Minggu pagi ini kulalui seperti biasa berada di asrama, pagi-pagi setelah subuh masih dengan jadwal yang sama yaitu mengaji bersama. Ya, sudah hampir tiga tahun aku tinggal di perantauan menuntut ilmu di pondok pesantren. Kegiatan setelah mengaji adalah bersih-bersih bersama semua selalu dilakukan bersama-sama, bergotong royong, dan berbondong-bondong dengan penuh rasa kekeluargaan.
Setelah semua selesai aku melakukan janji dengan beberapa teman sekolah yaitu akan mencari bahan untuk tugas membuat majalah. Tepat pukul 08.30 temanku datang menjemput kita pun segera bergegas menuju ke tempat lokasi kebetulan di dekat rumah temanku tepatnya di daerah Trowulan yang dikenal sebagai kawasan sejarah Majapahit sedang diadakan sebuah festival untuk memperingati hari 1 Suro dan salah satunya adalah festival cipta menu kebetulan kita masih beruntung mendapatkan seorang dari kelompok ibu-ibu PKK dari kecamatan pacet menjadi juara umum untuk kategori cipta menu. Kita pun melakukan wawancara dengan ketua dari ibu-ibu PKK tersebut yang menyatakan bahwa masyarakat kecamatan pacet berpotensi dalam hal masak-memasak, dengan kebersamaan dan kekompakan akhirnya juara 1 pun dapat diraih.
Dan tak terasa setelah ku lihat jam tangan waktu menunjukkan pukul 13.00 kita pun segera bergegas kembali karena matahari juga semakin gagah menyinarkan panasnya. Sesampai di rumah Novi kurasakan peluh keringat bercucuran membasahi dahi hingga ujung kaki, aku pun segera mengambil air wudlu dan melaksanakan hak Tuhan untuk disembah, sholat dzuhur.
Tak lama aku dan salah satu temanku Shinta bergegas kembali, dengan pengertian Shinta mengantarku sampai ke pondok. Lelah, aku pun ambruk ke kasur lipatku yang kian menipis tapi tak apa kunikmati saja hingga kenikmatan itu benar-benar menjadi hambar saat aku mendengar dari Ibu bahwa Nenekku meninggal dunia. Diam, aku hanya terdiam, bisu, shock, sama sekali tak percaya memang sebelumnya aku juga mendapati kabar bahwa Nenek memang sudah sakit, radang ginjal. Tiba-tiba mataku menjatuhkan air setetes, dua tetes, tiga tetes, dan akhirnya hujan airmata, hatiku rusuh dan gerimis yang perlahan jatuh dari langit sore ini semakin menambah kerusuhan hatiku.
Tiba-tiba sayup-sayup adzan maghrib mulai terdengar segera aku berwudlu dan menunaikan sholat maghrib berjamaah. Entahlah sepertinya kekhusyukanku begitu terusik dengan hatiku yang melayang kemana-mana kaget, bingung, tak percaya, dan ingin pulang. Setelah turun dari masjid aku bergegas menghubungi Shinta, hanya dia yang jarak rumahnya tidak terlalu jauh dari tempatku bermukim aku meminta tolong padanya agar menjemputku dan mengantarku ke stasiun jika beruntung aku dapat kereta malam akan semakin cepat aku sampai rumah. Tak lama Shinta pun sampai di depan gerbang pondok pesantren dan maaf untuk Bu Nyai dan Abah Yai aku terpaksa kabur karena jika aku berpamitan kemungkinan tidak akan mendapat izin. Karena aku buru-buru, tak dapat berpikir jernih dan mengejar jam kereta jadi lebih baik aku labas saja berusaha tanpa ada yang tahu aku mengambil celah kesempatan waktu saat semua mengaji bersama. Dan berhasil.
Sesampai di stasiun aku berlari menuju loket mengantre tiket, di hadapan mataku sudah ada kereta berhenti mungkin saja itu jurusan Surabaya pikirku menjalar kemana-mana. Oh, ternyata ke arah Barat tujuan Bandung berarti bukan segera ku tanyakan ke petugas loket kereta tujuan Surabaya ada jam berapa saja dan beruntung karena 40 menit lagi kereta api kelud ekspress tujuan Surabaya akan segera datang walaupun dengan tarif 10 kali lipat dari tarif ekonomi tapi tak apa terkadang memang ada yang harus di korbankan untuk sesuatu yang mendesak. Aku pun segera duduk dan terdiam menatap kosong peron yang terpotong karena terlihat dari balik terali kaca jendela pembatas ruang tunggu dan jalur kereta api.
