembantu ! Jadi, satu- satunya cara, saya pergi. Itu akan baik bagi Kakak dan juga saya ....!”
”Aminah ...! Aminah !”
Panggilan terputus.
”Setan ! Orang- orang desa ini setan semua ! Penggunjing busuk ! Keparat ! ” Teriak pemuda itu menjadi- jadi.
Jari- jarinya meremas tiang peladang tempatnya bersitekan.
Rasa bersalah dan prihatin pada Aminah memukuli batinnya.
Aminah tak punya orang tua lagi. Bapaknya kerja di Malaysia dan sekian tahun tak ada kabar. Ibunya kawin lagi dengan orang Jawa dan ikut suaminya.
Keadaannya itulah yang dulu mendorong Yar mengambilnya sebagai pembantu.
Yar meredial panggilan kepada gadis itu. Berharap diangkat.
”Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan ....”
Yar mendesah menerima ’jawaban’ itu. Wajahnya makin menegaskan tumpukan beban.-
**
BAGIAN 14
Sinar kuning keemasan matahari tepi hari membaluri ’istana’ itu dan sekujur tanah- pohon yang melingkupinya.
Di dalam, Yar membaringkan badan kurusnya di lantai.
Sudah sejak pagi ia rasakan dirinya lemas. Mantri Amri bilang gejala tipes dan sebaiknya istirahat beberapa hari, disamping kontrol rutin.
Kertas berserakan di sampingnya. Laptop nyala tapi belum juga disentuh. Di layarnya ada konsep berita yang belum rampung.
”Bagaimana bisa Pak Yar jadi melemah begini ? Saya perhatikan dalam seminggu ini beritanya baru satu yang masuk. Abduh belum juga bisa ditaklukkan ....”
Itu omelan pemred beberapa saat lalu, yang pasti mencak- mencak karena Yar mematikan hp-nya sebelum Sang bos tuntas bicara.
Pikiran Yar mengambang, melayang- layang.
Bayangan emaknya, Maria, Aminah ....
Hinggap di sosok Nur.
Tadi pagi, orang yang ia cintai itu telah menjalani akad nikah dengan Anhar. Beberapa jam lagi akan bersanding di pelaminan. Total, gadis itu telah menjadi milik orang lain.
Jerih ia membayangkan jika harus hadir dalam acara resepsi. Jerih ia menerka bisik- bisik mengejek orang- orang kecamatan di belakang punggungnya !
”Allah ....” Ratapnya.
Aku kalah ...!
Emak, Nur, kini benar- benar hilang .... Apa yang kupunya ? Siapa yang bisa menemaniku ? Maria ? Oh, kapan datangnya ?
Darah Yar berdesir. Dadanya gemuruh. Tiba- tiba kenangan ketika ia dekat dengan Maria, ketika ia berdekapan dengan gadis itu menggerayangi ingatannya.
Hangat tubuh gadis itu, desah nafasnya yang tak beraturan .... Ia suka, ia tak ingin menepis ingatas itu !
Ia pun biarkan dirinya larut. Ia layarkan diri dalam desir darah dan gemuruh dadanya.
”Oh ... kenapa baru sekarang aku nikmati semua itu ...?” Keluh hatinya yang berubah kecut saat menyadari Maria telah terlalu jauh dari dirinya.
Sejauh mana ia benar- benar bisa memenuhi janjinya sementara setiap detik pikiran orang, pikirannya bisa saja berubah ? Bisa saja di kejauhan sana, di tengah melimpahnya kebesaran, beragamnya kejayaan Kota Jakarta, ada sudah orang lain yang membawa nilai- nilai lain, harapan- harapan lain, datang mengetuk pintu ! Lalu Maria memilih yang datang itu, mengusir aku dari dalam hatinya !
Aku percaya sumpahnya atas nama Tuhannya ... ?
Aku tidak berani percaya sumpah seseorang atas nama Tuhan. Seorang ulama saja bisa meminggirkan sumpahnya pada Allah, apalagi Maria, yang bersumpah dalam keadaan gamang. Yang sumpahnya karena didorong hasrat yang berlebihan. Karena ia punya kepentingan pada Tuhan. Disadari atau tidak !
”Duh ....” Seru batin pemuda itu berulang- ulang.
Matanya terpejam. Dicobanya menekan kehampaan yang menyergap batinnya.
Ia menggeliat- geliat. Sekujur badannya ngilu.
Pengaruh penenang dari obat yang dia minum pelahan mengeras. Ia menguap berkali- kali.
Diturutinya kantuk menguasai dirinya.
*
Lengking sirine ambulans di jalan bawah bukit membangunkan Yar. Matanya sempat menangkap tanda waktu di permukaan jam dinding. Delapan pas, malam. Dua jam ia terlelap.
Pemuda itu memaksa tubuhnya yang tetap ngilu untuk bangkit, hendak menutup pintu.
”Aminah ...?!” Ucapnya terkejut bercampur heran mendapati gadis pembantunya itu duduk tertunduk memeluk lutut di peladang. Tas besar di sampingnya. Berisi pakaian.
Pelahan Aminah mengangkat wajah. Segera terlihat matanya sembab.
”Sudah lama ?” Tanya Yar dengan keprihatinan sungguh- sungguh.
Ia duduk di depan gadis itu.
Aminah beringsut mundur. Tatapannya cemas merayapi sekitar.
Yar sadar. Ia pun mencermati segala penjuru. Foto- foto yang ditunjukkan Pak Kades jelas sekali diambil orang secara diam- diam, yang menguntit tingkah pola mereka dari sekitar bukit.
Yar geram karena belum juga bisa melacak siapa orang itu, atau kalau atas suruhan orang lain, siapa yang menyuruhnya.
”Saya tidak tahu harus kemana lagi, Kak. Mungkin ...” Rintih Aminah. Air matanya meleleh lagi.
”Bukankah sudah kukatakan, kau tak perlu ke mana- mana. Tetap saja di rumah peninggalan Emak. Toh aku bisa tinggal di sini saja.” Potong Yar mantap untuk memberi keyakinan pada dara malang yang terlampau sulit ia singkirkan dari ruang syahwatnya itu.
”Mungkin yang terbaik saya ke Saudi saja .... Saya ingin pamit ....” Imbuh Aminah seolah tak peduli dengan kemauan pemuda di depannya.
Yar menggeleng- geleng tegas.
”Jangan !” Katanya. ”Kau tidak boleh ke mana- mana ! Kau tetap tinggal di rumah. Kau tetap berada di sana selamanya. Atau kalau kau merasa tidak nyaman karena berpikir membebani aku, kau boleh berusaha mencari atau membuat rumah sendiri dengan mengumpulkan uang terlebih dahulu. Kuberi kau modal untuk jualan. Boleh cicil pembayarannya semampumu. Pokoknya, apa pun caranya asal kau tetap di kota ini !”
Tubuh Aminah bergetar terbawa tangisnya.
”Tidak, Kak ....! Tidak !” Jeritnya menyayat. ”Selama saya masih ada di sini, selama saya masih menjadi pembantu Kakak, selama itu pula pandangan orang- orang tetap buruk pada saya. ....!
Kakak tahu sendiri, di luar sana, gunjingan bahwa kita telah berlaku layaknya suami isteri sudah sangat luas tersebar ...! Kemana pun saya melangkah, orang- orang memandang saya dengan pandangan jijik. Mereka mencibir ...! Saya tidak kuat .... Saya tidak sanggup ...!”
Yar luluh ke dinding.
