Namaku Gusno, bukan Kusno, nama kecil Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. Kisahku memiliki awal yang sangat sederhana. Sebagai anak petani, miskin, dan kurang pergaulan, aku memiliki semangat dan tekad sangat tinggi. Kampungku sangat sempit, terisolir, dan sering dinamakan orang “kampung sembunyi”. Karena itu, tidak sedikit anak-anak di kampung kami merasa malu bertemu dengan orang dari tempat lain.
Aku memulai sekolahku di usia 6 tahun, namun telah menerima keberuntungan besar, karena aku mencapai kelas 3 hanya dalam setahun. Tidak terjadi pada anak manapun di tempatku, dan juga tidak terjadi di kampung manapun di sekitar kampungku. Segera aku menjadi buah bibir, sebagian memberikan predikat padaku; Si pintar.
Aku sangat berbakti kepada orang tuaku. Setiap hari, sehabis pulang dari sekolah, kuhabiskan waktuku hingga sore untuk membantu ayahku di sawah atau kebun. Bukan aku saja yang melakukan itu, tetapi semua anak hampir melakukannya. Sebelum pulang ke rumah, anak-anak berkumpul dan menggelar “perang-perangan” di sawah. Kami membagi diri menjadi dua regu, hanya dua regu; Indonesia vs Belanda. Indonesia selalu menang perang, dan memang harus begitu, pikir kami.
“Pejuang kita begitu hebat. Dengan bambu-runcing pun, pasukan Belanda yang bersenjata lengkap pun menyerah, kalah,” kata guruku.
Aku sangat percaya itu. Buku-buku sejarah juga bilang begitu. “Tapi, bagaimana kalau pejuang kita melawan Rambo,” tanya Mansur, temanku.
Pak guru diam sejenak, sepertinya kebingungan untuk mencari jawaban. Kami sangat mengenal Rambo dalam film-film, dan kehebatannya sanggup menghancurkan ratusan hingga ribuan pasukan Vietnam, meskipun sendirian.
“Rambo hanya jago di film,” jawabku. “Dalam film semuanya sudah diatur. Rambo tidak ada dalam daftar pahlawan Amerika. Kalaupun ada, dia tidak akan mengalahkan Komaruddin—tokoh dalam film janur kuning.” Teman-temanku tidak ada yang menyanggah, karena mereka semua memang kagum dengan kehebatan Komarudin dalam film janur kuning.
Saya sangat menyukai film perang, apalagi kalau film perang kemerdekaan. Karena itu, aku pun sangat tertarik dengan pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Selama sekolah, aku hampir tidak tersaingi dalam pelajaran satu ini.
Sekolahku sangat miskin prestasi, tak satupun piala atau medali tersimpan di lemari ruangan pak Mukhtar, kepala sekolah kami. Meskipun tiap 17 agustus dilakukan perlombaan, namun sekolah kami selalu membawa pulang tangan hampa. Kami sangat malu karena hal itu.
“Dengarkan aku baik-baik, anak-anak,” ujar kepala sekolah kepada kami. “Aku telah menunjuk Gusno, Kasma, Ria, dan Abbas untuk mewakili SD kita dalam lomba cerdas cermat bulan depan. Bapak berharap, kalian dapat melakukan yang terbaik, demi kita semua.”
Iya, aku telah ditunjuk untuk mewakili sekolah dalam pertandingan cerdas-cermat antar SD di kelurahan Baru, kelurahan kami. Sekolah kami selalu mencatat hasil buruk dalam pertandingan itu. Kali ini, fikirku, sejarah kekalahan harus diubah menjadi sejarah kemenangan yang gilang-gemilang. Ini pekerjaan berat, tidak mudah untuk melakukannya, tetapi harus dilakukan juga.
Sepulang dari sekolah, aku langsung menemui ibuku. Aku pun segera menyampaikan berita ini dan meminta banyak waktu. “Ibu, aku akan mendapat tugas bersejarah,” kataku. “Aku ditunjuk untuk ikut lomba cerdas-cermat. Kata Kepala Sekolah, aku harus mengubah sejarah kekalahan menjadi kemenangan.” Aku menyampaikan dengan penuh semangat, meskipun belum yakin bisa melakukannya.
“Kalau kau menginginkan kemenangan bersejarah, itu tidak sebatas bagaimana mengalahkan lawanmu secara telak, tetapi yang terpenting, kau menciptakan kemenangan atas orang-orang yang berfikir bahwa kau tak akan menang,” jawab Ibuku.
Jawaban ibu membuatku berfikir keras. Jika diibaratkan menjebol tembok, saya tidak hanya diharuskan berfikir bagaimana menjebol tembok itu, tetapi bagaimana menjebol tembok itu hanya dalam sekali pukulan. Rasanya, ini hampir mustahil untuk dilakukan?