Akhirnya yang di tunggu-tunggu pun segera tiba terdengar pengumuman dari speaker yang menghimbau para penumpang untuk segera mempersiapkan diri. Aku pun bergegas masuk dan tak lama sorot lampu dari kejauhan mulai terlihat dan deruman mesin serta klakson mulai terdengar, sesaat angin menerbangkan lambaian kerudungku yang mulai tak rapi berjatuhan oleh hempasan datangnya kereta, rem berdecit, grek, kereta berhenti, wussh, pintu terbuka dan tangga pun terpasang otomatis. Aku bergegas naik berjalan menyusuri gerbong yang tampak oleh penumpang yang menunjukkan mimik lelah setelah perjalanan jauh. Hampir semua tempat duduk terpenuhi namun akhirnya aku memilih duduk di hadapan seorang bapak setengah baya dengan seorang anak kecil perempuannya yang terlelap di atas bahunya.
Sepanjang perjalanan aku hanya menerawang pemandangan samar-samar diluar kaca jendela, lampu dari dalam kereta tak membuat jelas pandangan di luar. Kurasakan dingin AC berpadu dengan dingin gerimis di luar kereta kudekapkan kedua tanganku memeluk backpacker yang sedari tadi tak kulepaskan. Kereta terus melaju dengan kecepatan tanpa ragu melewati sawah, pemukiman, sungai, dan yang paling kusuka adalah saat melewati jembatan suara deruman kereta yang berbenturan dengan dinding jembatan menciptakan suara seperti teriakan keras, kasar, bising, dan padas lalu melembut tanpa jeda entahlah buatku hal itu terdengar begitu unik dan nikmat di telinga. Dan… satu stasiun kecil tak berhenti, dua stasiun kecil tak berhenti, aku tiba-tiba terperanjat dan takut stasiun kecil selanjutnya tidak berhenti juga karena stasiun berikutnya adalah stasiun tempatku berhenti tiba-tiba kupejamkan mata dan merapal do’a agar di stasiun berikutnya kereta berhenti. Berkali-kali sesekali ku beranikan mengintip luar jendela masih belum berhenti tapi kurasakan sedikit perlahan kereta berjalan melambat kumohon ini stasiunku kumohon dengan sangat. Mataku menerawang ke kiri-kanan menelusuri tulisan plakat stasiun dan Alhamdulillah berhenti tepat di stasiun kecilku. Wushh, pintu terbuka dan tangga pun terpasang otomatis, aku segera turun kulihat disekitar sama sekali tak ada penumpang yang menunggu, penumpang yang turun pun hanya beberapa.
Aku berjalan menyusuri gang menuju terminal barangkali masih ada angkot yang longgar, namun tiba-tiba hp berbunyi kulihat di layar dari Mom segera ku angkat ternyata aku disuruh diam dan menunggu karena Ayah siap menjemput. Masih terbayang bagaimana keadaan Nenek sebelum tiada aku sangat menyesal karena tidak ada disampingnya disaat detik-detik terakhir menjelang kepergiannya air mataku tak terbendung lagi, memori ingatanku menerawang jauh pada masa kecilku dulu saat aku sakit dan menangis karena takut jarum infus beliaulah yang memohonkan pada dokter agar aku dirawat dirumah saja walaupun dokter memarah-marahi Nenekku tapi Nenek tak peduli dan tetap memohon-mohon agar aku rawat jalan saja dan setiap seminggu sekali beliau juga yang selalu menemaniku kesana-kemari menebus resep obat tapi sekarang apa yang sudah kulakukan untuk membalas semua jasa Nenek yang tak kenal lelah menemaniku saat suka maupun duka saat aku tertawa, menangis, marah, sedih, selalu ada kapanpun disaat aku membutuhkan seseorang sebagai pelipur lara.
Satu hal yang masih melekat nasihatnya tak pernah hilang dari ingatan “Belajar mencari ilmu sungguh-sungguh berniat menghilangkan kebodohan.” Jangan sampai salah niat belajar mencari ijazah untuk kerja atau untuk ini itu. Semua sudah ada yang mengatur yang penting belajar Fiisabilillah (di jalan Tuhan). Tak terasa saat aku berjalan dengan membayangkan masa lalu tiba-tiba Ayah sudah ada dihadapanku, aku pun naik dan bergegas pulang dengan Ayah. Di tengah perjalanan mataku hanya menatap kosong jalanan dengan hiruk pikuk kendaraan dan semak-semak belukar yang hanya terlihat gelap, senyap seperti hatiku. Dan saat melewati depan pemakaman di dekat rumahku terlihat jelas tanah basah dan bunga segar yang baru saja menggunduk pasti itu makam Nenekku, sesaat mataku kembali banjir.
Sesampai di rumah aku akan berjanji pada diriku sendiri, mulai sekarang dan detik ini aku akan bersungguh-sungguh untuk belajar dengan semaksimal mungkin dan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk semua orang yang menyayangiku saat ini juga tak lupa berdo’a. Mungkin itulah kado terakhir yang bisa kuberikan pada Nenek.
Komentar
Tulis komentar baru