FATAMORGANA PUTRI SALJU
Cerita pendek : AKHMAD ZAILANI
KAMI saling membisu dan dari buritan kapal memandang letih ke pelabuhan yang makin menjauh, yang makin membuat jarak. Burung-burung terbang rendah. Melayang rendah sekali. Mencium air lalu terbang tinggi. Menjauh.
“Kenapa kau diam?” tanyaku. Tanpa memandang wajahnya. Dan masih memandang ke pelabuhan yang makin lama makin kecil.
Sekilas tampak ikan-ikan berenang seperti menyeret gelombang. Angin berhembus pelan, tetapi terasa sekali menyapa dan memeluk tubuhku.
“Bicaralah,’’ kataku lagi.
Bicaralah tentang apa saja. Tentang langit yang berduka menatap angin kering yang semakin kering, menatap embun kurus yang cepat berlari. Atau tentang tempias kabut yang ramai berbincang. Berbincang tentang malam dan siang yang mulai retak. Bicaralah tentang apa saja yang kau anggap indah. Aku ingin sekali mendengar suaramu yang lembut.
Ia diam.
Suara decak air bersama dengus kapal kian terasa.
“Ah, mungkin kau lagi malas berbicara,’’ kataku lagi.
Tapi ia tetap diam. Membisu. Ah. Ia terkadang keterlaluan, dengan membiarkan aku berbicara sendirian. Padahal aku ingin berbicara dengannya seperti matahari yang berbicara dengan sinarnya. Padahal aku ingin berbicara dengannya seperti angin yang berbicara dengan hembusannya. Aku ingin berbicara dengannya seperti laut yang berbicara dengan riak gelombangnya.
Ah. Ia memang keterlaluan.
Aku memandang ke langit biru. AWan-awan tampak bergerak pelan. Aku melihat di balik awan yang putih itu tergambar wajahnya yang bersih.
Kubayangkan ia tersenyum padaku, dengan bibirnya yang tipis seperti jeruk nipis penggangat dahaga. Rambut hitamnya yang panjang berkibar-kibar sehabis berkeramas dengan fajar yang indah.
‘’Kau masih ingat, ketika kita duduk di tepi Pulau Derawan sambil memandang laut lepas. Waktu itu aku bercerita kepadamu tentang laut biru dan langit biru. Tetapi kau malah bercerita tentang anak-anak lain, yang tidak bisa menikmati dan menceritakan tentang keindahan itu semua. Kau selalu memikirkan anak-anak lain. Anak-anak yang berani dengan matahari, anak-anak yang berkelahi dengan nasib, anak-anak yang tegar melangkah. Ya, aku masih ingat itu,’’ ujarku.
Lalu menatapnya lagi. ‘’Bicaralah, walaupun sepatah dua patah kata,’’ aku memelas.
Ya, ampun. Kenapa jadi begini? Tuhan buatlah suasana yang lain.
Ia terus membisu.
Sedangkan angin laut baru saja menampar wajahku, berusaha mengingatkanku.
Aku hanya bisa menghela nafas putus asa Ah, tidak! Aku tidak putus asa. Aku hanya mendesah. Aku akan terus mengajaknya berbicara tentang apa saja. Aku lalu menatap wajahnya. Ada keinginan yang mendesak untuk menyentuhnya, walaupun sekejap. Lalu mencium dahinya.
***
PUTRI Salju. Begitu aku menyebutnya. Karena aku menganggap hatinya putih seperti salju.
Kami satu kampus. Aku mengenalnya karena terkadang kami memang saling bertemu di kampus, walaupun tidak saling kenal. Perkenalanku terjadi dekat panti asuhan. Ya, sebuah panti asuhan yang biasa kulewati ketika menuju kampus.
Pagi itu gerimis mengusik. Aku tergesa-gesa berangkat ke kampus. Ah, terkadang gerimis suka iseng mengoda. Aku melihat seorang gadis berjalan keluar dari panti asuhan. Memang panti asuhan itu letaknya tak berjauhan dengan lingkungan kampus, tapi cukup melelahkan bagi gadis semanis ia berjalan sendirian di bawah gerimis. Gadis itu berjalan tergesa-gesa dipermainkan gerimis yang nakal. Cuaca mendung nampaknya akan turun hujan lebat.
Mendadak muncul keinginanku untuk menyapanya dan di benakku bermain-main beribu alas an untuk itu.
Aku menjejeri langkahnya. “Hai,’’ sapaku.
Ia menatapku. Aku melihat matanya yang coklat. Indah. Lebih indah dari bintang kejora yang berkelap-kelip. Aku sempat melihat matanya yang teduh dan sejuk.