Betapa kejamnya aku pada Aminah ! Telah kubuat ia sengsara dengan hasrat gilaku !
”Bertahanlah, Aminah ....” Bujuknya dengan pikiran kalut. ”Ini ujian bagi kamu ! Bagi aku juga.
Lagi pula, sebenarnya sasaran orang- orang tidak sepenuhnya kepada kamu. Gunjingan- gunjingan itu disebarluaskan oleh orang- orang yang hendak menjatuhkan aku, yang ingin membuat aku hancur !”
Benar, mereka telah menangkap gelagat burukku. Dan itu menjadi jalan mereka untuk menyerangku, menghancurkan nama besarku, kejayaanku !
Aminah menggeleng- geleng.
Yar paham bahwa Aminah tetap tak bisa menerima larangannya.
Pikiran Yar kalut. Tiba- tiba ia sangat takut gadis itu pergi meninggalkan dirinya sementara ia sangat menginginkan hasrat kelakiannya terbalas ! Batinnya mengakui dirinya selalu menghayal tidur dengan gadis itu, mengakui bahwa dalam kesepiannya ia membutuhkan Aminah ! Dan ia pun tak melihat kemungkinan perempuan lain bisa ia taklukkan dengan begitu mudah seperti kemungkinan menaklukkan Aminah.
Kekalutan itu, ketakutan itu memunculkan dorongan hatinya untuk mencegah dengan cara apa pun.
”Begini saja.” Ucap Yar dengan pandang menajam.
”Kumau kau tidak lagi menolak. Ini penyelesaian terbaik untuk kita berdua. Ini cara tepat agar orang- orang keparat itu tak lagi punya jalan menyerang kita, menyerang kamu, menyerang reputasiku.”
Aminah balas memandang. Menunggu.
”Kita kawin. Besok aku urus rencana pernikahan kita ke KUA.”
Mata gadis itu terbelalak. Bibirnya bergerak- gerak, tapi tak sanggup mengeluarkan ucapan.
Yar mendekat. Hendak dirangkulnya tubuh Aminah. Tapi gadis itu menepis tangan Yar.
**
Yar duduk bersila menatapi sajadah itu, yang baru ia lipat dan ia letakkan ke atas dipan, disamping Aminah yang tertidur pulas. Hati dan pikirannya mengawang.
Beberapa saat lalu sajadah itu berada di atas bufet, tertindih tumpukan buku- buku puisi karyanya. Penuh debu dan sebagian pinggirnya terkoyak digerogoti kecoak atau entah apa.
Hampir dua puluh tahun tak digunakan ! Terakhir, Yar mengingat, ia sholat saat ditindih kekecewaan setelah membaca surat Ani yang menghina dirinya dan keluarganya.
”Kau terima sholatku barusan, ya Allah ....?” Bisik hatinya gamang.
Sholat isya, sholat sunnat taubat, sholat tahajjud, ketiga- tiganya ia kerjakan.
Adakah artinya sementara di saat akhirnya Bapak, di saat akhirnya Emak aku tak sempat memohon ampun ? Sementara aku tetap menolak mematuhi permintaan mereka untuk berhenti dari kegiatan dan pekerjaanku sebagai penyair dan wartawan yang keras, yang menekan, menindas dan menghancurkan, yang dianggap menzalimi orang lain ?
Sampai kini, ya Allah, sampai kini dan oh, tak kutahu sampai kapan, aku tetap tak bisa melepaskan ketergantunganku pada sajak- sajak dan berita !
Bagaimana kupertahankan jiwaku yang telah mati- matian kusembuhkan dengan kegemilangan bersajak dan membuat berita ? Yang kau tahu semakin meranggas, dan akan lebih meranggas tanpa sajak dan berita, tanpa menulis, tanpa idealisme ?!
Dengan cara apa ? Haruskan aku meninggalkan medan juangku ini, sementara orang- orang di luar sana terus dengan kebusukan mereka, sementara manusia- manusia di negeri ini belum menyadari kejahiliahan mereka ?!
Jawab aku, jawab aku, ya Allah !
Kepala Yar pening.
Langit- langit rumah ia lihat kabur, bergelombang. Segala benda di sekitarnya berputar- putar. Tubuh Yar lunglai tak sadarkan diri. –
BAGIAN 15
Begitu melelahkan hidup ini, ini judul sajakku yang kutulis terakhir, Yar. Kau mau dengar ?
Antara yang pergi dan menepi, ombak- ombak bertikaian. Layar dan jukung terus menjelma laju rindu yang oleng. Menuju cakrawala ? Labuhi cakrawala ?!
Antara saat terkapar dan pelan- pelan tersadar, luka cinta bertabuhan. Gemanya sunyi tak terperi di rongga hati.
Oh, andai sajak ini dipublikasikan, seperti sajak- sajakmu, dalam sebuah buku, para kritisi akan mencapnya sajak paling cengeng di dunia.
Tapi inilah suara jiwaku yang paling jujur, Yar. Serupa suara jiwaku di hampir dua ratus sajak yang kutulis sebelumnya, yang tak pernah kubuka untuk siapa pun, yang hanya kusimpan di dalam lemari dan sebentar lagi akan kutitip padamu lewat pembantu rumahku. Suara jiwa manusia yang terbakar oleh api yang ia nyalakan sendiri, yang menikam jantungnya sendiri dengan belati yang ia tempa dan ia asah sendiri. Ironis, ya ?
Sebentar lagi aku akan didudukkan oleh keputusasaan di atas pelaminan. Oleh keputusasaan ! Bapak dan Ibu sibuk sekali mempersiapkan kemeriahan, mengusahakan agar tampilan acara resepsi benar- benar mewakili kejayaan dan nafsu beliau untuk memamerkan hasil- hasil kecurangannya pada semua makhluk di alam ini. Para pendayangku sudah melumuri sekujur tubuhku dengan seribu macam riasan yang mahal, membalut tubuhku dengan gaun pengantin yang harganya berjuta- juta. Gatal, Yar. Aku kepanasan ! Gatal dan panas oleh rasa gusar pada diriku sendiri yang terus saja menikmati hasil- hasil kebusukan Bapak tanpa sedikit pun berani membantah, tanpa sedikit pun berani menyatakan penolakan. Aku benci pada diriku sendiri yang telah ikut menguatkan status biadabnya keluarga Abduh.
Dan lelaki itu, Anhar, orang yang memisahkan kita, tersenyum penuh kebahagiaan di kamar lain. Ia pasti lagi membayangkan malam pertama yang indah, membayangkan kekuasaannya atas tubuh dan hidupku, atas kepedihanku, atas perasaan bersalahku yang tak akan pernah pupus padamu, atas gelora- gelora jiwaku yang hanya padamu, hanya padamu aku cetuskan.
Hei, apanya yang indah dalam malam pertama nanti ? Segalanya sudah ia renggut lebih dulu, berkali- kali !
Ia alim, santun dan tak berani menyentuhku. Itu pertama kali. Ketika ia tahu aku berada di bawah cengkeraman kekuasaan Bapak dan Ibu, ia semau- maunya.
Ah, aku yang putus asa, tak mau berpikir panjang lagi. Aku berikan apa yang ia minta. Biar saja, toh aku sudah terikat padanya, terikat oleh ketaatanku pada orang tuaku. Ketaatan yang terus- terusan kusadari sebagai ketaatan paling konyol di muka bumi.