Akan tetapi, segala sesuatu itu mempunyai kemungkinan. Seberapa besar kemungkinan itu berhasil diubah menjadi kenyataan, itu sangat tergantung pada seberapa jauh kita memahami hukum dan syarat-syarat perubahan. Adalah mungkin untuk mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Aku belajar sangat keras. Aku sudah memutuskan: untuk menciptakan kemenangan bersejarah, maka aku dan teman-temanku harus membuat perolehan nilai menjauhi peroleh dari sekolah lain. Ini akan menjadi kemenangan bersejarah, dan akan menjadi cerita yang cepat menyebar.
Dari empat orang yang ditunjuk, tiga orang akan menjadi tim inti dan satunya akan menjadi tenaga cadangan. Aku masuk jadi tim inti, dan telah dipersiapkan selaku juru-bicara. Setiap kami diharuskan belajar fokus pada pelajaran tertentu. Kasma, temanku, telah dianjurkan untuk menperdalam matematika. Si Ria, temanku yang satu lagi, telah difokuskan belajar Bahasa Indonesia dan peribahasa. Sedangkan aku diharuskan belajar IPS, IPA, dan pengetahuan umum.
Pada bagian IPS dan PSPB, aku telah menghafal mati 160 negara di dunia dan ibukotanya, 27 propinsi di Indonesia dan ibukotanya, nama para pahlawan nasional dan asal daerahnya, nama tarian dan asal daerahnya, tanggal dan kejadian dalam sejarah perjuangan nasional, dan masih banyak lagi. Begitu pula dengan IPA dan pengetahuan umum.
Pada hari H, jantungku berdegup kencang, seiring dengan laju motor pak Mukhtar yang memboncengku ke lokasi. Aku tidak percaya pada kata “mustahil”. Setidaknya, dalam hidupku, aku telah mengubah beberapa hal yang semestinya mustahil menjadi kenyataan. Dan, ini adalah salah satunya.
“Kau sudah siap, No,” tegur pak Mukhtar padaku. Dia berusaha memastikan aku paling siap, karena dapat memberi energi tambahan kepada yang lain.
Jawabanku menyakinkan. “Saya sudah siap, Pak. Kita akan membuat kemenangan bersejarah hari ini. Iya, hari ini.”
Teman-temanku yang lain turut memancarkan energi percaya diri yang luar biasa. Ini adalah modal awal kami—kepercayaan diri dan tekad yang luar biasa.
Segalanya sudah dipersiapkan. Sebanyak 5 regu dari 5 sekolah sudah bersiap-siap. Namun, ada yang mengkhawatirkan: Sekolah lain membawa begitu banyak supporter, sedangkan sekolahku hanya membawa anggota tim, ya, empat orang itu. Pak Mukhtar melemparkan acungan jempol kepada kami, artinya dia sangat mendukung dan berharap pada kami.
Dan, pertempuran menentukan ini pun dimulai. Setiap tim menempati posisinya, dan kami berada di group E, artinya penghabisan. Masing-masing group memperkenalkan personilnya, dan mengetes tombol masing-masing.
Dalam sesi pertama, setiap kelompok di beri beberapa pertanyaan. Group kami berhasil menjawab semua pertanyaan yang diarahkan ke kami, bahkan beberapa “bola muntah” pun berhasil kami manfaatkan. Hasilnya, kami memimpin di sesi pertama: group A (300), B (250), C. (100), D (500), dan E. (1600). Untuk sementara, kami menang jauh.
Pada sesi kedua, pertanyaan rebutan, aku telah dipasang sebagai “penyerang” utama. Kudekatkan tanganku di tombol, bersiap-siap menyambar pertanyaan yang keluar dari mulut penanya.
“Berapa tahun pangeran Diponegoro melakukan perlawanan kepada kolonial Belanda?” bunyi pertanyaannya.
Tombolku segera menjerit. “Lima tahun, pak. Dari tahun 1825-1830,” jawabku dengan cepat. Dan langsung dihadiahi nilai seratus.
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya pun berhasil kurebut. Seluruh sesi pertanyaan rebutan telah kami sapu bersih, tanpa menyisakan satu point pun kepada lawan. Gemuruh tepuk tangan pun memenuhi ruangan, sebuah pertanda kekaguman terhadap kehebatan tim kami. Kami tidak hanya mendapat tepuk tangan dari supporter, melainkan juga dari guru-guru sekolah lain dan panitia kecamatan. Hati kecilku berkata, “kami telah menciptakan kemenangan bersejarah.”
Pada bagian akhir, soal keterampilan menebak lagu nasional yang dimainkan dengan menggunakan piano, grup kami pun berhasil menyapu bersih. Ini sungguh di luar dugaan. Sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil, kini telah menjadi kenyataan.
Ya, kami telah memenangkan perlombaan ini dengan sempurna.
Ini hanya kemenangan pembuka. Segera setelah itu, kami pun menggondol kemenangan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Hingga, akhirnya, suatu kebanggan besar pada saat itu, kami tampil di TVRI Makasar, dan membawa pulang kemenangan. Sesuatu yang sebelumnya mustahil telah menjadi kenyataan.
*****
Membuat Kemenangan Bersejarah
- Prosa |
- Cerpen |
- Rudi Hartono
- 6038 dibaca
Komentar
Tulis komentar baru