‘’Ke kampus? Tanyaku lagi. Ah, pertanyaan yang bodoh sebenarnya.
Sudah jelas ia menuju ke kampus kok malah bertanya lagi. Bagiku itu hanya basa-basi saja untuk menetralisir suasana.
Ia mengangguk.
Oh, rupanya ia tidak sombong dan aku jadi yakin ia mau bersahabat denganku.
Jantungku berdetak berirama, seperti nyanyian para dewa. Teratur dengan kesenduan yang lembut, mengalir dari hati yang rindu. Sahdu.
‘’Aku tadi mampir ke panti asuhan,’’ katanya lembut.
Panti asuhan? Dibenakku langsung timbul pertanyaan-pertanyaan yang mencair. Ada apa ia di Panti Asuhan? Apakah ia bersal dari sana? Kalau ia tidak berasal dari panti asuhan, apa yang dikerjakannya di sana? Sebenarnya bukanlah yang aneh.
‘’Aku biasa main di panti asuhan tadi atau panti asuhan lainnya. Aku mengajar sebagai guru di sekolah panti anak-anak cacat. Aku merasa senang saja Berkumpul dan bercanda dengan mereka. Kebahagiaan yang sulit dituliskan atau dimengerti orang lain. Berbagi kasih dengan anak-anak yang tandus kasih saying, seperti menyiram air yang sejuk ke hati mereka. Mereka butuh perhatian dan kasih saying,’’ ia bercerita tanpa kuminta.
Aku diam.
Sedikit sekali gadis yang seperti itu. Saat anak-anak muda asik berhura-hura, menghabiskan kesibukan percuma, sering dengan pikiran-pikiran kotor, ia malah asik menyibukkan diri di panti asuhan dan panti anak-anak cacat. Ia mencurahkan perhatian dan berbagi kasih.
Ia senang ke panti-panti, menyumbangkan kasih saying, lantas aku? Terus terang sebenarnya aku malu sendiri. Juga malu atau bangga padanya.
Tak terasa kami pun sudah tiba di kampus. Rupanya gerimis yang cemburu sudah berhenti.
Tak ada sedikitpun penjelasan dosen yang berdiri di depan kelas itu masuk dan mengendap di kepalaku. Pikiranku berkelana ke mana-mana, ke Putri Saljuku tentu saja. Aku membayangkan ia dengan sabarnya mengajari anak-anak cacat fisik, termasuk cacat mental belajar membaca dan menulis. Ia dengan lembutnya membimbing mereka satu persatu. Ah, tidak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya.
Tak hanya wajah dan penampilan fisiknya, nilai lebih di dirinya bagiku adalah hatinya yang bersih, yang peduli kepada sesame, yang ….
‘’Hei, kamu mau tinggal sendrian di dalam kelas?’’ teman di sampingku mengangagetkan.
Aku melamun terlalu jauh.
‘’Ke kantin Yuk’’
‘’Ayo,’’ kami pun melangkah ke kampus. Kerongkonganku terasa kering. Haus menggigit-gigit.
Di kantin, aku melihat ia ada di sana. Putri Saljuku bersama dengan teman-temannya. Mereka asik bercanda.
‘’Mas, es teh”
‘’Saya kopi, mas’’
Matanya sempat melirikku. Ya, matanya.
‘’Kuliah lagi nanti?’’ kataku padanya. Ih, masih gugup.
‘’Iya hari ini aku masih ada dua mata kuliah’’ jawabnya.
‘’Tak mengajar?’’
‘’Aku mengajar sore’’.
“Aku salu sama kamu. Rasa kemanusiaanmu kepada sesame begitu tinggi. Kamu begitu perhatian kepada mereka’’.
‘’Eh ini memuji atau merayu nih.’’ Tertawanya enak sekali, seperti mengunyah coklat.
‘’Dua-duanya kali …’’ sahutku.
Kami tersenyum.
‘’Aku sebenarnya hanya ingin membuat hidupku berarti … lalu mati. Itu saja,’’ katanya.
Setelah beberapa menit. Tak kuhitung waktu, karena tanpa terasa, ia lantas bangkit dan mengatakan; ‘’Aku duluan ya’’.
Tersenyum lagi.
Aku menatap kepergiannya sambil menghilang masuk ke dalam ruang kuliah.
***
PADA suatu hari Minggu aku mengunjunginya. Lantas Ia mengajaku ke panti asuhan.
‘’Ini namanya Ti,’’ katanya memperkenalkan seorang gadis kecil yang baru saja dating berlari-lari menyambut kedatangan kami.