Aku kotor, Yar ! Kau tidak percaya ? Jilbab yang kupakai, saat bertemu dengan denganmu, adalah semata selubung kepalsuan. Kepalsuan yang selalu kututup- tutupi di hadapan siapa saja, termasuk di hadapan santri- santriku yang begitu menghormatiku, yang menunduk takzim menghargai Ibu guru Nur-nya yang soleha. Kasihan, anak- anak itu tertipu ....
Damainya hatimu. Yar. Kau hidup dengan ketegaran pendirian. Tak ada seorang pun yang dapat mempengaruhimu, tak satu keadaan pun mampu membuat kau goyah. Kiranya perjalanan hidup pribadi dan keprihatinanmu pada kehidupan sekitar telah benar- benar kau hayati. Kau berhasil memaknai serta menampilkannya di hadapan siapa saja, dengan keberanian penuh menentang segala resiko, segenap lumuran caci maki atas dirimu.
Kau, bagiku, adalah benteng, ya benteng sosial negeri ini ! Kau tegak di atas gurun panas nafsu kemapanan dan kapitalisme liar, menjaga moral, menjaga etika, mempertahankan nilai- nilai kemanusiaannya manusia kecamatan dan kabupaten dari terjangan kekuatan tentara serigala penjajah rakyat. Menara- menaramu mengintai cermat barisan dan segala tipu daya mereka. Lantas kau kerahkan pasukan kata- katamu yang perkasa, memanah serdadu- serdadu itu, menombak dada- dada serakah mereka, menjatuhkan obor- obor penyulut meriam ketidakinsyafan mereka. Sangkakalamu melengking menusuk hati maharaja para seteru. Benderamu berkibar melambai- lambaikan kemenangan, tantangan dan semangat perlawanan tak berujung.
Aku iri padamu ! Tubuh dan jiwaku teronggok serupa sampah dilintasi derap langkahmu ....
Yar, kekasihku, tak perlu aku minta maaf lagi, kan ? Kau, kuyakini sudah memahami bagaimana keadaanku. Yang kupikirkan sekarang, bagaimana aku akan berhadapan dengan Tuhan. Membicarakan tentang keputusasaanku, yang telah membuat aku menjadi munafik, palsu, yang kemudian berangkaian melahirkan keputusasaan bentuk lain. Begitu, berantai- rantai. Ah, masa iya Tuhan tidak akan mengerti ?
Kasih, aku sendiri di dalam kamar. Memperhatikan diri di cermin. Aku cantik sekali malam ini. Sayang sudah sekian lama mataku tak bisa bersinar.
Di luar, para kerabat, suaranya riuh. Aku dengar Ibu sudah memerintahkan para supirnya untuk mengecek mobil sekali lagi, jangan sampai ada hambatan dalam perjalananku dan Anhar ke gedung perhelatan.
Teman- teman Ibu, yang ingin segera melihat anggunnya aku dalam pakaian pengantin mewah sudah mendesak- desak agar aku keluar. Ibu bilang, sabar, semua akan dapat surprise.
Ya, mereka akan dapat surprise.
Surprise, yang tak akan pernah mereka lupakan seumur hidup mereka !
Sudah dulu, Belahan Hatiku, aku harus mempersiapkan diri.
Ingat, simpan baik- baik semua puisiku. Atau kalau bisa, mungkin ada cara kau terbitkan. Kuharap kau yang berikan kata pengantar. Di antaranya katakan, sajak- sajak protes sosial ini telah terpendam lama, lama sekali, karena penulisnya malu untuk meminta orang membaca, berhubung isinya bertentangan dengan apa yang diperbuat bapaknya, ibunya, dan dirinya ....
Kasar sekali, ah kau bahasakan saja dengan kalimat- kalimatmu yang lebih halus ....
Selamat tinggal, Yar. Cium keningku sekali lagi ....
Yar tak bisa sedih, tak bisa terisak, tak bisa menangis, tak bisa apa pun menyimak suara dalam tape rekorder yang ia genggam. Pikiran dan perasaannya kosong. Tatapannya kosong beradu hamparan putih pucat langit- langit ruang rawat puskesmas.
Ambulans semalam ternyata membawa Nur yang dirujuk ke rumah sakit kabupaten. Ia didapati terbujur dengan mulut berbusa di atas ranjang pengantinnya beberapa saat sebelum keberangkatan ke gedung perhelatan. Ada sisa larutan racun dalam gelas di sampingnya.
Beberapa saat lalu pembantu rumah gadis itu mengantar sebuah tape rekorder kecil, berisi kaset rekaman suara Nur dan setumpuk kertas berisi sajak yang ditulis tangan ....
*
Setengah hari Yar diopname. Maghrib, Mantri Amran membolehkan pulang dengan ’perintah’ tak boleh kemana- mana dulu. Istirahat total minimal seminggu.
Yar minta Aminah membawanya ke rumah bukit saja, sebab suasananya tenang.
Kini pemuda itu membaringkan tubuh lemahnya di dipan ruang tengah. Calon isterinya sedang menjerang air di dapur.
Yar tersenyum kecut mengingat wajah Aminah saat di Puskesmas. Nampak sedikit berbinar setelah diyakinkan benar tentang niat dinikahi. Rencana ke KUA baru akan dijalankan besok, jika badan Yar lebih kuat.
Yar merasa dirinya melayang ke dalam sebuah ruang hampa, dimana pikirannya hampa, perasaannya hampa, dimana suara- suara mencela silih berganti menumbuk- numbuki jiwanya.
”Wow, benarkah kau sudah mantap menjadikan Aminah sebagai isteri ? Apa kau sudah sungguh- sungguh siap mengabaikan pentingnya cinta dalam membina hubungan ? Sudah betul- betul yakin akan bertahan dalam rumah tangga yang kau bangun dengan sekedar tanggung jawab atas kesalahan, atas rasa kasihanmu pada Aminah ?! Kau sudah berusaha membesarkan diri, berupaya menunjuk- nunjukkan kejayaan agar perempuan menganggapmu. Tiba- tiba sekarang kau putuskan kawin dengan pembantu ?! Wohoo ... tragis sekali !
Di mana ukuran- ukuran perempuan yang kaudambakan. Yang harus lebih berkualitas dari sebelum- sebelumnya. Lebih berkualitas dari Ani, dari gadis- gadis umumnya di kecamatanmu yang sekedar cantik tapi tak punya otak dan potensi untuk mengimbangi pemikiran, idealisme dan semangat- semangat besarmu ?”
”Keparat ! Keparat !” Yar menyumpahi dirinya.
Tiba- tiba Ani, Sumi, Zubaedah, Abduh, Marzuki, para anggota dewan, para pejabat kecamatan dan kabupaten datang, mengelilinginya, menuding- nudingnya seraya berseru, ”siapa sangka seorang yang besar, yang agung, yang mati- matian memperjuangkan idealisme, semangat kemanusiaan dan moral ternyata menyimpan pikiran busuk pula.
Hei, sadarkah kau bahwa pikiranmu busuk ? ! Kau berusaha membuat siasat agar Aminah yang polos, yang percaya penuh padamu, yang tak akan berani melawanmu menjadi terpancing, lupa diri, mau menampung hasratmu, bersedia kumpul kebo denganmu.
Bukankah sebenarnya kau tak ingin menikahinya ?! Bukankah kau sudah merancang dalih- dalih untuk itu ?!
Malangnya kau, Yar. Kau kutuk orang- orang yang gila kemapanan, kekuasaan dan kejayaan dengan membohongi diri, menipu orang lain, memanfaatkan kelemahan orang lain, menafikan hati dan nurani, meminggirkan idealisme. Kini kau terseret kegilaan syahwat, kau abaikan kata nuranimu, lalu kau kadali pembantumu, kau manfaatkan kepolosannya, kau manfaatkan tunduknya Aminah agar dia menyerah dalam permainan licikmu !
Malangnya Aminah, seorang yang tak berdaya, seorang dari kaum papa yang selalu kau bela, kini kau zalimi !
Kau tuan yang menggagahi orang kecil !
Kau akan puas menikmati tubuh perempuan. Kau akan merasa aman pula dari lawan- lawanmu dengan bersembunyi di balik kepura- puraan pernikahan. Tapi sesungguhnya kau tak mendapatkan apa- apa, sebab kepuasan itu kau dapat dengan menghancurkan jiwamu sendiri. Keamanan itu kau peroleh dengan menipu manusia lain.
Benteng ? Kau bangga dengan sebutan benteng yang diberikan Nur ?! Benteng macam apa yang dipenuhi ular berbisa, dipenuhi serigala, dengan api kebusukan berkobar- kobar di dalamnya ? Runtuh, runtuhlah kau !”
Yar memejamkan mata, menarik nafas dalam- dalam, menghembuskannya dengan hentakan. Berulang ia lakukan itu.
Egonya terbang entah ke mana.
**
BAGIAN 16
Yar masih terbujur di atas dipan. Tatapannya menerawang ke langit- langit. Batinnya disergap wajah Dokter Budi.
Tadi siang dokter itu meneleponnya, mengabarkan bahwa dirinya telah menerima surat mutasi sebagai kepala seksi di kantor dikes.
”Keputusan nonaktif kemarin sifatnya hukuman sementara, Mas.” Katanya lirih. ”Hukuman sesungguhnya adalah saya dimutasi sebagai kepala seksi di kantor dikes. Ini saya pegang suratnya dari kadis. Saya sedih, Mas, bukan karena saya dimutasi, tapi karena gagal menjalankan tugas yang apa pun resikonya harus saya hadapi. Saya sedih karena telah jadi penakut. Takut melawan para pengusaha itu. Saya yakin bahwa yang saya alami hari ini adalah peringatan dari Tuhan agar di masa yang akan datang saya lebih berani, lebih bisa mengabaikan keselamatan diri sendiri demi amanah yang kadung saya terima. Tuhan marah pada saya, sebab saya membiarkan kemungkinan keselamatan kesehatan dan hidup orang kecamatan ini terancam oleh ketidakpedulian pengusaha pabrik kapur itu.
Terima kasih atas bantuannya, Mas. Mungkin Mas yang akan bisa melanjutkan usaha saya untuk menyadarkan kekeliruan pengusaha- pengusaha itu ....”
Berat helaan nafas penyair itu. Ia menyalahkan dirinya yang telah kalah langkah dari para pengusaha pabrik itu, yang berhasil mempengaruhi kepala dinas, yang berhasil menyingkirkan Dokter Budi dari kecamatan.
Yar tak sadar Aminah telah duduk di bawah dipan. Wajah lembut gadis itu mendongak, menatap calon suaminya.
”Kak ....”
Yar membalikkan badan. Miring, menghadap Aminah.
”Ada apa ?” Tanyanya tak bersemangat.
”Kasihan Nur, ya ...? Ia rela mengorbankan dirinya, cintanya, semangatnya, mengorbankan kemungkinan ia menjadi penulis hebat demi ketaatan pada orang tua, demi terhindar dari perilaku membohongi orang banyak ....” Ucap Aminah datar.
Yar mengangguk, menyadari malangnya Nur, yang tidak dapat diselamatkan. Tubuhnya kembali ke rumahnya sebagai jasad tak bernyawa. Beberapa jam lalu dimakamkan.
Bayang- bayang candanya, ceplas- ceplosnya, lincah dan semangatnya mengisi kembali benaknya. Dadanya pun pelahan dirayapi aliran perih membayangkan betapa tersiksanya mantan pacarnya itu dalam tekanan kejiwaan ingin berontak, ingin bebas mengekspresikan gelora idealismenya tapi terhalang perangai bejad orang tuanya.
”Kau dengar pengakuannya Nur di kaset itu ?”
Aminah mengangguk. ”Saya nguping saat Kak Yar memutarnya. Saya salut pada Kak Nur. Ia tak mau menjadi besar, menonjol, diagung- agungkan orang karena ia sadar tidak pantas dengan keadaannya. Apa Kak Yar juga pernah berpikir jujur seperti Kak Nur ?”
Yar bangkit. Duduk sejenak di dipan, lalu melangkah ke jendela. Di sana ia berdiri memunggungi Aminah. Tak ada tanggapan terlontar dari bibirnya.
Pembantunya tetap di tempat, memandangi saja Si tuan dengan tatapan tawar.
”Apa maksudmu ?!” Mendadak pertanyaan pelan tapi tajam terucap dari Yar.
Anehnya yang ditanya kali ini tertawa. Sikapnya tak menunjukkan kekhawatiran akan tersinggungnya Yar seperti sudah- sudah.
”Kakak tidak mengerti ? Atau pura- pura tidak mengerti ...?!” Balasnya tenang.
Yar berbalik. Matanya merayapi pembantu itu dengan sorot tersinggung.
”Kakak tersinggung ? Merasa disindir ? Memang perasaan tersindirnya Kak Yar yang saya harapkan.” Imbuh yang disorot tanpa ketakutan sedikit pun.
”Woo ..., sudah berani nampaknya kau sekarang ?!” Sentak Yar dengan nada meninggi.
Mata Aminah melebar, menunjukkan pandangan menentang.
”Saya mau Kak Yar tersindir dan menyadari bahwa sesungguhnya Kak Yar lebih tidak pantas untuk membesar- besarkan diri ! Jika Kak Nur tidak pantas karena keadaan yang mengungkungnya, maka Kak Yar tidak pantas karena perbuatan sendiri yang dilakukan dengan sengaja !” Serunya.
”Apa maksudmu ?!” Sentak pemuda yang berdiri itu dengan nada suara makin keras.
”Kak Yar jebak saya ! Saya dijadikan alat untuk memenuhi hasrat terbendung Kak Yar pada perempuan !”
Muka Yar merah padam. Tak disangkanya gadis yang ia anggap polos selama ini bisa menangkap itikadnya !
Siapa yang memberitahukannya ?Pasti sudah ada orang yang menyadarkan gadis ini !
”Begitu teganya Kak Yar memperlakukan saya seperti ini !
Dengan kepolosan saya, kepatuhan saya, Kak Yar anggap saya bodoh ? Tidak bisa membaca tingkah laku Kakak pada saya sekian lama ? Saya tahu Kak, saya sadar betul kalau selama ini Kak Yar ingin menikmati tubuh saya ! Kak Yar berusaha memancing hasrat saya, berusaha menjadikan saya terperangkap dalam permainan Kakak !
Saya akan dinikahi ? Woo ... bodohnya saya yang sempat terbuai dengan ucapan manis Kakak itu. Sementara jelas- jelas tak ada cinta di hati Kakak untuk saya. Mana mungkin keangkuhan Kakak akan bisa membuat Kakak menerima seorang pembantu jadi isteri ! Kak Yar mengumbarnya semata- semata karena dorongan ketakutan saya akan pergi sementara hasrat Kak Yar belum terpenuhi, sementara Kak Yar tak melihat ada perempuan yang bisa menjadi pengganti, bukan ?! Niat Kak Yar yang sesungguhnya adalah menjadikan saya teman kumpul kebo, bukan ?