‘’Ti memang begitu akrab denganku. Aku menganggap I sudah seperti adikku sendiri. Ia sudah tidak mempunyai orang tua. Orang tua kandungnya entah ada di mana. Neneknya yang sebelumnya memelihara sudah meninggal beberapa tahun lalu,’’ Ia membelai kepala gadis itu dengan penuh saying.
‘’Ti sudah sekolah? Tanyaku pada gadis kecil itu.
‘’Sudah’’.
‘’Kelas berapa?’’.
‘’Kelas satu,’’ Ti mengacungkan satu jari telunjuknya.
Aku tersenyum memandang gadis kecil itu. ‘’Kalau sudah besar, Ti ingin menjadi apa? Tanyaku lagi.
‘’Ti ingin menjadi guru saja, seperti kakak …’’. Ti menolehkan kepalanya ke Putri Saljuku.
Aku terharu mendengarnya. Ternyata dia memiliki cita-cita yang mulia. Aku jadi teringat dengan temanku, yang begitu frustasi hanya karena orang tuanya sibuk dan jarang berada di rumah. Ah, seandainya saja temanku atau teman-teman yang lain mau bercermin ke situ, ke anak-anak panti asuhan itu.
Cukup lama juga kami berada dip anti asuhan itu. Bermain-main, bercanda dan tertawa.
Siang hari, saat baying matahari berada di atas kepala baru kami pulang.
***
SETIAP kali aku lewat di panti asuhan yang pernah kami kunjungi, terlintas di anganku tentang Putri Saljuku. Putri Saljuku yang sedang bersama anak-anak panti asuhan, menghibur, bercerita tentang masih ada sunset yang indah, tentang bulan dan tentang surya yang terbit sejak pagi.
Aku pun jadi teringat dengan Ti. Dan aku pun pernah datang menemui Ti. ‘’Kak, Kakak kok tak pernah datang lagi sih. Ti sudah rindu sekali …’’ rajuk Ti kepadaku.
‘’Kakak lagi sibuk, Ti jadi ia tak bisa datang. Kan masih ada kakak mu satunya ini lagi,’’ kataku.
Aku membelai rambut Ti. ‘’Ia titip pesan, adik Ti harus rajin belajar, agar bila Ti pintar nanti bisa jadi guru,’’ ujarku.
‘’Tapi kakak sudah janji mau menceritakan tentang kisah Putri Salju kepada kami,’’ mata Ti yang haus kasih saying itu menatapku.
Ada iba di hatiku. Aku tidak tahu, apakah Ti dan anak-anak panti asuhan lainnya terhibur dengan cerita kisah Putri Saljuku.
Setiap aku lewat di depan panti asuhan itu dan tak mampir, aku melihat Ti duduk sendirian di depan panti asuhan. Ti dan juga anak-anak panti asuha n lainnya tak akan pernah tahu, bila kakak mereka, Putri Saljuku itu tak pernah akan bisa dating lagi menemui mereka.
Oh Tuhan. Aku harus mengatakan apa kepada mereka. Leukimia kronis telah merampasnya. Kau telah menjemput Ia.
***
MATAHARI masih menggantung di langit. Cahayanya menggelitikku.
Kulihat awan putih berpedar-pedar dalam cuaca panas terik. Bermain-main bersama angin. Berkejar-kejaran.
Kapal terus melaju. Suaranya masih terdengar, bersama riak gelombang.
Aku sendirian. Tiada Putri Salju.
Sekalipun angin menyapaku, menegurku untuk bersahabat, sekalipun laut melambai-lambai mengajakku bercanda, aku masih tetap sendirian.
Memang akhirnya semua khayalku dan anganku tentang Putri Salju terasa kekanak-kanakan. Tapi aku rasa tidak dengan cita-cita kemanusiaannya yang tulus. Aku pun tahu, Ti dan anak-anak panti asuhan pasti masih menunggu dirinya. Ya, menunggu untuk mendengar tentang kisah Putri Salju.
Sayangnya, aku belum tahu nama sebenarnya. Aku lupa menanyakan. Putri Salju hanyalah nama agar ia bernama. Mungkin Anda tahu namanya atau malah mengenalnya? Atau jangan-jangan anda saudara atau keluarganya?
Jika kamu kenal, kamu tak perlu memberitahuku. Aku hanya teringat apa yang pernah dikataknya; ‘’aku hanya ingin membuat hidupku berarti, lalu mati”.
Dan kapal pun terus melaju. Membelah gelombang. Dengusnya masih terasa. Kukira fajar sebentar lagi akan datang. ***
21 Februari 1993
Komentar
Tulis komentar baru