Saya yang bodoh ini sudah sempat berusaha meyakin- yakinkan diri bahwa memang Kak Yar benar- benar mencintai saya. Bahwa mungkin karena telah terjadi satu keajaiban Kak Yar ikhlas beristerikan orang hina. Duh, bodohnya saya, bodohnya saya yang berpikir pula untuk menyerahkan diri secara tulus demi mengatasi beban besar terbendungnya hasrat kelakian Kak Yar, terlambat kawinnya Kak Yar.
Saya merasa benar- benar dikelabui !
Hati saya pedih, Kak, pedih sekali saat benar- benar menyadarkan diri bahwa saya sedang menjadi sasaran pelampiasan laki- laki, sedang dijadikan tameng pula oleh Kak Yar untuk mengelabui para warga, agar mereka tak bisa menyerang dan menghancurkan kebesaran Kak Yar ....
Oh ..., ternyata Kak Yar cemas pula menghadapi kehancuran ? Pejuang macam apa Kak Yar yang tidak punya keberanian untuk menerima kehancuran ?
Ya, sebenarnya tidak usah ditanya lagi. Jawabannya sudah jelas. Ketidakberanian itu muncul karena Kak Yar sadar harus hancur karena kesalahan sendiri. Kak Yar tak akan mendapatkan bela sungkawa. ”
Muka Yar membesi. Kerongkongannya tercekat. Baru kali ini ia temukan dirinya tak bisa membantah ucapan orang lain. Ucapan pembantu, yang begitu berani, begitu lancar, begitu pintar !
Gemetar tubuh pemuda itu oleh amarah, oleh rasa ditentang, oleh rasa malu, oleh rasa dikalahkan !
Aminah bangkit.
Sejenak ia menghadap Sang penyair yang terpaku di tempatnya berdiri.
”Saya pamit, Kak. Tapi sebelum itu, mohon Kak Yar dengarkan kata- kata saya” Ucapnya lemah.
”Pernahkan sekali saja Kak Yar jujur pada diri sendiri dalam menilai kegiatan- kegiatan dan pekerjaan perlawanan Kakak selama ini ? Mengapa justeru orang- orang tak menghargai Kakak ? Mengapa sebagian besar orang kecamatan ini mengacuhkan pemikiran, idealisme dan segala gerakan Kakak ?
Mereka semua manusia, Kak, makhluk Tuhan yang kodratnya punya nafsu, punya hasrat- hasrat besar untuk menjalani hidup dengan layak, mendapat kesempatan untuk berubah seperti manusia lain di sekitarnya, di luar mereka. Wajar mereka tergiur, wajar mereka senang dengan kesempatan yang tiba- tiba ada di depan mata.
Kakak melihat semua itu akan berakibat buruk bagi kesejatian diri, kesejatian moralitas, semangat kemanusiaan, kelangsungan adat serta alam mereka. Betul ! Kakak maju untuk menghadang keburukan itu, tidak salah ! Tapi dendam dan keangkuhan membuat Kakak tidak berpikir jernih dalam bertindak. Kakak melalaikan keadaan bahwa orang yang lupa itu memiliki nurani pula. Nurani yang sesungguhnya melarang mereka berbuat sekehendak hati. Mereka jenuh dikritik, dicela, dicerca terus ! Batin mereka berseru, he, Yar, jangan menyalahkan saja ! Tunjukkan solusi untuk kami ! Kami ini ingin meraih kelayakan hidup, kemajuan, perubahan dengan tetap menjaga jati diri, tanpa mengorbankan diri sendiri, mengorbankan orang lain, moralitas, semangat kemanusiaan, adat serta alam ! Tapi kami bingung bagaimana caranya, sementara perubahan terus berjalan. Jika kami tidak ikut bergerak, kami akan ditindih, ditindas, ditinggalkan !
Pernah Kakak pikirkan ini dengan sungguh- sungguh ?!”
Geletar oleh rasa ditampar oleh luncuran kalimat tegas Aminah.
Aku yang selama ini idealis, berpikiran maju, berwawasan luas, kenapa bisa lalai dari pandangan seperti itu ?!
Benar, benar selama ini aku hanya berteriak, melantang- lantangkan bacaan sajak, meruncing- runcingkan berita, dengan kritik, dengan celaaan, dengan cercaan keras di dalamnya. Hanya sampai di situ ! Tak pernah aku isi sajak- sajakku, tulisan- tulisanku di koran dengan ’cara’, dengan ’jalan’, dengan ’peta- peta’ yang bisa dipedomani dan ditelusuri orang- orang hingga mereka sampai, menemukan dan melihat nyata bagaimana rupa ’sebuah surga yang bersih dari kebusukan’ seperti yang kuinginkan !
Aku, aku hanya terbuai dengan tepuk tangan, dengan puja- puji orang- orang di bawah panggung, dengan kalimat- kalimat salut para kritisi sastra ! Aku merasa begitu besar di hadapan teman- teman komunitas, teman- teman aktivis yang mengacungkan jempol atas berita- beritaku yang berhasil meluluhlantakkan para lawanku !
Terpukul pula jiwa Yar mengingat gagasan reformasi sastra dan sastrawan yang dulu ia agung- agungkan bersama anak- anak komunitas.
Seorang sastrawan dengan karya sastranya tidak sekedar menjadi pribadi- pribadi yang mengurung diri, mengagungkan diri dalam bangunan seni mereka, yang meresapi keadaan di luar lewat kaca jendela, lalu mereflesikannya dalam berjuta ribu kata sajak, cerpen, novel dan roman, yang dilemparkan dengan bangga ke jalan- jalan, dipungut dan dibaca oleh orang- orang susah, orang- orang miskin, orang- orang teraniaya, tapi kemudian dicampakkan kembali dengan wajah lusuh, dengan wajah tawar karena tak mendapat apa- apa di dalamnya. Orang- orang yang turun sombong dari mobil mewah meliriknya sejenak, lalu terkekeh sinis, meludah pula.
Sastrawan harus keluar dari bangunan seni mereka, turun berpeluh- peluh ke jalan, menghunus sajak, cerpen, novel dan roman mereka dalam rupa kelewang, dalam rupa pestol, dalam rupa granat, dalam rupa bom ! Dijelaskan artinya pada orang- orang susah, orang- orang miskin, orang- orang teraniaya. Lalu bersama- sama bergerak mengancungkannya ke rumah- rumah mewah, ke kantor- kantor pemerintah, ke kumpulan para pejabat dan kaki tangannya. Mati matilah kapitalis serakah, luluh lantaklah para pejabat berjiwa serigala ! Sastrawan dan sastranya menjadi senjata perubahan, alat perjuangan keadilan, andalan alternatif perjuangannya orang- orang terkirikan !
Ia telah lupakan gagasan itu semenjak reputasinya membesar, melangit. Bahkan ia tak pernah lagi menyempatkan diri mengunjungi komunitas. Ia melangkah sendiri, bergerak sendiri, larut dalam kegemilangannya sendiri !
Yar tertegun. Tak tahu harus bicara apa.
Sampai Aminah mendekat, menjulurkan tangan, meraih jemari aktivis itu dan menciumnya dengan air mata berderai.
”Saya sudah putuskan untuk berangkat ke Saudi, Kak.” Ucapnya lirih seraya memandang mantan calon suaminya dengan sorot mata layu.
”Kakak dan Emak sudah begitu baik pada saya. Saya mohon ampun jika bicara lancang. Saya ingin tetap di sini, tapi tak bisa memaksa hati untuk menerima keadaan yang tidak tepat bagi saya.”
Air mata Aminah terus membaluri pipinya.
”Saya juga ... saya juga sayang Kakak, dan akan sangat bahagia menjadi isteri Kakak ... seandainya dalam keadaan lain ....” Ucapnya terbata- bata.
Ia melangkah menuju bufet, membukanya. Sebuah kantung berisi buku ia keluarkan.
Kantung itu ia letakkan di depan Yar yang terus terpaku, terus menatapi dirinya dengan pandangan yang tak jelas sorotnya.
”Saya kembalikan buku- buku yang Kakak pinjamkan pada saya. Terima kasih sudah memberi pula kesempatan pada saya untuk banyak membaca, untuk mengerti banyak hal tentang persoalan- persoalan manusia dan kehidupan ....
Selamat tinggal, Kak. Doakan saya ....”
Tubuh langsing, sintal dan menggiurkan itu hilang di balik sekat ruang. Suara langkahnya sejenak masih terdengar menuruni tangga. Lalu hilang.
”Aminah ....”
Baru lah panggilan lemah Yar terdengar.
Terburu ia keluar, hendak menyusul gadis itu. Tungkainya lemas di peladang. Ia jatuh terduduk di bawah sorot muram lampu bohlam.
Lemah gerakan kakinya kembali ke dalam.
Berdiri ia di depan kantung berisi buku- buku yang ia pinjamkan kepada Aminah.
Tiba- tiba Sang sastrawan terkekeh. Terkekeh- kekeh seperti orang gila.
Ia tertawai ironi dirinya. Ia punya buku- buku hebat, buku- buku tentang pergulatan sosial, persoalan- persoalan kemanusiaan, yang selalu ia baca, yang selalu ia lalap tiap waktu, tapi tak sepenuhnya ia pedulikan isinya ! Justeru Aminah, yang ia anggap iseng- iseng saja meminjam dan membacanya, memahami muatan dan menemukan kesadaran di dalamnya !
*
Kembali karena perempuan ....
Malam ini semangatku, perasaan- perasaan kebesaranku, keyakinan- keyakinan kebenaranku menjadi begitu lemah, menjadi seperti tak akan sanggup kutampakkan lagi di tengah warga- warga kecamatan, orang- orang kabupaten, lawan- lawanku, cuma karena sesuatu yang kecil. Karena ketidakmampuanku mengendalikan tuntutan hasrat pada perempuan ...!
Apakah sejarah hidupku akan harus berputar ulang ? Kembali ke masa lalu dimana aku hancur karena perempuan ? Dimana aku dilecehkan, dilempari batu- batu tajam, sendirian ? Apakah pantas aku hancur ? Akankah kuabaikan saja semua yang terjadi dengan Aminah ?! Bukankah kelemahanku ini hanya karena terbawa kekalutan pikiran tak menduga orang lain bisa membaca niat- niat burukku ? Bukankah hanya Aminah yang tahu pasti bahwa memang benar pikiranku kotor pada perempuan, bahwa aku terseret kegilaan syahwat, lalu berusaha mengadali pembantu, memanfaatkan kepolosannya, memanfaatkan tunduknya agar terjebak dalam permainan licikku ?! Musuh- musuhku tak punya bukti yang kuat untuk menyudutkan aku ! Ataukah aku bisa menguat- nguatkan diri dengan pikiran bahwa tak bisa dicampuradukkan persoalan pribadiku dengan realita kebusukan masyarakat ?! Aku, dengan apa pun kekotoran tabiatku pada perempuan tak akan boleh menjadi alasan orang- orang menghadangku untuk tetap melakukan perlawanan- perlawanan sosial !
Yar tertegun. Kecamuk batinnya menjadi- jadi. Tangan kirinya mencengkeram keras tiang peladang, sementara tangan kanannya meremas- remas rambut ubun. Tegang mukanya dalam baluran cahaya bohlam.
Sudah setengah jam ia berdiri terpaku di tempat itu. Dingin angin malam yang semakin larut seakan tak ia rasakan merasuki tubuhnya.
Duh ... harusnya aku bertahan. Bertahan dari terjangan nafsuku ...!
Tapi, bagaimana caranya ?! Berapa lama mesti aku bendung ? Kenapa pula Tuhan tak memberi aku seorang perempuan yang pantas, yang bisa kucintai, lalu kunikahi, agar tak kulampiaskan hasratku dengan cara yang bodoh ini ?!
Tuhan ... aku manusia biasa, yang butuh perempuan ....
Tak seharusnya kau tutup mata hati gadis- gadis kecamatan ini dari cinta mereka padaku. Tak seharusnya, sejak dulu ! Bisa jadi jika Kau berikan aku Ani, seperti mauku, aku tak akan sampai seperti ini, tak akan sampai menjadi penentang- penentang orang- orang sekelilingku. Seandainya Kau limpahkan sedikit saja kemapanan bagi keluargaku, mungkin saja aku hidup damai dengan siapa pun, bahkan tak mengingkari keharusanku patuh pada orang tuaku !
Tidak bolehkah kukatakan Kau tidak adil ?! Baik, Kau Maha Adil. Tak akan lagi kuragukan. Kusebut saja Kau terlampau lama menahan keadilan itu untukku ...!
Tubuh Yar luluh. Ia terduduk di lantai peladang. Dadanya geletar.
BAGIAN 17
Yar duduk terpekur menghadap Sri, kakaknya di ruang tengah ’istana’. Sesekali matanya hendak menyorot wajah perempuan itu. Namun ia tak sanggup. Ia pun hanya mampu terus tertunduk dengan kehampaan pandangan menumbuk serakan foto ’kemesraannya’ dengan Aminah.
Foto itu telah beredar di tengah- tengah warga. Entah siapa yang menyebarkannya. Yang jelas bagi Yar, ia sedang berada dalam titik fokus ’penghancuran’. Dimulai dari kehadiran aparat desa beberapa waktu lalu, yang pastinya dimaksudkan sebagai ’tekanan permulaan’, yang akan berlanjut dengan ’tekanan- tekanan’ lain, bagian dari rencana keji musuh- musuhnya yang telah bersekongkol.
Mereka akan mencekoki warga kecamatan sampai kabupaten dengan opini-opini yang ’sangat masuk akal’.
”Apakah ada maling yang mau mengaku ? Siapa yang bisa menjamin seorang lelaki dan seorang perempuan tak berbuat apa- apa dalam situasi rumah yang hanya ada mereka berdua ? Wajarkah Yar yang berpikiran begitu luas tak mengerti bahwa syari’at melarang mereka berkhalwat begitu rupa kalau bukan karena ada apa- apanya ?
Foto ini sudah sangat jelas memampangkan kemesraan- kemesraan mereka ! Lalu apa artinya kemesraan begini macam kalau bukan ada hubungan cinta ? Yar telah melakukan hubungan amoral dengan pembantu !
Sastrawan dan wartawan itu akan nikahi Aminah ? Nikah- nikahlah ! Tapi terang sekali mereka sudah melanggar susila, sudah melakukan hubungan terlarang sebelum nikah !”
Itulah deretan opini yang ’sangat masuk akal’ itu, yang dengan segera akan diamini oleh semua orang yang pada dasarnya telah kadung berpikiran buruk, dendam dan menyimpan permusuhan dengan Yar.
Mereka tak akan terima apa pun penjelasan Yar. Terlebih Sang pemuda pun sudah dicengkeram oleh rasa bersalahnya sendiri, oleh pengakuan batinnya sendiri bahwa ia memang telah merencanakan sebentuk pekerjaan buruk, yang menyepak pendiriannya sendiri sebagai seorang yang memandang rendah tabiat- tabiat licik. Ia telah hendak mengadali orang lain, memanfaatkan kepolosannya, memanfaatkan tunduknya agar orang itu menyerah dalam permainan liciknya ! Ia sudah hendak menzalimi seorang yang tak berdaya, seorang dari kaum papa yang semestinya ia ayomi ! Ia tuan yang hendak menggagahi orang kecil !
Yar tak berani maju ke tengah orang- orang, berteriak lantang seperti sudah- sudah dengan kesadaran bahwa dirinya telah menyimpan kekotoran.
”Keluarga kita telah ditakdirkan Tuhan untuk terus terhina, Dik .... Cukuplah kita bermimpi menjadi orang berharga. Tak mungkin.”
Meluncur kalimat lirih dari bibir Sri, Sang kakak yang jelang isya tiba dari kabupaten, yang mengaku sudah mendengar kabar meninggalnya emak dari mertuanya pada saat ia plesir ke Taiwan. Tapi ia risih sekali untuk pulang. Ia malu pada orang- orang kecamatan. Ia malu pada keluarga yang sudah tak mengakuinya. Karena rasa berdosa tak tertahanlah makanya hari ini ia memaksakan diri datang. Ia ingin besok pagi menjenguk kubur.
”Dulu saat kita kecil sampai kita remaja, kita dihina karena kemelaratan keluarga kita. Tak ada tempat sedikit pun bagi Emak, Bapak, aku dan kamu untuk mengangkat muka di kecamatan ini. Seperti katamu, masih kuingat, kita ditempatkan di atas pentas kelam, jadi sasaran terjangan batu- batu tajam dunia ....”
Isteri Cina itu mengusap matanya yang sembab. Helaan nafasnya mengantara ucapannya.
”Aku kemudian menambah kehinaan itu. Aku yang jenuh dengan kemiskinan merelakan diri kawin dengan orang yang tak seiman. Aku dorong punggung Emak dan Bapak untuk maju, untuk menerima lebih banyak lagi hantaman batu ke muka beliau ....
Lau kau, kau yang ditolak Ani, menjadi begitu semangat mengusahakan diri menjadi besar, menjadi jaya, agar tak bisa lagi diperlakukan sedemikian rupa oleh perempuan. Agar keluarga kita dipandang layak menjadi sandaran cita- cita mapan semua gadis dan orang tuanya.
Kau berhasil menjadi besar. Kau diakui oleh banyak orang. Tapi ternyata hasrat- hasrat buruk yang berkarat di kecamatan ini terlalu kuat untuk membuat orang- orang jujur mengamini segala apa yang kau perbuat demi perbaikan- perbaikan. Mereka tak bisa sepenuhnya kau kuasai. Ada banyak orang yang kemudian berbalik mencercamu ketika tak merasa kau berpihak pada kepentingan- kepentingan tak bermoral mereka. Tetap saja tak ada perempuan yang kau dapat. Tetap saja Emak dan Bapak tak bisa mengangkat muka. Tetap saja hinaan- hinaan mengurung mereka dalam kepedihan, dalam rasa malu tak tertanggungkan seperti dulu.
Dan kini, sempurna sudah kesia- siaan pengharapan kita untuk keluar dari takdir terhina. Kau, akan kembali ditempatkan warga kecamatan di titik tuju lemparan batu- batu tajam itu ....”
Bibir Yar bergerak, namun tak ada sepatah kata pun yang terucap. Lidahnya kelu. Dadanya sesak. Ia tak merasa lagi berada di atas dunia. Tubuh dan jiwanya seperti melayang- layang.
Tiba- tiba ia terisak. Tubuhnya terguncang.
Sri mendekat, merangkulnya.
”Yar kalah, Kak .... Yar menyerah ....” Tercetus juga rintihan Yar.
Isakannya menjadi- jadi. Tubuhnya kian terguncang.
”Saya kuwalat pada Emak, pada Bapak .... Saya sudah mengabaikan ketaatan pada mereka demi mempertahankan pendirian- pendirian saya .... Jadinya apa pun yang saya lakukan sia- sia .... Bahkan tak seorang perempuan pun bisa saya dapatkan di sini ....”
Makin ketat rangkulan Sri.
”Bukan, bukan karena kau kuwalat. Bukan, Dik ....” Balasnya hampir tak terdengar.
”Pendirianmu, semua yang kau pikirkan dan kau lakukan tak ada salahnya. Kau sudah melakukan perjuaangan yang sepantasnya. Yang salah adalah kau mencoba tegak di tengah- tengah kegilaan hasrat perubahan, di tengah kehendak manusia untuk merebut kemapanan, yang sedang bergerak cepat, yang tak boleh diganggu, yang tak mungkin dihadang ...! Dan kau sendirian di tempat itu. Kau terlalu berani sendirian ...!”
Perempuan yang telah tercabut dari akar keluarga itu melepaskan rangkulannya. Jemarinya saja yang mengusapi rambut adiknya yang terpaku.
Air matanya menitik.
”Jangan menyalahkan diri dengan apa yang kau lakukan terhadap Aminah. Wajar saja kau khilaf seperti itu.” Ujarnya dengan memaksakan diri tersenyum.
” Yang penting sekarang adalah apa yang akan kau perbuat besok lusa, tentunya dengan keputusan bahwa kau harus rela meninggalkan kegiatan- kegiatanmu yang tak memberi tempat lebih bagimu di kecamatan ini ....”
Yar mengangkat wajah. Kuyu sekali.
” Apa yang akan saya lakukan ?” Tanya Yar lemah.
Kakaknya menghela nafas, mengatasi kesedihan yang masih bertumpuk di dadanya.
”Aku tahu sebenarnya kau ingin mengatakan bahwa kau takut melakukan sesuatu yang baru, yang berbeda jauh dari kegiatanmu selama ini, yang semakin memperjelas bahwa kau kalah, kau lari dari perjuanganmu. Atau kau masih ragu menerima kenyataan bahwa kau akan hancur.” Jawabnya dengan sorot mata menajam.
”Tidak bisa, Dik. Kau harus ikhlas menerima kenyataan bahwa kau sedang hancur, dan tak ada jalan lain untuk menegakkan diri lagi di atas kehancuran itu.
Kau yakini saja penentangan orang- orang dan kegagalan yang kau alami sebagai isyarat dari Tuhan, yang menyuruhmu untuk ikhlas meninggalkannya. Kau masih ingat kisah Emak tentang Nabi Nuh yang pergi dari kaumnya karena tak juga diikuti ? Mungkin Tuhan masih menghendaki kecamatan ini larut dengan segala kegilaannya. Sampai suatu saat nanti, biar Tuhan juga yang mendatangkan banjir dahsyat buat menghukum mereka.”
Jemari Sri menyeka lembut air mata Si bungsu.
”Aku paham, Dik. Keadaan yang paling berat bagi seorang yang sudah kadung besar adalah saat ia menerima kehancuran. Dan kekalahan yang paling menyiksa bagi seorang pejuang adalah ketika ia pergi dengan memikul rasa kalah itu. Tapi paling tidak, kau sudah sadar kenapa kau kalah, dan bisa segera membesarkan hati dengan keyakinan bahwa ada kemenangan lain yang bisa pula kau dapati.
Sadarkah kau apa kemenangan lain yang kumaksud ?”
Tatap Yar menentang sorotan Sri.
”Kau akan segera mendapatkan gelar anak anak yang lurus, seperti keinginan Bapak dan Emak .... Dengan gelar itu kau pasti akan mendapatkan pula ridho dari Tuhan ....”
Pemuda itu tertegun.
Lama ia tertegun. Sampai Sri menepuk pundaknya.
”Sudah isya, kau sholatlah. Jangan sia- siakan sholat sebab kau masih layak mengerjakannya. Tidak seperti aku ...”
”Kak ....” Yar memotong ucapan Sang kakak yang disertai isakan pedih.
”Entah Tuhan masih mengampuni orang yang murtad seperti aku ....” Bisiknya dengan suara terbata- bata. ”Tapi aku masih ingin sholat, Yar. Aku ingin sekali ....”
Cepat Yar mendekap kakaknya itu. Ia pun menangis.
Kakak beradik itu larut dalam kepedihan jiwa mereka.
Hp di samping Yar berdering.
Yar menjangkaunya tanpa semangat.
Nomor tak dikenal.
”Hallo, siapa ini ....?” Tanyanya pelan.
”Kau tak kenal suaraku ?!” Sentak suara pemanggil.
Dahi Yar berkerut.
”Siapa, Yar ?” Tanya Sri penasaran.
”Tak perlu kau tahu aku siapa ! Yang jelas malam ini kau akan tahu akibat dari kesombonganmu, Wartawan setan !”
”Abduh !” Seru Yar ketika dari parau beratnya ia tandai pemilik suara itu.
”Bagus.” Sambut Abduh.
”Aku Abduh ! Kau, dengan berita busukmu, telah menghancurkan kesempatan besarku untuk mencapai apa yang aku mau. Hebat, hebat ! Kau memang wartawan hebat ! Kau hebat pula bagi anakku, Nur, hingga ia rela bunuh diri, menzalimi dirinya sendiri karena tak sanggup meninggalkan kamu ! Racun macam apa yang kau susupkan ke jiwa anakku, hah ?! Racun kebesaran, ketenaranmu, kejayaanmu ? Racun idealismemu ?! Racun semangat pemberontakan, yang bahkan karenanya orang sanggup mengabaikan dan mempermalukan bapak ibunya sendiri ?!”
”Jangan hendak menekanku, Abduh !” Sentak Yar sengit.
Pemuda itu terbawa emosi, tak sadar ia berdiri. Sri juga bangkit dengan raut wajah bingung.
”Ho ho ..., untuk apa aku menekanmu ?! Tak ada artinya ! Yang lebih bermanfaat bagiku adalah menghancurkan kamu, membuat kau tak ada lagi di dunia ini !” Balas Abduh. Suaranya meninggi dan bergetar.
”Kau pikir aku takut ? Hei, masalahmu akan bertambah, Abduh ! Apa yang akan bisa kau perbuat untuk menghancurkan aku ?!”
Braggg !!! Sreett ... dammm !!! Yar tersengat. Suara daun pintu dapur ditumbuk benda keras dan terbuka menghantam dinding !
Yar lemparkan hp-nya ke dipan. Ia berlari masuk dapur. Sri mengikutinya.
Tapi di pintu pembatas ruang tengah dan dapur, dua orang lelaki bertopeng, yang tak lain suruhan Abduh menghadang dengan belati di tangan masing- masing.
Yar mencoba mengenali mereka. Ia terpaku kalut.
Tak sempat lagi ia mengelak tikaman yang datang hampir bersamaan dari kedua lelaki itu.
”Allaahuu ....” Rintih sastrawan itu seraya menekan luka menganga di perutnya. Tubuhnya limbung.
”Yaaarr !!!” Jerit Sri panik.
Salah seorang menendang dada Yar. Seorang lagi mengangkat meja dapur dan melemparkannya ke tubuh pemuda tak berdaya itu. Sri bergerak menghadang.
Meja itu menumbuk keras tubuhnya.
Ia terjengkang dan jatuh di atas badan Yar yang menggelinjang.
Sri mencoba bangkit.
Tapi satu tikaman datang dengan deras. Ulu hatinya koyak. Rintihan kesakitan perempuan itu mengiringinya jatuh kembali. Ia terkapar dengan mata terbelalak.
Darah berlelehan di lantai.
Sejurus kemudian kedua lelaki bertopeng itu turun lewat tangga dapur.
Tak ada yang melihat kekejaman mereka. ’Istana’ itu terlalu tersisih dari pemukiman desa.
Bau menyengat. Dua lelaki itu ternyata belum meninggalkan tempat. Mereka dengan tergesa- gesa mengangkat jerigen, mengurung ’istana’ dengan siraman bensin.
Mereka pergi menyusup ke dalam hutan setelah salah seorang menyulut korek api dan melemparkannya ke lantai dapur.
Tak butuh waktu lama, api membumbung, membakar rumah kecil itu ....
**
Pagi mendung. Reruntuhan ’istana penyair’ masih menyisakan bara. Asap mulai menipis.
Warga berdesakan mengitari.
Mereka tak banyak bicara. Mata dan wajah saja yang membahasakan berbagai kesan. Ada yang jerih. Ada yang bergidik. Ada yang ’bertanya- tanya’, penasaran. Ada pula yang tawar, acuh ...! Warga yang acuh itu sekedarnya saja melongok di sela- sela kerapatan manusia, lalu pergi.
Kerumunan orang di sepanjang tanjakan tersibak. Tontonan baru, seorang perempuan menyusup dengan langkah tergesa.
Perempuan Barat ! Maria !
Ya, Maria ....
Gadis itu tak pedulikan bisik- bisik yang mulai santer menanggapi kehadirannya.
Ia terpaku di depan puing- puing. Matanya nanar merayapi situasi tragis itu. Raut mukanya pucat, kecut ! Seorang bintara polisi datang, melarangnya berdiri terlalu dekat. Pandang Maria yang kuyu menyorotnya.
”Yar ...” Ucapnya lirih hendak bertanya, tapi tak bisa berlanjut karena kerongkongannya tercekat.
Sang bintara terlihat ragu. Tak tahu harus bagaimana menanggapi. Ia rasa tak mungkin bisa memberi penjelasan, sementara dirinya tak bisa berbahasa Inggris. Maka tangannya saja yang menunjuk ke runtuhan.
”Ohh ....” Desis bibir Maria merupa erangan. Matanya mulai tergenang. Ia kalut. Berganti- ganti pandangannya mengarah ke runtuhan dan kepada polisi itu, lalu menutupi wajah dengan kedua tangannya. Menggeleng- geleng, terisak.
Para warga merapat, mengelilinginya.
”Yar .... Yar ...!” Rintihnya. Tubuhnya terguncang- guncang terbawa isakan yang menjadi- jadi. ”Yar ...! Yar ...!” Panggilnya berulang- ulang.
Wajah pemuda yang ia cintai itu melayang- layang mengungkungi batinnya, meratap- ratap kesakitan padanya.
”Yarrr ....!” Jerit menyayat Si gadis Swiss mengiringi tubuhnya lunglai tersungkur di atas hamparan abu ....-
TAMAT
Empang, Juli 2009- Mei 2010
Komentar
Tulis komentar baru